© Jurnal Pemikiran Islam Vol.1, No.3, September 2003
International
Institute of Islamic Thought Indonesia
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat:
Perspektif tentang Fundamentalisme
Islam
Ismail
Fahmi
Abstract
This article analyzed
Islamic fundamentalism as a phenomena that is related to Islamic geopolitic
vis-à-vis Western geopolitic. In its beginning, the article explores Islamic
fundamentalism in context of global politic by reviewing debate on Huntington’s
clash of civilizations, then criticized it. The facts on Islamic
geopolitic vis-à-vis Western geopolitic also described. The article closed with
concluding remark on phenomena of Islamic fundamentalism as an effort to
dedominate Western geopolitic.
Keywords: Islamic geopolitic, Western geopolitic, Islamic
fundamentalism, clash of civilization, dedomination of Western geopolitic,
global politic
Pendahuluan
Hingga saat ini perbincangan tentang
fundamentalisme agama masih saja mengemuka, terutama karena paham ini dapat
dengan mudah dikaitkan dengan kekerasan dan tindakan terorisme. Fundamentalisme
pun cenderung dimaknai secara peyoratif dengan ciri eksklusif, absolutis,
merasa paling benar dalam memahami sesuatu, dan melakukan hal yang terkadang
bertentangan dengan arus utama. Tentu kalangan yang digelari paham ini merasa
bangga karena mereka memaknainya sebagai sebuah ketaatan yang paling mendekati
kesempurnaan ajaran Tuhan dan pemahaman tekstual terhadap kitab suci adalah
paling benar.
Namun,
fenomena fundamentalisme tidak berhenti hanya pada gejala perdebatan
interpretasi antara kaum skripturalis dan modernis-liberal, tetapi juga
berimplikasi pada sikap antipati keras yang dilakukan oleh kelompok yang
pertama disebut. Dalam Islam, kelompok fundamentalis kerap kali diidentikkan
dengan golongan anti-Barat. Fundamentalisme Islam pun dikenal, terutama di
kalangan Barat, sebagai teroris yang sewaktu-waktu bertindak mengejutkan.
Peristiwa dahsyat 11 September 2001 lalu adalah contohnya. Dalam konteks
peristiwa terorisme internasional, fundamentalisme Islam yang semula dipahami
sebagai gejala perbedaan interpretasi teologis hendaknya juga dipahami sebagai
sebuah upaya dedominasi geopolitik Barat atas Islam.
Dalam
tulisan ini saya akan menganalisa fundamentalisme Islam sebagai sebuah fenomena
yang berkaitan dengan geopolitik Islam berhadapan dengan Barat. Saya
mengawalinya dengan sekilas menyingkap fenomena fundamentalisme Islam dalam
konteks politik global dengan mengangkat kembali perdebatan clash of
civilizations (benturan peradaban) Huntington, untuk kemudian mengujinya,
lalu beranjak mendedah fakta geopolitik Islam vis-à-vis Barat. Akhirnya,
tulisan saya tutup dengan catatan mengenai fenomena fundamentalisme Islam
sebagai upaya dedominasi geopolitik Barat.
Fundamentalisme Islam, Clash of
civilizations dan Politik Global
Istilah fundamentalisme sebenarnya
pertama kali muncul pada kalangan penganut Kristen (Protestan) di Amerika
Serikat (AS), sekitar tahun 1910-an. Nama fundamentalisme digunakan mereka
untuk membedakan kelompoknya dengan kaum Protestan yang liberal yang menurut
mereka telah merusak keimanan Kristen. Kelompok ini ingin menegakkan kembali
dasar-dasar (fundamental) tradisi Kristen, suatu tradisi yang mereka
definisikan sebagai pemberlakuan panafsiran harfiah terhadap kitab suci serta penerimaan
doktrin-doktrin inti tertentu. Teori evolusi Darwin adalah klimaks dari reaksi
kelompok ini.
Secara
faktual, fundamentalisme adalah kenyataan global dan muncul pada semua
keyakinan sebagai respon atas masalah-masalah yang dimunculkan modernitas. Tak
terkecuali dalam Islam, paham ini pun berkecambah luas di berbagai agama:
Judaisme, Kristen, Hindu, Sikh, dan bahkan Konfusianisme. Gerakan fundamentalis
memang tidak muncul begitu saja sebagai reaksi spontan terhadap gerakan
modernisasi yang dinilai telah keluar terlalu jauh, tetapi lahir seiring dengan
ditempuhnya cara ekstrim ketika jalan moderat dianggap tidak membantu.[i][1]
Fundamentalisme
Islam dengan demikian hanya salah satu jenis dari fenomena global yang baru
dalam politik internasional dengan masing-masing latar belakang lebih pada
ideologi politis. Dalam pandangan Bassam Tibi, fundamentalisme merupakan gejala
ideologis dari ide clash of civilizations (benturan peradaban). Gejala
ini bukan disebabkan krisis yang melanda dunia saat ini, tetapi lebih-lebih
muncul baik dari ekspresi krisis tersebut maupun respon atasnya.[ii][2]
Dalam
konteks politik global, fundamentalisme Islam dapat dihubungkan baik dengan
realitas politik internasional maupun pemikiran di balik realitas itu. Sebut
saja ide tentang clash of civilizations Huntington yang cukup
mempengaruhi perilaku politik global pasca-Perang Dingin. Meski tidak valid
secara faktual, ide benturan peradaban tersebut cukup kuat bergema sekaligus
diafirmasi oleh banyak kalangan. Tentu pembahasan tentang clash of
civilizations sudah lama usang. Salah satu alasannya ialah karena sebagai
sebuah interpretasi atas politik global ia tidak lagi relevan. Namun dengan
pretensi sebagai sebuah review saya hendak mengulang mendedahnya berikut
ini.
