Oleh Syamsuddin Arief *)
Belum lama ini aqidah Umat Islam diserang lagi. Kali ini sasarannya, (lagi-lagi) kitab suci Al-Qur'an. Tidak mengherankan, sebab di antara kitab-kitab suci, Al-Qur'an merupakan satu-satunya yang dengan tegas menyatakan dirinya bersih dari keraguan (laa rayba fiihi), dijamin keseluruhannya (wa innaa lahuu la-haafizhuun), dan tiada tandingannya. Lebih dari itu, Al-Qur'an ibarat kompas pedoman arah dan penunjuk jalan, laksana obor penerang dalam kegelapan.
Mereka ingin Umat Islam melakukan apa yang mereka lakukan : menggugat, mempersoalkan ataupun mengutak-atik yang sudah jelas dan mapan, sehingga timbul keraguan terhadap yang sah dan benar.
Untuk memberi kesan seolah-olah obyektif dan autoritatif, orientalis-missionaris ini biasanya "berkedok" sebagai pakar (scholars/expert) dalam bahasa, sejarah, agama dan kebudayaan Timur, baik yang 'jauh' (Far Eastern, seperti Jepang, Cina dan India) maupun yang 'dekat' (Near Estern, seperti Persia, Mesir, dan Arabia).
Orientalis dan Al-Qur'an
Pada tahun 1927, Alphonse Mingana, pendeta Kristen asal Iraq dan guru besar di Universitas Birmingham Inggris, mengumumkan bahwa "sudah tiba saatnya sekarang untuk melakukan kritik teks terhadap Al-Qur'an sebagaimana yang telah kita lakukan terhadap kitab suci Yahudi yang berbahasa Ibrani-Arami dan kitab suci Kristen yang berbahasa Yunani (The time has surely come to subject the text of the Koran to the same criticism as that to which we subject the Hebrew and Aramaic of the Jewish Bible, and the Greek of the Christian scriptures)."
Mengapa missionaris satu ini menyerukan hal demikian? Seruan semacam ini dilatar-belakangi oleh kekecewaan orang Kristen dan Yahudi terhadap kitab suci mereka dan disebabkan oleh kecemburuan mereka terhadap umat Islam dan kitab suci Al-Qur'an. Perlu diketahui bahwa mayoritas cendekiawan Kristen sudah lama meragukan otentisitas Bibel.
Mereka terpaksa menerima kenyataan pahit bahwa Bibel yang ada di tangan mereka sekarang ini terbukti bukan asli alias 'aspal'.
Terlalu banyak campur-tangan manusia di dalamnya, sehingga sulit untuk membedakan mana yang benar-benar wah{yu dan mana yang bukan. Sebab, sebagaimana ditegaskan oleh Kurt Aland dan Barbara Aland dalam "The Text of the New Testament" (1995), mengatakan;
"Until the beginning of the fourth century, the text of the New Testament developed freely….Even for later scribes, for example, the parallel passages of the Gospels were so familiar that they would adapt the text of one Gospel to that of another.
They also felt themselves free to make corrections in the text, improving it by their own standard of correctness, whether grammatically, stylistically, or more substantively.” St. Jerome juga dikatakan mengeluh soal banyaknya penulis Bibel yang “wrote down not what they find but what they think is the meaning; and while they attempt to rectify the errors of others, they merely expose their own.”
Kecewa dengan kenyataan semacam itu, R. Bentley, Master of Trinity College pada tahun 1720 menghimbau Umat Kristen agar mencampakkan kitab suci mereka, yakni naskah Perjanjian Baru versi Paus Clement 1592 (“…the ‘textus receptus’ to be abandoned altogether”!).
Seruan tersebut dilanjutkan dengan munculnya “edisi kritis” Perjanjian Baru hasil ‘utak-atik’ Brooke Foss Westcott (1825-1903) and Fenton John Anthony Hort (1828-1892).
Tentu saja Mingana bukan yang pertama kali melontarkan himbauan semacam itu, dan ia juga tidak sendirian.
Jauh sebelum itu, tepatnya pada 1834 di Leipzig, seorang orientalis Jerman bernama Gustav Fluegel menerbitkan ‘mushaf’ hasil kajian filologinya. Naskah yang ia namakan Corani Textus Arabicus tersebut sempat dipakai "tadarrus" oleh sebagian aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL).
Kemudian datang Theodor Noeldeke yang berusaha merekonstruksi sejarah Al-Qur'an dalam karyanya Geschichte des Qorans (1860), sebuah upaya yang belakangan ditiru oleh Taufik Adnan Amal, juga dari Jaringan Islam Liberal.
Lalu pada tahun 1937 muncul Arthur Jeffery yang ingin mendekonstruksi al-Mushaf al-Uthmani dan membuat mushaf baru. Orientalis asal Australia yang pernah mengajar di American University, Cairo dan menjadi guru besar di Columbia University ini, konon ingin merekonstruksi teks Al-Qur'an berdasarkan Kitab al-Masahif karya Ibn Abi Dawuud as-Sijistaani yang ia anggap mengandung bacaan-bacaan dalam mushaf tandingan (yang ia istilahkan dengan ‘rival codices’).
