Kasus salat dwibahasa yang diprakarsai dan dipraktekkan Ustadz Mochammad
Yusman Roy dan para pengikutnya di Malang, rupanya berbuntut panjang. Tidak
puas sekadar memvonis sesat, beberapa ulama rupanya juga tak kuasa untuk tidak
mengkriminalisasi diri dan ajaran Ustaz Roy. Tapi bagaimana sesungguhnya sudut
padang fikih dalam melihat kasus Ustadz Roy, dan bagaimana pula harus menyikapi
perbedaan penafsiran dan aplikasi ajaran agama dalam sebuah negara yang
demokratis?
Kasus salat dwibahasa yang diprakarsai dan dipraktekkan Ustaz Mochammad
Yusman Roy dan para pengikutnya di Malang, rupanya berbuntut panjang. Tidak
puas sekadar memvonis sesat, beberapa ulama rupanya juga tak kuasa untuk tidak
mengkriminalisasi diri dan ajaran Ustaz Roy. Pasal karet 156 (a) KUHP tentang
penodaan agama dimanfaatkan sebagai landasan untuk memproses Ustadz Roy secara
hukum. Tapi bagaimana sesungguhnya sudut padang fikih dalam melihat kasus
Ustadz Roy, dan bagaimana pula harus menyikapi perbedaan penafsiran dan
aplikasi ajaran agama dalam sebuah negara yang demokratis? Novriantoni dari JIL
berbincang-bincang dengan Dr. Djohan Effendi, cendekiawan muslim yang kini
menjabat sebagai Ketua Umum Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP).
Berikut petikan perbincangan Rabu (11/5) lalu itu.
NOVRIANTONI: Pak Djohan, bagaimana tinjauan fikih tentang salat dengan
bahasa non-Arab?
DR. DJOHAN EFFENDI: Sebetulnya ini bukan soal baru, dan polemiknya sudah ada
sejak zaman klasik. Paling tidak, yang sudah tercatat adalah pendapat Abu
Hanifah (wafat tahun 150 H) yang membolehkan salat dengan bahasa non-Arab.
Pendapat seperti itu tercantum dalam kitab-kitab fikih klasik. Tapi saya kira,
karena kuatnya pengaruh arabisasi, maka keislaman dan kearaban itu selalu
dianggap menyatu. Tapi sesungguhnya polemik ini bukan khas Islam. Dulu, soal
bahasa apa yang absah digunakan dalam liturgi juga menjadi persoalan Gereja
Katolik. Dulunya, bahasa ibadah mereka dibatasi pada bahasa Latin yang tidak
banyak dipahami orang. Tapi kemudian, itu direformasi.
Umat Islam selalu berhujjah tentang perlunya keaslian ajaran Islam,
utamanya dalam aspek ibadah seperti salat. Apakah logika ini bisa terus
dipertahankan?
Itu karena mereka berpegang secara harfiah pada hadis nabi yang berbunyi,
“Salatlah kamu sebagaimana engkau lihat aku salat!” Mereka lupa, meski ada
hadis seperti itu, di dalam salat pun tetap saja terdapat perbedaan-perbedaan
tatacara. Dulu pernah terjadi kontroversi di kalangan Persis tentang pendapat
baru yang mengatakan bahwa setelah ruku’ kita mesti mendekapkan tangan di atas
perut. Polemik terjadi antara majalah Al-Risalah Persis Bandung dengan majalah
Al-Muslimun Bangil. Bayangkan saja, empat belas abad kemudian setelah wafatnya
Nabi saja, masih juga terjadi penemuan tentang tatacara salat, walau soalnya
terlihat remeh-temeh. Artinya soal itu sesungguhnya juga belum selesai. Karena
itu praktek salat itu bermacam-macam, apalagi kalau kita melihat langsung
berbagai macam cara orang salat di Mekkah. Lalu bagaimana menyikapi soal ini?
Apakah Nabi memang salat dengan cara yang bermacam-macam? Padahal, semuanya
merasa sudah salat sesuai dengan contoh Nabi.
Tapi itu ‘kan dalam aspek yang remeh-temeh. Sementara dalam soal bahasa,
Nabi sudah pasti salat dengan bahasa Arab?
