Selain itu, aspek ekonomi, kepentingan AS menaklukkan
Iraq adalah "perang suci" (al-hurub al-muqaddasah) Analogi Rasul saw
tentang keadaan umat Islam di akhir zaman, bak seungguk makanan di atas meja
yang siap untuk dibagi dan disantap oleh musuhnya, seakan menjadi kenyataan
yang sulit untuk dibantah. Apalagi mengingat kejadian dunia yang sangat
berhubungan dengan kondisi Islam saat ini.
Tinta sejarah nampaknya masih belum membeku untuk mencatat perjalanan pahit dunia Islam. Air mata duka umat terus mengalir seakan menjadi aliran sungai yang tak bermuara.
Palestina, sebuah negeri yang menyimpan sejarah peradaban Islam dan didalamnya Qiblat pertama kaum muslimin, sampai sa'at ini masih menjadi tempat 'uji coba' senjata tentara Israel.
Aksi pembunuhan berkesinambungan oleh tentara Zionis seakan menjadi 'senetron' yang asyik ditonton dan disaksikan di layar kaca, karena menurut Pentagon, hal itu 'rasional' mengingat pekerjaan itu adalah sebagai pembelaan terhadap keamanan dan stabilitas negara Israel Raya.
Di tengah berlansungnya pembantaian di Palestina, dengan --tentunya-- tak terlepas peran kuat Amerika Serikat dengan politik izdiwajiyatul ma'ayir (standar ganda). Negeri-negeri Islam, termasuk Afganistan, menyusul menjadi hidangan yang lahap para penguasa Barat. Negeri yang tanpa dosa itu telah mengenyam pahitnya 'dibela' AS dengan sebuah dalih, bahwa pemerintah yang berkuasa (Taliban) di bumi asal Jamaluddin al Afghani itu adalah sekelompok teroris yang mengamcam tatanan perdamaian dunia.
Hingga hari ini, Afganistan bahkan masih menjadi bumi 'latihan tembak' para tentara Amerika Serikat dalam memburu sang 'teroris' Osamah bin Laden yang tidak jelas sosoknya.
Kini, Iraq, sebuah negeri yang pernah menjadi pusat peradaban Islam, harus mengikuti jejak Afganistan. Dengan dalih bahwa pemerintah yang berkuasa adalah musuh demokrasi yang harus dibunuh dan bahkan wajib dikubur hidup-hidup, karena penguasa seperti ini akan mengancam stabilitas dunia, khususnya Amerka Serikat.
Dengan menjual isu pemberantasan senjata kimia pemusnah massal, AS dan negara-negara Barat dengan seenak nafsunya melebur Iraq. Di depan mata dunia, PBB pun mengutus tim imvestigasi senjata kimia yang diklaim AS yang hingga kini tidak pernah terbukti itu.
Toh, walau protes dunia atas invasi militer AS menggema, seakan tak digubris oleh negara yang mengaku 'polisi dunia' itu, dan tetap bersikukuh untuk menyerang Iraq sebagai 'solusi' terbaik dalam menyelamatkan negara dan rakyat Iraq dari kungkungan sang diktator Saddam Husein.
Invasi atau perang suci?
Mangapa Amerika Serikat begitu nekad untuk memborbardir Iraq, walaupun harus melanggar resolusi DK PBB? Benarkah alasan AS bahwa invasi militer ke tanah Iraq semata untuk menyelamatkan rakyatnya dari kungkungan ketidak-bebasan?
Jika demikian, mengapa rakyat Iraq selalu berteriak "birruh biddam nafdika ya Saddam"! atau kenekadan AS dikarenakan alasan ekonomi nasionalnya yang sangat mengkhawatirkan, sebagai sikap keterpaksaan untuk mencari 'makan' bangsanya yang lapar, sehingga harus mengoperasi kekayaan orang lain? Atau (mungkin) lebih jauh lagi, bahwa invasi militer AS itu berorientasi untuk meraih 'sorga' sebagai realisasi 'perang suci' yang diajarkan agama mereka, juga sebagai pelaksanaan tafsir benturan peradaban seperti tesis Samuel Hontington?
Banyak aspek yang bisa dijelaskan. Diantaranya yang lebih mungkin, adalah; Pembelaan demokrasi, krisis ekonomi dan alasan perang suci.
Mengingat 'arldul waqi'-nya sangat sarat dan sepadan dengan tiga alasan tadi.
