Monday, September 19 2005
Oleh: Ayatullah Muhammad Taqie Misbah Yazdi
Dalam hal ini, diangkatlah isu 'Korelasi
Budaya dan Tehnologi'. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap
tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk
ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka
itu, kita hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya
yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut
budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak
mau budaya pun harus datang dari sana pula.
Isu pembangunan dan pengembangan politik
(politic development), yang pada awal mulanya diketengahkan oleh kaum elite
lalu digunakan oleh kalangan ahli ekonomi dan pemikir, telah merebut posisi
penting dalam bidang politik. Kenyataannya, isu ini masih menyimpan begitu
banyak kerancuan dan keterselubungan. Bahkan, bisa kita katakan bahwa isu
pembangunan politik tidak terdefinisikan secara cermat dan tegas. Kendati
demikian, perlu diingatkan di sini bahwa isu ini terdiri atas dua kata;
pembangunan dan politik, dimana masing-masing pengertiannya bisa memperjelas
maksud dari isu tersebut.
Pembangunan (development) yaitu suatu
kerja yang dilakukan oleh seseorang atau suatu badan atau seluruh masyarakat
dengan memanfaatkan sarana-sarana, alat-alat yang terbaik, dengan mendasarkan
pada perencanaan yang matang, sehingga bisa tercapai tujuan secepat dan sebaik
mungkin.
Setidaknya, ada dua aspek dalam pengertian di
atas; aspek kualitas dan aspek kuantitas. Kata 'secepat mungkin' mengisyaratkan
aspek kuantitas, yakni jangka waktu pencapaian tujuan, dimana kesamaan
kepentingan kita dengan kepentingan masyarakat akan melahirkan partisipasi
massa seluas mungkin untuk mencapai kepentingan itu. Adapun kata 'sebaik
mungkin' menunjuk kualitas, yakni cara pencapaian tujuan, dimana kualitas ini
akan bermakna dalam kaitannya dengan perangkat-perangkat dan dengan sisi
normatif penggunaannya serta tujuan yang dimaksudkan.
Politik yaitu kepemimpinan secara damai
ataupun paksa atas lalu lintas hubungan antarindividu, kelompok, partai,
kekuatan-kekuatan sosial dan fungsi-fungsi pemerintahan di dalam sebuah negara,
juga hubungan-hubungan antarnegara dalam skala internasional untuk mencapai
tujuan dan kepentingan masing-masing negara sebuah bangsa atau kelompok
tertentu.
Oleh karena ini, pembangunan di bidang pilitik
adalah kepemimpinan dan kepengaturan atas hubungan-hubungan antarindividu dan
kelompok serta fungsi-fungsi pemerintahan, dan hubungan-hubungan luar negeri
antarnegara yang dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
Jelas, kendati adanya kesamaan dalam sebagian
persoalan, tujuan-tujuan masing-masing negara ini lumrah berbeda-beda.
Umpamanya di negara kita, Iran, tujuan itu ialah memenuhi kesejahteraan materi
dan ekonomi yang disertai dengan pertumbuhan budaya dan pembangunan
spitirualitas serta dominannya nilai-nilai Islam. Lebih singkatnya, memenuhi
kesejahteraan duniawi dan ukhrawi warga yang bisa direalisasikan dengan
menjalankan hukum-hukum dan batasan-batasan Islam.
Atas dasar itu, postulat gagasan pengembangan
politik terletak pada aspek kualitas dan aspek kuantitas, yaitu partisipasi
rakyat sebanyak mungkin dalam kegiatan politik dan pemahaman mereka sebaik
mungkin akan urusan-urusan politik. Hanya saja, pengertian ini pada jaman
sekarang, sebagaimana slogan-slogan lainnya, telah dijadikan alasan dan
pembenaran oleh Imperialisme, dimana mereka dengan menyodorkan definisi dan
ciri-ciri khas tertentu dari pengembangan politik ini, berusaha mencerabut
identitas dan jati diri kebangsaan dari negara-negara yang merdeka dan
mempunyai budaya dan ideologi yang khas, khususnya ideologi Islam, dan
menyiapkan peluang untuk operasi penyerangan budaya.