Itu karena Nabi memang diutus di tanah Arab. Andaikata dia diutus di tanah
Jawa, sudah pasti dia akan salat dengan bahasa Jawa. Jadi faktor bahasa
hanyalah faktor budaya dan bukan bagian inti dari ibadah. Inti salat adalah
bagaimana orang bisa berkomunikasi dengan Tuhan secara mesra. Dan itu biasanya
diungkapkan dalam bentuk bahasa yang merupakan ungkapan hati. Inti dari ibadah
sebetulnya hati.
Jadi Ustadz Roy sebetulnya sedang menafsirkan makna subtantif dari salat,
yaitu bagaimana berkomuinikasi dengan Tuhan secara lebih intim?
Mungkin. Tapi tentu ada hal-hal yang sifatnya umum dan universal untuk
semua orang di dalam salat. Tetapi dalam kasus Ustradz Roy, sesungguhnya dia
tidak mengubah cara salat, tapi menambahnya dengan terjemahan Indonesia agar
orang mengerti apa yang sesungguhnya dia komunikasikan dengan Tuhan dalam
salat. Saya sendiri kalau berdoa selalu dengan bahasa Indonesia. Kalau kita
bicara tentang salat, sesungguhnya di sana ada tiga belas rukun. Ketiga belas
rukun itu bisa dikategorikan dalam tiga rukun umum. Pertama, rukun menyangkut
aspek qalbi atau niat. Kedua, rukun fi’li atau perbuatan, seperti mengangkat
tangan dalam takbir dan lainnya. Dan ketiga, rukun qauli seperti takbir, bacaan
al-Fatihah, tasyahhud, dan lain-lain. Makanya, dengan landasan itu ada yang
mengatakan bahwa kalau dalam ruku’ atau sujud, kalau kita tidak ngomong
apa-apa, juga tidak masalah. Karena itu ada yang membolehkan kita menggunakan
bahasa sendiri di dalam ruku’ atau sujud. Tapi menurut saya, Ustadz Roy
sesungguhnya juga tidak mengubah itu.
Menurut Anda, terkurangikah nilai Islam kalau salat dilakukan secara
bilingual seperti praktik Ustadz Roy? Sebab banyak orang khawatir kalau salat
saja dibahasa-indonesiakan, bagaimana yang lain?!
Itu kekhawatiran yang nantinya akan dibuktikan proses panjang sejarah. Kita
tidak tahu kelanjutan proses perubahan itu. Tapi saya memandang kasus ini hanya
sebatas usaha seorang muslim untuk memahami salat bukan sebagai ritual yang
berlalu begitu saja, tapi sebagai medium pencarian kenikmatan batin. Itulah
yang saya lihat dari apa yang dilakukan Ustadz Roy. Hal-hal seperti ini akan
menarik kalau kita kaitkan dengan kisah-kisah sufistik. Saya ingin mengambil
contoh dari dunia sufi.
Konon, Nabi Musa yang sangat ketat dalam urusan syariah pernah mendengar
seorang hamba berdo’a, “Ya Tuhan, aku ingin sekali berkhidmat pada-Mu. Aku
ingin menyisir rambut-Mu, menyuci terompah-Mu, dan mamandikan tubuh-Mu.”
Mendengar itu, Musa lalu marah dan menganggap orang tersebut menghina dan
menodai kebesaran Tuhan. Orang itu lalu berlari dari Musa, tapi Musa justru
dibentak oleh Tuhan, “Mengapa Engkau bentak hamba-Ku. Dia hanya ingin mendekat
pada-Ku, dan dengan cara itulah dia menemukan rasa kedekatannya pada-Ku. Karena
itu, janganlah kamu bentak dia!” Moral
dari cerita ini: kita jangan hanya terpaku pada hal-hal yang lahiriah dari
ibadah, karena unsur kedekatan dengan Tuhan itu tidak bisa dinilai dari aspek
yang lahiriah saja.
Dan Ustadz Roy sudah mengatakan akan mempertanggungjawabkan ajarannya di
dunia dan di akhirat. Mestinya dia tidak perlu dicerca dan dikriminalisasi, ya?