Di
pertengahan 1993 Samuel P. Huntington, mahaguru studi-studi strategis
Universitas Harvard AS, menyatakan bahwa idenya tentang clash of
civilizations menyediakan sebuah
model yang valid untuk berpikir mengenai masa depan. “The Clash of
civilizations?” semula ditulis Huntington dalam jurnal Foreign Affairs
edisi musim panas 1993. Tulisannya itu banyak mendapat kritik dan olok-olok.
Namun, biasanya dibalik kritik dan olok-olok atas suatu gagasan, implisit
gagasan tersebut diakui mengandung pesona. Terbukti ketika tesanya itu ia
bukukan berjudul The Clash of civilizations and the Remaking of World Order
(1996), tak kurang dari seorang Henry Kissinger dan Francis Fukuyama memujinya.[iii][3]
Harus diakui
bahwa buku Huntington itu banyak mendapat apresiasi dari berbagai kalangan di dunia.
Eksplorasinya yang sangat luas dilengkapi data yang cukup memadai membawanya
pada rasiosinasi (penyimpulan) tentang dominasi benturan peradaban dalam kancah
politik global, terutama antara Barat dan Islam. Bagi Huntington, sumber utama konflik dunia
baru bukan lagi ideologi atau ekonomi, melainkan budaya. Budaya akan
memilah-milah manusia dan menjadi sumber konflik dominan. Negara-negara tetap
akan menjadi aktor paling kuat dalam percaturan dunia, tetapi konflik politik
global yang paling prinsipil akan terjadi antara bangsa-bangsa dan
kelompok-kelompok karena perbedaan peradaban mereka.
Setidaknya
ada lima alasan mengapa Huntington jatuh pada kesimpulan tersebut. Pertama,
peradaban baginya tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; kedua,
kenyataan semakin menyempitnya dunia memungkinkan interaksi manusia dari
peradaban yang berbeda semakin meningkat; ketiga, dominasi peran Barat
akan memunculkan reaksi dedominasi dari non-Barat; keempat, perbedaan
kebudayaan kurang menyatukan ketimbang plolitik-ekonomi; kelima,
kesadaran peradaban bukan raison de‘tre utama terbentuknya regionalisme
politik atau ekonomi
Dipengaruhi
sejarawan Perancis Fernand Braudel, Huntington memandang peradaban sebagai the
broadest cultural entity. Maksudnya kebudayaan merupakan sebuah
representasi dari wilayah yang lebih sempit dan karena itu bervariasi menurut
wilayah, misalnya Jerman, Inggris, dan Perancis adalah kebudayaan, sedangkan
wilayah kesatuannya yang disebut Eropa adalah peradaban. Demikian pula Arab
adalah kebudayaan, sedangkan Islam adalah peradaban; Taiwan adalah kebudayaan,
sedang Cina adalah peradaban, dan seterusnya.[iv][4]
Dalam era
pascaperang dingin, demikian Huntington, paling tidak ada delapan peradaban
dunia yang saling berhadap-hadapan untuk membangun kekuasaan: Barat, Islam,
Jepang, Ortodoks (Rusia), Hindu, Amerika Latin, Afrika, dan Cina
(Konfusianisme), di mana Islam dan Konfusianisme merupakan dua peradaban yang
sangat menonjol untuk mengatasi peradaban Barat. (lihat gambar di
halaman akhir). Politik bagi Huntington bukan hanya berdasarkan
kepentingan, melainkan juga penampakkan identitas (kebudayaan): etnik, agama,
bahasa, golongan.[v][5]
Menarik
untuk menyimak komentar para pengritik tesis Huntington ini dalam Foreign
Affairs edisi September/Oktober 1993 berikutnya.[vi][6]
Diantaranya adalah kritik atas pendekatan macrocosmic Huntington yang
memunculkan peradaban sebagai determinan hubungan internasional dan mengabaikan
peran negara-bangsa (Albert L Weeks dan Fouad Ajami). Ada yang menunjuk proses
kebangkrutan peradaban Barat dan memunculkan keunggulan tertentu non-Barat
(Kishore Mahbubani, Gerard Piel), tapi ada pula yang optimis dengan
superioritas Barat (Robert L. Bartley). Sementara itu, para pengritik lain
menawarkan analisis yang membuka perspektif positif dalam pertemuan
antarperbedaan dan menyarankan agar mengambil yang terbaik dari masing-masing
peradaban (Liu Binyan).
