Dialog Pluralisme Sering Lupakan Guru Agama

Budhy Munawar-Rachman:
Dialog Pluralisme Sering Lupakan Guru Agama
11/05/2003

Kami tak mungkin mengajarkan wawasan pluralisme, tapi guru-gurunya bukan pluralis. Bahaya sekali dan akan merusak ide besar kami. Makanya, orang tua juga harus mendapatkan training atau semacam acara bulanan di mana mereka bisa memahami pluralisme.
Di tengah kontroversi pasal 13 ayat 1A RUU Sisdiknas saat ini, muncul diskusi publik soal falsafah pendidikan agama. Pendidikan agama selama ini direduksi sekadar penguasaan teknis ritual (ibadah mahdhah) dan aspek kognitif agama. Pendidikan agama sering mengabaikan desain utama agama itu sendiri, yakni kepasrahan dan ketundukan sebagai modal awal pluralisme beragama. Berikut petikan wawancara Ulil Abshar-Abdalla dengan Budhy Munawar-Rachman, Direktur Eksekutif Yayasan Paramadina, pada 8 Mei 2003:

ULIL ABSHAR-ABDALLA: Apa kritik Anda atas pendidikan agama?

BUDHY MUNAWAR-RACHMAN: Pendidikan agama seharusnya ditekankan pada lingkungan keluarga. Realitas selama ini pendidikan agama cenderung berlebihan pada sisi formalisme, ritualisme dan eksklusivisme. Kecenderungan ini berdampak kurang bagus bagi kehidupan beragama itu sendiri.

Adapun pendidikan agama di sekolah memang bukan masalah baru, karena jauh sebelum kontroversi RUU Sisdiknas terjadi, sudah banyak yang mempersoalkan itu. Persoalan ini juga menyangkut bagaimana agama dipahami oleh masyarakat. Agama yang dipahami di masyarakat dewasa ini cenderung formalistik dan eksklusivistik.

ULIL: Artinya, agama sebatas menampakkan simbol-simbol luar belaka?

BUDHY: Ya. Artinya, pengajaran agama di sekolah, berhenti pada pengajaran soal-soal ibadah semata. Memang ada pengajaran akhlak, tapi bersifat kongnitif saja. Soal bagaimana merangsang dan mendorong siswa untuk terlibat dalam pemahaman agama, dan secara afektif membuahkan transformasi diri dalam tataran nilai, rasanya sangat kurang. Belakangan ini ada fenomena yang menarik, di mana sekolah-sekolah alternatif sudah mulai lebih menekankan sisi nilai agama itu sendiri.

ULIL: Bagaimana pendidikan agama di lembaga pendidikan di bawah Yayasan Paramadina?

BUDHY: Memang ada suatu eksperimen yang dilakukan di Madania (TK, SD, SMP dan SMU milik Paramadina). Dengan sistem active learning sejak SD, setiap anak biasanya mendapatkan pendidikan agama sesuai agamanya masing-masing. Juga ada sistem moving class: ketika pelajaran agama, mereka pindah ke kelas agama masing-masing. Ada macam-macam kelas agama terpisah-pisah; Christian class, Catholic class, Islamic class, dan lain-lain. Jadi pasal 13 ayat 1 A RUU Sisdiknas sudah kami lakukan di Madania.

Nah, karena kami mau menekankan pluralisme agama, di masa-masa tertentu, misalnya tiga bulan sekali, kami adakan spiritual atau religion fair atau “pekan raya agama.” Setiap kelas-kelas agama akan berhias diri, simbol-simbol agama juga ditampilkan, dan setiap anak akan datang berkunjung, melihat, dan mungkin bertanya pada guru agama; apa sih artinya pohon Natal? Di sana kita jumpai Budha yang sedang melakukan meditasi, tampilan Ka’bah dan lain-lain. Semua anak bisa melihat simbol-simbol keagamaan yang sangat ekspresif dan penuh nilai kesakralan. Itu jadi pengalaman tersendiri bagi anak-anak.

