Fenomena al-Idhlal wa al-Takfir



03/10/2005 03:25
Fenomena al-Idhlal wa al-Takfir
Oleh Imam Nakho'i
Dosen Ma'had Aly PP Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo

Belakangan ini seringkali kita saksikan sekelompok kaum beragama, atas nama agama telah men-sesatkan, bahkan memandang kufur kelompok lain yang seagama. Fenomena al-idhlal (penyesatan) dan al-takfir (pengkafiran) ini akan terus menggelinding di tengah-tengah masyarakat.

Fenomena ini juga mengingatkan kita pada peristiwa masa lalu dalam sejarah Islam yang berujung pada simbah darah akibat perbedaan dalam syariah (baca: fikih) dan akidah. Dikisahkan, bahwa penduduk Jilan yang mengikuti Mazhab Hanbali akan membunuh siapa pun dari pengikut Mazhab Hanafi yang memasuki wilayahnya. Demikian pula pengikut Mazhab Hanafi di wilayah Bukhara, Samarkan dan sekitarnya memandang sebuah masjid pengikut Mazhab Syafi’i sebagai gereja. Sampai pada akhirnya ditutuplah masjid tersebut oleh kelompok Hanafiyah dengan lumpur (al-thin) dan tembok keras (al-labin) [al-Ta’yin, hlm 260]. Kisah sama pernah terjadi dalam masalah akidah. Misalnya, tatkala kelompok Mu’tazilah menghancurkan kelompok Asy’ariyah, Syi’ah versus Sunni dan seterusnya.

Demikianlah sejarah umat terdahulu menyikapi perbedaan dalam masalah fiqh dan aqidah. Menyedihkan, bahkan meluluhlantakkan kemanusian serta hak-haknya yang sangat dijunjung tinggi oleh al-Quran. Kita sepakat, bahwa akidah umat harus dijaga. Al-Quran sebagai wahyu Tuhan harus diselamatkan dan dipelihara. Umat manusia harus pula dibimbing ke jalan yang benar. Pertayaannya kemudian, akidah seperti apa yang harus menjadi keyakinan seluruh umat Islam yang harus diselamatkan? Ajaran agama (syariah, fikih) mana yang wajib dipertahankan? Hanyakah ada satu jalan menuju kebenaran atau ada banyak jalan menuju kebenaran yang diyakininya? Jalan yang mana? Bagaimana pula kita menyikapi kelompok yang oleh karena dilengkapi akal oleh Allah kemudian mereka menemukan dan memiliki pemahaman yang berbeda?

Dalam hal akidah terdapat dua jenis ajaran yang disebut dengan istilah al-ushul dan al-furu’. Dalam disiplin fikih juga dikenal dua katagori ajaran, yaitu ajaran yang al-mujma’ ‘alaih dan ajaran yang al-mukhtalaf fihi. Hemat saya, perbedaan dalam katagori kedua (al-furu’, al-mukhtalaf fiha, al-ijtihadiyah, dan al-dhanniyah) tidak dapat dijadikan alasan untuk memandang orang lain sebagai kelompok yang berada di luar ajaran Islam, dalam arti kafir dan sesat. Idhlal dan takfir tidak bisa diberikan pada seseorang atas dasar ajaran katagori kedua ini. [Syajarah al-Ma’arif wa al-Ahwal wa Shalih al-Aqwal wa al-A’mal, hlm 478].

Dalam sebuah kaidah fikih dikatakan “la yunkaru al-mukhtalafu fihi wa innama yunkaru al-muttafaq ‘alaih”/pandangan lain yang masih diperselisihkan ulama tidak boleh serta merta diingkari, berbeda dengan pandangan yang telah disepakati ulama maka kita boleh mengingkari pandangan sebaliknya. [al-Asybah wa al-Nadha’ir, hlm 202].

Sementara itu hampir seluruh ulama sepakat bahwa ajaran yang mukhtalaf fihi jauh lebih banyak dari ajaran yang muttafaq ‘alaih. Ini artinya wilayah takfir dan idhlal dalam ajaran Islam sangatlah sempit, tidak mudah untuk mengkafirkan dan memandang sesat pihak lain.