Tak kalah
menarik pula respon yang terjadi di Indonesia. Di sela-sela riuhnya publik
Indonesia menyikapi tesis Huntington ini, Goenawan Mohammad dalam suatu dialog
kebudayaan di Jakarta,[vii][7]
menyatakan bahwa Postmodernisme mengajarkan kita untuk menghormati
heterogenitas, perbedaan, kelainan (otherness), dan sikap ragu terhadap
konsensus. Huntington, katanya, tidak memeriksa secara lebih teliti apa yang
dimaksudkannya dengan “Barat” dan “Islam”. Dalam kacamata Postmodernisme, kedua
istilah tersebut masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan
internal yang nyata.
Dialog
kebudayaan itupun berkesimpulan bahwa perbenturan atau konflik yang akan
dihadapi dunia di masa datang tetap bertumpu pada masalah ekonomi. Jika ada
pandangan yang meramalkan kecenderungan konflik masa depan itu sebagai konflik
peradaban, sesungguhnya itu hanyalah kesan luarnya. Sebab persoalan mendasar
yang menjadi faktor utama penyebab konflik tersebut adalah soal-soal yang
berkaitan dengan kepentingan ekonomi.
Gonjang-ganjing
tesis Huntington itu di Indonesia sebelumnya juga sempat dikomentari sinis
dalam sebuah konferensi Forum Indonesia di Bali, yaitu dianggap sebagai motif
kekuatan di belakang kebijakan AS yang menjadi konsensus pandangan para
intelektual Barat. Hal ini memaksa Dubes AS saat itu, Robert L. Barry angkat
bicara. Dengan diplomatis ia menyatakan bahwa esai Huntington harus dibaca
sebagai suatu peringatan, bukan ramalan.[viii][8]
Huntington kala itu memang fenomenal.
Konteks dahulu, konteks sekarang:
Menguji Huntington
New York—Washington, 11 September
2001. Kita tahu Selasa yang cerah itu tiba-tiba dikabuti oleh debu runtuhnya
dua menara kembar WTC dan serangan ke Pentagon. Osama bin Laden dan jaringannya
menjadi tersangka utama dan sasaran balas dendam. Tragedi itu tiba-tiba
mengingatkan orang kembali kepada sebuah nama yang belum begitu dilupakan:
Huntington. Perbincangan publik dunia, terutama di AS dan Eropa, kembali pada
ide clash of civilizations delapan tahun silam. Hal ini menambah satu
bukti lagi bahwa gagasan Huntington itu mempesona banyak orang. Bahkan tak
sedikit yang berpikir bahwa benturan Barat-Islam itu sungguh telah tiba.
Sebagian besar kalangan dari dunia Islam pun hampir segera membenarkan teori
Huntington itu.
William
Pfaff, kolumnis ternama untuk International Herald Tribune dan Los
Angeles Times Syndicate, adalah orang yang kesekian yang kembali menganggap
klaim Huntington tentang benturan peradaban sebagai sebuah ‘penyederhanaan
gambaran realitas’.[ix][9]
Hipotesa clash of civilizaions Huntington muncul setelah gugurnya
beberapa paradigma politik internasional. Teori sebelumnya yang muncul
berdasarkan peristiwa Perang Dingin, antara dua (ideologi) negara adikuasa
Amerika Serikat dan Uni Soviet, diduga akan menjadi model pendekatan yang
mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik-ekonomi global. Kelak teori ini
ditinggalkan sejak Uni Soviet sama sekali tak lagi menjadi adikuasa dan runtuh yang
akibat kesalahan internal mereka.
Tak lama,
model pendekatan baru pun lahir. Kali ini berdasar pada paradigma Komunisme
Asia di bawah komando Cina. Sejak dekade 1950-an hingga berakhirnya perang
Vietnam, paradigma ini menganggap Cina sebagai negara yang memiliki kemampuan
mengorganisir revolusi ‘dunia pedesaan’ untuk mengalahkan AS yang merupakan
ibukota ‘dunia urban’. Revolusi itu diramalkan akan terjadi dari satu negara ke
negara lain dengan cara kerja efek domino. Namun paradigma ini pun akhirnya terbukti
keliru, kendati AS berperang berdasarkan model ini. Komunisme Vietnam memang
mengalahkan AS, tetapi tanpa efek domino ke negara-negara lain.
Munculnya
Huntington dengan mengusung model clash of civilizations akhirnya mengisi ruang
kosong kebuntuan paradigma politik global. Modelnya merupakan kesimpulan yang
ditarik dari fenomena revolusi kaum fundamentalis Islam Iran yang konon
berwatak keras terhadap AS.
