Oleh Goenawan
Mohamad
09/06/2002
Sejarah memukau
ketika ia merupakan sebuah cerita konfrontasi. Buku yang ditulis Zainul Milal
Bizawie ini, dalam arti tertentu sebuah catatan sejarah, mengundang kita untuk
mengikutinya karena ia meneruskan sebuah tema yang sering muncul dalam telaah
tentang Islam, sebuah tema yang, seperti dikatakannya sendiri dalam bab
pertama, berkisar pada ‘perdebatan antara penganut mistik dan syari’ah’.
Pengantar redaksi:
Awal Mei lalu,
terbit sebuah buku berjudul Perlawanan Kultural Agama Rakyat, tulisan Zainul
Milal Bizawie, lulusan IAIN Jakarta. Buku ini mengulas pemikiran keagamaan
Syekh Ahmad Al-Mutamakkin, seorng tokoh sufi dari desa Kajen, Pati, Jawa
Tengah. Buku ini bisa menjadi saksi yang baik untuk pergumulan Islam di
masyarakat Jawa. Sebagaimana kini, dulupun Islam di Jawa bukanlah suatu entitas
yang tunggal. Di dalamnya selalu ada “tegangan” yang justru membuat agama ini
menjadi kaya dengan sejumlah tafsir dan sudut pandang. Goenawan Mohamad,
seorang esais dan penyair terkemuka Indonesia, menuliskan renungannya mengenai
Kiai Mutamakkin ini.
PERLAWANAN KULTURAL
AGAMA RAKYAT (Pemikiran dan Paham Keagamaan Syekh Ahmad al-Mutamakkin dalam
Pergumulan Islam dan Tradisi, 1645-1740), Penerbit: SAMHA dan Yayasan KERiS,
Yogyakarta dan Jakarta, 2002), 181 halaman.
--------------------
Sejarah memukau
ketika ia merupakan sebuah cerita konfrontasi. Buku yang ditulis Zainul Milal
Bizawie ini, dalam arti tertentu sebuah catatan sejarah, mengundang kita untuk
mengikutinya karena ia meneruskan sebuah tema yang sering muncul dalam telaah
tentang Islam, sebuah tema yang, seperti dikatakannya sendiri dalam bab
pertama, berkisar pada ‘perdebatan antara penganut mistik dan syari’ah’.
Milal meletakkan
tokoh dalam telaahnya ini, Syekh Ahmad Mutamakkin, yang disebut sebagai seorang
‘neo-sufis’ yang hidup di tahun 1645-1740, dalam satu garis dengan cerita lain
yang terkenal dari Jawa di awal perkembangan Islam: Syekh Siti Jenar, Ki Ageng
Pengging, Sunan Panggung dan Amongraga. Mereka dikenal sebagai penganut tasawuf
yang mengalami prosekusi dari yang berkuasa, bahkan ada yang dikisahkan sebagai
dibakar hidup-hidup – barangkali gema dari cerita yang lebih mashur dan memikat
dalam sejarah Islam di Timur Tengah, yakni cerita tentang Husain ibn al-Hallaj
yang wafat di sekitar tahun 922.
Yang bagi saya
membuat tema Milal penting ialah karena ia mau tak mau terkait dengan
konfrontasi yang sekarang terjadi – yang di kalangan pemikir dan aktivis Islam
kini sangat dikenal --antara kecenderungan skriptualis di satu pihak dan
kecenderungan yang non-skriptualis (baik yang disebut ‘liberal’ ataupun
‘post-tradisional’) di lain pihak. Tema ini bisa bermanfaat buat dibahas, sebab
bila kita meninjaunya secara lebih luas, ketegangan yang sama juga terjadi
dalam pengalaman umat beragama yang lain, terutama di kalangan Kristen, dari
mana pengertian ‘fundamentalisme’ lahir; ‘fundamentalisme’, dalam arti
tertentu, adalah pandangan yang cenderung secara harfiah memberi tafsir atas
Alkitab.
Dari satu segi,
ketegangan itu juga adalah ketegangan antara apa yang saya sebut, untuk
mudahnya, sebagai keharusan ‘kongregatif’ dalam agama dan dorongan
‘idyosinkratik’ dalam iman. Gellner pernah mengatakan bahwa agama bersifat
‘merayakan komunitas’, tapi agaknya – dengan hanya mengambil kecenderungan
kongregatif dalam agama -- ia tak sepenuhnya benar. Apa yang oleh William
James, dalam karyanya yang klasik hampir seratus tahun yang lalu, disebut
sebagai ‘pengalaman religius’ (religious experience) pada dasarnya menunjuk ke
sebuah fenomena yang unik, yang personal, yang tak bisa disama-ratakan begitu
saja: agama, bagi James, adalah ‘sentuhan nasib pada diri individual’
(individual pinch of destiny). James tentu saja mencurahkan perhatiannya kepada
individu-individu yang mengalami agama sebagai ‘demam yang akut’, dan bukan
agama yang dijalani oleh kaum mukminin biasa, yang bagi James merupakan
‘kehidupan agama lungsuran’ (second-hand religious life). Agama, bagi James,
adalah “rasa, laku dan pengalaman manusia individual dalam kesendirian mereka,
sepanjang mereka menemukan diri mereka sendiri dalam berhubungan dengan apa
yang mereka anggap ilahiah (divine)”’
Kategori James
tentu saja juga sepihak: ia hanya berlaku bagi para nabi yang mendapatkan wahyu
dan para sufi yang mencapai maqam. Memang, James tampak benar jika kita
menerapkannya pada suasana dewasa ini, terutama di Amerika dan Eropa: agama,
sebagai lembaga, mengalami krisis yang gawat. Ia banyak ditinggalkan orang.
