Oleh: Rahmat Hidayat Nasution
Para pakr masih silang pendapat soal Adam dan Hawa. Sebagaian menganggap Adam di usir. Artikel ini sebagai kritikan terhadap buku "Jalan Kebahagian dalam Konsepsi Al-Qur’an"
Beberapa saat yang lalu, saya sempat membaca sebuah buku berjudul "La Takhaf Wa La Tahzan" yang kemudian diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Mizan berjudul "Jalan Kebahagian dalam Konsepsi Al-Qur’an." Dalam buku tersebut, Muhammad Djarot Sensa, menulis beberapa poin yang menurut saya membawa kepada kerendahan derajat Nabi Adam as.
Adam as. adalah mahluk dari jenis manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah Swt dan ditempatkan awalnya di dalam surga. Sesungguhnya, penempatan bapak manusia pertama tersebut di dalam surga, dikarenakan belum adanya mahluk yang sejenis dengannya. Dan telebih khusus lagi, untuk menunjukkan kepada para Malaikat seperti apa mahluk yang berwujud manusia, baik itu kelebihan dan kekurangannya.
Sebelum menciptakan Adam as., Allah Swt. terlebih dahulu menceritakan rencana perwujudan mahluk berjenis manusia itu kepada para Malaikat. Sehingga, ketika itu, para Malaikat memberikan tanggapan tapi bukan memprotes Allah Swt., ”Mengapa Engkau hendak menjadikan di bumi itu orang yang akan mebuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu.” Perkataan para Malaikat itu dikomentari oleh Allah Swt. dengan kata-kata bijaksana, ”Sesungguhnya Aku mengetauhi apa yang tidak kamu ketauhi”. (QS.Al-baqarah [2]: 30)
Kemudian Allah Swt. menciptakan Adam as., sebagai manusia pertama, dari tanah. Di antara Salah satu sifat tanah adalah mampu menampung dan menyerap apa saja, baik itu kebaikan maupun keburukan. Setelah penciptaan
Allah juga mengajarkan Adam nama-nama benda yang ada ketika itu (QS.Al-Baqarah [2]: 31). Pengajaran nama-nama tersebut membuat para Malaikat kagum. Ternyata mahluk berjenis manusia dan berasal dari tanah itu memiliki kelebihan dari mahluk yang ada di bumi lainnya. Mahluk itu, menurut para malaikat, mampu menyimpan memori yang telah diajarkan oleh Allah Swt..
Kekaguman tersebut, akhirnya meluncurkan kalimat pujian yang sangat indah kepada Allah Swt., “Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketauhi selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Engkaulah Yang maha Mengetauhi dan Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah [2]: 32).
Jadi, berdasarkan historis penciptaan Adam as., yang dilansir al-Qur’an, dapat kita ketauhi bahwa para Malaikat tidak membantah atau memperotes keras atas penciptaan mahluk Allah yang berwujud manusia.
Hanya saja, ketika itu, mereka mencoba untuk memberikan tanggapan atas apa yang direncanakan oleh Allah Swt. -berdasarkan mahluk yang hidup di bumi saat itu. Setelah mereka mengetauhi bahwa mahluk berjenis manusia itu memiliki akal, bukan seperti mahluk bumi lainnya yang hanya diberi nafsu, seketika itu juga mereka memuji Allah Swt.
Di samping itu, Allah Swt. juga ingin mengajarkan kepada para malaikat dan manusia bahwa akal itu memiliki keterbatasan. Diantaranya, tidak mampu mengetauhi yang ghaib (abstrak) dan rahasia ketetapan (hukum) Allah Swt.
Pernyataan Muhammad Djarot Sensa, dala bukunya, La Takhaf Wa La Tahzan (Jalan Kebahgiaan dalam Konsepsi Al-qur’an), yang diterbitkan oleh Hikmah kelompok Mizan, halaman 4, yang melukiskan bahwa para Malaikat memberikan protes keras terhadap penciptaan Adam as. merupakan kekeliruan besar. Karena dapat menimbulkan keyakinan, bahwa para Malaikat tidak setuju dengan kehendak Allah Swt. dalam menciptakan Adam as.
Maka, pemahaman tersebut perlu diklarifikasi. Karena al-Qur’ an sendiri menceritakan bahwa Malaikat merupakan hamba Allah yang patuh, tidak durhaka dan selalu melaksanakan perintah-Nya (QS. At-Tahrîm [66]:6).
Sekiranya para Malaikat memprotes keras penciptaan Adam as., sudah tentu mereka tidak akan sujud. Sujudnya para Malaikat kepada Adam as (atas perintah Allah Swt.) menandakan bahwa mereka setuju dengan penciptaannya.
Maka, sekali lagi, perkataan Malaikat seputar penciptaan Adam as. bukanlah protes keras, tetapi hanya sekedar tanggapan. Karena protes keras selalu diidentikkan dengan ketidaksetujuan, sedangkan tanggapan belum tentu dapat dikategorikan dengan ketidaksetujuan.