Peristiwa 11
September memang dapat saja diyakini menjadi epilog dari apa yang disebut
benturan Barat-Islam. Tesis benturan peradaban Huntington apa boleh buat telah
diyakini sebagian orang, juga rupanya kerap dipraktikkan terutama oleh Barat,
disadari atau tidak. Sebab, banyak kalangan Islam melihat serangan dahsyat
terhadap AS itu sebagai balasan yang dibenarkan karena bahaya yang mereka
pikirkan yang selama ini dilakukan AS dan Barat terhadap Islam. Tak kurang dari
seorang Mahatir Mohammad pun menyatakan bahwa upaya yang mesti segera dilakukan
adalah identifikasi sebab musabab peristiwa itu sebagai bahan introspeksi Barat
(AS dan Eropa).
Tak
dapat disangkal bahwa kalangan Islam memang meminta AS untuk bertanggung jawab
atas serangan basis-basis militernya ke dalam negara-negara mereka, atas apa
yang mereka lihat sebagai opresi atas masyarakat Palestina, dan atas sanksi
yang telah menghukum rakyat Irak sejak usainya kecamuk Perang Teluk. Banyak
juga mereka yang menyalahkan ketidaklogisan Barat atas keterbelakangan
masyarakat muslim sejak berkembangnya ilmu/teknologi dan paham demokrasi
liberal. Padahal peradaban Barat sangat berhutang kepada dunia Arab-Islam, dan
peradaban Islam sangat berhutang kepada tradisi Hellenisme. Dan dalam kesadaran
ahistoris seperti ini lalu berlangsung imperialisme kultural dan kolonialisme
ekonomi oleh Barat terhadap non-Barat.
Maka,
cukup berbahaya jika pemahaman benturan peradaban terus diyakini baik oleh
kalangan Islam maupun Barat. Ide semacam ini implisit menyiratkan bahwa Barat
dan Islam, juga peradaban-peradaban lain, haruslah selalu berseteru sebab
itulah takdir peradaban. Huntington memang tidak sepenuhnya keliru ketika ia
mengatakan bahwa masyarakat kini mengidentifikasikan diri mereka pada
keleluhuran, agama, bahasa, sejarah, nilai; masyarakat lebih
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok-kelompok budaya (etnisitas), dan
pada level yang lebih luas: peradaban. Akan tetapi, tampaknya ia berlebihan
jika kemudian berkesimpulan bahwa “kita tahu siapa diri kita hanya ketika kita
tahu bukan diri kita, dan serigkali hanya ketika kita tahu siapa lawan kita.[x][10]
Suatu pandangan Hobbesian yang meniscayakan perang.
Lagi pula,
anggapan Huntington bahwa kecenderungan masyarakat dewasa ini melebur ke dalam
entitas kebudayaannya yang lebih luas (peradaban), sesungguhnya terfalsifikasi
oleh kenyataan bahwa kecenderungan masyarakat dunia malah menciutkan diri pada
entitas etnik dan kelompok yang lebih kecil. Pecahnya Uni Soviet yang
masyarakatnya memiliki akar budaya yang relatif sama adalah salah satu
contohnya. Dan tesis John Naisbitt dalam Global Paradox (1994)[xi][11]
barangkali meneguhkan terfalsifikasinya anggapan Huntington ini. Naisbitt
menyatakan bahwa ada paradoks saat dunia semakin mengglobal antara hal universal
versus tribal. Ia bilang: “semakin menjadi universal diri kita, semakin
tribal kita bertindak.”[xii][12]
Ia mencontohkan ketakutan bangsa kita beberapa tahun yang lalu akan
‘kolonisasi’ bahasa Inggris atas bahasa lokal dan Indonesia. Sikap ini hingga
mengakibatkan pemerintah mengeluarkan kebijakan pengindonesiaan bahasa Inggris.
Hal yang sama terjadi di Quebec, Rusia, Ukraina, juga Lithuania.
Sekali lagi,
istilah Barat-Islam masing-masing mengandung keragaman dan berbagai perbedaan
internal yang nyata. Jadi, apa yang dilakukan Osama bin Laden beserta
jaringannya, juga gerakan Taliban, fundamentalisme Pakistan, dan teroris
Palestina bukanlah representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah
fenomena individual di dalam masyarakat Islam. Kaum fundamentalis tidaklah
mewakili ortodoksi arus utama dalam Islam. Mereka dikemudi oleh suatu versi
fanatis dan ideologis agama yang menyerupai nasionalisme. Mereka sendiri
biasanya berpendidikan Barat dan tak banyak tahu tentang isi dan kebudayaan
Islam. Tidak ada terorisme (dalam anjuran ajaran) Islam. Yang ada hanyalah
kenyataan muslim yang menjadi marah, dan teroris yang kebetulan muslim. Itulah
orang-orang seperti Osama bin Laden.
Mengatakan
konflik AS-Afganistan sebagai perang antarperadaban (Barat-Islam) adalah
sesederhana apa yang dipikirkan Huntington tentang clash of civilizations.