Jeffery bermaksud meneruskan usaha Gotthelf Bergstraesser dan Otto Pretzl yang pernah bertungkus-lumus (bekerja keras) mengumpulkan foto lembaran-lembaran (manuskrip) Al-Qur'an dengan tujuan membuat edisi kritis Al-Qur'an (tetapi gagal karena semua arsipnya di Munich musnah saat Perang Dunia ke-II berkecamuk), sebuah ambisi yang belum lama ini di-echo-kan oleh Taufik Amal dari JIL.
Saking antusiasnya terhadap qira’aat-qira’aat pinggiran alias ‘nyleneh’ (Nichtkanonische Koranlesarten) Bergstraesser lalu mengedit karya Ibn Jinni dan Ibn Khalaawayh.
Bagi para orientalis ini, ‘isnaad’ tidak penting dan, karena itu, riwayat yang ‘shaadh’ bisa saja dianggap ‘sahih’, yang ‘aahaad’ dan ‘ghariib’ bisa saja menjadi ‘mutawaatir’ dan ‘mashhuur’, dan yang cacat disamakan dengan yang sempurna.
Yang demikian itu merupakan teknik dan strategi utama mereka menjungkir-balikkan kriteria dan nilai, menyepelekan yang fundamental dan menonjolkan yang ‘trivial’.
Maka yang digembar-gemborkan adalah isu naasikh-mansuukh, soal adanya surat tambahan versi kaum Shi’ah, isu “Gharaaniq” dan lain sebagainya.
Ada pula yang apriori mau merombak susunan ayat dan surah Al-Qur'an secara kronologis, mau "mengoreksi" bahasa Al-Qur'an ataupun ingin merubah redaksi ayat-ayat tertentu.
Kajian orientalis terhadap Al-Qur'an tidak sebatas mempersoalkan otentisitasnya. Isu klasik yang selalu diangkat adalah soal pengaruh Yahudi, Kristen, Zoroaster, dan lain sebagainya terhadap Islam dan isi kandungan Al-Qur'an (theories of borrowing and influence), baik yang mati-matian berusaha mengungkapkan apa saja yang bisa dijadikan bukti bagi ‘teori pinjaman dan pengaruh’ tersebut—seperti dari literatur dan tradisi Yahudi-Kristen (Abraham Geiger, Clair Tisdall, dan lain-lain)—maupun yang membandingkannya dengan adat-istiadat Jaahiliyyah, Romawi dan lain sebagainya.
Biasanya mereka akan mengatakan bahwa cerita-cerita dalam Al-Qur'an banyak yang keliru dan tidak sesuai dengan versi Bible yang mereka anggap lebih akurat.
Sikap anti-Islam ini tersimpul dalam pernyataan ‘miring’ seorang orientalis Inggris yang banyak mengkaji karya-karya suufi, Reynold A. Nicholson.
Kata Nicholson, “Muhammad picked up all his knowledge of this kind [i.e. Al-Qur'an] by hearsay and makes a brave show with such borrowed trappings—largely consisting of legends from the Haggada and Apocrypha.”
Namun ibarat buih, segala usaha mereka muncul dan hilang begitu saja, tanpa pernah berhasil merubah keyakinan dan penghormatan mayoritas Umat Islam terhadap kitab suci Al-Qur'an, apalagi sampai membuat mereka murtad.
Khayalan Orientalis
Al-Qur'an merupakan target utama serangan missionaris dan orientalis Yahudi-Kristen, setelah mereka gagal menghancurkan siirah dan sunnah Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa-sallam.
Mereka mempertanyakan status kenabian Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam, meragukan kebenaran riwayat hidup beliau dan menganggap sirah beliau tidak lebih dari sekedar legenda dan cerita fiktif. Demikian pendapat Caetani, Wellhausen, dan konco-konco-nya.
Karena itu mereka sibuk untuk merekonstruksi biografi Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam khususnya, dan sejarah Islam umumnya. Mereka ingin umat Islam melakukan hal yang sama seperti mereka telah lakukan terhadap Nabi Musa dan Nabi ‘Isa alaihimas salam (a.s). Bagi mereka ‘Moses’ cuma tokoh fiktif (invented, mythical figure) dalam dongeng Bibel, sementara tokoh ‘Jesus’ masih diliputi misteri dan cerita-cerita isapan-jempol.
Kalau ada upaya pencarian ‘Jesus historis’, mengapa tidak ada usaha menemukan fakta sejarah tentang Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam? Maka Arthur Jeffery pun menulis The Quest of the Historical Mohammad, di mana ia tak sungkan-sungkan menyebut Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam sebagai “kepala perampok” (robber chief).
Diteruskan kemudian oleh F.E. Peters, dan belum lama ini oleh orang dengan nama samaran “Ibn Warraaq.”
