Oleh Rony Subayu
11/04/2005
Ketika Mohammed Arkoun membangun
proyek prestisiusnya, ”kritik akal Islam”, yang terwakili dalam karyanya ”Pour
de la raison Islamique” (Menuju Kritik Akal Islam), yang dalam edisi Arabnya
berjudul ”Tarikhiyyat al-Fikr al-Araby al-Islamy,” ia mengajukan tiga term yang
sangat asing di telinga para sarjana muslim dalam rangka membedah sejarah
sistem pemikiran Arab-Islam, yaitu “yang terpikirkan” (le pensable/thinkable),
”yang tak terpikirkan” (l`impinse/unthinkable) dan ”yang belum terpikirkan”
(l`impensable/not yet thought). Apa yang dimaksud dengan ”thinkable” adalah
hal-hal yang mungkin sudah dipikirkan umat Islam, karena jelas dan boleh
dipikirkan. Sedang ”unthinkable” adalah hal-hal menyangkut praktik kehidupan
yang tidak ada kaitannya dengan ajaran agama. Dan ”not yet thought” adalah
hal-hal yang belum pernah dipikirkan umat Islam.
Menurut Arkoun, ketika Alquran
tampil dalam bentuk oral dan belum terjelma ke dalam sebuah mushaf resmi,
segala hal dipandang dan direspon sebagai thinkable. Namun, keadaan berubah
drastis manakala Alquran di-vermak menjadi korpus resmi tertutup atau mushaf
resmi Usmani di bawah pengawasan Khalifah Usman serta adanya upaya
sistematisasi konsep sunah dan pembakuan ushul fiqh oleh Imam Syafi`i kepada
standar tertentu. Pada era itu, ranah-ranah yang tadinya thinkable berubah
menjadi unthinkable.
Konsekuensi logis dari
”pergeseran” ini ialah terjadinya proses ”penjarakan” antara Alquran dengan
realitas. Akibatnya, Alquran menjadi macan ompong yang gagap merespon tantangan
modernitas dengan pelbagai persoalan yang ditimbulkannya. Alquran hanya diperas
dalam tumpukan literatur tafsir yang cuma bisa menjelaskan dunia, tapi tak
mampu mengubahnya. Alquran tidak lebih dari ”warisan antik” dari abad VII M
yang sesekali dikenang, dilombakan, dilantunkan dan diperingati dalam
seremoni-seremoni. Alquran sudah beranjak jauh dari tujuannya semula sebagai
”kitab
pencerahan” (kitab munir). Dan
tragisnya –kata Arkoun lagi-, daerah ”yang tak terpikirkan” itu terus saja
melebar.
Mushaf Usmani yang menonjolkan
bahasa Quraisy dan bercirikan mono-bacaan (Qira`at Hafish an Ashim) pada
gilirannya menyimpan cacat tersendiri, yaitu hilangnya kemungkinan menafsir
atau membaca Alquran dari pelbagai optik; projek penafsiran Alquran tidak
diperkenankan keluar dari koridor mushaf Usmani. Oleh karenanya, kitab-kitab
tafsir yang tersebar di dunia Islam secara massif diproduksi dengan merujuk
mushaf Usmani sebagai patokan. Situasi ini semakin pelik manakala Syafi`i
membuat rumusan sistem hukum Islam kepada Alquran, sunah, ijmak dan qiyas.
Untuk menentukan sebuah makna atau hukum dalam Alquran, seseorang harus
melewati prosedur ini secara hierarkis. Ketika Alquran tidak memberikan
informasi, sunah menjadi rujukan, berikutnya ijmak, qiyas dan seterusnya.
Bersandar pada mushaf Usmani dan
kaidah konvensional yang dibuat Syafi`i dalam kegiatan penafsiran merupakan
prosedur legal-konvensional yang secara hampir sepakat diyakini umat Islam.
Kemungkinan pendekatan atau mekanisme lain di luar prosedur legal dipandang
sebagai bid`ah dan harus ditolak.
Di sinilah titik kegelisahan
Arkoun, dengan konsepnya tentang ”yang tak terpikirkan”, ia hendak mencairkan
kebekuan prosedur legal-konvensional ini. Dengan konsepnya tersebut, Arkoun
hendak melegalkan pendekatan lain dalam pembacaan Alquran seperti antropologi,
sosiologi, psikologi, hermeneutika, semiotika dan disiplin keilmuan lainnya
yang dulu belum pernah ada atau digunakan di era skolastik Islam. Untuk sekedar
turut berpartisipasi mempersempit area unthinkable ini, saya mencoba menawarkan
sebuah pendekatan baru yang sangat berbau modern, yaitu membaca Alquran sebagai
mitos.