Adapun isu pembangunan politik yang merupakan
gabungan dari dua kata; pembangunan dan politik, adalah konsep abstraksial yang
bisa didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya. Ciri-ciri khas ini
menunjukkan bahwa sebuah negara bisa menilai bahwa dirinya itu berada di
tingkat apa dalam pencapaian pembangunan politiknya; berada pada tingkat
pertumbuhan lembaga-lembaga kemayarakatan ataukah berada pada tingkat pembangunan
yang labil dan keruntuhan lembaga-lembaga.
Sebagian ahli politik, seiring dengan
penekanannya atas peran partisipasi politik dalam proses pembangunan,
menjadikan pelembagaan dan strukturisasi sebagai standar tunggal pembangunan
politik. Atas dasar ini, sebagian sistem politik dinyatakan telah berkembang
jika telah melengkapi dirinya dengan lembaga-lembaga yang sudah stabil dan
terstruktural. Oleh karena itu, salah satu dari ciri-ciri khas utama dari
sistem yang berkembang ialah adanya lembag-lembaga sosial yang kuat dan mapan.
Proses pengembangan politik ini memberikan
banyak hasil, sebagaimana yang disebutkan oleh Leonard Binder, di antaranya:
1. pergeseran identitas; dari identitas
agamis menjadi identitas kebangsaan, dari identitas daerah menjadi identitas
nasional.
2. pergeseran legalitas; dari satu sumber
transcendental ke satu sumber nontransendental.
3. perubahan dalam partisipasi politik; dari
elite ke akar rumput, dari keluarga ke golongan.
4. perubahan kriteria jabatan; dari kekeluargaan
menjadi swakarya dan kecakapan individu.
Setelah cukup jelas pengertian pembangunan
politik, tiba saatnya kita mengulang kembali pertanyaan terdahulu, apakah
pembangunan politik itu sesuai dengan agama dan sistem sosial Islam ataukah
tidak? Sebagaimana yang telah lalu, bahwa pembangunan politik adalah sebuah
pengertian abstraksial yang didefinisikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya.
Dari satu sudut pandang, ciri-ciri khas
pembangunan politik bisa dibagi kepada dua tahapan: legalitas dan kompetensi
(kesanggupan). Dengan begitu, berkembangnya sebuah negara ditentukan oleh
kemajuan dan pembangunannya di dua aspek utama tersebut.
Legalitas yaitu rasionalitas seseorang untuk
memerintah atas orang atau kelompok lain. Dengan kata lain, legalitas adalah
akumulasi jawaban atas sebuah pertanyaan; mengapa seseorang atau sekelompok
manusia mempunyai wewenang memerintah atas selainnya? Semakin jawaban atas
pertanyaan ini cermat dan rasional, maka pemerintahannya pun dari aspek
legalitas semakin berkembang dan maju.
Di tempat lain, ada sejumlah dasar legalitas
yang pernah kami paparkan. Dalam mengkritisi dasar-dasar tersebut, di sana
telah kami tegaskan pula bahwa dasar legalitas yang paling unggul adalah
wewenang Tuhan dalam memerintah dan mengatur umat manusia. Karena, wewenang ini
berasal dari dzat-Nya sebagai Yang Maha Penguasa, Yang Maha Pemilik Mutlak,
Sang Otoritas Penuh dalam kepengaturan cipta (rububiyyah takwiniyyah)
dan kepengaturan tinta (rububiyyah tasyri'iyyah) atas sekujur wujud
manusia dan segenap urusan hidupnya.
Berdasarkan kebijaksaanan-Nya yang maha
sempurna, ilmu-Nya yang tak terbatas, dan kemurahan-Nya yang tak terhingga,
Allah swt. telah menetapkan aturan-aturan dan arahan-arahan yang mendatangkan
kemaslahatan dan kesejahteraan manusia, di dunia maupun di akherat. Oleh sebab
ini, sistem pemerintahan yang melandaskan legalitasnya di atas pandangan dunia
yang demikian ini adalah sistem sosio-politik yang paling maju dan berkembang.
