Objektivikasi Sirah Nabawi

03/10/2005 03:29
Objektivikasi Sirah Nabawi
Oleh Achmad 'Aly MD
Alumnus IKAHA Tebuireng Jombang-Jawa Timur; Staf peneliti Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.

BUKU TERKAIT
Negara Madinah: Politik Penaklukan Masyarakat Suku Arab
Khalil Abdul Karim
LKiS, Yogyakarta, 2005
431 (+ xiv pengantar)

FASE ‘آm al-Wufûd (Tahun Delegasi) yang terjadi puncaknya di tahun 9 H., saudara kandung fase ‘آm al-Futûh (Babad Makah), telah menjadi satu fase penting dalam perjalanan sejarah agama Islam. Di Tahun Delegasi inilah banyak delegasi kepada Nabi Muhammad dan berbondong-bondong orang masuk Islam, dan semakin memperluas kekuasaan agama ini di Semenanjung Arabia. Sesungguh-nya fase atau faktor delegasi dan babad telah saling bercampur dan bereaksi satu sama lain layaknya unsur-unsur kimia, yang kemudian menghasilkan sesuatu yang mencengangkan. Delegasi merupakan ‘illah fâ’ilah (penyebab aktif) yang berhasil membuahkan Babad Makah (th. 8 H.). Dan paska penaklukan (fath al-futûh) yang dihasilkannya, aktivitas delegasi ini terus berlanjut, bahkan semakin padat, berlipat dan mendalam. Aktivitas bahu membahu bersama Babad Makah telah membuahkan hasil besar berupa keuntungan-keuntungan yang berpihak pada kepentingan agama yang dibangun oleh Nabi Muhammad, sekaligus berpihak pada kepentingan negara yang ia bangun kontruksinya di Madinah.

Buku berjudul asli Daulah Yatsrib: Bashâir fî ‘آm al-Wufûd ini merupakan kajian mendalam (bashîrah), yang dibagi dalam dua bagian. Bagian pertama membahas dengan ketajaman mengenai wawasan-wawasan vertikal setiap delegasi yang ada (sebanyak 70 macam delegasi) dengan mendasarkan pada urutan alfhabet. Bagian kedua, membahas wawasan-wawasan horizontal. Tahun Delegasi merupakan garis pemisah dalam lintasan perjalanan agama Islam sekaligus Negara Quraisy. Setelah tahun delegasi ini, terjadilah perubahan total dalam segala aspek dan pada segala bidang yang meliputi: al-Qur’an (dalam rupa tujuh huruf atau tujuh ragam bahasa kabilah), pembersihan kantong-kantong perlawanan, pengumpulan hak-hak harta, ekspansi keluar, melalui berkirim surat kepada kepala negara Semenanjung Arab (menjadi indikasi pertama inklusivitas pada dunia luar); perang Mu`tah, perang Tabuk, dan pengiriman Usamah bin Zaid (pada usia 17 tahun) sebagai komando perang, dan mengenai mukjizat.

Di bagian ini juga berisi kritik terhadap dua kelompok: para pseudo-Islamis, dan pseudo-progresif. Terhadap yang pertama, Khalil bermaksud membongkar hakikat sejarah yang ditutup-tutupi kalangan pseudo-Islamis, berupa penggunaan senjata pada setiap orang yang menolak memeluk agama Islam dari kalangan kaum musyrikin, kafir, atau pagan di lingkup internal Semenanjung Arab. Di sini Khalil melandaskan pada teks-teks tingkat pertama, al-Qur’an, dan Sunnah, serta kitab-kitab turâts monumental karya intelektual muslim yang maqâmnya kredibel dan akseptabel. Menurutnya, tindakan kaum pseudo-Islamis ini sesungguhnya bertolak dari metodologi yang salah kaprah dengan menimbang kejadian-kejadian abad-abad pertengahan dengan timbangan-timbangan abad ke-21 M. (hlm. 411-412).

Sedangkan kritik terhadap pseudo-progresif, Sayyid Quthb misalnya, berkenaan dengan bahasan mukjizat-mukjizat dan hal adikodrati (extra ordinary) yang dinafikan oleh mereka dengan pertimbangan parameter-parameter modern dan posmodern. Menurut Khalil, menafikan terjadinya mukjizat-mukjizat ini, juga menghilangkan, mengabaikan, merendahkan, dan merapuhkannya dengan alasan irrasionalitas dan ketidaklogisannya, juga bertentangannya dengan hukum-hukum kosmos dan penyimpangannya dengan hukum-hukum alam, dsb., malah bertentangan sendiri dengan progresivisme, sebab tidak ada yang lebih mudah daripada penafian itu (hlm. 417).

Dalam pandangan saya, penulis buku ini telah berusaha melakukan pengkajian yang argumentatif dan objektif atas sirah Nabawi. Kajian yang objektif ini merupakan sebuah keniscayaan tersendiri dalam rangka memahami “Islam” (sebagai agama, revolusi, Negara, sejarah dan sebagainya) secara benar dan menilainya secara tepat, juga memfikihkannya dengan model fiqh yang bernuansa keadilan (kemaslahatan). (a_alymd@yahoo.com)



Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design