Oleh Jajang Jahroni
17/05/2004
Prof. James
Piscatori pernah bercerita bahwa di London ada sebuah jalan yang disebut Jalan
Khalifah. Entah mengapa jalan itu disebut demikian. Mungkin ada hubungannya
dengan jaman kejayaan kolonialisme Inggris yang pernah menguasai dunia Islam.
Di salah satu negeri yang ditaklukkannya, kata itu ditemukan, lalu dibawa
pulang. Di dunia Islam, khalifah merupakan sebuah konsep politik. Namun di
London tak ada orang yang perduli. Orang lalu lalang begitu saja tanpa
memperdulikan apa itu khalifah. Bagi Piscatori ini merupakan sebuah ironi yang
seringkali membuatnya tertawa. Ironi, karena di tengah-tengah masyarakat London
yang tidak mengerti Islam dan bahasa Arab, ada sebuah jalan yang namanya diambil
dari bahasa Arab dan Islam.
Sebagian besar umat
Islam sejatinya memiliki sikap yang kurang lebih sama dengan orang-orang
London. Apa itu khalifah atau khilafah. Mereka tak perduli. Pada 1924, khilafah
Islam di Istambul dengan Sultan Abdul Hamid II sebagai penguasa, secara resmi
dihapus oleh Mustafa Kamal Attaturk. Peristiwa ini secara simbolis menghapus
sistem khilafah dari dunia Islam. Setahun kemudian, Ali Abdurraziq dari Mesir
menerbitkan buku yang kontroversial al-Islam wa Ushul al-Hukm: Ba’ts fi
al-Khilafah wa al-Hukumah fi al-Islam. Abddurraziq menyatakan bahwa Islam sama
sekali tidak mengenal sistem khalifah. Sistem khilafah diciptakan oleh orang
perorang sepeninggal Nabi SAW sebagai ijtihad politik.
Baik Attaturk
maupun Abdurraziq menyadari bahwa sistem khilafah, yang pernah menguasai dunia
Islam selama 13 abad lamanya, tidak dapat mengatasi berbagai persoalan yang
ditimbulkan oleh modernisme. Sistem ini harus digantikan dengan sekularisme
yang bertumpu pada rasionalisme. Ini jelas bukan ironi, karena hal ini membuka
mata hati dan pikiran umat Islam untuk tidak terbelenggu oleh sebuah konsep
politik yang sudah karatan.
Tapi memang tak
mudah menyadarkan masyarakat yang sudah terbius lama dengan adagium “Islam
adalah agama sekaligus negara”. Tak pelak lagi kedua tokoh ini pun mendapat
kritik keras dari kalangan Islam yang menganggap bahwa sistem khalifah
merupakan bagian inheren dari agama. Di sinilah letak persoalannya. Sebagian
orang percaya bahwa politik merupakan bagian dari agama. Karena itu ia harus
diatur sesuai dengan ajaran agama. Sementara sebagian lagi percaya bahwa
politik merupakan urusan duniawi dan tidak ada hubungannya dengan agama.
Orang yang percaya
dengan sistem khilafah beranggapan bahwa Nabi SAW, di samping seorang rasul, juga
menjadi kepala negara. Ia adalah penguasa tertinggi keagamaan dan politik.
Madinah adalah negara Islam pertama di muka bumi ini, di mana di dalamnya Islam
mencapai bentuknya yang paling sempurna. Islam tidak hanya menjadi agama
semata, namun juga sebagai sistem politik. Era kekuasaan Nabi selanjutnya
diteruskan oleh para Sahabat yang melembagakan sebuah sistem politik yang
disebut khilafah. Khilafah tak lain adalah bentuk kekuasaan yang diidealkan
untuk meneruskan bentuk kekuasaan yang diwariskan oleh Nabi.
Sementara itu
sebagian orang menganggap bahwa ketika Nabi membangun masyarakat muslim di
Madinah, ia tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan tertentu. Demikian pula
ia tak pernah berpesan bahwa orang-orang sepeninggalnya harus meneruskan tradisi
kekuasaan yang telah ia bangun. Kalaupun orang-orang sepeninggalnya
mengembangkan satu bentuk kekuasaan yang disebut khilafah (orang-orangnya
disebut al-khulafa al-rasyidun), itu adalah keputusan politik yang dibuat untuk
merespon keadaan pada waktu itu.