Lain dari pada itu, ada sejumlah dasar
dan dampak pembangunan yang implikasinya mengesampingkan alasan ketuhanan yang
transcendental dari aspek legalitas, dan malahan mengacu pada dasar-dasar
lainnya. Dasar dan dampak yang demikian ini bertolak belakang dengan Islam dan
sistem sosialnya. Maka itu, tidak bisa diterima sama sekali oleh Islam.
Adapun pada tahapan kompetensi, yang di
dalamnya terdapat sebagian ciri-ciri khas pembangunan dan ngembangan politik,
pandangan dunia ilahi menuntut bahwa kita harus bergerak di dalam batas-batas
hukum Tuhan. Dengan kata lain, manakala sekumpulan ciri-ciri khas itu atau
sebagian elemen dari satu ciri khas itu melazimkan peneledoran hukum-hukum yang
pasti dan tetap Islam, maka hukum-hukum dan undang-undang Tuhan harus
didahulukan. Dan hal-hal yang bertentangan dengan agama mesti dikesampingkan.
Misalnya dan umumnya, salah satu dari
postulat dan ciri khas pembangunan adalah sekularisasi, yakni mentidak-agamakan
budaya. Jelas di sini bahwa postulat dan ciri khas ini sama sekali tidak bisa
diterima oleh Islam. Atau kebebasan pers. Yang kedua ini dapat diterima Islam
sejauh tidak menyebabkan penghancuran dan pemberangusan dasar-dasar agama,
nilai-nilai kehormatan dan kepentingan umum serta ketertiban bangsa.
Sebagaimana semaraknya kegiatan-kegiatan politik sama sekali tidak bisa
dijadikan pembenaran atas upaya merongrong kesatuan dan integritas bangsa serta
mendongkel sistem pemerintahan Islam.
Dari sisi lain, sekilas melirik kembali usia
20 tahun Revolusi Islam Iran menunjukkan bahwa banyak dari ciri-ciri khas
pembangunannya merupakan buah berkah revolusi Islam, dimana sistem Republik
Islam ini telah dikenal sebagai sebuah sistem pemerintahan yang paling populis,
paling merakyat dan paling berpolitis di antara sistem-sistem politik di dunia.
Hal itu tampak dengan bertambahnya hak suara, banyaknya pemilu yang bebas,
bertambahnya partisipasi politik warga dalam berbagai bidang, juga dalam
lembaga-lembaga pengambil keputusan, serta adanya kekebasan pers yang memadai.
Semua itu merupakan berkah-berkah Revolusi Islam yang besar.
Di samping itu, sense of obedience
(rasa taat) pada kewajiban-kewajiban agama merupakan faktor yang begitu kuat
dan motif yang berlipat ganda untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan
politik seperti; demonstrasi, pemilu, menjalankan tugas-tugas jabatan
pemerintahan, memberikan bantuan materi dan moril, berperang dan bertahan di
front-front peperangan. Rasa taat itu adalah faktor yang muncul dari
kepercayaan rakyat pada citra keilahian dan keislaman pemerintahan mereka.
Tentunya, manakala citra keilahian dan keislaman itu sudah hilang atau memudar,
ketika itu pula mereka tidak akan menemukan lagi alternative lain.
Begitupula, independensi lembaga-lembaga yang
berarti tidak terlibatnya agama dan ideologi dalam kerangka aktivitas dan
tujuan lembaga-lembaga itu, tidak akan dijumpai dalam masyarakat agamis, karena
menganggap agama sebagai sebuah aspek yang terpisah dari ruang lingkup lembaga
tersebut sehingga kita secara total terlepas dari agama dalam bekerja di
lembaga-lembaga itu, dan agama semata-mata dipandang sebagai satu lembaga yang
sejajar dengan lembaga-lembaga lainnya, anggapan ini sama sekali tidak sejalan
dengan Islam, karena ia adalah agama yang dalam segenap urusan hidup manusia
mempunyai hukum, aturan, dan undang-undang yang sesuai dengan tujuan penciptaan
mereka.