Missionaris-orientalis tersebut tidak menyadari bahwa tulisan mereka sebenarnya hanya menunjukkan hatred (kebusukan-hati) dan kebencian mereka terhadap tokoh dan agama yang mereka kaji, sebagaimana disitir oleh seorang pengamat : “The studies carried out in the West … have demonstrated only one thing : the anti-Muslim prejudice of their authors.”
Sikap semacam ini juga nampak dalam kajian mereka terhadap hadits. Mereka menyamakan Sunnah dengan tradisi apokrypha dalam sejarah Kristen atau tradisi Aggada dalam agama Yahudi.
Dalam khayalan mereka, teori evolusi juga berlaku untuk hadits; mereka berspekulasi bahwa apa yang dikenal sebagai hadits muncul beberapa ratus tahun sesudah Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wasallam wafat, artinya bahwa hadits mengalami beberapa tahap evolusi.
Nama-nama dalam rantai periwayatan (sanad) mereka anggap tokoh fiktif. Penyandaran suatu hadits secara sistematis (isnad), menurut mereka, baru muncul pada zaman al-Daulah al-Abbaasiyah. Karena itu, mereka beranggapan bahwa dari sekian banyak hadits hanya sedikit saja yang otentik, sementara sisanya kebanyakan palsu.
Demikian pendapat Goldziher, Margoliouth, Schacht, Cook, dan para pengikutnya. Orientalis-missionaris ini inginkan umat Islam membuang tuntunan Rasulullah sallallahu 'alaihi wa-sallam sebagaimana orang Kristen meragukan dan akhirnya mencampakkan ajaran Yesus.
Otentisitas Al-Qur'an
Kembali ke masalah otentisitas kitab suci Al-Qur'an, ada beberapa hal yang perlu digarisbawahi dan perlu senantiasa diingat. Pertama, pada prinsipnya Al-Qur'an bukanlah ‘tulisan’ (rasm atau writing) tetapi merupakan ‘bacaan’ (qira’ah atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan.
Baik proses turun-(pewahyuan)-nya maupun penyampaian, pengajaran dan periwayatan-(transmisi)-nya dilakukan melalui lisan dan hafalan, bukan tulisan.
Dari dahulu, yang dimaksud dengan ‘membaca’ Al-Qur'an adalah “membaca dari ingatan (qara’a ‘an zhahri qalbin; to recite from memory).”
Adapun tulisan berfungsi sebagai penunjang semata. Sebab ayat-ayat Al-Qur'an dicatat—yakni, dituangkan menjadi tulisan diatas tulang, kayu, kertas, daun, dan lain sebagainya—berdasarkan hafalan, bersandarkan apa yang sebelumnya telah tertera dalam ingatan sang qari’muqri’.
Proses transmisi semacam ini, dilakukan dengan isnaad secara mutawaatir dari generasi ke generasi, terbukti berhasil menjamin keutuhan dan keaslian Al-Qur'an sebagaimana diwahyukan oleh Malaikat Jibrial a.s kepada Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam dan diteruskan kepada para Sahabat, demikian hingga hari ini.
Ini berbeda dengan kasus Bibel, di mana tulisan—manuscript evidence dalam bentuk papyrus, scroll, dan sebagainya—memegang peran utama dan berfungsi sebagai acuan dan landasan bagi Testamentum alias Gospel.
Jadi seluruh kekeliruan dan kengawuran orientalis bersumber dari sini. Orang-orang seperti Jeffery, Wansbrough dan Puin, misalnya, berangkat dari sebuah asumsi keliru, menganggap Al-Qur'an sebagai ‘dokumen tertulis’ atau teks, bukan sebagai ‘hafalan yang dibaca’ atau recitatio. Dengan asumsi keliru ini (taking “the Qur’an as Text”) mereka lantas mau menerapkan metode-metode filologi yang lazim digunakan dalam penelitian Bibel, seperti historical criticism, source criticism, form criticism, dan textual criticism.
Akibatnya, mereka menganggap Al-Qur'an sebagai produk sejarah, hasil interaksi orang Arab abad ke-7 dan 8 M dengan masyarakat sekeliling mereka. Mereka mengatakan bahwa mushaf yang ada sekarang tidak lengkap dan berbeda dengan aslinya (yang mereka sendiri tidak tahu pasti!), dan karena itu mereka lantas mau membuat edisi kritis, merestorasi teksnya, mau membuat naskah baru berdasarkan manuskrip-manuskrip yang ada.