Namun jika kita cermati secara tiliti, aspek pembelaan demokrasi, sungguh sangat apologik dan mengada-ada. Karena justru keranda kematian demokrasi itu dihantarkan Amerika sendiri ke lubang kuburan.
Bukankah Turki dengan Najmuddin Erbakan yang terjungkal dari arena kekuasaannya dan Pakistan dengan naiknya Jendral Prevez Musyarraf yang berhasil menggulingkan Nawaz Syarief dengan kudeta militer, cukup menjadi bukti ril atas penghiatan demokrasi?.
Semua sadar bahwa terjungkalnya Najmuddin dan Naiknya Prevez Musyarraf tak terlepas dari peran Amerika Serikat. Bahkan langgengnya penguasa diktator dunia pada era modern ini jelas sulit di pisahkan dari peran Amerika Serikat.
Alasan invasi militer AS ke Iraq adalah jelas merupakan alasan ekonomi. Harap tahu, Iraq adalah negara penghasil minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Bagi AS, Iraq mempunyai posisi amat strategis, karena menyimpan cadangan minyak terbesar kedua dan belum sepenuhnya dieksploitasi (cadangan Iraq 112,5 milyar barrel, dengan produksi 2,4 juta barel per hari; cadangan Arab 261,8 milyar barrel dengan produksi 8,8 juta barel per hari).
Di sini dapat di lihat bahwa target AS di Iraq jelas Minyak, mengingat AS sangat bergantung pada minyak. Tanpa minyak, AS tidak akan mampu menjalankan perekonomian dan militernya. Walaupun ditengarai AS mempunyai cadangan minyak di Texas, namun cadangan minyak ini tidak akan mampu memasok aktivitas industri AS.
Selain itu, aspek "perang suci" (al-hurub al-muqaddasah). Merupakan aspek lain yang sangat tidak kalah penting.
George W Bush pernah keseleo lidah dengan menyatakan perang salib saat runtuhnya gedung simbol kapitalis dunia WTC dan Pentagon.
Pernyataan Bush senada dengan Menhan AS Donald Rumsfeld, yang berkali-kali menuduh pemerintahan Saddam Hussein berhubungan 'gelap' dengan Osama bin Ladin dan dengan digempurnya kekuatan Islam militan di sebuah kota di Iraq dengan alasan bahwa mereka adalah 'patner' Taliban.
Menurut Charles E. Carlon dalam "Attacking Islam" seperti dikutip The New American Magazine, mengatakan bahwa kampanye kebencian anti-Islam selalu di lansir oleh media-massa yang sepenuhnya berada di bawah kontrol kelompok Yahudi.
Artikel-artikel di media-cetak, buku-buku, acara entertainment TV, film, dan diskusi, mulai memunculkan gambaran tentang orang Arab dan masyarakat Muslim sebagai masyarakat yang culas, tidak dapat dipercaya, tidak menghormati hukum, melecehkan wanita, dan sebagainya yang isinya meracuni pendapat umum masyarakat dunia dan terutama sekali pikiran masyarakat awam Amerika.
Sehingga istilah Radikal, Ekstrim, Militan dan Teroris melekat pada kelompok Islam yang akhirnya di anggap "musuh manusia beradab".
Persolaan lain, yang bisa jadi lebih dominan dalam invasi militer Amerika Serikat ke Iraq adalah sebagai upaya penyelamatan negara bikinannya (Israel) yang selalu merasa terancam atas eksistensi Baghdad. Karena hanya Bahgdad-lah satu-satunya kota Arab yang berani menjatuhkan rudalnya ke negara 'cucu monyet' itu, setelah kota Arab lainnya telah tunduk di bawah komando AS.
Selain itu, hanya Iraq-lah negara yang memiliki kekuatan yang merisaukan Israel di Timur Tengah. Maka ambisi penuh nafsu untuk menghabiskan Iraq menjadi hal yang niscaya dan dengan alasan ini Amerika Serikat rela mengorban nyawa-tentara tentaranya di kubur di padang pasir.
Zionisme
Israel fi qalbi al-harb, tulis Fahmi Huwaidi (Al Ahram ,1/4/2003) jelas menggambarkan bahwa terjadinya perang Teluk III tak lepas dari peran dedengkot Zionis Yahudi yang menguasai beberapa jabatan penting di Amerika Serikat. Diantara mereka adalah Paul Wolfowitz mantan Dubes AS di Indonesia dan sekarang Deputi Menhan AS, Richard Perle mantan asisten Menteri Pertahanan yang saat ini menjadi ketua The Defense Policy Board, sebuah gugus sipil terkemuka yang memberikan saran kebijakan kepada Menteri Pertahanan. Dan banyak lagi nama-nama lain seperti Douglas Fait dan John Bolton, keduanya mempunyai pengaruh yang tidak kalah penting dengan tiga patner mereka di atas.