Oleh karena itu, Islam adalah agama yang
tidak hanya mendukung pembangunan, pengembangan dan kemajuan di berbagai
bidang, tetapi ia pun menuntut setiap hari yang dilalui umat manusia lebih baik
dari hari sebelumnya. Hanya saja, pembangunan dan kemajuan ini harus
berlangsung dalam kerangka prinsip, batasan, dan hukum Islam. Karena pada
dasarnya, kesejahteraan hakiki manusia di dunia ini, selain juga kesejahteraan
di akheratnya, bisa diperoleh hanya dengan jalan ini. Jika tidak demikian,
bukankah kerusakan dan kebejatan yang begitu beragam, baik yang bersifat
kejiwaan, moral, ataupun pemikiran di Barat sekarang ini, dengan segenap
pembangunan dan kemajuan yang mereka capai, adalah hal yang tidak bisa
ditutup-tutupi.
Bukti konkret atas gambaran tadi adalah
Spanyol pada masa pemerintahan Islam di sana. Berdasarkan pengakuan orang-orang
Barat sendiri, jika Islam tidak meninggalkan warisan peradabannya di sana,
tentu mereka sampai sekarang dalam keadaan setengah buas dan liar, mereka sama
sekali tidak akan bisa membangun industri dan kemajuan yang ada.
Oleh karena itu, sekelompok yang getol
menampilkan agama sebagai penentang dan penghambat proses serta upaya
pembangunan, menyisipkan nama agama dalam isu-isu seperti pertentangan antara
tradisi dan modernitas, lalu menarik kesimpulan bahwa pembangunan dan
medernitaslah yang harus diterima, dan agamalah yang harus dikesampingkan.
Atau, komit pada agama dengan konsekusensi tertinggal dari kafilah kemajuan dan
pembangunan. Sesungguhnya mereka tidak memahami Islam, atau mereka bahkan
hendak menghancurkan agama dan keberagamaan, setidaknya dalam sektor-sektor
sosial, serta mengusahakan dominasi sekuralisme.
Perlu dicamkan disini bahwa postulat
pengembangan politik adalah relativitas pengetahuan. Artinya, tidak ada seorang
pun dan tidak ada pemikiran yang mutlak benar. Atas dasar ini, seharusnya
bersikap toleran terhadap pemikiran yang berbeda, karena setiap aliran dan arus
pemikiran membawa sebagian dari kebenaran. Begitupula, pemahaman kita terhadap
agama dan teks-teksnya tidak terkecualikan dari kaidah ini, sebagimana yang
digelindingkan oleh istilah qaroathoye mukhtalif (keragaman pemahaman
agama). Untuk itu, karena sangat tidak realistis atau berbau kental fanatisme,
maka tidak perlu lagi bersikeras membela ha-hal yang dianggap sebagai
prinsip-prinsip dan nilai-nilai agama yang tidak bisa berubah dan diganggu
gugat.
Menjawab peraguan di atas ini perlu
ditegaskan bahwa prinsip-prinsip dan hukum-hukum pasti dan aksiomatis Islam
adalah hal-hal yang tetap dan mutlak. Dan, berdasarkan sahihnya dalil-dalil
yang menunjukkan atas semua di atas itu, maka tidak lagi menyisakan satu
peluang pun untuk pemahaman yang beragam. Bahkan, pada prinsipnya, jika kita
pandang Islam tidak mempunyai serangkaian prinsip dan hokum yang mutlak dan
tetap, maka sesungguhnya tidak akan ada lagi yang bisa disebut Islam.
Rangkaian Konspirasi Budaya Pembangunan
Pertanyaan yang perlu diangkat di sini
adalah, adakah maksud terselubung dan konspirasi sebagian pihak dibalik isu
pembangunan politik ataupun isu-isu semacamnya di masa sekarang? Untuk
memperjelas hakikat upaya-upaya di atas, begitupula siasat-siasat untuk
mencapai tujuan-tujuan di balik semua itu, mula-mula saya akan mengingatkan
sedikit latar belakang dari transformasi dan perjalanan Barat setelah revolusi
industri.