Syamsuddin Arief, PhD, lulusan ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, peneliti INSISTS, dan tengah mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya. Tulisan ini diambil dari Jurnal Kajian Pemikiran Islam AL-INSAN Vol. 1 Tahun I, Jakarta
Al-Qur'an, Orientalisme
dan Luxenberg (bag.2)
Kalangan orientalis sering mengutak-atik Al-Qur'an. improvisasi liar seperti yang direka-reka oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Para orieentalis juga sering menyamakan Al-Qur'an dengan Bibel. Diakui sendiri oleh Karl-Heinz Ohlig, dalam "Neue Wege der Koranforschung" (Saarbruecken: Universitaet des Saarlandes, 1999) mengatakan;
"Ein Blick darauf, wie in den vierzig Jahren bis zur Entstehung des Markusevangeliums Predigt und Leben Jesu kerygmatisch umgeformt und durch Gemeindetradition angereichnet wurden, so dass der historische Jesus kaum noch zu erkennen ist, mag zeigen, wie auch die Mohammedueberlieferung variiert worden sein koennte." (Bercermin dari [sejarah Kristen], di mana ajaran dan riwayat hidup Yesus dibentuk secara kerygmatis dan dibangun melalui tradisi [yang berkembang] dalam komunitas [para pengikutnya] selama 40 tahun sampai munculnya Injil Markus, sehingga Yesus sejarah [yang sesungguhnya] nyaris mustahil untuk diketahui, maka [bercermin dari kasus ini] boleh jadi tradisi [riwayat-riwayat] mengenai Nabi Muhammad sallallaahu 'alaihi wa-sallam pun [yakni Al-Qur'an dan Hadits] melalui proses serupa).
Kedua, meskipun pada prinsipnya diterima dan diajarkan melalui hafalan, Al-Qur'an juga dicatat dengan menggunakan berbagai medium tulisan.
Hingga wafatnya Rasulullah sallallaahu 'alaihi wa-sallam, hampir seluruh catatan-catatan awal tersebut milik pribadi para Sahabat Nabi, dan karena itu berbeda kualitas dan kuantitasnya satu sama lain.
Karena untuk keperluan masing-masing (for personal purposes only), banyak yang menuliskan catatan tambahan sebagai keterangan atau komentar (tafsir/glosses) di pinggir ataupun di sela-sela ayat yang mereka tulis.
Baru kemudian, menyusul susutnya jumlah penghafal Al-Qur'an karena gugur di medan perang, usaha kodifikasi (jam') pun dilakukan oleh sebuah tim yang dibentuk atas inisiatif Khaliifah Abuu Bakr as-Siddiiq r.a hingga Al-Qur'an terkumpul dalam satu mushaf, berdasarkan periwayatan langsung (first-hand) dan mutawaatir dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam.
Setelah wafatnya Abu Bakr r.a (13H/634M), mushaf tersebut disimpan oleh Khalifah Umar r.a sampai beliau wafat (23H/644M), lalu disimpan oleh Hafsah, sebelum kemudian diserahkan kepada Khaliifah Utsman r.a.
Pada masa inilah, atas desakan permintaan sejumlah Sahabat, sebuah tim ahli sekali lagi dibentuk dan diminta mendata kembali semua qira'aat yang ada, serta meneliti dan menentukan nilai kesahihan periwayatannya untuk kemudian melakukan standardisasi demi mencegah kekeliruan dan perselisihan.
Hasilnya dibukukan dalam beberapa mushaf standar yang masing-masing mengandung qiraa'aat mutawaatirah yang disepakati kesahihan periwayatannya dari Nabi sallallahu 'alaihi wa-sallam.
Jadi sangat jelas fakta sejarah dan proses kodifikasinya.
Para orientalis yang ingin mengutak-atik Al-Qur'an biasanya akan mulai dengan mempertanyakan fakta ini dan menolak hasilnya. Mereka menganggap sejarah kodifikasi tersebut hanya kisah fiktif, dan mengatakan bahwa proses kodifikasi baru dilakukan pada abad ke-9 M.
Jeffery, misalnya, seenaknya mengatakan, "That he [i.e. Abu Bakr ra.] ever made an official recension as the orthodox theory demands is exceedingly doubtful." Ia juga mengklaim bahwa "…the text which Uthman canonized was only one out of many rival texts, and we need to investigate what went before the canonical text."
Di sini kelihatan Jeffery tidak mengerti atau sengaja tidak peduli bahwa Al-Qur'an tidak sama dengan Bibel; Al-Qur'an bukan lahir dari manuskrip, tapi sebaliknya : manuskrip lahir dari Al-Qur'an.
Ketiga, salah-faham tentang rasm dan qira'at. Sebagaimana diketahui, tulisan Arab atau khat{ mengalami perkembangan sepanjang sejarah. Pada kurun awal Islam, Al-Qur'an ditulis 'gundul', tanpa tanda-baca sedikitpun.
Sistem vokalisasi baru diperkenalkan kemudian. Meskipun demikian, rasm Utsmaani sama sekali tidak menimbulkan masalah, mengingat kaum Muslimin saat itu belajar Al-Qur'an langsung dari para Sahabat, dengan cara menghafal, dan bukan dari tulisan. Mereka tidak bergantung pada manuskrip atau tulisan.