Peradaban Islam tidaklah sesederhana sosok Osama bin Laden dan jaringannya. Di
luar seorang Osama, terdapat lebih dari 100 juta penduduk muslim di kawasan
Arab, dan 140 juta lainnya di Pakistan dan Afganistan. Komunitas ini sekarang
tengah terlibat konflik dengan Barat. Juga terdapat 174 juta penduduk muslim di
Indonesia, 100 juta di India, 103 juta di Bangladesh dan 160 juta muslim di
Afrika Sub-Sahara, ditambah 6 juta di AS. Tak sedikit pula kaum muslim yang
hidup di Turki, Eropa Barat, Afrika Utara, Kaukasus dan Asia Tengah.[xiii][13]
Masyarakat
ini mungkin merasakan simpati atas saudaranya yang muslim, tetapi mereka
bukanlah bagian dari jihad Osama bin Laden. Solidaritas Islam tentu ada, tetapi
lebih didasari kemanusiaan yang mengharapkan tidak ada lagi korban tak berdosa
dan tidak ada lagi perang. Hal yang sangat berbahaya adalah jika kaum muslim
semakin menjadi sadar dan yakin bahwa Barat kini tengah dengan sungguh-sungguh
memerangi Islam. Kesadaran inilah yang tengah timbul di berbagai masyarakat
Islam dunia, termasuk di Indonesia. Banyak kalangan menentang AS saat negara
adidaya itu menyerang Afganistan dengan kesadaran bahwa AS tengah mengajak ‘clash’
dengan Islam baik sebagai agama maupun peradaban, seperti dimaklumkan
Huntington. Belakangan ini Presiden Bush berencana menggempur Irak; sebuah
situasi yang kritis bagi perdamaian.
Presiden
Bush dan Colin Powell memang sering mengatakan bahwa AS dan Eropa tidaklah
sedang memerangi Islam baik sebagai agama maupun peradaban, melainkan tengah
berperang dengan teroris individual dan organisasi-organisasi teroris. Bagi AS,
isu konflik dengan Afganistan beberapa waktu lalu dan dengan Irak yang memanas
belakangan ini adalah bersifat politis, bukan kebudayaan maupun religius.
Banyak seruan agar tidak ada lagi perang. Namun, rupanya AS dan Inggris yang terus
berdalih memerangi terorisme akhirnya melancarkan serangan ke Afganistan,
tempat perlindungan sang tersangka Osama. Patut disayangkan baik AS maupun
Afganistan (Taliban) tak memperhitungkan banyaknya korban sipil tak berdosa
yang berjatuhan akibat krisis ini.
Geopolitik Islam vis-à-vis Barat
Hanya selang sekitar dua bulan
sebelum tragedi 11 September 2001 lalu, majalah mingguan terkemuka Inggris, The
Economist, mengundang Prof. Jeffrey Sachs, Direktur the Centre for
International Development Universitas Harvard AS. Dalam pidatonya Prof.
Sachs dengan keras berkata: “Meskipun kemakmuran Amerika Serikat (AS)
bergantung pada jaringan perdagangan, keuangan, dan teknologi dunia, namun saat
ini AS memperlakukan negeri-negeri lain di dunia ini seolah-olah mereka tidak
ada.” Padahal, lanjutnya, apa yang baik bagi kaum miskin (di berbagai negara)
adalah baik pula bagi AS.[xiv][14]
Tragedi 11
September yang mengenaskan itu seakan membenarkan peringatan Prof. Sachs di
atas. Hal ini bukan berarti bahwa dengan demikian terorisme identik dengan
kemiskinan dan serta merta menjadi satu-satunya picu bagi laku terorisme.
Tetapi bukankah wajar jika AS, juga Eropa, hendaknya melakukan introspeksi
mengapa hingga kini jaringan terorisme internasional sebagian besar terkait dengan
dunia Islam.
Menanggapi terorisme Islam ala Osama bin Laden dan jaringan Tanzim
Al-Qaedanya, sastrawan terkemuka Salman Rushdie menyatakan bahwa masalah dan
penyakit Islam sekarang ini berasal dari dalam Islam sendiri. Rushdie menyoal
kemodernan yang kerap ditampik masyarakat Islam, menurutnya menjadi penyebab
kemunduran dan ketertinggalan mereka.[xv][15]
Anggapan Salman Rusdhie di atas tentu beralasan, tetapi betulkah hanya
kebudayaan yang menyeret kembali masyarakat Islam pada situasi kemandegan abad
ke-7. Kiranya jelas, para teroris dan kaum fundamentalis Islam bukanlah
representasi dari peradaban Islam. Sikap mereka hanyalah fenomena individual
yang dikemudi oleh suatu versi fanatis dan ideologis agama yang menyerupai
nasionalisme. Mereka sendiri biasanya berpendidikan Barat dan tak banyak tahu
tentang isi dan kebudayaan Islam. Tentu tidak ada anjuran terorisme dan
kekerasan dalam ajaran Islam. Tetapi mengapa ada orang-orang semacam bin Laden?