Semangat penjajahan Barat pada
dasarnya bisa diusut dari jaman revolusi industri di sana, kendati sebelum itu,
di Eropa ataupun di antara bangsa-bangsa di dunia terdapat kecondongan upaya
penaklukan dan penguasaan atas bangsa lain. Yaitu, jaman di mana mereka telah
mampu menciptakan perangkat, sarana dan alat-alat modern di bawah hubungan
segitiga; ilmu, industri dan teknologi.
Pada jaman itu, mereka mampu memproduksi
aneka ragam barang perlengkapan dan peralatan yang begitu murah dari segi
pembiayaan produksi. Dan dengan menjual barang-barang itu dengan harga mahal,
mereka mampu meraup keuntungan dan kekayaan yang melimpah. Dengan meningkatnya
laba dan pada gilirannya modal, sektor investasi untuk kegiatan produksi pun
semakin marak. Dan ini menjadi sebuah faktor untuk mendapatkan laba dan modal
lebih banyak lagi. Dengan begitu, lewat perputaran modal dan produksi, gudang
kekayaan mereka semakin sesak dari hari ke hari.
Tetapi dari sisi lain, dengan meningkatnya
produksi (penawaran barang) muncul masalah besar; kekurangan bahan-bahan mentah
untuk produksi, dan kurangnya tingkat permintaan dibandingkan dengan penawaran
produk. Dua faktor ini membuat negara-negara Barat berfikir untuk melakukan
ekspansi dan penjajahan atas negara lain, sehingga dengan demikian mereka bisa
mendapatkan bahan-bahan mentah dan membuka pasar-pasar baru.
Watak penjarahan dan penjajahan ini
berlangsung sejak abad ke delapan belas sampai abad ke sembilan belas. Pada
masa itu, orang-orang Barat mulai dibenturkan lagi dengan persoalan lain, yaitu
kurangnya sumber-sumber alam dan lemahnya daya beli negara-negara jajahan
mereka. Dari sisi lain, tehnologi dan alat canggih yang diimport memerlukan
ahli-ahli untuk tehnik pengggunaan tehnologi dan alat tersebut.
Untuk itu, mereka memutuskan untuk
meningkatkan daya beli juga taraf pengetahuan dan keahlian negara-negera
jajahan. Dalam rangka itu, mereka melakukan dua langkah: pertama; mereka
memberikan utang, fasilitas, dan kemudahan ekonomi kepada negara jajahan itu
dan mendirikan lembaga keuangan semacam IMF, dan kedua: merekrut putra-putra
bangsa negara jajahan dan membeasiswakan mereka ke pusat-pusat pendidikan Barat
seperti Inggris, Jerman, dan Prancis.
Langkah kedua ini dilakukan dengan motif
membina teknisin-teknisin yang mampu menggunakan jenis-jenis peralatan dan
perlengkapan importir. Sebagaimana langkah pertama dimaksudkan untuk
meningkatkan daya beli masyarakat di negara-negara jajahan, sehingga
produk-produk mereka bisa diimport dan dipasarkan lebih banyak lagi di
negara-negara itu. Dengan begitu, pasar-pasar Barat pun bisa tetap bertahan
marak sebagaimana sebelumnya.
Tetapi, startegi ini tidak selalunya
menguntungkan penjajahan. Karena, sebagian dari pelajar-pelajar jebolan Barat
yang kembali ke negaranya malah memikirkan kemerdekaan dan perjuangan. Mereka
menuntut penjajahan asing agar secepatnya hengkang, dan inilah sebagai babak
baru perlawanan yang mulai menggelinding sejak akhir abad sembilan belas dan
memuncak pada abad ke dua puluh.