Jadi orientalis seperti Jeffery dan Puin telah salah-faham dan keliru, lalu menyimpulkan sendiri bahwa teks gundul inilah sumber variant readings-sebagaimana terjadi dalam kasus Bibel-serta keliru menyamakan qira'aat dengan 'readings', padahal qira'aat adalah 'recitation from memory' dan bukan 'reading the text'.
Mereka tidak tahu bahwa dalam hal ini kaedahnya adalah: tulisan harus mengacu pada bacaan yang diriwayatkan dari Nabi sallallaahu 'alaihi wa-sallam ("ar-rasmu taab'iun li ar riwaayah") dan bukan sebaliknya.
Orientalis juga salah-faham mengenai rasm Al-Qur'an. Dalam bayangan keliru mereka, munculnya bermacam-macam qira'aat disebabkan oleh rasm yang sangat sederhana itu, sehingga setiap pembaca bisa saja berimprovisasi dan membaca "sesuka-hatinya".
Padahal ragam qira'aat telah ada lebih dahulu sebelum adanya rasm. Mereka juga tidak mengerti bahwa rasm Al-Qur'an telah disepakati dan didesain sedemikian rupa sehingga dapat mewakili dan menampung perbagai qira'aat yang diterima. Misalnya, dengan menyembunyikan (hadhf) alif pada kata-kata berikut :
1. "m-l-k" (QS. 1:4) demi mengakomodasi qira'at 'Aasim, al-Kisa'i, Ya'qub dan Khalaf ("maaliki"-panjang), sekaligus qira'ast Abu 'Amr, Ibnu Katsir, Nafi', Abu Ja'far, dan Ibnu 'Amir ("maliki"---pendek).
2- "y-kh-d-'-w-n" (QS. 2:9) sehingga memungkinkan dibaca "yukhaadi'uuna" (berdasarkan qira'at Nafi', Ibnu Katsir dan Abu 'Amr) dan "yakhda'uuna" (mengikut qira'at 'Ashim, al-Kisa'i, Ibnu 'Amir dan Abu Ja'far)
3. "w-'-d-n-' " (QS. 2:51) ditulis demikian untuk menampung qira'at Abu 'Amr, Abu Ja'far, Ya'qub ("wa'adnaa"--pendek, tanpa alif setelah waw) dan qira'aat Ibnu Katsir, 'As{im, Al-Kisaa'i serta Ibnu 'Amir ("waa'adnaa"-waw panjang, dengan alif).
Mungkin ada yang bertanya : Apakah semua qira'aat yang ada telah tertampung oleh rasm Uthmani? Adakah qira'aat mutawaatirah yang tidak terwakili oleh rasm Utsmaani?
Apakah naskah-naskah yang dikirim oleh Khalifah Uthman r.a ke berbagai kota (Mekkah, Basrah, Kufah, Damaskus) seragam rasm-nya dan sama dengan yang ada di Madinah atau berbeda-beda, yakni sesuai dengan harf atau qira'at yang dominan di kota tersebut?
Perlu ditegaskan bahwa pada prinsipnya, tidak ada qira'aat mutawaatir yang tidak terwakili, semuanya telah ditampung oleh rasm Utsmaani, sebab para ulama sepakat tentang syarat-syarat diterimanya sebuah qira'aat yaitu : (1) Diriwayatkan secara mutawaatir, (2) Sesuai dengan rasm mushaf Utsmaani atau-lebih tepatnya-sesuai dengan salah satu dari 6 masaahif rasm Utsmaani (yakni yang dikirim ke Mekkah, Basrah, Kuufah, Damaskus, Madiinah, dan yang disimpan oleh Khaliifah Utsmaan r.a sendiri). (3) Sesuai dengan salah satu kaidah bahasa Arab.
Di sini, yang dimaksud dengan syarat "sesuai dengan salah satu masaahif rasm Utsmaani" adalah "sesuai dengan qira'aat yang ditulis dalam mushaf tertentu, meskipun tidak pada yang lain" (Contohnya, QS 26:217).
Dalam mushaf yang dikirim ke Madiinah dan Syaam (Damaskus) tertulis "fa-tawakkal" (dengan fa'-sesuai dengan qira'aat yang diriwayatkan oleh Naafi', Ibnu 'Amir, Abuu Ja'far), sementara dalam mushaf yang lain (Mekkah, Basrah, Kuufah) tertulis "wa-tawakkal" (dengan waw--mengikut qira'aat 'Aashim, Ibnu Kathiir, Abuu 'Amru, dan al-Kisaa'i).
Perlu ditegaskan bahwa dalam kaitannya dengan orthografi mushaf ini, secara umum qira'aat yang diterima karena telah memenuhi tiga syarat di atas dapat dikategorikan sebagai berikut:
1. Dua qira'at yang berbeda, tapi ditulis dengan salah satunya, seperti "s-r-t" (siraat), "y-b-s{-t{" (yabsutu), "m-s-y-t-r" (musaythir). Semuanya ditulis dengan shaad, padahal aslinya siin, maka dibaca dengan shaad sesuai rasm, dan juga dibaca dengan siin sesuai asal katanya.