Sebetulnya ada cara pemecahan dalam soal perbedaan seperti ini. Dalam
Alquran sendiri disebutkan, “Kalau kalian bersilang-selisih dalam suatu
perkara, kembalikan saja kepada Allah dan rasul-Nya!” Jadi, kita mesti
mengembalikan persoalannya pada Allah dan rasul-Nya, bukan kepada Alquran dan
Sunnah sebagaimana banyak ditafsirkan orang. Sebab kalau dikembalikan lagi pada
Alquran dan Sunnah, orang akan kembali
berbeda-beda penafsiran. Karena itu, kembalikan saja peradilannya pada
Allah dan rasul-Nya. Dialah yang kelak akan menentukannya.
Nah, sebetulnya apa yang diungkapkan Ustadz Roy itu juga sebentuk mubâhalah
atau sumpah. Itu ‘kan upaya mengembalikan penghakimannya kepada Tuhan. Jadi
Tuhanlah yang nantinya akan menentukan apakah dia sesat atau tidak. Kalau dia
memang sesat, tentu Tuhan sudah menyediakan sanksi-Nya.
Sayangnya, kaum fikih selalu menafsirkan ayat itu sebagai ajakan untuk
kembali pada Alquran dan Sunnah. Tapi dengan begitu kita kembali lagi berdebat
tanpa ada ujung. Padahal, urusan memvonis sesat atau tidak itu adalah hak
prerogatif Allah. Bagi saya, kalau kita mengambil hak Allah, itu sudah
perbuatan yang melebihi syirik. Itu sudah meng-coupt d ’etat Tuhan. Bahkan Nabi
Muhammad pun pernah ditegur Allah dengan ayat “Lasta `alaihim bimusaithir” atau
kamu tidak akan pernah bisa mengontrol keyakinan orang lain. Dan soal ibadah
memang menyangkut keyakinan orang, dan itu memerlukan ketulusan. Bagi saya, apa
yang dikerjakan Ustadz Roy tak lebih ungkapan keikhlasan dan ketulusan hatinya
dalam beribadah.
Pak Djohan, kalau tidak salah, dulu khutbah Jumat dan ‘Id juga diwajibkan
berbahasa Arab, tanpa memperdulikan paham tidaknya audiens. Mungkin karena
tidak ada hadis khususnya, tradisi itu bisa diubah, ya?!
Ya. Dan dalilnya pun hampir seperti itu. Karena khutbah Jumat bagian dari
salat Jumat, dan salat Jumat berbahasa Arab, maka kutbahnya juga mesti
berbahasa Arab. Tapi akhirnya dalil itu kembali ditafsirkan. Makanya bagi saya,
yang bahaya dari apa yang terjadi sekarang adalah soal pelembagaan agama dan
menjadikannya sebagai institusi yang bisa memaksa.
Lebih dari itu, kita punya pasal karet tentang penodaan agama [pasal 156 (a)
KUHP] yang diberlakukan secara semena-mena!
Itu juga. Tapi perlu diingat juga bahwa para ulama sudah bersepakat bawa
fatwa agama itu bersifat tidak mengikat. Kalau tidak mengikat, mengapa harus
dijadkan delik aduan kepada polisi?! Mestinya Ustadz Roy tidak bisa
dikriminalisasi dan dilaporkan ke polisi. Ambillah analogi dari fatwa MUI
tentang syubhatnya bank konvensioal. Nah, apakah setelah adanya fatwa itu MUI
lalu harus menghukum orang-orang yang masih berhubungan dengan bank
konvensional? Analoginya ‘kan bisa begitu?! Mereka sudah mengatakan bahwa bunga
bank konvensional adalah haram. Tapi apakah dengan begitu bank-bank
konvensional harus dibubarkan? Karena itu, mestinya fatwa MUI hanya mengikat
secara moral. Dia bisa saja punya pendapat tentang sesat-tidaknya suatu paham
agama, tapi dia tidak bisa memaksakan pandapatnya. Itu sudah di luar otoritas
MUI.