ULIL: Suatu eksperimen yang menarik! Tampaknya kok belum banyak yang melakukannya. Lantas sikap apa yang lahir dari eksperimen itu pada anak didik?

BUDHY: Karena masih bersifat eksperimen, kami belum tahu apa yang terjadi. Akan tetapi, dari segi sikap, anak-anak jadi sangat terbuka. Siswa-siswa SD yang masih fresh pikirannya dan belum dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang suka mengklaim orang lain kafir, misalnya, akan bisa menerima temannya yang berbeda agama dengan baik.

Yang menarik, orang tua yang melihat anaknya datang ke spiritual fair kadang juga kaget; “Kok anak saya diberitahu tentang agama lain?” Jadi, masalahnya bukan sebatas persoalan guru yang belum siap, tapi orang tua juga. Ini masalah besar; kami ditantang untuk menyiapkan guru yang siap mendidikan sekaligus bisa jadi orang tua.

Kami tak mungkin mengajarkan wawasan pluralisme, tapi guru-gurunya bukan pluralis. Bahaya sekali dan akan merusak ide besar kami. Makanya, orang tua juga harus mendapatkan training atau semacam acara bulanan di mana mereka bisa memahami pluralisme.

ULIL: Bagaimana menangani secara kongkret orang tua yang masih sulit menerima pluralisme?

BUDHY: Lagi-lagi, kalau mengacu eksperimen Madania, kami menyadari bahwa komunitas orang tua penting untuk tahu ide-ide dan visi kami. Sebenarnya sudah ada Persatuan Orang tua Murid dan Guru (POMG), tapi erat kaitannya dengan masalah perbaikan sekolah saja. Kami harus mengisi lebih jauh dan mengenalkan ide-ide dalam agama. Dalam dialog dengan komunitas orang tua inilah kami tahu pikiran mereka. Kami sharing dulu mengenai ide kami tentang sekolah. Kami terangkan bahwa pluralisme itu penting untuk peradaban. Peradaban tanpa pluralisme adalah mustahil.

ULIL: Kebanyakan tulisan tentang pluralisme masih bersifat karya kesarjanaan yang relatif susah dikonsumsi banyak orang. Tanggapan Anda?

BUDHY: Guru-guru harus membaca buku. Itu adalah prasyarat dasar sebelum buku ajar ada. Sekarang buku ajar itu belum ada. Karena itu, guru-guru harus mulai terlibat dalam meng-up date pikirannya sendiri.

ULIL: Bagaimana dengan pendidikan etika atau budi pekerti?

BUDHY: Sekolah-sekolah yang berorientasi internasional biasanya menekankan pada pendidikan budi pekerti. Dalam pendidikan budi pekerti, nilai-nilai yang ditekankan seperti masalah integritas, the law of giving, perasaan memberi berdampak pada kehidupan. Pendidikan ini lebih menekankan pada nilai-nilai kehidupan itu sendiri, bukan sisi formalistik keagamaan.

Nah, tantangan terbesar pendidikan agama adalah bagaimana tetap bisa mempertahankan pendidikan tentang kesadaran ketuhanan yang merupakan inti beragama itu sendiri, sekaligus sisi-sisi kemanusiaan universal. Atau dalam istilah kita, bagaimana menjaga keseimbangan antara hablun min Allah wa hablun min al-nas (hubungan dengan Allah dan manusia, Red).

ULIL: Praktiknya, keseimbangan hubungan itu seakan tidak ada, bahkan terkesan berlawanan. Kecenderungan pengajaran sisi-sisi formalistik seperti ibadah misalnya, tidak bisa sejalan dengan penanaman nilai-nilai kemanusiaan. Tanggapan Anda?