2. Dua qira'aat atau lebih yang berbeda, tapi ditulis dengan satu bentuk rasm yang bisa menampung semuanya, seperti rasm "k-b/t-r" yang mewakili dua qira'aat "Qul fii-hima ithmun kabiir/kathiir" (QS. 2:219), sebab dalam rasm Utsmaani semuanya ditulis tanpa titik, baris atau harakat. Contoh lainnya dalam QS. Al-Hujuraat ayat 6 : rasm "f-t-b/th-y/b-n/t-w-" dapat menampung dua qiraat sekaligus : "fa-tabayyanuu" dan "fa-tathabbatuu."
3. Kata atau kalimat dalam qira'aat yang mengandung tambahan atau pengurangan dan tidak mungkin ditulis dua kali atau lebih karena akan tercampur dan dapat mengacaukan. Misalnya (QS. 26 : 217) tersebut di atas. Contoh lainnya dalam QS. 2 : 132, di mana terdapat dua qira'aat : "wa wassaabihi" dan "wa awshaa." Yang pertama dibaca oleh selain Nafi', Ibnu 'Amir dan Abu Ja'far, sehingga dalam mushaf yang dikirim ke Syaam dan Madiinah tertulis : "wa awshaa," sementara dalam mushaf yang dikirim ke Kuufah dan Bashrah ditulis tanpa alif, "wa washshaa".
Yang masuk kategori ketiga cukup banyak. Sebagaimana ditegaskan oleh Prof. Dr. Sha'baan Muhammad Ismaaiil dari Universitas al-Azhar, jumlah qira'aat yang ditulis dengan rasm berbeda-beda dalam mushaf Utsmaan, tanpa pengulangan, mencapai 58 kata. Dari sini jelas, masahif yang dikirim oleh Khaliifah Utsmaan r.a ke berbagai kota itu beragam rasmnya, sesuai dengan bacaan Sahabat yang diutus untuk mengajarkannya. Namun demikian tetap saja bacaan tidak bergantung pada teks.
Dan memang, qira'aat Sahabat (yang dikirim ke sebuah kota) atau perawinya tidak otomatis sama dengan mushaf yang beredar di kota itu, tetapi pada umumnya sama. Boleh saja seorang Imaam atau perawi membacanya sesuai dengan riwayat dan rasm yang ada di mushaf kota lain.
Contohnya, Imam Hafs di Kuufah membaca QS. az-Zukhruf : 71, "tashtahiihi al-anfus" (dengan dua ha), seperti tertera dalam mushaf Madiinah dan Syaam, padahal dalam mushaf Kuufah tertulis dengan satu ha ("tashtahii").
Hal ini dibolehkan mengingat salah satu syarat diterimanya sebuah qira'aat adalah sesuai dengan salah satu rasm al-mushaf al-Uthmani. Sebaliknya, jika suatu qira'aat tidak tercatat dalam salah satu al-mushaf al-Uthmani, qira'aat tersebut dianggap 'shaadh' dan tidak dapat diterima, karena bertentangan dengan rasm yang disepakati, rasm yang telah menampung dan mewakili semua qira'aat mutawaatir.
Jika demikian halnya, maka improvisasi liar atau bacaan liberal seperti yang direka-reka oleh para orientalis semacam Bellamy, Puin, Luxenberg wa man tabi'ahum sudah pasti a fortiori ditolak.
Al-Qur'an, Orientalisme
dan Luxenberg (Habis)
Missionaris-orientalis ibarat 'zombie', patah tumbuh hilang berganti menyerang Islam. Baru-baru ini muncul lagi seorang dengan nama samaran "Christoph Luxenberg."
Ia mengklaim bahwa Al-Qur'an hanya bisa dimengerti kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syro-aramaic (bahasa Aramaic dalam dialek Syriac).
Dalam bukunya yang berjudul "Cara membaca Al-Qur'an dengan bahasa Syro-aramaic, Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Al-Qur'an" (Die syro-aramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache) itu, Luxenberg dengan nekat mengklaim bahwa;
Pertama, bahasa Al-Qur'an sebenarnya bukan bahasa Arab. Karena itu, menurut dia, banyak kata-kata dan ungkapan yang sering dibaca keliru atau sulit difahami (in einem Ausmass verlesen und missdeutet wurde) kecuali dengan merujuk pada bahasa Syro-aramaic yang konon merupakan lingua franca pada masa itu.
Kedua, bukan hanya kosa-katanya berasal dari Syro-aramaic, bahkan isi ajarannya pun diambil dari tradisi kitab suci Yahudi dan Kristen-Syria (Peshitta); Ketiga, Al-Qur'an yang ada tidak otentik, perlu ditinjau kembali dan di-edit ulang (Zur Richtigstellung des an zahlreichen Stellen verlesenen Korantextes ist eine kritische Edition .... sicherlich wuenschenwert).