Bukan Diusir
Surga merupakan tempat yang sangat indah, yang diciptakan oleh Allah Swt untuk para hambanya yang meyakini, bahwa tiada tuhan selain Allah dan mengakui para Rasul yang membawa risalah-Nya.
Kenikmatan yang ada di dalam surga tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Keindahan dan kenikmatan yang terdapat di dalamnya sudah tentu tidak dapat dijumpai di dunia. Tidak ada bentuk dan warna yang dapat mengilustrasikan keindahan dan keasrian yang ada di dalam surga.
Surga merupakan tempat persinggahan Adam as pertama kali,. Dan di sana juga, akhirnya, beliau ditemani oleh seorang wanita yang bernama Hawa, yang diciptakan dari diri Adam as. (QS. An-nisa’ [4]: 1).
Setelah itu, Adam as. tidak lagi merasa sendirian. Di saat sedang menikmati keindahan dan pelbagai jamuan yang ada di dalam surga, datanglah Iblis menggoda mereka berdua. Penggodaan yang dilakukan Iblis, ketika itu, dengan menggunakan “logika ilmiah”.
Dia berkata, Allah Swt. melarang Adam as. mendekati pohon itu, karena pohon itu adalah pohon khuldi (kekekalan). “Tuhan kamu tidak melarangmu dari mendekati pohon ini, melainkan supaya kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (dalam surga).” (QS. Al-A’raf [7]:20). Untuk menimbulkan kesan ma’ruf, Iblis melengkapi tipuannya dengan sumpah dan klaim nasehat. “Sesungguhnya saya adalah termasuk orang yang memberi nasehat kepada kamu berdua.” (QS.Al-A’raf [7]:21). Hingga akhirnya Adam as. dan Hawa terlupa dan memakan buah terlarang itu.
Peristiwa inilah yang menyebabkan Adam as. diturunkan ke dunia, bukan diusir dari surga. Allah Swt. hanya memindahkan Adam as. ke tempat sebenarnya, yaitu bumi (tanah). Sebagaimana dikemukan di awal, bahwa di antara sifat tanah adalah mampu menampung dan menyerap apa saja, termasuk kedatangan Adam as. Sehingga hikmah kejadian ini mengembalikan kita kepada tujuan utama manusia diciptakan oleh Allah Swt., adalah untuk menjadi khalifah. Sekiranya Adam as tetap di dalam surga, maka kalam Allah Swt. kepada para Malaikat tentang penciptaan manusia menjadi perkataan bathil. Dan ini sangat mustahil sekali di sisi Allah Swt.
Oleh karena itu, sangat ironis sekali ketika pengarang buku La Takhaf Wa la Tahzan (Jalan Kebahgaian dalam Konsepsi Al-Qur’an), Muhammad Djarot Sensa, menuliskan sub judul, makna pengusiran Adam dari surga.
Seolah-olah Adam as. ditolak selama-lamanya untuk dapat memasuki surga dan menjadi penyebab manusia lain, termasuk kita, tidak dapat merasakan kenikmatan surga saat ini.
Hakekatnya, Allah Swt. telah menjanjikan bahwa manusia akan merasakan kenikmatan surga setelah menjalani kehidupan di dunia terlebih dahulu. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya kata ”pengusiran” diubah menjadi ”penurunan”.
Di samping itu, kata pengusiran, biasanya, disimbolkan dengan kehinaan dan tidak diizinkan kembali ke tempat tersebut. Hal Ini sangat mustahil terjadi pada rasul Allah, karena akan membawa kepada kerendahan derajatnya di sisi Allah Swt..
Dan Jika benar Adam as. di usir Oleh Allah Swt., otomatis akan menimbulkan kesan bahwa Allah Swt. telah salah memilih rasul, terbukti dengan mengusirnya. Sungguh itu sangat mustahil sekali, tidak dapat diterima oleh akal sehat.
Menurut keterangan al-Qur’an, Adam as., ketika itu, dalam kondisi terlupa dan tanpa ada kemauan yang kuat untuk melakukan perbuatan tersebut (QS. Tha Ha [20]:115). Karena itu, sekali lagi, sangat tidak tepat jika pemindahan Adam as ke dunia diartikan dengan pengusirannya dari surga.
Adam Dan Hawa Serakah?
Di dalam al-Qur’an, Allah Swt. menceritakan peristiwa penciptaan dan penurunan Adam as. ke dunia dalam tiga sura: al-Baqarah [2]: 35-36; al-A’raf [7]:20; Tha Ha [20]:115. Ketika Membaca dan memahami ayat ini dituntut untuk ketelitian, kejelian dan ketegasan. Karena secara sekilas dapat menjustifikasikan Adam as. dan Hawa sebagai penyebab kebaradaan kita di dunia ini, disebabkan kesalahannya memakan buah terlarang, atau bahkan menuduh mereka berdua sebagai penyebab utama kita mudah menerima penyakit hati dan terpedaya oleh godaan setan.