Berbagai macam perjuangan semangat kemerdekan
itu telah dilakukan dan, pada akhirnya, Barat sampai pada kesadaran bahwa
sebaiknya bersikap agak realistis. Lalu, mereka menyodorkan ide
"hubungan" ketimbang "penjajahan". Dengan cara itu, mereka
mampu mencuri kesempatan dan peluang dari Negara-negara jajahan itu di
masa-masa kemudian. Di antara intrik-intrik itu ialah pembentukan Negara-negara
persemakmuran (Common Wealth) yang ditawarkan oleh Inggris, sehingga
negara-negara jajahan inggris itu yang sekarang mendapatkan kemerdekaannya
menjadi 'kawan' Inggris di bawah nama tersebut. Dengan demikian, penjajahan
sesungguhnya tetap berlangsung meski dengan modus lain.
Walhasil, semangat perjuangan kemerdekaan
semakin memanas dan bergejolak dari hari ke hari. Tentunya, keadaan ini
menuntut Imperialisme merumuskan strategi yang lebih cerdas lagi guna
mempertahankan hegemoninya. Di sinilah tampak jelas bagaimana penjajahan
terbuka mengganti jubahnya dengan penjajahan terselubung.
Salah satu dari rangkaian strategi mutakhir
mereka ialah menciptakan unsur-unsur dan partai-partai politik di dalam
negara-negara jajahan yang telah merdeka, atau sedemikian rupa mereka turut
andil dalam proses pembentukkan sebagian partai, ormas dan lembaga-lembaga
sosial, sehingga bahkan orang-orang partai itu sendiri tidak merasakan adanya
campur tangan-tangan asing dan upaya mengendalikan mereka.
Dengan mengangkat slogan-slogan anti
Imperialisme dan kepenjajahan, mereka berusaha mengumpulkan masa di sekitar
mereka. Dengan slogan itu pula, partai pun menjadi eksis kokoh. Berikutnya,
orang-orang partai itu sendiri yang memulai mengulurkan tangan kepada tuan-tuan
asing mereka. Dengan demikian, kepentingan-kepentingan pihak-pihak asing
dipenuhi oleh putra-putra bangsa itu sendiri.
Dengan berlalunya masa dan bertambahnya
pengalaman, orang-orang Barat sampai pada kesimpulan bahwa kelanggengan dan
pengakaran kepenjajahan serta penyalahgunaan hubungan-hubungan dengan
negara-negara lain bergantung pada dinamika budaya dan ideologi negara-negara
tersebut; dimana tidak hanya pola pikir dan cara pandang individu itu berubah,
yang diikuti dengan merebaknya gaya hidup individualis, konsumeris, dan
kapitalis sebagaimana yang berlaku di Eropa dan Amerika, juga bahkan sistem
pemerintahan yang berkuasa di negara-negara tersebut diusahakan untuk
bergantung penuh pada penggunaan dan pengandalan peralatan-peralatan dan
tehnologi-tehnologi dunia Barat, belum lagi mentalitas rakyatnya dibuat minder
dan kerdil di hadapan pembangunan dan kemajuan mereka.
Jika dua tujuan di atas ini bisa dicapai,
kekuasaan mereka niscaya terjamin kelanggengannya. Namun, salah satu dari
faktor penghambat pencapaian tujuan itu di dunia Timur adalah budaya Timur yang
berlandaskan pada kecenderungan zuhud dan semangat kebersamaan. Untuk ini, mereka
menyiapkan senjata penyerangan budaya yang sedemikian rumit.
Dalam hal ini, diangkatlah isu 'Korelasi
Budaya dan Tehnologi'. Yakni, isu yang berusaha menciptakan opini bahwa setiap
tehnologi itu menyimpan budaya yang khas. Dan, dimana saja tehnologi itu masuk
ke suatu negara, secara otomatis budayanya pun turut masuk ke dalamnya. Maka
itu, kita hanya mempunyai dua pilihan; menerima tehnologi dengan segenap budaya
yang dikandungnya, atau sama sekali menolak secara mutlak tehnologi berikut
budayanya. Dan, karena tehnologi itu diperoleh dari dunia Barat, maka mau tidak
mau budaya pun harus datang dari sana pula.