Lebih gawat lagi, George W Bush pernah mengadakan pertemuan dengan ketua organisasi radikal Yahudi di AS, Moretimor T, pada 8/1/2003 dan dari pembicaraan itu, Moretimur T meminta Bush yunior untuk 'juga' menghancurkan Saudi Arabia, karena Saudi disenyalir sangat banyak mengucurkan dana untuk pejuang Intifadhah Palestina.
Sungguh musalsal perang suci yang dikomandoi AS telah semakin nyata di depan mata kita. Dengan adagium pembebasan, penyelamatan demokrasi dan dengan mengunakan keahliannya beradegan pahlawan, hingga berhasil menggebuk satu persatu kekuatan negara Islam. Berawal dari pemberantasan teroris di Afganistan kemudian penyalamatan demokrasi di Iraq dan entah dalih apalagi, sehingga negara-negara Islam akan mencicipi 'kue' panas AS seperti apa yang disebut Pentagon dan Israel sebagai "Titik Panas yang Akan Datang".
Semua titik panas itu telah tertulis dalam qoimah (daftar) AS, seperti Republik Demokratik Kongo, Libanon, Bahrain, Pakistan termasuk Indonesia. (Hidayatulah online, 3/4/2003).
Jika benar titik panas itu mencair, sesuai target AS dan Yahudi, maka nyawa umat Islam di belahan dunia akan merasakan tetesan itu sesuai tanggal giliran dan waktunya.
Dimanakah peran kita? Apakah kita hanya mampu menjadi kaum "yanbahgiyat" yang memaksa segala keharusan kepada pihak lain tanpa mau berbuat apa-apa.
Jika khakhom Yahudi mengadakan 'sholat' bersama sebagai wujud sugesti spiritual atas selamatnya tentara AS di perang Teluk III, maka bagaimana wujud dukungan kita terhadap saudara kita mujahidin yang memperjuangkan agama dan izzah umat? Mari kita melakukan komtemplasi sejenak dalam mencari jawabannya!
Oleh,
Herman Harun HR
Penulis adalah mahasiswa asal Jambi, sedang menempuh Program Pascasarjana Studi Islam, Zamalek Kairo, Mesir.
Tinta sejarah nampaknya masih belum membeku untuk mencatat perjalanan pahit dunia Islam. Air mata duka umat terus mengalir seakan menjadi aliran sungai yang tak bermuara.
Palestina, sebuah negeri yang menyimpan sejarah peradaban Islam dan didalamnya Qiblat pertama kaum muslimin, sampai sa'at ini masih menjadi tempat 'uji coba' senjata tentara Israel.
Aksi pembunuhan berkesinambungan oleh tentara Zionis seakan menjadi 'senetron' yang asyik ditonton dan disaksikan di layar kaca, karena menurut Pentagon, hal itu 'rasional' mengingat pekerjaan itu adalah sebagai pembelaan terhadap keamanan dan stabilitas negara Israel Raya.
Di tengah berlansungnya pembantaian di Palestina, dengan --tentunya-- tak terlepas peran kuat Amerika Serikat dengan politik izdiwajiyatul ma'ayir (standar ganda). Negeri-negeri Islam, termasuk Afganistan, menyusul menjadi hidangan yang lahap para penguasa Barat. Negeri yang tanpa dosa itu telah mengenyam pahitnya 'dibela' AS dengan sebuah dalih, bahwa pemerintah yang berkuasa (Taliban) di bumi asal Jamaluddin al Afghani itu adalah sekelompok teroris yang mengamcam tatanan perdamaian dunia.
Hingga hari ini, Afganistan bahkan masih menjadi bumi 'latihan tembak' para tentara Amerika Serikat dalam memburu sang 'teroris' Osamah bin Laden yang tidak jelas sosoknya.
Kini, Iraq, sebuah negeri yang pernah menjadi pusat peradaban Islam, harus mengikuti jejak Afganistan. Dengan dalih bahwa pemerintah yang berkuasa adalah musuh demokrasi yang harus dibunuh dan bahkan wajib dikubur hidup-hidup, karena penguasa seperti ini akan mengancam stabilitas dunia, khususnya Amerka Serikat.