Pemahaman seperti itulah yang menjangkit dalam pemikiran Muhammad Djarot Sensa, sebagaimana dicoretkannya lewat bukunya, La Takhaf Wa La Tahzan (Jalan Kebahagian Dalam konsepsi al-Qur’an).
Dalam buku tersebut, Djarot Sensa berpendapat ada empat kesalahan fatal Adam as. dan Hawa dari memakan buah khuldi, sehingga membekas pada diri manusia hingga saat ini:
Pertama, kata dia, Adam dan Hawa memiliki sifat untuk melakukan pelanggaran. Terlihat dari perilaku mereka berdua memenuhi perintah dan larangan Allah. Kedua, Adam dan Hawa memiliki sifat rakus dan serakah. Terbukti dengan melakukan pelanggaran terhadap ayat ’jangan mendekati pohon itu’, bahkan memakan buahnya.
Ketiga, Adam dan Hawa memiliki krakteristik cenderung kepada maksiat, sehingga begitu mudah dibisikkan pikiran jahat oleh setan. Keempat, Adam dan Hawa dinilai lalai oleh Allah Swt. dan cenderung memiliki sifat buruk lainnya.
Pemahaman yang dikemukan Djarot sensa merupakan pemahaman yang keliru dikarenakan kurang jeli dan telitinya dalam memahami firman Allah Swt. pada tiga surat tersebut.
Bahkan, pemahaman seperti itu dapat merusak akidah jika tidak diklarifikasi. Secara garis besar, jika benar gagasan yang dikemukan Djarot sensa, tentu akan menimbulkan kesan negatif terhadap Allah Swt., dikarenakan telah salah memilih nabi. Maha Suci Allah dari kesalahan dalam menentukan, memilih dan memperbuat.
Sangat mustahil sekali jika rasul yang dipilih oleh Allah Swt. memiliki catat dan derajat yang hina. Sebagaiman kita ketauhi, bahwa para Rasul Allah itu maksum, terbebas dari dosa.
Di samping itu, mereka juga wajib memiliki sifat amanah. Yaitu, sifat mentaati apa yang diperintahkan oleh Allah Swt. untuk disampaikan dan dilakukan serta menjauhi apa yang dilarang-Nya..
Jadi, sejatinya, Adam as. dan Hawa ketika itu tidak melakukan pelanggaran. Karena Allah Swt. mengatakan bahwa meraka saat itu dalam keadaan lupa terhadap larangan-Nya ”Dan Sesunguhnya telah Kami perintahkan kepada Adam dahulu, Maka ia lupa dan tidak Kami dapati padanya kemauan yang kuat,”(QS. Tha Ha [20]:115).
Apakah orang lupa dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran dalam hukum syar’i (Islam)? Tidak ada satu pun firman Allah Swt. ataupun hadits Nabi Saw. yang menyatakan bahwa orang lupa dikategorikan sebagai orang bersalah.
Maka, sangat ironis sekali apa yang dikatakan Djarot sensa bahwa Adam dan Hawa serakah, cenderung berbuat maksiat dan memiliki sifat buruk lain. Sehingga, seolah-olah, manusia, setelah Adam as dan Hawa, menerima sifat warisan yang buruk dari mereka berdua.
Hanya Adam as dan Hawa saja yang merasa dirinya telah melakukan perbuatan dosa. Padahal, tidak ada satu pun ayat Allah yang menyatakan bahwa Adam as. melakukan perbuatan dosa. Tak pelak lagi, apa yang dikatakan Djarot sensa benar-benar keliru dan merusakkan akidah.
Kalau diteliti, pengakuan Adam as. yang merasa dirinya telah melakukan perbuatan dosa merupakan warisan sifat terpuji yang harus kita contoh. Karena kita, dapat dipastikan, selalu lupa dengan Allah Swt, tapi rajinkah kita memohon ampun atas kelupaan itu? Seharusnya kita malu kepada Adam as yang dilupakan oleh Allah Swt. sehingga memakan buah terlarang, namun begitu bersungguh-sungguhnya dia memohon ampun kepada Allah Swt. disebabkan kelupaannya tersebut.
Marilah kita perbaiki pemahaman kita khusunya tentang diri Adam as.. Karena dia adalah rasul Allah yang mulia, terbebas dari dosa. Dan marilah kita kontrol penggunaan karunia Allah Swt, akal dan nafsu, yang dapat menentukan posisi kita di hadapan Allah Swt. Wa Allah Muwafîq. (Hidayatullah.com)
Penulis adalah Mahasiswa Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir, Fakultas Syariah Islamiyah, Tk. III, dan Dewan redaksi buletin GENERASI Kairo, Mesir periode 2005-2006.