Oleh Luthfi
Assyaukanie
29/11/2004
Freedom Institute
(FI) baru-baru ini mempublikasikan penemuannya tentang jumlah kaum muslim di
Indonesia yang mendukung atau bersimpati kepada Islam radikal di Indonesia.
Hasil survei itu benar-benar mengejutkan. Radikalisme Islam bukanlah fenomena
minoritas. Benar bahwa para pelakukanya (orang-orang yang benar-benar aktif)
hanyalah sekelompok kecil orang Islam saja, tapi dukungan dan simpati terhadap
mereka, menurut survei itu, cukup banyak jumlahnya.
Beberapa hari lalu
saya diwawancara oleh SBS, salah satu stasiun radio terbesar di Australia. Saya
dimintai komentar tentang hasil survey Freedom Institute (FI) baru-baru ini
yang menyebutkan besarnya jumlah kaum muslim di Indonesia yang mendukung atau
bersimpati kepada Islam radikal di Indonesia. Hasil survei ini tentu saja
mengejutkan banyak orang, apalagi masyarakat Australia, yang selama ini selalu
dihibur dengan pernyataan bahwa mayoritas kaum muslim Indonesia moderat;
kalaupun ada fenomena kekerasan yang mengatasnamakan Islam belakangan ini, itu
hanyalah fenomena kecil saja, yang tidak mewakili masyarakat Muslim Indonesia
secara umum.
Tapi, hasil survei
itu benar-benar mengejutkan. Radikalisme Islam bukanlah fenomena minoritas.
Benar bahwa para pelakukanya (orang-orang yang benar-benar aktif) hanyalah
sekelompok kecil orang Islam saja, tapi dukungan dan simpati terhadap mereka,
menurut survei itu, cukup banyak jumlahnya. Dengan kata lain, radikalisme Islam
--yakni model pemahaman Islam yang keras dan tak toleran-- bukanlah masalah
minoritas lagi, tapi benar-benar merepresentasikan jumlah besar (kalau bukan
mayoritas) kaum muslim.
Yang juga
mengkhawatirkan banyak orang dari survei itu adalah bahwa banyak dari pemimpin
Islam yang selama ini dinilai liberal (atau moderat) ternyata tak cukup
memperlihatkan keberhasilan mereka dalam mempengaruhi massa di bawahnya.
Organisasi-organisasi besar semacam NU dan Muhammadiyah memang selalu dipimpin
oleh orang-orang moderat (dan juga liberal), tapi massa di bawahnya masih
banyak yang konservatif dan anti terhadap pemikiran liberal.
Mengapa semua itu
terjadi? Mengapa begitu banyak kaum muslim yang mendukung atau bersimpati
dengan pemikiran Islam yang keras dan intoleran? Mengapa konservatisme Islam tumbuh
subur di Indonesia? Dalam wawancara itu, pertanyaan-pertanyaan ini diajukan
kepada saya.
Tentu saja, ada
banyak jawaban untuk persoalan yang tidak sederhana itu. Tapi, di antara faktor
penting yang bisa menjelaskan mengapa kecenderungan itu terjadi di Indonesia
adalah sumber-sumber pemahaman Islam dan bagaimana sebagian besar kaum muslim
memperoleh pemahaman tersebut.
Kita tahu bahwa
sebagian besar kaum muslim di Indonesia bukanlah ahli agama dalam pengertian
bahwa mereka dilatih dan dididik secara intensif dalam lingkungan agama. Saya
kira, mungkin kurang dari 2 persen jumlah orang Indonesia yang memiliki
kemewahan untuk meneliti dan memahami ajaran agama mereka dengan benar. Yang
saya maksud “dengan benar” di sini adalah mengkajinya dengan perangkat ilmiah
yang obyektif dan sesuai dengan standar keserjanaan yang umum.
Sebagian besar
informasi keagamaan kaum muslim di Indonesia diperoleh lewat apa yang saya
sebut “kaki lima.” Yakni, tempat-tempat yang menyajikan ajaran dan doktrin
Islam secara sederhana dan instan. Islam kaki lima bisa ditemukan dalam
mimbar-mibar khotbah di masjid, ceramah tujuh menit, kuliah keagamaan di TV dan
radio, dan tempat-tempat lain di mana informasi tentang keislaman “diobral”
secara murah dalam retorika-retorika keagamaan.
Sebagian besar
orang yang datang ke mesjid atau yang mendengar ceramah-ceramah di TV atau
radio, adalah orang yang tak memiliki kemewahan untuk merenung dan mencermati
secara kritis apa yang dikatakan oleh para ustaz dan khatib. Selain karena
mereka tak punya perangkat ilmu untuk menilai itu, mereka tak punya waktu
karena disibukkan dengan hal-hal lain yang menjadi profesi mereka. Alhasil, apa
yang mereka dengar dari ustaz atau khatib di “gerai-gerai kaki lima” itu,
adalah apa yang menjadi pandangan keagamaan mereka.
Sebagian besar
informasi keislaman yang disampaikan para khatib dan ustaz di mimbar-mimbar
keagamaan masih sangat konservatif. Hal ini terkait dengan sumber-sumber
pengetahuan dari mana mereka mengakses informasi itu. Kebanyakan buku atau pandangan
yang menjadi rujukan mereka datang dari masa silam (seperti kitab kuning) di
mana pandangan-pandangan konservatif mendominasi. Buku-buku fikih dan para
ulama klasik yang hidup ratusan atau bahkan ribuan tahun silam, kerap dikutip
dalam mimbar-mimbar itu. Versi pemahaman Islam seperti inilah yang kemudian
dikonsumsi para kaum Muslim.
Dengan sosiologi
pengetahuan seperti itu, saya tidak terkejut dengan hasil survei FI dan JIL.
Seorang muslim yang ditanya, misalnya, apakah seorang perempuan boleh jadi presiden,
atau apakah syariat Islam itu mesti ditegakkan di Indonesia, tak ada pilihan
lain baginya kecuali merujuk versi Islam yang dia dapatkan lewat mimbar-mibar
ceramah “kaki lima,” yang kebanyakan konservatif itu. [Luthfi Assyaukanie]