Dengan menjual isu pemberantasan senjata kimia pemusnah massal, AS dan negara-negara Barat dengan seenak nafsunya melebur Iraq. Di depan mata dunia, PBB pun mengutus tim imvestigasi senjata kimia yang diklaim AS yang hingga kini tidak pernah terbukti itu.
Toh, walau protes dunia atas invasi militer AS menggema, seakan tak digubris oleh negara yang mengaku 'polisi dunia' itu, dan tetap bersikukuh untuk menyerang Iraq sebagai 'solusi' terbaik dalam menyelamatkan negara dan rakyat Iraq dari kungkungan sang diktator Saddam Husein.
Invasi atau perang suci?
Mangapa Amerika Serikat begitu nekad untuk memborbardir Iraq, walaupun harus melanggar resolusi DK PBB? Benarkah alasan AS bahwa invasi militer ke tanah Iraq semata untuk menyelamatkan rakyatnya dari kungkungan ketidak-bebasan?
Jika demikian, mengapa rakyat Iraq selalu berteriak "birruh biddam nafdika ya Saddam"! atau kenekadan AS dikarenakan alasan ekonomi nasionalnya yang sangat mengkhawatirkan, sebagai sikap keterpaksaan untuk mencari 'makan' bangsanya yang lapar, sehingga harus mengoperasi kekayaan orang lain? Atau (mungkin) lebih jauh lagi, bahwa invasi militer AS itu berorientasi untuk meraih 'sorga' sebagai realisasi 'perang suci' yang diajarkan agama mereka, juga sebagai pelaksanaan tafsir benturan peradaban seperti tesis Samuel Hontington?
Banyak aspek yang bisa dijelaskan. Diantaranya yang lebih mungkin, adalah; Pembelaan demokrasi, krisis ekonomi dan alasan perang suci.
Mengingat 'arldul waqi'-nya sangat sarat dan sepadan dengan tiga alasan tadi.
Namun jika kita cermati secara tiliti, aspek pembelaan demokrasi, sungguh sangat apologik dan mengada-ada. Karena justru keranda kematian demokrasi itu dihantarkan Amerika sendiri ke lubang kuburan.
Bukankah Turki dengan Najmuddin Erbakan yang terjungkal dari arena kekuasaannya dan Pakistan dengan naiknya Jendral Prevez Musyarraf yang berhasil menggulingkan Nawaz Syarief dengan kudeta militer, cukup menjadi bukti ril atas penghiatan demokrasi?.
Semua sadar bahwa terjungkalnya Najmuddin dan Naiknya Prevez Musyarraf tak terlepas dari peran Amerika Serikat. Bahkan langgengnya penguasa diktator dunia pada era modern ini jelas sulit di pisahkan dari peran Amerika Serikat.
Alasan invasi militer AS ke Iraq adalah jelas merupakan alasan ekonomi. Harap tahu, Iraq adalah negara penghasil minyak terbesar kedua setelah Arab Saudi. Bagi AS, Iraq mempunyai posisi amat strategis, karena menyimpan cadangan minyak terbesar kedua dan belum sepenuhnya dieksploitasi (cadangan Iraq 112,5 milyar barrel, dengan produksi 2,4 juta barel per hari; cadangan Arab 261,8 milyar barrel dengan produksi 8,8 juta barel per hari).
Di sini dapat di lihat bahwa target AS di Iraq jelas Minyak, mengingat AS sangat bergantung pada minyak. Tanpa minyak, AS tidak akan mampu menjalankan perekonomian dan militernya. Walaupun ditengarai AS mempunyai cadangan minyak di Texas, namun cadangan minyak ini tidak akan mampu memasok aktivitas industri AS.
Selain itu, aspek "perang suci" (al-hurub al-muqaddasah). Merupakan aspek lain yang sangat tidak kalah penting.
George W Bush pernah keseleo lidah dengan menyatakan perang salib saat runtuhnya gedung simbol kapitalis dunia WTC dan Pentagon.
Pernyataan Bush senada dengan Menhan AS Donald Rumsfeld, yang berkali-kali menuduh pemerintahan Saddam Hussein berhubungan 'gelap' dengan Osama bin Ladin dan dengan digempurnya kekuatan Islam militan di sebuah kota di Iraq dengan alasan bahwa mereka adalah 'patner' Taliban.
Menurut Charles E. Carlon dalam "Attacking Islam" seperti dikutip The New American Magazine, mengatakan bahwa kampanye kebencian anti-Islam selalu di lansir oleh media-massa yang sepenuhnya berada di bawah kontrol kelompok Yahudi.