Kenyataannya isu ini telah menunjukkan
kegagalannya di Jepang. Mengapa? Karena orang-orang Jepang kendati secara
terbuka masih menerima serangan-serangan budaya Barat, mereka tetap menjaga dan
mempertahankan adat istiadat, nilai-nilai ketimuran, serta budaya bangsanya.
Dengan begitu, mereka telah mampu mencapai kemajuan yang luar biasa pesatnya,
bahkan mampu melampaui pencapaian orang-orang Barat sendiri.
Sebelum kemenangan Revolusi Islam Di Iran
pun, isu "Islam dan Pembangunan" sudah digulirkan dalam peta politik
Barat tersebut. Para perancang konspirasi ini mengklaim bahwa Islam adalah
agama qona'ah dan penghematan, sementara pembangunan adalah cermin kemajuan dan
pemanfaatan kekayaan sebanyak mungkin. Oleh karena ini, Islam tidak bisa
kompromi dengan pembangunan. Islam tidak akan mampu menampung ide pembangunan
dan kemajuan. Dan, karena kita mau tidak mau harus berkembang dan maju, maka
Islam atau setidaknya bagian-bagian tertentu dari Islam yang bertentangan
dengan ide dan proses pembangunan harus kita bekukan.
Pada hari-hari ini pun, suara-suara parau
senada ini kerap kita dengar dalam forum ceramah ataupun dalam media cetak.
Suara-suara yang menekankan pola pikir dan pemikiran demikian ini yakni upaya
menampilkan Islam sebagai penentang ide dan proses pembangunan. Upaya-upaya
yang mengangkat isu-isu seperti; pertentangan antara tradisi dan modernitas,
keniscayaan kritik atas tradisi, dan semacamnya, semua itu digelindingkan dalam
rangka mengusung pemikiran itu.
Kendati kajian terperinci atas hubungan Islam
dan pembangunan membutuhkan ruang yang khusus, tetapi perlu ditegaskan di sini
bahwa Islam tidak hanya menyambut pembangunan dan kemajuan, tetapi juga
menuntut hari-hari umatnya lebih baik dari hari sebelumnya. Hanya persoalannya,
pembangunan dan kemajuan yang diinginkan oleh Islam itu yaitu kemajuan dan
pembangunan yang berjalan di dalam batas-batas nilai dan hukum cemerlang Islam,
sehingga dapat menjamin kesejahteraan dunia dan akherat manusia.
Maka, sama sekali tidak ada keharusan logis
antara pembangunan dan menerima budaya Barat. Sebagai contoh, di masa
barbarisme Barat yang buas, umat Islam ketika itu tampil sebagai pelopor ilmu
pengetahuan dan pembangunan di dunia. Bahkan, sebagaimana yang diakui oleh
orang Barat sendiri, jika Islam tidak meninggilkan warisan peradabannya di
sana, sebagiamana yang dijumpai di Spanyol, mereka sekarang ini hidup setengah
buas dan liar. Mereka sama sekali tidak akan mencapai kejayaan dan kemajuan
teknologi seperti sekarang ini.
Kini, terdapat kalangan-kalangan yang
mendukung pemikiran yang berusaha menampilkan sikap anti Islam terhadap
pembangunan. Meraka berusaha dengan cara yang sangat terselubung menebarkan
pemikiran ini di tengah masyarakat Islam, bahwa pembangunan dan kemajuan
ekonomi selalunya disertai dengan pembangunan politik dan budaya.
Di sini, kami menemukan persepsi yang khas
dari isu pembangunan politik dan budaya di atas, yang berdasarkan persepsi ini,
fungsi isu ini sejalan dengan haluan dan tujuan sistem sosial Islam. Tetapi,
apa yang dimaksudkan oleh sebagian dari penulis dan penceramah dari
istilah-istilah tersebut ialah memaksakan dan menunggangkan budaya Barat atas
budaya Islam. Pembombardiran media-media massa atas opini dan mentalitas publik
muslim, serta buku-buku dan teori-teori ilmiah di pusat-pusat pendidikan tinggi
dari satu sisi, dan kanalisasi pemikiran siswa-siswa jebolan luar negeri yang
telah menamatkan pendidikannya di berbagai bidang seperti; Ekonomi, Sosiologi,
Hukum dan ilmu-ilmu politik, untuk kemudian kembali ke negaranya dengan
mentabligkan pemikiran-pemikiran Barat dengan bahasa ibunya dari sisi lain,
semua itu adalah bagian dari penyerangan budaya Barat dan upaya menggiring
negara mereka kembali pangkuan penjajahan.
