Oleh Luthfi Assyaukanie
10/01/2005
Majalah
New Statesman edisi September silam (13/09/2004) membuat laporan utama tentang
Islam berjudul: “Dapatkah Islam Berubah?” (Can Islam Change?). Pertanyaan yang
tampak sederhana ini sebetulnya menyimpan persoalan besar dan menjadi
perdebatan hangat di kalangan intelektual dan sarjana, baik muslim maupun
non-muslim.
Orang-orang
yang berpandangan bahwa Islam tak dapat berubah disebut kaum “esensialis,”
mengacu kepada cara pandang mereka dalam melihat agama ini sebagai
satu-kesatuan esensial yang tak bisa diubah-ubah. Mereka berpandangan bahwa
perubahan dalam Islam dianggap bukan bagian dari Islam.
Sebagian
Orientalis seperti Lord Cromer dan para penulis Barat seperti Samuel Huntington
dan Daniel Pipes berada dalam kelompok ini.
Orientalis
Inggris, Lord Cromer, menganggap bahwa perubahan dalam masyarakat Islam
bukanlah bagian dari Islam. Karenanya ia meyakini bahwa upaya reformasi Islam
bukanlah sesuatu yang Islamis. “Islam yang telah direformasi,” katanya, “bukan
lagi Islam.” (Islam reformed is Islam no longer).
Begitu
juga Huntington dan Pipes. Mereka menganggap bahwa Islam adalah agama yang
stagnan dan tak bisa berubah. Keduanya berargumen bahwa absennya demokrasi di
sebagain besar dunia Islam menunjukkan sikap resistensi Islam terhadap
perubahan. Secara spesifik Pipes menunjuk doktrin bid’ah (innovation) dalam
Islam sebagai konsep kunci untuk menolak perubahan.
Selain
Orientalis dan para penulis non-muslim di atas, cara pandang esensialis terhadap
Islam juga dianut kalangan Islamis yang konservatif dan fundamentalistik.
Mereka meyakini bahwa Islam tidak bisa dan tidak mungkin diubah.
Tokoh
konservatif seperti Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri Wahabisme) meyakini bahwa
Islam harus tetap dijaga dari upaya-upaya pembaruan, karena pembaruan adalah
bid’ah. Yang perlu dilakukan adalah mengembalikan Islam ke zaman Nabi, seperti
apa adanya.
Para
pemikir Islamis seperti al-Nabhani (pendiri Hizbuttahrir) menganggap bahwa
demokrasi adalah sistem bid’ah yang harus ditolak. Sementara Sayyid Qutb (tokoh
Ikhwanul Muslimin) menganggap demokrasi sebagai thaghut (pengacau) yang
bertentangan dengan ajaran Islam.
Kaum
orientalis dan kalangan Islamis, meski keduanya kerap bertentangan dan mungkin
juga saling bermusuhan, bertemu dalam cara pandang mereka terhadap Islam.
Keduanya menolak pembaruan Islam, karena bagi mereka: “Islam yang telah
diperbarui adalah bukan lagi Islam.”
Sementara
itu, orang-orang yang berpandangan bahwa Islam bisa berubah disebut kaum “non-esensialis,”
karena menganggap bahwa tak ada sesuatu yang benar-benar esensial dari Islam.
Sama seperti agama-agama lain, Islam adalah sebuah produk sejarah yang muncul
dan berkembang dalam konteks kesejarahan manusia.
Tak ada
ajaran maupun doktrin Islam yang sepenuhnya bertahan. Ia berubah dan
menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman dan keadaan. Sebagai agama universal,
salah satu modal dasar Islam untuk menyesuaikan diri adalah perubahan. Jika
Islam menolak perubahan, maka sesungguhnya ia melawan dan bertentangan dengan
kodratnya sendiri sebagai agama universal.
Sebagian
besar pembaru muslim, sejak al-Thahtawi, Muhammad Abduh, Ali Abd al-Raziq,
hingga Muhammad Arkoun dan Nurcholish Madjid, adalah orang-orang non-esensialis
yang percaya bahwa Islam bisa berubah dan menyesuaikan diri dengan keadaan.
Berbeda dengan Lord Cromer dan kaum Islamis, bagi mereka “Islam reformed is
still Islam.”
Sebagian
penulis Barat simpatik seperti John L. Esposito, Leonard Binder, dan John Voll,
bisa juga dianggap “non-esensialis.” Mereka semua percaya bahwa Islam bisa
menerima demokrasi, liberalisme, dan konsep-konsep modern yang datang dari luar
Islam.
Saya
lebih sependapat dengan kaum “non-esensialis” itu, ketimbang para orientalis
dan kalangan Islamis yang ingin tetap menyaksikan Islam orisinal, stagnan, dan
tak peduli dengan perubahan di sekelilingnya. Bagi saya, Islam yang dinamis dan
terus berubah lebih menarik ketimbang Islam yang tetap, yang hanya menarik
untuk obyek kajian para Antropolog dan Orientalis. [Luthfi Assyaukanie]