Bukti bahwa Nabi
tak pernah menetapkan satu bentuk kekuasaan politik tertentu dapat dilihat
dalam proses pengangkatan keempat khalifah, yang semuanya terkesan ad hoc serta
tidak ada model yang secara konsisten diikuti dari waktu ke waktu. Abu Bakar
diangkat secara aklamasi; Umar diangkat melalui wasiat; Utsman diangkat melalui
tim formatur yang diprakarsai Umar; dan Ali diangkat melalui aklamasi. Dalam
sebuah diskusi, Abdullahi Ahmad An-Naim, intelektual asal Sudan, dengan nada
emosi bertanya kepada para hadirin agar menunjukkan mana yang disebut sistem
khilafah: aklamasi, wasiat, atau formatur. Sama sekali tidak ada. Ini
menunjukkan bahwa urusan politik dalam Islam adalah urusan dunia.
Setelah periode
Sahabat, terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem kekuasaan. Bani
Umayyah dan Bani Abbas mengembangkan sistem dinasti, di mana kekuasaan
diwariskan menurut garis keluarga. Tradisi yang dikembangkan oleh generasi
Sahabat sama sekali ditinggalkan. Hal ini menunjukkan tidak ada bukti
sedikitpun dalam sejarah Islam di mana sistem “khilafah”—kalau bisa disebut
demikian—dibangun secara konsisten dan konsekuen.
Sejarah menunjukkan
bahwa dalam Islam bentuk-bentuk kekuasaan berubah dari masa ke masa. Generasi
Sahabat mengembangkan cara-cara yang berbeda dengan generasi Tabi’in, dan
seterusnya. Bentuk-bentuk kekuasaan berubah sesuai dengan kondisi dan situasi.
Tidak ada satu bentuk kekuasaan lebih ‘islami’ dari bentuk lainnya dalam
pengertian bahwa bentuk kekuasaan tertentu berasal dan sesuai dengan Islam
sementara lainnya tidak. Ini disebabkan kenyataan bahwa sejak awal Islam tak
memperkenalkan satu bentuk kekuasaan pun. Islam hanya menekankan pentingnya
moral dalam kekuasaan.
Anehnya periode
dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, yang berhasil membangun
peradaban Islam sebagai peradaban dunia, seringkali dirujuk oleh para pendukung
sistem khilafah sebagai puncak dari sistem khilafah Islam. Pada jaman dinasti
Islam, kekuasaan sudah banyak berubah dan terkadang menjadi despotisme yang jelas-jelas
bertentangan dengan moral agama. Para khalifah naik ke panggung kekuasaan
dengan cara-cara yang tidak terpuji dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai
agama. Puncak dari despotisme adalah ketika khalifah mengklaim diri mereka
sebagai bayang-bayang Tuhan di muka bumi.
Inilah ironi ketika
sekelompok orang menganggap konsep khilafah, yang tidak jelas dan telah
bercampur baur dengan despotisme, sebagai bagian yang paling inheren dari agama
dan konsep tersebut dipercaya sebagai konsep kekuasaan yang diperkenalkan Nabi
pada para Sahabatnya. Tugas umat—menurut mereka— adalah mengembalikan kekuatan
umat yang tercerai berai ini ke dalam sistem khilafah.
Pandangan seperti
ini jelas tak bisa diterima karena menyelewengkan realitas sejarah. Konsep
khilafah muncul sebagai akibat dari ketidakmampuan umat Islam dalam menghadapi
persaingan dunia saat ini. Dalam ketidakmampuannya, sebagian umat melakukan
refleksi. Namun refleksi ini tidak dibarengi dengan kritisisme yang tinggi.
Sejarah dilihat dengan penuh kekaguman. Dalam keadaan seperti itu orang tidak
dapat membedakan mana kenyataan dan mana mimpi. Muncullah sikap romantisme yang
memandang masa lalu dengan penuh perasaan yang menggelora.
Khilafah adalah
semacam romantisme karena memimpikan Islam bangkit kembali sebagai peradaban
dunia. Mimpi tentang ‘kejayaan Islam’ sebenarnya sah-sah saja sepanjang
didasarkan pada realitas sejarah. Sejarah mengajarkan bahwa kejayaan Islam pada
masa lalu tidak disebabkan oleh satu sistem politik tertentu saja, sebab kenyataannya
Islam —tepatnya sejarah Islam— tak mewariskan sistem politik dan kekuasaan yang
tunggal.
Pelajaran paling
penting yang diberikan Abdurraziq dalam bukunya di atas adalah bahwa urusan
politik dan kekuasaan adalah urusan dunia, dan urusan dunia diserahkan
sepenuhnya pada manusia. Agama hanya menjadi moral yang mengontrol jalannya
kekuasaan. Dalam kata-katanya, “Islam adalah risalah bukan sistem kekuasaan,
Islam adalah agama bukan hukum.”