BUDHY: Seharusnya keseimbangan itu ada. Dalam agama apapun, aspek transendental dan kemanusiaan adalah dua sisi yang tak terpisahkan. Kalau mengambil analogi dalam Islam, simbolnya dapat ditarik dari peristiwa takbirat al-ihram waktu salat, dan salam di bagian akhir. Artinya, takbirat al-ihram jadi simbol bahwa kita akan mengalami perjumpaan dengan Allah. Sementara menoleh ke kanan dan ke kiri dalam salam seolah melambangkan bahwa kita berkata pada Allah, “sekarang saya akan kembali ke kehidupan nyata.”

ULIL: Tadi Anda menyebut kecenderungan eksklusivistik dalam pendidikan agama. Bisa dielaborasi lebih lanjut?

BUDHY: Eksklusivisme inilah gejala yang menguat sekarang ini. Di sekolah-sekolah, terutama yang realitasnya plural, ada pengajaran agama yang meninggikan satu pihak atas lainnya. Ini juga yang menjadi kecenderungan para guru agama, karena pada hakikatnya, mereka tidak terlatih memahami persoalan pluralisme. Fakta ini masih jauh dari apa yang diharapkan.

Banyak sudah dialog soal pluralisme agama yang kita lakukan, tapi guru-guru agama tidak pernah diajak. Ini merupakan bentuk kesalahan policy atau kurangnya perhatian kita pada guru. Pentingnya kesadaran akan pluralisme itu bukan hanya sebagai fakta sosiologis karena kita majemuk, atau fakta psikologis agar kita tidak fanatik. Yang lebih mendasar ialah kenyataan bahwa dalam membangun peradaban Indonesia, pluralisme amatlah penting.

ULIL: Adakah gambaran lebih kongkret agar wawasan pluralistik itu bisa diajarkan pada murid?

BUDHY: Secara sederhana, wawasan itu dimulai, misalnya, dengan menghormati orang yang berbeda agama dan tidak menghina mereka. Orang yang berbeda agama lantas tidak dikalim “kafir”. Juga tidak menyebut agama lain itu sesat dan menyesatkan. Dari situlah dimulai langkah pertama untuk bisa menerima friendship dan partnership dalam suatu kenyataan bernama sekolah.

ULIL: Tapi dalam setiap kitab suci agama-agama selalu ditemukan ayat-ayat yang bersifat eksklusivistik. Misalnya, dalam buku ajar TK anak saya, ada ayat bahwa inna al-din inda Allah al-Islam: agama yang paling benar hanya Islam semata. Bagaimana pengajaran pluralisme itu bisa berjalan menghadapi kenyataan seperti ini?

BUDHY: Sebenarnya mudah saja. Inti keberagamaan itu ‘kan kesadaran ketuhanan. Kosakata din dalam bahasa Arab itu sendiri berarti ketundukan dan keterikatan pada Tuhan. Kata islam sendiri juga bisa dikembalikan pada maknanya yang generik, yang asal, artinya ialah kepasrahan dan ketundukan. Kita bisa saja mengajarkan agama bukan dalam pengertian yang formalistik atau dalam bentuk organized religion pada anak-anak kita.

ULIL: Apakah tidak terlalu “tinggi” materi itu diajarkan untuk anak setingkat TK?

BUDHY: Tidak. Kuncinya kita mampu menjelaskannya secara sederhana, misalnya, tentang makna kepasrahan pada Allah. Perumpamaan lain, sekiranya sedang ditimpa musibah, kita mesti bertawakkal, tentu setelah ada usaha menghindarinya. Itulah salah satu bentuk kepasrahan. Ketundukan yang diterima di sisi Allah adalah kepasrahan. Kepasrahan menjadi fondasi agama.

ULIL: Bagaimana dengan pendidikan agama di keluarga?