Artikel-artikel di media-cetak, buku-buku, acara entertainment TV, film, dan diskusi, mulai memunculkan gambaran tentang orang Arab dan masyarakat Muslim sebagai masyarakat yang culas, tidak dapat dipercaya, tidak menghormati hukum, melecehkan wanita, dan sebagainya yang isinya meracuni pendapat umum masyarakat dunia dan terutama sekali pikiran masyarakat awam Amerika.
Sehingga istilah Radikal, Ekstrim, Militan dan Teroris melekat pada kelompok Islam yang akhirnya di anggap "musuh manusia beradab".
Persolaan lain, yang bisa jadi lebih dominan dalam invasi militer Amerika Serikat ke Iraq adalah sebagai upaya penyelamatan negara bikinannya (Israel) yang selalu merasa terancam atas eksistensi Baghdad. Karena hanya Bahgdad-lah satu-satunya kota Arab yang berani menjatuhkan rudalnya ke negara 'cucu monyet' itu, setelah kota Arab lainnya telah tunduk di bawah komando AS.
Selain itu, hanya Iraq-lah negara yang memiliki kekuatan yang merisaukan Israel di Timur Tengah. Maka ambisi penuh nafsu untuk menghabiskan Iraq menjadi hal yang niscaya dan dengan alasan ini Amerika Serikat rela mengorban nyawa-tentara tentaranya di kubur di padang pasir.
Zionisme
Israel fi qalbi al-harb, tulis Fahmi Huwaidi (Al Ahram ,1/4/2003) jelas menggambarkan bahwa terjadinya perang Teluk III tak lepas dari peran dedengkot Zionis Yahudi yang menguasai beberapa jabatan penting di Amerika Serikat. Diantara mereka adalah Paul Wolfowitz mantan Dubes AS di Indonesia dan sekarang Deputi Menhan AS, Richard Perle mantan asisten Menteri Pertahanan yang saat ini menjadi ketua The Defense Policy Board, sebuah gugus sipil terkemuka yang memberikan saran kebijakan kepada Menteri Pertahanan. Dan banyak lagi nama-nama lain seperti Douglas Fait dan John Bolton, keduanya mempunyai pengaruh yang tidak kalah penting dengan tiga patner mereka di atas.
Lebih gawat lagi, George W Bush pernah mengadakan pertemuan dengan ketua organisasi radikal Yahudi di AS, Moretimor T, pada 8/1/2003 dan dari pembicaraan itu, Moretimur T meminta Bush yunior untuk 'juga' menghancurkan Saudi Arabia, karena Saudi disenyalir sangat banyak mengucurkan dana untuk pejuang Intifadhah Palestina.
Sungguh musalsal perang suci yang dikomandoi AS telah semakin nyata di depan mata kita. Dengan adagium pembebasan, penyelamatan demokrasi dan dengan mengunakan keahliannya beradegan pahlawan, hingga berhasil menggebuk satu persatu kekuatan negara Islam. Berawal dari pemberantasan teroris di Afganistan kemudian penyalamatan demokrasi di Iraq dan entah dalih apalagi, sehingga negara-negara Islam akan mencicipi 'kue' panas AS seperti apa yang disebut Pentagon dan Israel sebagai "Titik Panas yang Akan Datang".
Semua titik panas itu telah tertulis dalam qoimah (daftar) AS, seperti Republik Demokratik Kongo, Libanon, Bahrain, Pakistan termasuk Indonesia. (Hidayatulah online, 3/4/2003).
Jika benar titik panas itu mencair, sesuai target AS dan Yahudi, maka nyawa umat Islam di belahan dunia akan merasakan tetesan itu sesuai tanggal giliran dan waktunya.
Dimanakah peran kita? Apakah kita hanya mampu menjadi kaum "yanbahgiyat" yang memaksa segala keharusan kepada pihak lain tanpa mau berbuat apa-apa.
Jika khakhom Yahudi mengadakan 'sholat' bersama sebagai wujud sugesti spiritual atas selamatnya tentara AS di perang Teluk III, maka bagaimana wujud dukungan kita terhadap saudara kita mujahidin yang memperjuangkan agama dan izzah umat? Mari kita melakukan komtemplasi sejenak dalam mencari jawabannya!
Oleh,
Herman Harun HR
Penulis adalah mahasiswa asal Jambi, sedang menempuh Program Pascasarjana Studi Islam, Zamalek Kairo, Mesir.