Kesucian Tradisi Awal

Jumat, 28-10-2005

Kesucian Tradisi Awal

Tanggapan Balik untuk Muh Kasman
 
Oleh
Mansyur Semma
Dosen Universitas Hasanuddin

Ada empat konsep yang patut dibedakan. Plural, pluralitas, pluralisme, dan pluralis. Plural berarti kemajemukan atau adanya perbedaan sifat, bentuk, rasa, dan jenis fisik suatu materi yang menempati ruang dan waktu. Plural juga dapat berarti adanya perbedaan pemikiran, konsep, wacana, ide paham, dan keyakinan.
Pluralitas adalah realitas adanya sejumlah perbedaan dalam masyarakat. Perbedaan ini sangat beragam bentuk, jenis, dan sifatnya. Mulai dari perbedaan bentuk-bentuk fisik anggota masyarakat hingga perbedaan formal institusional.

Mulai dari perbedaan yang bersifat psikologis, sosial, ekonomi, budaya, politik, ideologi, hingga kepercayaan dan keyakinan agama. Sementara pluralisme adalah paham yang bersifat politis dan ideologis.
Asumsi dasar pluralisme adalah adanya sejumlah realitas perbedaan tersebut yang harus dieliminasi sedemikian rupa menjadi adanya persamaan. Misalnya pluralisme humanistik memandang manusia sama strata dan hak-haknya.
Pluralisme sekularistik memandang semua urusan keduniawian harus dipisahkan dengan urusan agama. Pluarlisme liberal memandang setiap individu memiliki kebebasan yang sama tanpa dipisahkan oleh perbedaan jender.
Pluralisme agama memandang semua agama sama baik dan sama benarnya, sama-sama berbicara tentang moralitas dan sama-sama mengajarkan teologi. Pluralis adalah ideolog, pengkader, dan pengikut.
Ideolog pluralis adalah orang yang memikirkan dan menciptakan pluralisme sebagai paham dan ideologi. Sementara pengkader adalah orang-orang yang dilatih sedemikian rupa untuk mengkampanyekan dan mensosialisasikan pluralisme sebagai paham.
Tugas utamanya adalah mendapatkan kader-kader baru yang dapat menjadi pluralis sejati, setia, dan tidak sekadar sebagai kader yang ikut- ikutan.
Perbedaan keempat konsep tersebut di atas selayaknya dipahami lebih awal untuk menerima, menolak, atau mengkritisi pluralisme. Ada secuil kekhawatiran pada Muh Kasman, jangan sampai tidak cermat membedakan konsep pluralitas sebagai realitas sejumlah perbedaan dan pluralisme sebagai paham dan ideologi.
Mungkin juga Kasman belum sempat membaca dengan cermat sejarah pluralisme dan perkembangannya. Mulai dari Pluralisme yang humanistik, sekuler, liberal, hingga pluralisme kapitalistik. Sayang sekali, sejarah dan perkembangan pluralisme tidak mungkin diulas panjang lebar dalam ruang opini ini.
Namun hal yang pasti kalau Kasman bersikukuh bahwa pluralis dalam beragama adalah sesuatu yang penting dan mendasar bahkan menjadi standar autensitas sebuah bangunan keyakinan. Bahkan bersikukuh menjadikan islam sebagai teologi religius pluralisme maka bangunan pemikiran ini patut diluruskan.

Islam dan Pluralitas
Islam dan pluralitas adalah suatu keniscayaan. Islam tidak menafikan adanya realitas sejumlah perbedaan. Nabi Muhammad saw sebagai Rasul Allah sangat menghargai dan penghormati perbedaan.
Bahkan beliau menjamin keselamatan kaum Yahudi dan kelompok minoritas lainya. Rasulullah memperlakukan mereka dengan lemah lembut tanpa kekerasan sedikitpun. Sehingga kaum Yahudi dan kaum minoritas lainnya merasa aman dan nyaman.
Umat Islam mengobarkan perang dan melakukan jihad fii sabilillah hanya bila diperangi lebih dahulu, diserang, diintimidasi, dan berbagai bentuk kezaliman lainnya. Singkatnya umat islam hanya membela diri.
Jadi pluralitas agama bukan sesuatu yang haram. MUI pun tidak mengharamkan pluralitas agama. Hanya pluralisme sebagai ideologi dan faham semua agama sama yang diharamkan MUI. Bila Kasman berpendapat bahwa pluralisme adalah sesuatu yang penting dan mendasar dalam beragama maka penting dan mendasar bagi siapa?
Bukankan yang lebih penting dan mendasar bagi umat Islam dalam kehidupan beragama adalah membangun semangat toleransi dan mengakui perbedaan? Adapun autentisitas Islam sebagai agama tidakkah cukup Al Quran dan hadis-hadis sahih sebagai jaminan yang paling otentik?
Justru meyakini pluralisme sebagai sesuatu yang penting dan mendasar serta menjadi autentisitas agama, tidakkah akidah kita dapat bias dan mengalami distorsi. Bahkan tidak menutup kemungkinan bisa kafir dan murtad.