Ketika
Huntington mengusung clash of civilizations hampir satu dasawarsa silam yang
secara tegas memprediksi Barat dan Islam sebagai dua peradaban yang kerapkali
berbenturan, sesungguhnya ia semakin mempertegas ranah geopolitik dan sikap
hegemonik Barat atas Islam yang dilakukannya sejak bertahun-tahun silam. Kemunduran dan kesulitan-kesulitan yang melanda masyarakat Islam
senyatanya lebih banyak berkaitan dengan kekalahan geopolitik dunia Islam
ketimbang dengan perbedaan kebudayaannya dengan Barat. Peta geopolitik
seharusnya tidak dibaca sebagai sebuah hikayat moralitas. Maksudnya, harus
dibaca sebagai persoalan ekonomi-politik.
Klaim Salman Rushdie yang mengidentifikasi kemunduran masyarakat Islam
sebagai kesalahan internal mereka, memang menjadi otokritik yang berguna bagi
Islam. Akan tetapi jika kebudayaan dianggap sangat berperan dalam kemunduran dunia Islam, ini tentu
berlebihan. Begitu juga pandangan bahwa kebangkitan masyarakat Kristen adalah
bukti superioritas teologi dan kebudayaan mereka. Pembagian Kristen-Islam
adalah juga merupakan pembagian ekologis antara zona bertemperatur sedang
Kristen Eropa dan zona bertemperatur gersang Islam Timur Tengah, Afrika Utara
dan Asia Tengah.
Prof. Sachs
kembali berkomentar ketika clash of civilizations Huntington, yang berbahaya
karena Hobbesian itu, lagi-lagi menjadi momok pascatragedi 11 September: “...AS
dan Eropa seharusnya memperlakukan dunia Islam tak sekadar demi minyak di Teluk
Persia dan Asia Tengah, dan demi kepentingan ekonomi belaka.”[xvi][16]
Saat Islam berada dalam kemajuan pada abad ke-8, populasi Islam dan Kristen
Eropa sesungguhnya relatif seimbang, masing-masing kurang lebih memiliki 30
juta penduduk. Bahkan kota-kota di negara Islam saat itu menjadi pusat
perekonomian dunia. Waktu itu ada sekitar tigabelas kota Islam dengan lebih
dari 50.000 penduduknya, termasuk Iskandaria, Bagdad, Kairo dan Mekah.
Sedangkan benua Eropa yang relatif maju hanyalah di wilayah Barat, dan itupun
mereka cuma punya kota Roma.
Dalam perjalanan waktu berabad, keseimbangan demografis tersebut berbalik
arah memihak Eropa. Eropa tidak hanya dikelompokkan kembali secara politik di
bawah suatu struktur feodal yang lebih stabil, tetapi juga mengembangkan
teknologi seperti alat pembajakan modern bagi tekstur tanah yang keras
hutan-hutan kawasan Utara benua itu. Populasinya tumbuh cepat setelah abad
ke-10, hingga berpenduduk sekitar 100 juta pada awal abad ke-17.
Pada masyarakat Islam yang terjadi adalah sebaliknya. Mereka dibatasi dan
dikelilingi oleh kegersangan dan keterbatasan sumber daya alam, seperti hutan
untuk kebutuhan akan kayu. Populasi Islam tidak bergeser secara berarti hingga
berabad-abad, sampai mengalami kemajuan tajam pada akhir abad ke-19 dengan
kemajuan revolusi industri dan teknologi yang dijalankannya. Hanya zona sedang
wilayah Turki yang melakukan hal lebih baik secara demografis dari zona gersang
kawasan gurun Arabia.
Awal mula kesulitan yang melilit masyarakat Islam untuk berkembang dimulai
saat tidak dilibatkannya Islam, khususnya oleh pelayar Portugis Vasco da Gama,
pada akhir abad le-15 dalam membangun rute perjalanan laut Afrika hingga Asia.
Waktu itu Gama berupaya menyatukan Eropa dan Asia melalui perdagangan lewat
jalur samudera yang seluruhnya mengambil jalan pintas rute-rute Jalur Sutera
dan Laut Merah Asia Tengah serta Timur Tengah.
Kesulitan semakin mencekik setelah usaha kontrol yang dilakukan Islam
terhadap perdagangan samudera Hindia akhirnya jatuh juga pada kekuasaan
angkatan laut Eropa yang tangguh. Dan upaya perbaikan perdagangan pada saat
yang sama yang dilakukan Islam atas Terusan Suez melalui Laut Merah pada 1869
sudah sangat terlambat. Eropa saat itu telah menang dan akan terus mengontrol
Terusan Suez dan perdagangan-perdagangan jalur laut serupa melalui pendudukan
militer dan kontrol finansial.
Pada akhir abad ke-19, saat
keruntuhan akhir Kekaisaran Ottoman di Turki, Eropa memiliki sumber daya alam
yang relatif melimpah: batubara, gas-air, kayu, dan biji besi. Sedangkan
negara-negara Islam Arabia hanya memiliki sedikit dari stok kebutuhan abad
ke-19 tersebut untuk menyokong industrialisasi. Sementara penemuan
ladang-ladang minyak di negara-negara Islam baru dieksplorasi setelah Eropa
telah menggenggam kontrol kolonial. Tak ayal jika pada abad ke-20 negara-negara
Islam telah kehilangan kontrol atas rute-rute perdagangan, komoditas-komoditas
primer seperti minyak, dan bahkan kedaulatan mereka sendiri di banyak wilayah.