BUDHY: Pada dasarnya, tanggung jawab pendidikan agama itu ada di pundak keluarga atau orang tua. Orang tua tidak boleh berpangku tangan. Memang ada kecenderungan orang tua melepas anaknya begitu saja karena sibuk atau alasan karir, lalu menyerahkan pada sekolah tentang pendidikan agama. Mestinya pendidikan yang berkait langsung dengan masalah nilai-nilai dalam hidup, agama termasuk di sini, menjadi tanggung jawab keluarga atau orang tua. Jadi tanggung jawab itu bukan pada sekolah, bukan pada negara. Kontroversi mengenai pendidikan agama, harus dikembalikan pada kesadaran bahwa kewajiban menjalankan pendidikan agama ada pada orang tua.

Saya percaya, seorang anak yang mendapat pendidikan agama di keluarga akan jauh lebih baik. Dia akan mengembara sendiri secara intelektual, ketimbang tidak mendapatkan sama sekali di keluarga.

ULIL: Apakah mungkin lingkup keluarga itu diperluas bukan hanya sebatas keluarga kecil, tapi lebih luas meliputi komunitas non-sekolah formal, seperti masjid, gereja, dan lain-lain?

BUDHY: Ya, bisa juga komunitas. Pendidikan nilai basisnya memang pada komunitas. Artinya, di luar jam sekolah masih ada “kelas-kelas tambahan” yang disediakan orang tua sendiri. Misalnya orang tua menyediakan sarana pengajaran Alquran atau praktik ibadah. Atau punya tradisi salat bersama di dalam keluarga. Saya kira, agama selain Islam juga terjadi proses begitu.

Tapi Tak semua orang tua mampu melakukan pendidikan agama. Lalu mereka mendelegasikan wewenang itu pada sekolah.

Kalau sekolah bisa mendidik agama, itu lebih baik. Hampir semua orang tua berharap adanya pengajaran agama buat anaknya di sekolah. Tapi masalahnya, di beberapa sekolah tidak tersedia fasilitas itu. Di beberapa sekolah, yang ada adalah pendidikan agama tertentu saja. Untuk itu, sekolah tadi biasanya memberi pendidikan alternatif berupa etika, nilai atau budi pekerti.

ULIL: Apakah pendidikan budi pekerti selain menyangkut tata pergaulan, juga berkaitan dengan nilai-nilai universal kemanusiaan?

BUDHY: Ya. Dalam istilah agama, kita mengenal istilah akhlak al-karimah. Ini moralitas dasar yang tidak hanya abstrak, tapi juga praksis. Terkadang kita sering menilai moralitas itu relatif, sementara agama bersifat pasti. Agama memang sesuatu yang pasti, tapi ketika guru mengajar agama, dia ‘kan juga menafsirkan secara relatif.

Kita tahu, pengajaran agama sudah diberi sejak dari SD sampai SMU, tapi malah membuahkan siswa-siswa yang hobinya tawuran. Kita harus perbaiki agar pendidikan agama menjadi efektif dan menghasilkan perubahan sikap pada anak didik, sehingga menjadi manusia yang toleran dan berbudi pekerti baik. Jadi budi pekerti inheren dalam pendidikan agama itu sendiri.

ULIL: Kalau agama dipahami secara eksklusif, dengan makin banyaknya pengajaran agama, malah menimbulkan masalah?

BUDHY: Ya. Itulah yang sekarang ini kita rasakan di sekolah-sekolah.

ULIL: Kalau bicara pendidikan agama berbasis pluralisme itu terkait soal bahan bacaan. Bagaimana dengan suplai bahan-bahan ajar?

BUDHY: Sekarang memang mulai terjadi proses di mana masalah pluralisme menjadi pokok soal yang dipikirkan dan menjadi penting. Koran-koran yang banyak bicara masalah pendidikan pluralisme agama menjadi salah satu pertandanya. Saat ini masih belum banyak buku-buku agama yang punya referensi mengenai pluralisme. Kita masih miskin dalam hal itu dan mesti belajar banyak dan menulis ulang. Penulisan ulang buku agama berbasis pluralisme harus sering dilakukan. Juga buku ajar yang nantinya menjadi panduan guru-guru

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design