Tradisi Awal
Tradisi awal Islam oleh Syaikh Muhammad Kassam di Mesir diumpamakan bagai telaga suci di mana para sahabat dapat mengonsumsi air dari telaga suci itu untuk minum dan keperluan lain termasuk untuk menyiram tanaman dan meminumkan ternak. Akibatnya, mereka menjadi sehat, kuat, dan disegani kawan maupun lawan. Namun generasi selanjutnya tidak mampu menjaga telaga suci itu dari berbagai macam polusi hingga akhirnya mereka sakit-sakitan, lemah, dan tidak lagi ditakuti oleh lawan.
Ikhtiar untuk kembali pada kesucian tradisi awal tadi mengapa mesti dituding eksklusif, fundamentalis, tradisionalis, dan berbagai penjulukan lainnya? Bahkan ikhtiar kembali kepada tradisi awal Islam tersebut dituding berpotensi menjadi ekstremis, narsistik, dan entah penjulukan apa lagi.
Apakah Kasman menyadari filosofi, ideologi, motif-motif, dan tujuan politis di balik berbagai penjulukan, labeling, dan stigma tersebut?
Jangan sampai kita terjebak rekayasa dan skenario pihak-pihak tertentu menuding saudara sendiri yang berikhtiar kembali kepada kesucian tradisi awal Islam sebagai tradisionalis dan fundamentalis dan kita bangga disebut sebagai Islam modernis, moderat, demokratis, dan berbagai penjulukan lainnya. Termasuk bangga mengkhotbahkan diri sebagai pluralis sejati.
Apakah pendapat Hasan Hanafi cukup kuat dijadikan sebagai dasar argumentasi untuk menganalisis dan memberikan solusi berbagai permasalahan umat kini dan akan datang? Sebenarnya, apa yang salah bila ada saudara kita yang berihktiar kembali kepada kesucian tradisi awal Islam? Bukankah ikhtiar tersebut mencoba meneladani kehidupan Rasul dan sahabatnya secara utuh dan tulus?
Sekali lagi mengapa mesti dituding tradisionalis, fundamentalis, narsistik, ekstrimis dan berpotensi melahirkan kekerasan? Kalau mereka yang berikhtiar kembali kepada tradisi awal Islam mengklaim Islam sebagai agama yang paling benar dan mutlak mengapa mesti dituding eksklusif?
Apa yang salah dalam sikap eksklusif tersebut? Bukankah semua penganut agama cenderung eksklusif? Jangankan penganut agama, yang tidak menganut satu agama pun misalnya seorang ateis juga cenderung eksklusif.
Pada akhirnya patut ditegaskan bahwa tidak cukup bukti untuk menuding saudara-saudara kita yang berikhtiar untuk kembali pada tradisi awal Islam sebagai pihak yang berpotensi melahirkan kekerasan. Justru sebaliknya, mereka berpotensi menciptakan kedamaian dan harmoni.
Justru pihak yang merasa diri sebagai pemikir kritis yang suka melahirkan banyak macam isme-isme sangat berpotensi melahirkan kekerasan, paling minimal kekerasan simbolik berupa stigma dan labeling.
Kekerasan apa lagi yang lebih dahsyat yang dipertontonkan oleh Amerika Serikat dan sekutunya di Irak? Tidakkah mereka telah membunuh secara sistematis ribuan umat Islam di sana? Wallahu alam bisshawab.
(***)

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design