Begitu juga, dengan berbagai metode dan cara
telah disosialisasikan dua pilihan; yakni tertinggal dari pembangunan dan
kemajuan peradaban atau mengesampingkan sentimen dan fanatisme agama, dan
bersikap lunak dan toleran, acuh tak acuh dalam permasalahan ekonomi, politik
yang kadangkala agama menjadi pengganjal dalam bidang-bidang itu, sebagaimana
yang selalu di tekankan dan diyakinkan oleh mereka.
Dalam pada itu, Negara-negara bekas jajahan
itu mendapatkan pinjaman sedemikian besar dari IMF dan Bank Dunia. Dan, dengan
menyediakan peluang untuk penanaman modal luar negeri dan membuka sektor-sektor
bebas, mereka mendapatkan modal yang cukup untuk kegiatan produksi. Lantaran
lembaga-lembaga keuangan dan ekonomi dunia itu tidak begitu saja meminjamkan
ataupun menanamkan modal di suatu Negara; tanpa syarat-syarat tertentu yang
mengikat, mereka harus mengendorkan semangat komitmen pada sebagian
prinsip-prinsip dan nilai, untuk kemudian bisa mendapatkan fasilitas dan kemudahan-kemudahan
ekonomi dari pihak-pihak asing.
Dalam persoalan-persoalan budaya pun,
disosialisasikan sikap toleran dan lapang dada. Karena, dengan cara inilah kita
bisa berintegritas dan masuk dalam pergaulan masyarakat internasional, dan
mendapatkan kedudukan di tengah mereka. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya
sikap bersikeras, mempertahankan prinsip dan nilai mutlak kita di dunia ini,
malah akan mengasingkan dan mengucilkan diri kita sendiri di dunia ini.
Oleh karena itu, dogmatisme harus dikesampingkan
dengan mengedepankan sikap lunak dan liberal, serta berusaha menghindar dari
cara berfikir absolutistik, sehingga jika ada segolongan orang yang melecehkan
hal-hal yang kita percayai sebagai kebenaran, tidak seharusnya kita menunjukkan
reaksi sebegitu tegas. Padahal dalam Islam, yakin menempati posisi yang tinggi.
Dalam ayat dan riwayat, para peyakin diangkat sampai pada kedudukan yang paling
luhur. Sebaliknya, ragu dan skeptisme yang merupakan salah satu dari
nilai-nilai dunia Barat sekarang adalah hal yang tercela dan terlarang dalam
padangan Islam. Konsekuensinya, komitmen pada prinsip-prinsip dan asas-asas
Islam merupakan salah satu nilai tertinggi manusia muslim.
Maka itu, isu-isu seperti pembangunan politik
telah menjadi salah satu senjata penyerangan budaya musuh-musuh untuk
pemecahbelahan, dan sebuah celah untuk membabat habis nilai-nilai Islam dan
revolusi serta mengikis rata sentimen dan kepekaan religius dan revolusioner
rakyat, sehingga seiring dengan hancurnya akherat mereka, dunia merekapun
kembali di bawah imperialisme Barat.
Di sini, tepat sekali untuk diusahakan
secermat mungkin mengetangahkan isu dan istilah ini demi mencapaian
tujuan-tujuan sistem pemerintahan Islam oleh pihak-pihak yang tulus, dan oleh
mereka pula dijelaskan dengan motif pencapaian tujuan-tujuan tersebut, tanpa
meneledorkan langkah-langkah preventif atas penyalahgunaan isu dan istilah
semacam ini lewat kajian-kajian khusus dan mendalam.[afh]