Di sini nampak bagaimana orientalis-missionaris mengklaim tahu tentang Al-Qur'an dan 'ngotot', meskipun sudah jelas keliru dan sesat. Juga nampak bagaimana mereka membentuk suatu jaringan untuk saling menyokong dan mendukung satu sama lain.
Siapa gerangan "Christoph Luxenberg"? Setelah melakukan investigasi, penulis berhasil memperoleh data berikut ini. Nama sebenarnya adalah Ephraem Malki, warganegara Jerman asal Lebanon, penganut fanatik Kristen (Syriac Orthodox), memperoleh M.A. dan Dr.Phil dalam bidang Arabistik, dengan alamat terakhir, August-Klein-Strasse 11, 66123 Saarbruecken, telp. 390-58-28.
Pada 28 Mei 2003 yang lalu dia sempat diundang memberi kuliah umum di Universitaet des Saarlandes tentang "Pengaruh bahasa Aramaic terhadap bahasa Al-Qur'an" (Der Einfluss des Aramaeischen auf die Sprache des Korans).
Untuk meyakinkan para pembaca bukunya, Luxenberg menyebut sejumlah contoh. Menurut dia, kata 'qashwarah' dalam QS. 74:51 mestinya dibaca 'qashuurah'.
Lalu kata 'sayyi'aat' (QS. 4:18) mestinya dibaca 'saniyyaat', dari bahasa Syriac 'sanyata'. Juga kata 'aadhannaaka' (QS. 41:47) seharusnya dibaca 'idh-dhaaka'. Kemudian kata ''utullin' (QS. 68:13) mestinya dibaca ''aalin', sedangkan kata 'zaniim' dalam ayat yang sama harusnya dibaca 'ratiim', sesuai dengan bahasa Syriac 'rtim'.
Begitu pula kata 'muzjaatin' (QS. 12:88) mestinya dibaca 'murajjiyatin', dari bahasa Syriac 'm-raggayta'. Seterusnya kata 'yulhidu na' (QS. 16:103) harusnya dibaca 'yalghuzuuna' dari bahasa Syriac 'lgez'.
Kemudian kata 'tahtiha' (QS. 19:24) mestinya dibaca sesuai dengan bahasa Syriac 'nahiitihaa'. Adapun kata 'saraban' (QS. 18:61) harusnya dibaca menurut bahasa Syriac 'syarya'.
Yang lebih parah lagi, ia mengutak-atik surah Al-'Alaq semata-mata dengan alasan bahwa isinya, seperti mana surat Al-Faatihah, diklaim diambil dari liturgi Kristen-Syria tentang jamuan makan malam terakhir Yesus: "Als solche hat sie [i.e. QS 96] den Charakter eines zur christlich-syrischen Liturgie einleitenden .... (proo?µ??? prooemium), das in der spaeteren islamischen Tradition von der (Fatiha) (syro-aramaeisch ... ptaha) (einleitendes Gebet) abgeloest wurde. Dass es sich bei dieser Liturgie um das Abendmahl handelt, darauf verweist der abschliessende syro-arameische Terminus."
Perlu diketahui bahwa yang dilakukan Luxenberg sebenarnya bukan baru. Jauh sebelum dia, Mingana telah mengorek-orek isu ini, diikuti oleh Jeffery dan Spitaler.
Asumsi Keliru
Tidak sulit untuk membantah dan menolak Luxenberg, sebab seluruh uraiannya dibangun atas asumsi-asumsi yang keliru.
Pertama, ia mengira Al-Qur'an dibaca berdasarkan tulisannya, sehingga ia boleh seenaknya berspekulasi tentang suatu bacaan.
Kedua, ia menganggap tulisan adalah segalanya, menganggap manuskrip sebagai patokan, sehingga suatu bacaan harus disesuaikan dengan dan mengacu pada teks.
Ketiga, ia menyamakan Al-Qur'an dengan Bibel, di mana pembaca boleh mengubah dan mengutak-atik teks yang dibacanya bila dirasa tidak masuk akal atau sulit untuk difahami. Ketiga asumsi ini dijadikan titik-tolak dan fondasi argumen-argumennya taken for granted, tanpa terlebih dahulu dibuktikan kebenarannya.
Apakah benar bacaan Al-Qur'an bergantung pada rasm-nya? Apakah benar teks adalah segalanya? Dan, apakah benar Al-Qur'an sama dengan Bibel? Luxenberg harus menjawab dulu pertanyaan-pertanyaan ini secara ilmiah, sebelum membicarakan yang lain. Itu kalau ia mau meyakinkan pembacanya, yang belum tentu sependapat dengannya.
Luxenberg bisa saja berkelit dengan mengatakan bahwa ia berhak berasumsi begitu tanpa perlu membuktikan kebenarannya. Tapi jika demikian, para pembacanya pun berhak menolak semua pendapat Luxenberg tanpa perlu menjelaskan kenapa.