Dengan
standar yang obyektif, hingga detik ini sesungguhnya kota-kota Islam sekarang
ini tidaklah termasuk dalam bagian dari jaringan global perdagangan, pemikiran,
teknologi, dan kebudayaan. Sudah saatnya Amman, Damaskus, Tunisia, Kairo,
Teheran, juga negara semacam Afganistan perlu dihubungkan dengan London, Paris,
Boston—juga dengan Tel Aviv dan lainnya—dalam pertukaran intelektual,
konferensi akademik, kegiatan olahraga, investasi luar negeri, dan perdagangan.
Juga, sejak sekarang kebijakan perdagangan AS dan Eropa hendaknya mengakomodasi
tuntutan perubahan ini. Turki harus tidak lagi dipersulit untuk menjadi anggota
Uni Eropa, dan perluasan susunan perdagangan mesti tidak lagi mendiskriminasi
Timur Tengah dan mengeksklusi negara-negara Islam lainnya.
Ini adalah upaya menopang jaringan kerja masyarakat sipil yang pada
akhirnya akan menutup rapat era peperangan, ketakpercayaan, dan dominasi Barat
terhadap Islam. Sehingga jalan untuk menekan suburnya jaringan terorisme
internasional tidak melulu dengan intensitas yang keras seperti terjadi
sekarang ini. Dan tentu agar segala macam bentuk terorisme tidak lagi memiliki
alasan untuk berkecambah.
Dedominasi Geopolitik Barat: Catatan
Penutup
Harus diakui bahwa setiap agama
selalu berhadapan dengan kemungkinan menjadi ideologi, juga sebaliknya, setiap
ideologi yang ingin memantapkan posisinya cenderung menempuh jalan untuk
memberi warna keagamaan kepada dirinya. Ideologisasi agama selalu diimbangi
dengan religiosasi ideologi. Kalimat di atas hendak menunjukkan bagaimana
agama, termasuk Islam, yang sesungguhnya menyeru pada perdamaian, kasih sayang
dan kebaikan dapat digunakan oleh siapapun sebagai alat untuk mencapai
kepentingan sempit tertentu. Gejala fundamentalisme Islam adalah contoh
bagaimana agama dipahami secara ‘ideologis’. Interpretasi ajaran yang dianggap
paling sahih adalah sumber-sumber awal (al-ushuliyyah). Laiknya
ideologi, agama dikembangkan dari sebuah fondasi yang presis, lengkap, dan tak
dapat diubah. Seperti tulisan-tulisan Karl Marx bagi fondasi Marxisme, Quran
dan Sunnah merupakan fondasi Islam.[xvii][17]
Namun
demikian, fenomena fundamentalisme Islam yang biasanya dipahami sebagai gejala
perbedaan interpretasi teologis, juga hendaknya dipahami sebagai sebuah upaya
dedominasi geopolitik Barat atas Islam. Jadi, persoalan fundamentalisme harus
juga diletakkan pada kepentingan ekonomi-politk. Karenanya, klaim atas kelompok
fundementalisme Islam sebagai representasi dari arus utama Islam adalah
berlebihan.
Mengenai ide
benturan peradaban, sebetulnya Huntington sendiri dalam pengantar bukunya
dengan rendah hati tidak memaksudkan karyanya itu sebagai sebuah kerja ilmu
sosial, melainkan sebagai interpretasi atas perkembangan politik global
pasca-Perang Dingin. Ia pun menyadari bahwa tidak ada satupun paradigma yang
valid secara kekal. Validitas pendekatan peradaban barangkali membantu memahami
politik global pada akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, tetapi tidaklah
menjamin dapat digunakan pada era selanjutnya yang berubah.[xviii][18]
Huntington
pun sudah ‘merevisi’ pandangannya itu, sebab fakta yang sering terjadi adalah
konflik di dalam peradaban masing-masing, baik di Barat maupun Islam. Akan
tetapi, fakta konflik peradaban secara internal ini pun jangan pernah dianggap
bahwa konflik adalah takdir kebudayaan. Sebab anggapan ini identik dengan apa
yang pernah ada pada abad yang lalu, ketika perang antar-ras diyakini
sebagai fenomena dunia di masa depan. Ramalan yang meyakinkan Hitler itu menorehkan
sejarah kelam bagi Eropa. Kita tentu tidak mau menyaksikan untuk kesekian
kalinya Perang Dunia terulang.[xix][19]
Sudah
saatnya kita segera harus melupakan clash of civilizations Huntington,
sambil terus mengupayakan keadilan, pembangunan dan perdamaian. Biarkanlah clash
of civilizations menjadi sampah sejarah, sebagaimana maklumat William
Pfaff. Jika mengikuti saran Bassam Tibi,[xx][20]
upaya demokratisasi dan penegakan hak asasi manusia yang fair merupakan
alternatif mencegah fundamentalisme agama. Kedua isu tersebut akan menjadi
substansi moralitas lintas budaya tingkat global yang memungkinkan masyarakat
dari berbagai peradaban yang berbeda hidup bersama secara damai[]
Lampiran:
Gambar: Politik global peradaban[xxi][21]
Jepang Ortodoks
(Rusia)
Afrika Islam
Barat
Amerika
Latin Hindu Cina
Keterangan:
Banyak konflik
Sedikit konflik
Catatan:
[i][1] Lih. Karen Armstrong, Islam
A Short History (Sepintas Sejarah Islam), Yogyakarta: Ikon
Teralitera, 2002, hlm.193.