Menurut Anda, apakah pasal 156 (a) KUHP soal penodaan agama ini masih
relevan dalam sebuah negara demokratis?
Tidak! Apa yang dimakud dengan penodaan agama? Kalau saya tidak salah, di
tahun 1960-an pernah juga ada Inpres soal penodaan agama ketika banyaknya
bermunculan aliran-aliran klenik yang aneh-aneh. Tapi itu selalu dipakai untuk
alasan yang macam-macam. Kalau orang berbeda pendapat soal penafsiran agama,
pasal itu lalu digunakan semena-mena. Lama-lama kita menulis artikel agama di
koran saja bisa dikriminalkan. Padahal, kita semua berhak mengajukan paham kita
tentang agama, Alquran, dan lainnya. Kita ‘kan tidak hanya disuruh membaca
Alquran, tapi juga berusaha memahaminya. Kalau kita tidak memahaminya seperti
di dalam salat, kita akan terkena ayat “Wailun lil mushallîn, alladzîna hum `an
shalâtihim sâhûn” (celakalah orang-orang yang mengerjakan salat tapi mereka
alpa di dalam salatnya!). Jadi, kata sâhûn itu bisa juga diartikan tidak mampu
memahami apa yang dia baca di dalam salat. Karena itu, logis juga kalau Abu
Hanifah membolehkan salat tidak dengan bahasa Arab, biar kita tidak sâhûn. Nah,
Ustadz Roy ini saya kira tidak ingin masuk ke dalam kelompok yang sâhûn tadi.
Dalam kasus Ustadz Roy, yang bermasalah bagi saya adalah orang-orang yang
memaksakan pemahaman agamanya kepada orang lain. Ini yang saya tidak setujui
dan memang faktual tidak bisa. Bagi saya, itu sebuah kesombongan. Ulama-ulama
dulu saya kira tidak begitu. Kalau berbeda pendapat, mereka menuliskan
argumennya. Dulu perseteruan antara Persis dan Muhammadiyah juga cukup
menggegerkan Indonesia. Tapi ketika berbeda, mereka tidak lalu meminta
Pemerintahan Belanda untuk melarang atau mencekal salah satunya. Mereka
berdebat dalam banyak hal. Terhadap kelompok Ahmadiyah, mereka juga berdebat
dan berpolemik di koran-koran dan majalah, tapi mereka tidak pernah meminta
otoritas pemerintah untuk memberangus atau menangkap salah satunya. Artinya, lewat
buku-buku yang mereka karang itu, masyarakat tahu dalil masing-masing. Jadi
lebih bersifat intelektuil dan beradab.
Kemarin, perwakilan PKS, HTI, dan MMI mendatangi Ustadz Roy sambil
menyatakan tidak bertanggungjawab kalau massa dari Pasuruan datang ke Pesantren
Ustadz Roy. Pertanyaan saya, kapan masyarakat bisa memandang polemik seperti
ini sebagai kontestasi gagasan agama yang tidak perlu diteror?
Saya rasa ini karena hilangnya kearifan dan kemampuan berargumentasi.
Karena itu yang diutamakan adalah otot. Selain itu, mereka juga tergoda untuk
mengambil jalan pintas. Mereka ingin orang lain selalu sama dengan pikiran
mereka. Jadi ada keinginan untuk menguasai dan mengontrol jalan pikiran orang.
Gejala ini bagi saya amat berbahaya, karena tindak otoriter sudah terjadi dalam
soal rohani dan pemikiran. Mestinya peradilannya diserahkan pada Tuhan saja,
karena Ustadz Roy sendiri sudah mengingingkan itu. Ustadz Roy hanya bisa
dilaporkan ke polisi kalau dia benar-benar mengganggu keamaman.
Tapi banyak yang menilai Ustadz Roy telah memicu ketidaknyamanan keyakinan
publik?
Tidak bisa begitu, karena dia hanya berpikir dan tidak melakukan tindak
kriminal apa-apa. Kalau pikiran seseorang selalu dianggap sebagai pemicu
ketidaknyamanan publik, kita akan repot sekali. Setiap orang berbeda pendapat
dengan mainstream nantinya bisa saja ditangkap. Intinya, seburuk dan sesesat
apapun sebuah pemikiran, dia tidak bisa dikriminalisasi. Sebab, perkara seperti
itu akan selalu mengalami jalan buntu.