Selanjutnya, andaikata anggapan-anggapannya itu benar sekalipun, orang masih bisa mempertanyakan metodologinya : Apakah pendekatan dan prosedur ditempuhnya cukup ilmiah dan obyektif untuk meligitimasi kesimpulan-kesimpulannya?
Menurut seorang pakar Semitistik dan direktur Orientalisches Seminar di Universitas Frankfurt, Prof. Hans Daiber, dari sudut metodologi pun karya Luxenberg cukup bermasalah dan karena itu tidak bisa dipertanggungjawabkan. Dalam review-nya atas buku Luxenberg, Daiber mengemukakan tidak kurang dari lima poin :
Pertama, semua ahli filologi yang mengkaji manuskrip Arab maklum bahwa seringkali suatu kata yang ditulis gundul (tanpa baris/harakat) dapat dibaca macam-macam, sehingga tulisan yang sama bisa dibaca berbeda, umpamanya, 'nabaat' ataupun 'banaat'.
Ini bisa jadi tergantung konteksnya ataupun tergantung kehendak dan spekulasi sang pembaca. Dalam hal ini, Luxenberg memilih yang kedua. Lebih celaka lagi (ein gefaehrliches Spiel, kata Daiber) karena yang diutak-atik oleh Luxenberg bukan manuskrip gundul, melainkan kitab suci Al-Qur'an yang sudah jelas dan disepakati seluruh bacaannya, adalah tidak bijak kalau Luxenberg bersikeras mau merubah bacaan Al-Qur'an. Noeldeke pun tidak ngotot dan setuju kalau "der Koran ist nicht nur "syrisch-aramaeisch" zu lesen".
Sama halnya dengan Franz Rosenthal yang dengan rendah-hati mengatakan: "It may have been so, but may be, it was entirely different."
Kedua, Luxenberg bisa jadi keliru dalam berasumsi dan mengajukan pertanyaannya bahwa mufassiruun tidak bisa memahami kata-kata tertentu atau tidak bisa menjelaskan maksud ayat-ayat tertentu karena Al-Qur'an berbahasa Syriac. Bisa jadi sejumlah kosa-kata yang terdapat dalam Al-Qur'an asli bahasa Arab tetapi belakangan mengalami pergeseran makna sehingga para mufassir mengalami kesulitan dalam menerangkannya.
Ketiga, andaikata pun memang sejumlah kosa-kata tersebut berasal dari bahasa Syriac, bukan tidak mungkin kata-kata asing tersebut telah di-Islam-kan, telah ditukar atau di-isi dengan makna baru (Zusaetliche Bedeutungen) yang lebih dalam, lebih tinggi dan lebih luas dari makna asalnya.
Keempat, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1900!
Kelima, bisa jadi juga kosa-kata Al-Qur'an memang bahasa Arab asli, tidak seperti yang dituduhkan oleh Luxenberg. Kalaupun ada kemiripan, maka itu hanya kebetulan saja. Sama halnya dengan kata "kepala" dalam bahasa Melayu-Indonesia yang mirip dengan kata (kefale) dalam bahasa Yunani Kuno (Ancient Greek).
Kemiripan tidak mesti menunjukkan pengaruh atau pencurian. Sebagai contoh, Daiber menyebut antara lain kata-kata "fashshala", "jama'a", "yassara", "sayyara", "mughadhiban", "dharaba" dan "zawwaja" yang diklaim oleh Luxenberg telah dibaca keliru.
Penutup
"Kenali musuhmu!" (Know thy enemies!) merupakan motto sekaligus senjata orientalis dan missionaris Yahudi-Kristen dibalik semua kegiatan dan kegigihan mereka dalam mengkaji Islam dan seluk-beluknya dari segala aspek.
Adalah "naive" kalau kita, umat Islam, bersangka baik terhadap orang yang "tidak akan pernah ridho" pada kita dan senantiasa memusuhi kita.
Adalah tidak bijak kalau kita menelan mentah-mentah apa yang mereka katakan dan mereka tulis. Lebih naive lagi, kalau kita membeo dan ikut-ikutan apalagi melakukan apa yang mereka suruh, seperti merendahkan Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa-sallam, menjelek-jelekkan para sahabat dan Taabi'iin, meremehkan para ulama salaf, meragukan otoritas dan otentisitas tradisi keilmuan Islam, lalu dengan arogan mau membuat edisi kritis Al-Qur'an, menolak hadiits secara total (inkarussunnah), membuat tafsir dan hukum tanpa metode yang bertanggung jawab dan jauh dari pedoman Al-Qur'an. (HABIS)
*Syamsuddin Arief, PhD adalah lulusan ISTAC-IIUM Kuala Lumpur, peneliti INSISTS, dan tengah mengadakan penelitian di Johann Wolfgang Goethe-Universitdt, Frankfurt am Main , Jerman, untuk PhD keduanya. Tulisan ini pernah dimuat di Jurnal Kajian Pemikiran Islam AL-INSAN Vol. 1 Tahun I, Jakarta.