Lembaga agama atau seorang ulama berhak memandang kelompok keberagamaan tertentu atau orang lain telah keluar dari ajaran agama – dengan semangat membimbing dan meng-arahkan (al-wa’dlu wa al-irsyad) – jika telah menyimpang dari ajaran katagori pertama, yaitu ajaran yang masuk dalam kategori al-ushul al-‘ammah, lubbu al-din, al-mujma’ ‘alaih, ma’lumun min al-din bi al-dharurah atau ajaran yang al-qhath’iyyah. [I’anah, I, hlm 23]

Problem kita adalah tidak adanya kesepakatan di kalangan ulama tentang ajaran yang masuk dalam katagori mujma’ ‘alayhi dan mana yang mukhtalaf fihi. Akibatnya tidak ada standard baku atas dasar apa seseorang dapat dipandang kafir dan sesat. Abu Zahrah dalam bukunya Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah mengatakan, “bahwa perbedaan mazhab baik dalam akidah, politik maupun fikih tidak sampai menyentuh inti ajaran agama, prinsip-prinsip universal Islam dan kewajiban-kewajiban dasar Islam. Sebab mereka masih sepakat dengan keesaan Allah (wahdaniyatullah), kerasulan kanjeng Nabi Muhammad, otentisitas al-Quran, kewajiban shalat, haji, zakat, puasa, keharaman babi dan khamr serta hukum-hukum fikih yang bersifat qhath’i”. Perbedaan di luar masalah tersebut tidak dapat serta merta dipandang sebagai kekufuran dan kesesatan.” [a-Zahrah, hlm.11]

Perbedaan di luar masalah tersebut berlaku kaidah, “pendapat kita benar tapi mungkin saja salah dan pandangan orang lain salah tapi juga mungkin benar” dan kaidah ikhtilafu ummati rahmatun. Inilah toleransi keberagamaan yang pernah dicontohkan dengan cantik oleh ulama salaf al-shalih.

Dalam al-Quran dengan tegas Allah menyatakan, “walau sya`a l-Lahu laja’alakum ummatan wahidatan”/kalaulah Allah mau pastilah ia menjadikan kalian menjadi satu ummat saja [al-Nahl: 93]. Firman serupa juga terdapat dalam surah al-Syura ayat 8 dan al-Ma’idah ayat 48. Tafsir Jalalain menafsirkan semua kata ummatan wahidah dalam ayat-ayat di atas dengan “ahla dinin wahid”/pengikut satu agama. Artinya, kalaulah Allah berkehendak pastilah manusia ini hanya dijadikan satu pemeluk agama saja. Tetapi Allah tidak menghendakinya. Allah menghendaki sebaliknya, pluralitas agama. Dan karena pluralitas itu pulalah Allah menciptakan manusia (wa lidzalika khalaqahum). Keputusan siapakah yang paling benar bukan terletak di tangan manusia di dunia ini melainkan hanya di genggaman Allah kelak di akhirat (fa yunabbi’ukum bima kuntum fihi takhtalifun).

Tiga kesimpulan penting ayat di atas adalah, pertama, untuk setiap generasi, setiap umat, Allah menjadikan satu syari’at berbeda dari generasi atau umat yang lain. Kedua, keragaman syari’at dimaksudkan untuk memberikan ruang gerak umat manusia menemukan kebaikan-kebaikan dalam konteks dan zamannya. Ketiga, umat manusia tidak berhak menghakimi perbedaan-perbedaan itu, sebab hanya Allah yang akan memutuskan persoalan-persoalan partikular agama yang mereka perselisihkan kelak dalam kehidupan yang sesungguhnya.

Tapi apa yang terjadi, kehendak manusia dengan segala kepentingannya seringkali melampaui kehendak Allah sendiri. Allah tidak ingin seluruh umat manusia menjadi tunggal dengan satu Syariah, tetapi sebagian manusia menghendakinya demikian. Mengira hanya ada satu Syariat. Bukankah itu melampaui kehendak-Nya? Di sisi lain manusia juga sering kali merebut hak-hak prerogatif Tuhan dengan cara menyesatkan dan mengkafirkan. Luar biasa!

Memang betul umat Islam berkewajiban untuk saling amar ma’ruf nahi munkar, berupaya menghilangkan kemudharatan (kekufuran), kemusyrikan, kemunafikan dan sejenisnya. Tetapi dengan cara apa? Al-Qur’an menjawabnya, “dengan cara yang bijaksana dan peringatan yang baik (dialog)”. Bukan dengan kekerasan, intimidasi, pengrusakan atau bahkan penjarahan. Jika kita akan meluruskan kemungkaran (dharar) – sebagai bentuk dari realisasi amar ma’ruf nahi munkar – maka tidak boleh dengan cara kemungkaran (merusak, menjarah, dst). Jadi penyelesaian masalah dengan cara kekerasan, intimidasi, atau penjarahan bukanlah cara-cara yang ditawarkan ajaran agung Islam. Bahkan bertentangan dengan inti ajaran Islam itu sendiri. Marilah kita membaca teladan-teladan universal Rasulullah dalam mengayomi umatnya. Wallahu a’lam bi al-shawab.*

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design