Oleh Zuhairi Misrawi
Intelektual Muda NU, Alumnus Universitas al-Azhar Kairo- Mesir; Koordinator
Jaringan Islam Emansipatoris; dan Pimred Jurnal PERSPEKTIF PROGRESIF.
Sebuah kekhawatiran yang muncul di tengah-tengah meluasnya arus-arus
demokratisasi di dalam komunitas agama-agama, baik di negara berkembang maupun
di negara maju sekalipun yaitu gelombang fundamentalisme. Indonesia dan
Malaysia harus diakui bahwa keduanya sedang menghadapi tumbuhnya fundamentalisme.
Setidaknya fenomena tersebut dibuktikan oleh dua hal penting: Pertama,
menguatnya sayap Islam Politik, yaitu partai atau gerakan keagamaan yang ingin
memasukkan Islam dalam kurikulum politik kebangsaan dan kenegaraan. Fakta
tersebut sebenarnya bukanlah hal baru, karena partai-partai Islam sudah ada
sejak lama. PAS di Malaysia dan Masyumi, PPP, belakangan PKS mengusung
"islamisasi negara" dengan mengatasnamakan Piagam Madinah.
Kedua, menguatnya kecenderungan kelompok-kelompok radikal yang mengusung
kekerasan sebagai salah satu inti gerakannya. Khususnya kekerasan dalam
menyikapi perbedaan dan keragaman. Kabar tentang penutupan gereja oleh kelompok
yang mengatasnamakan doktrin keagamaan tertentu merupakan fakta yang tidak bisa
dihindarkan begitu saja. Cara pandang terhadap “yang lain” masih terlihat hitam
dan putih, sehingga yang dikedepankan hanya perlawanan dengan menggunakan
kekerasan. Bahkan tak tanggung-tanggung, ada gerakan keagamaan yang memurtadkan
kelompok yang lain.
Lalu pertanyaannya, kenapa fenomena tersebut terus berkembang, padahal
konstitusi kedua negara tersebut sejak awal mengakui sebagai secular democratic
constitution? Apa yang mesti dilakukan kalangan muda untuk membangun demokrasi
di kedua negara tersebut?
Alasan utama yang tidak bisa dimungkiri, bahwa agama dan negara dua hal
yang sulit dipisahkan. Di samping, lemahnya pendidikan demokrasi atau
kewarganegaraan di komunitas agama-agama. Artinya, demokrasi bisa masuk dalam
ranah negara, tapi dalam ranah agama, seperti tempat-tempat ibadah, demokrasi
kadangkala masih dianggap tabu, bahkan belakangan dianggap “barang haram”.
Oleh karena itu, gelombang fundamentalisme di kedua negara ini sulit
dihindarkan. Karen Armstrong (2000), pakar sejarah agama-agama secara tegas
mengabarkan bahwa fundamentalisme adalah warisan yang inheren dan absah dalam
tradisi agama-agama, khususnya agama semitik. Yahudi, Kristen dan Islam
sama-sama mempunyai pengalaman dan tradisi fundamentalisme. Karena itu,
menguatnya arus fundamentalisme agama-agama di belahan dunia meruntuhkan
pelbagai macam tesis dan pandangan. Kemodernan yang dianggap akan dapat
menggeser posisi fundamentalisme, tapi pada akhirnya harus menerima
fundamentalisme sebagai fakta sosial. Bahkan boleh dibilang, bahwa posisi
fundamentalisme dan kemodernan bersifat sejajar.
Mahmood Mamdani, dalam wawancaranya dengan Asia Source, bahwa
fundamentalisme adalah fenomena kultural yang melanda agama-agama.
Fundamentalisme dalam tradisi Kristen di Amerika, misalnya merupakan sebuah
perlawanan atas mereka yang ingin “menyimpang” dari doktrin dan teks keagamaan.
Begitu pula Fundamentalisme dalam tradisi Islam juga merupakan upaya untuk
mempertahankan sejarah, doktrin dan teks keagamaan. Oleh karena itu,
fundamentalisme adalah fenomena historis.
Namun, satu hal yang perlu mendapat perhatian bersama, bahwa
fundamentalisme sebagai fenomena historis mengalami perkembangan yang menurut
Mahmood harus mendapatkan sebuah apresiasi dan sikap kritis. Dr. Muhammad
Imarah (1999) melakukan kritik yang mendasar, terutama bagi mereka yang mencoba
mencampuradukkan antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Kristen. Pada
mulanya, fundamentalisme dalam tradisi Islam adalah upaya untuk menggali dan
bahkan mengembangkan dasar-dasar keagamaan, sebagaimana terdapat dalam khazanah
Ushul Fikih. Bagi mereka yang memahami khazanah Ushul Fikih dengan baik, maka
Islam akan berwajah progresif. Tapi sebaliknya, bagi mereka yang mendekati teks
dan doktrin keagamaan tanpa melalui media Ushul Fikih, maka kemungkinan akan
menjadi fundamentalis yang radikal, bahkan teroristik.