[ii][2] Lih. Bassam Tibi, The
Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los
Angeles, London: University of California
Press, 1998, hlm.2.
[iii][3] Sampul muka buku tersebut
dibubuhi sanjungan Kissinger: ‘...one of the most important books to have
emerged since the end of the Cold War. Sedangkan Fukuyama pada bagian
belakang sampul, di antara pemuji-pemuji lain, bilang: ‘The book is dazzling
in its scope and grasp of the intricacies of contemporary global politics.’
Lihat Samuel P.Huntington, The Clash of civilizations and the Remaking of
World Order, London: Simon
& Schulster, 1996.
[iv][4] Lihat Samuel P. Huntington, Ibid.,
h.40-3.
[v][5] Ibid., h.21.
[vi][6] Lihat M. Fajrul Falaakh, “Harmoni Antarperadaban:
Pertemuan Inklusif”, Kompas, 15 November 1993, h.4.
[vii][7] Dilaog bertopik "Masyarakat Pascamodern dan
Benturan Antarperadaban" itu diadakan jurnal ilmu dan kebudayaan Ulumul
Qur'an, tanggal 21 Oktober 1993. Goenawan Mohamad bertindak sebagai
pembicara utama, dengan pembahas Arief Budiman dan Dawam Rahardjo, dipandu
Syafi'i Anwar. Lihat Kompas, 24 Oktober 1993, h.16.
[viii][8] Lihat artikelnya, “Benturan Peradaban atau
Persatuan dalam Keanekaragaman?”, Kompas, 4 Oktober 1993, h.4.
[ix][9] Lihat artikelnya (“The clash
of civilizations Is for History’s Dustbin”) di International Herald Tribune,
18 Oktober 2001, h.9.
[x][10] Samuel P. Huntington, Op.Cit.,
h.21. (we know who we are only when we know who we are not and often
when we know whom we are against).
[xi][11] Lihat John Naisbitt, Global
Paradox, New York: Avon, 1994,
h.24-7.
[xii][12] “The more universal we
become, the more tribal we act...”, Ibid.
[xiii][13] Lihat William Pfaff, “The
clash of civilizations Is for History’s Dustbin”, International Herald
Tribune, 18 Oktober 2001, h.9.
[xiv][14] Lih. The Economist, 14
Juli 2001.
[xv][15] International Herald Tribune, 3-4 November 2001.
[xvi][16] Financial Times, 29 Oktober 2001.
[xvii][17] Lih. Murad Hofmann, Islam:
The Alternative (edisi perluasan kedua) terj. Christiane Banerji dan Murad
Hofmann, United
Kingdom: Garnet Publishing, 1993,
h.55.
[xviii][18] Lihat Samuel P. Huntington, Op.Cit.,
h.13-4.
[xix][19] Ternyata perang intern dalam suatu peradaban—Barat, misalnya—akibat
konflik kepentingan lebih banyak terjadi ketimbang antarperadaban. Perang Dunia
I dan II, contohnya.
[xx][20] Lih. bukunya The Challenge
of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los
Angeles, London: University of California
Press, 1998.
[xxi][21] Gambar diadaptasi dari Samuel
P. Huntington, Op.Cit., h.245.
Bibliografi
Armstrong, Karen, Islam A
Short History (Sepintas Sejarah Islam), Yogyakarta: Ikon Teralitera, 2002
Barry, Robert L., “Benturan Peradaban atau Persatuan dalam
Keanekaragaman?”, Kompas, 4 Oktober 1993
Falaakh, M. Fajrul, “Harmoni Antarperadaban:
Pertemuan Inklusif”, Kompas, 15 November 1993
Hofmann, Murad, Islam: The
Alternative (edisi perluasan kedua) terj. Christiane Banerji dan Murad Hofmann, United Kingdom: Garnet Publishing, 1993
Huntington, Samuel P., The Clash of
civilizations and the Remaking of World Order, London: Simon & Schulster, 1996.
Naisbitt, John, Global Paradox,
New
York: Avon, 1994
Pfaff, William, “The clash of
civilizations Is for History’s Dustbin”, International Herald Tribune,
18 Oktober 2001
Tibi, Bassam, The Challenge of
Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder, Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press, 1998
Financial Times, 29 Oktober 2001.
International Herald Tribune, 3-4 November 2001.
Kompas,
24 Oktober 1993
The Economist, 14 Juli 2001.
Ismail Fahmi, alumni Pondok Pesantren Daar el-Qolam, Banten,
tengah menyelesaikan studinya di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.