Banyak orang kuatir praktik salat bilingual ini akan tersebar. Bagaimana
prospek persebarannya menurut Bapak?
Saya kira akan ada banyak orang yang akan tertarik. Sebab, selama ini
mereka merasa melakukan salat secara mekanik saja. Dan sekarang ada tawaran
yang cukup menarik agar orang tidak lagi salat secara mekanistik. Jadi kita
diajak untuk salat tidak lagi seperti memutar kaset secara berulang-ulang. Saya
kira nilai penghayatan dalam dua cara salat itu akan lain sekali.
Anda berasumsi bahwa salat dengan bahasa sendiri itu akan lebih menyentuh?
Ya. Salat itu ‘kan sebentuk do’a. Dan lazimnya, sebuah do’a adalah
kontekstual dengan masalah yang sedang kita hadapi. Memang selalu ada soal-soal
yang harus bersifat universal dan umum. Tapi dalam berdo’a, kita tentu meminta
sesuai dengan apa yang menjadi kebutuhan kita. Karena itu, apa yang dido’akan
imam dalam sebuah salat berjamaah, tidak mesti kita amini kalau tidak sesuai
dengan kebutuhan kita. Dalam berdo’a, saya sendiri tidak senang terkait dengan
hal-hal yang bersifat formalistik seperti itu. Sebab keberagamaan dan ibadah
itu menyangkut persoalan batin. Karena itu, jangan sampai kita berpretensi akan
mampu mengatur batin dan pikiran orang. Saya kira usaha itu tidak akan pernah
bisa.
Anda keberatan kalau Ustadz Roy dikatakan sesat?
Ya. Sebab itu urusan Tuhan semata. Penentuan sesat tidak sesat itu adalah
hak prerogatif Tuhan. Kita sendiri juga belum tentu tidak sesat. Di situlah
relevansi do’a kita selama tujuh belas kali di dalam salat: “Ihdinas shirâtal
mustaqîm!”, atau “Tunjukkan kami jalan yang lurus!” Jadi kita ini terus menerus
mencari jalan lurus dan belum pernah final. Orang-orang yang memvonis sesat,
selalu merasa proses pencarian mereka sudah final. Bagi saya tidak begitu.
Secara pribadi, saya selalu merasa berkomunikasi langsung dengan Tuhan
ketika sedang menjalankan ibadah tertentu. Jadi benar dan salahnya biar Tuhan
yang menilai. Misalnya, saya berpendapat bahwa minum obat ketika puasa tidak
akan membatalkan puasa saya, dan itu saya negosiasikan langsung kepada Allah.
Sebab, saya menanggap yang membatalkan puasa adalah makan yang mengenyangkan.
Karena itu, hukumnya langsung saja saya serahkan kepada Tuhan.
Artinya, inti beragama dan bertuhan itu sebetulnya bagaimana
mengintensifkan komunikasi langsung dengan Tuhan tanpa perantara siapapun?
Betul. Karena itu, istilah “tidak ada sistem klerik dalam Islam” atau “lâ
rahbâniyyah fil Islâm” itu sebetulnya di situ. Dan karena itu pula, mereka yang
mendaku otoritas agama, sebetulnya juga berambisi menjadi pendeta-pendeta Islam,
walau secara retorik mengaku tidak ada sistem kependetaan di dalam Islam.
Secara faktual, mereka merasa berhak menentukan betul-salahnya keberagamaan
kita, walaupun itu bertentangan dengan paham Islam sendiri. Mestinya, otoritas
ulama hanyalah otoritas moral dan intelektual. Jadi mereka tidak punya otoritas
koersif atau yang mampu memaksa. Sebab fikih sendiri sebetulnya merupakan kitab
pendapat. Karena itu para ulama menetapkan bahwa fatwa agama itu bersifat tidak
mengikat. Kalau mau yang mengikat, lebih baik mengambil otoritas politik!
Dr. Djohan Effendi:
Dr. Djohan Effendi:
16/05/2005