Kenyataan ini sesungguhnya menunjukkan adanya keragaman fundamentalisme.
Penulis sendiri membagi fundamentalisme dalam dua hal: Pertama, fundamentalisme
positif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi keagamaan
sebagai sumber moral dan etika kemaslahatan publik. Kedua, fundamentalisme
negatif, yaitu fundamentalisme yang menjadikan teks dan tradisi sebagai sumber
dan justifikasi atas kekerasan.
Oleh karena itu, fundamentalisme dalam tradisi Islam sekalipun tidaklah
statis dan tidaklah monolitik. Untuk melihat keragaman corak fundamentalisme
dalam tradisi Islam bisa dilihat dari keragaman aliran, mazhab, institusi dan
tradisinya. Dengan demikian, pandangan Muhammad Imarah dengan mudah dapat
dipatahkan, karena melihat fundamentalisme Islam secara doktrinal saja tidak
cukup dan cenderung menyederhanakan masalah. Apalagi hanya melihat
fundamentalisme dari sisi positifnya dan tanpa melihat sisi-sisi negatif
(madharrat) di balik fundamentalisme. Pandangan Muhammad Imarah bahkan bisa
dianggap terlalu apologetik.
Sisi negatif yang mulai kentara dari fundamentalisme adalah pergeseran
ranah fundamentalisme dari ranah privat menuju ranah publik. Artinya, bila
selama ini fundamentalisme agama-agama hanya berkutat dalam kaitan umat dengan
teks, maka fundamentalisme mutakhir bergulat dengan politik praktis.
Fundamentalisme digunakan sebagai kendaraan untuk merengkuh panggung politik
dan mengamini kekuasaan. Mahmood Mamdani (2005) menegaskan, bahwa salah satu
fenomena fundamentalisme di era modern adalah kecenderungan politik. Bahkan
dengan tegas, Mahmood tidak mau menggunakan istilah “fundamentalisme”. Menurut
dia, mereka bukanlah fundamentalis, melainkan gerakan radikal-politis.
Jim Wallis dalam bukunya God’s Politics: A New Vision for Faith and
Politics in Amerika menunjukkan wajah baru perselingkuhan antara agama dan
politik di negara yang super-demokratis sekalipun. Kalangan kanan-konservatif
ditengarai telah menyokong salah satu kepentingan politik tertentu.
Nah, fundamentalisme dan radikalisme merupakan fenomena yang tidak
terhindarkan, apalagi di Malaysia dan Indonesia. Dalam hal ini perlu pembacaan
kritis atas hal ini. Pembacaan kritis tersebut harus dilakukan dalam dua level
sekaligus; Pertama pada level kalangan progresif dan kedua pada level kalangan
fundamentalis. Kritik pada kalangan progresif harus dilakukan, karena tumbuhnya
fundamentalisme di kedua negara ini disebabkan kurang maksimalnya gerakan
progresif. Gerakan progresif di Turki dan Pakistan barangkali lebih mempunyai
keberanian dan target sasaran yang jelas. Sedangkan di Malaysia dan Indonesia,
menurut Farish A. Noor, tidak memiliki agenda terhadap demokratisasi. Gerakan
progresif tidak lebih dari sekadar justifikasi ideologi politik dan pembangunan
(2004:2)
Pada level kalangan fundamentalis setidaknya dilakukan dua hal penting:
Pertama, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus memahami betul fungsi dan
posisi agama di tengah-tengah masyarakat. Artinya, kalangan agamawan harus
mengembalikan agama kepada khitahnya, yaitu sebagai pembawa obor bagi keadilan
dan kesejahteraan sosial. Hal-hal yang hanya menimbulkan kontroversi yang tidak
efektif sebaiknya dihindarkan.
Kedua, kalangan agamawan dari pelbagai agama harus mendorong lahirnya
gerakan bersama untuk kemanusiaan. Pluralitas adalah sunnatullah yang sejatinya
dibingkai dalam kerangka kemaslahatan publik, tanpa harus membatasi pada
kepentingan yang bersifat sektarian. Puncaknya, pluralitas harus mampu
mendelegitimasi kekerasan yang mengatasnamakan agama apapun.
Kedua hal inilah setidaknya yang akan mampu menetralisir fundamentalisme
agama-agama dan mengambilalih peran agama untuk tujuan kemanusiaan dan keadilan
sosial. Tapi, harus diakui bahwa untuk mewujudkan hal tersebut tidak semudah
membalikkan kedua belah tangan, karena fundamentalisme makin lama makin
memperlihatkan kekuatannya. Munculnya sejumlah fatwa yang kontraproduktif
dengan kebersamaan dan kemanusiaan setidaknya juga menjadi tanda menguatnya
fundamentalisme negatif tadi. Oleh karena itu, wajah keberagamaan yang humanis
perlu dikedepankan dalam rangka membangun demokratisasi yang mulai mekar dan
tumbuh dengan baik.
www.mediaindo.co.id