Sebelum Alquran dikenai sebuah
pendekatan, menentukan kedudukan Alquran secara ontologis merupakan suatu hal
yang sangat perlu. Apa itu Alquran? Ini adalah pertanyaan ontologis yang sempat
diajukan oleh Arkoun dan Abu Zayd sebelum melangkah
lebih jauh pada penerapan sebuah
metodologi pembacaan Alquran baru yang hendak diusungnya. Bagi saya, Alquran
adalah mitos. Apa yang saya maksud dengan ”mitos” di sini bukanlah cerita
tentang kehidupan dewa-dewi yang abstrak, irasional dan penuh hayal, melainkan
mitos dalam arti Barthesian, yakni sebuah tipe wacana atau tuturan. Bagi
Barthes, Myth is a social usage of language… (Barthes: 1983). Dalam konsepsi
Barthesian, wacana (discourse) adalah tipe penggunaan bahasa yang bisa
mengambil bentuk lisan (parole) maupun tulisan (langue). Jadi, Alquran dalam
bentuknya yang oral maupun tekstual (mushaf) sama-sama merupakan mitos.
Mitos adalah sebuah wacana khas
yang hendak menyampaikan pesan secara tak langsung. Atau dalam bahasa
semiotisnya, menyampaikan makna konotatif sebuah tanda melalui unsur
denotatifnya. Apa yang diacu atau signifikan dalam mitos adalah segi
konotatifnya. Sedang unsur denotatifnya hanyalah tanda perantara sekunder yang
berfungsi sebagai jembatan untuk mengantar kepada makna konotatif. Sebagai
mitos, literalisme Alquran (baik dalam bentuk parole atau langue) yang biasa
dibaca, dilantunkan dan dijadikan dalil oleh umat Islam pada umumnya, tidak
lebih merupakan ”pembungkus” semata dari pesan Tuhan yang sesungguhnya. Dus,
pesan universal Alquran tidaklah terletak pada makna literalnya, tapi makna
yang bersemayam di balik yang literal itu.
Dalam konteks Alquran sebagai
mitos, saya berpendapat bahwa makna denotatif Alquran (baca: ayat muamalah)
adalah bersifat lokal-temporal yang cuma diperuntukkan bagi masyarakat di mana
Alquran turun. Sedang unsur yang universal dan relevan untuk semua tempat dan jaman
ada pada makna konotatifnya. Sebagai misal, perintah jilbab dalam Alquran
sebagaimana diisyaratkan oleh makna denotatifnya, tidaklah berarti bahwa
seluruh umat Islam wajib memakai jilbab, tapi makna konotatif dari perintah
tersebut adalah: Pertama, pemakaian busana untuk menutup aurat ditentukan oleh
standar ”kepantasan” budaya masing-masing layaknya jilbab yang menjadi standar
kepantasan masyarakat Arab waktu itu. Ini makna konotatif yang mungkin kita
temukan pada lapisan pertama. Kedua, keharusan umat Islam ”menghormati
tradisinya” masing-masing
sebagaimana masyarakat Arab memandang jilbab sebagai tradisi. Dan ini makna
yang bersemayam pada lapisan berikutnya. Kedua makna konotatif inilah –untuk
sementara waktu- yang merepresentasikan universalitas ayat jilbab. Tentu, masih
diandaikan adanya tumpukan makna yang terendap dan harus terus digali dalam
ayat jilbab ini.
Bila dicari padananya dalam
khazanah keilmuan tafsir, konsep mitos a la Barthesian ini analog saja dengan
konsep ta`wil yang modus operandi-nya menggali makna di balik yang tersurat
(bathin). Namun ada benang merah yang tetap membedakan antara mitos dengan
ta`wil: Pertama, ta`wil umumnya hanya beroperasi pada ayat-ayat yang
teridentifikasi sebagai mutasyabihat. Sementara mitos beroperasi pada semua
yang disebut ”tanda” (sign), termasuk kategori muhkamat atau mutasyabihat dalam
Alquran. Kedua, dalam dunia penafsiran, ta`wil lebih akrab digunakan oleh kaum
sufi. Memang, ta`wil di tangan kaum sufi diaplikasikan sepenuhnya pada ayat
yang muhkamat maupun mutsyabihat. Hanya saja makna bathin yang diacu kerap kali
berhenti pada lapisan pertama. Sedangkan mitos tidak berhenti pada makna di
lapisan pertama, tapi mengungkap terus kemungkinan makna terdalam yang
mengendap dalam lapisan geologis tanda; dalam hal ini ialah mengungkap makna
yang paling dalam dari Alquran.
Semua ayat, baik yang bernuansa
hukum, teologis, eskatologis, kosmologis maupun yang berkategori
makiyah-madaniyah, muhkam-mutasyabih, muthlaq-muqayyad, nasikh-mansukh dan
seterusnya masih diandaikan menyimpan setumpuk makna menurut konsepsi mitos. Di
sinilah, saya kira, kelebihan dan efektivitas pendekatan teori mitos pada
pembacaan Alquran. Dengan mitos, pintu pluralisme penafsiran akan terus terbuka
lebar dan tidak terjadi lagi ”restriksi makna” dalam kalimatullah yang konon
tidak akan pernah habis ditulis dengan tujuh lautan tinta sekalipun.
Rony Subayu, adalah Direktur The
Qoweng Institute Jakarta