Orang umumnya tak mengalami lagi apa yang dulu dianggap, oleh Durkheim, sebagai
jumbuhnya ‘yang sosial’ dan yang ‘religius’. Tapi toh dewasa ini bahkan di
Amerika dan Eropa tak semua gereja menjadi kosong dan dijadikan tempat konser.
Bahkan setelah skandal sex yang kini mengotori Gereja Katolik di Amerika pun
orang umumnya masih tak akan menghapuskan kecenderungan, bahkan keharusan,
kongregatif dalam hidup keagamaan mereka. Charles Taylor dalam sebuah bukunya
yang baru terbit, Varieties of Relgion Today, William James Revisited (Cambridge,
Mass., and London: Harvard University Press, 2002), seraya mengamati perilaku
keagamaan masyarakat Amerika (dan Eropa) mengatakan bahwa bahkan dalam masa
‘pasca-Durkheim’ ini, tesis James sepenuhnya berlaku. ‘Dalam dunia
pasca-Durkheim,’ tulis Taylor, ‘kesetiaan [kepada gereja] akan copot dari suatu
masyarakat yang disucikan…atau sejenis identitas nasional…tapi ia akan maish
merupakan hubungan kolektif’.
Pengalaman sejarah
orang Islam tak dengan sendirinya menempuh dunia yang digambarkan Taylor. Kaum
muslimin umumnya hidup di masyarakat yang belum mengalami sifat ‘menyebar’ yang
terbawa oleh lingkungan pasca-industri; bahkan banyak yang tetap bergulat dalam
sebuah perekonomian pra-industri. Tendensi kongregatif – seringkali kita dengar
dalam ucapan tentang perlunya ‘ukhuwah Islamiyyah’ dan dalam ideologi tentang
‘ummat’ yang tunggal serta tak tersentuh sejarah – selamanya sangat kuat. Di
dalam masa seperti sekarang, ketika politik identitas (terutama menghadapi
‘Barat’) bernyala-nyala, tendensi kongregatif menjadi alat konsolidasi dan
mobilisasi, seakan-akan sebuah kunci bagi kemampuan Islam untuk bisa lanjut
hidup. Dalam masa sebelumnya, ketika Islam masih mengkonsolidasikan diri
sebagai kekuatan sosial dan politik di sebuah masyarakat yang baru saja di-Islam-kan,
seperti Pulau Jawa di abad ke-16 dan 17, tendensi idyosinkratik bisa dianggap
mengacaukan pemahaman umat atas ajaran. Itulah sebabnya prosekusi terhadap diri
mereka yang dianggap ‘mengajarkan ilmu hakikat’ – Syekh Siti Jenar dalam
legenda yang umum di Jawa, misalnya – terjadi.
Tapi samakah Siti
Jenar dengan Mutamakkin? Sedikit sekali yang kita ketahui tentang Siti Jenar,
tapi dalam memaparkan Mutamakkin sebagai tokoh ‘agama rakyat’ yang melakukan
‘perlawanan kultural’, Milal mengemukakan, bahwa ‘kecenderungan syari’ah’
adalah ‘elitis’, dan ‘gerakan Islam lebih memihak elite penguasa sepanjang
penguasa itu memenuhi persyarakat syari’ah daripada keneptingan rakyat banyak
dari kaum buruh dan petani’. Sebenarnya masih perlu studi sejarah lebih lanjut untuk
melihat proses bertautnya kaum ulama Jawa yang berorientasi syari’ah (yang
‘skriptualis’) dengan kekuasaan politik (‘elite penguasa’) di abad ke-7 dan 18.
Sejarah sosial Jawa
umumnya dikatakan sebagai sejarah desak mendesak antara ‘pesisir’ dan ‘pedalaman’,
‘santri’ dan ‘abangan’, ‘saudagar’ dan ‘priyayi’, dan kalau kita baca baik
Wulangreh maupun Wedatama, kanon ‘ajaran’ Jawa yang terkenal, yang bersumber
dari kalangan kraton, kita akan menemukan secara terisrat konfrontasi itu: ada
sikap yang merendahkan kalangan ‘kaum’ (santri) dan mereka yang ‘anggubel
sarengat’ (bertaut dengan syari’at). Milal sendiri mengutip Geertz dalam The
Religion of Java, bahwa ‘mistisisme’ (‘kebatinan’) itu ‘pendukung gaya hidup
priyayi’, yang tak lain adalah lapisan elite yang memerintah Jawa secara
langsung bahkan di masa kolonial Belanda.
Memang, dalam Serat
Cabolek tampak bagaimana ulama seperti Ketib Anom Kudus dan para pembesar
kerajaan Mataram bersatu mengusut kepercayaan Mutamakin. Dalam telaah Subardi
(The Book of Cabolek, The Hague: Martinus Nijhoff, 1975) tentang naskah ini
disinggung bahwa naskah itu ditulis waktu posisi sosial politik Islam dari
wilayah pesisir semakin kuat dan berpengaruh ke kalangan atas, tapi tak begitu
jelas adakah dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Islam yang kongregatif,
dengan menggunakan garis syari’ah sebagai pemersatu, sama dengan Islam yang
membawa semangat ‘pemurnian’, yang bisa dikatakan ‘skriptualis’ dan menentang
budaya lokal, yang pernah terjadi di Sumatera Barat di abad ke-19 dalam gerakan
Padri dan terjadi di Jawa Tengah dengan ‘gerakan Rifangi’ dalam masa yang sama,
yang pernah ditulis oleh Sartono Kartodirdjo dalam buku terkenalnya Protest
Movements in Rural Java. Tak begitu jelas bisakah Ketib Anom Kudus bisa disebut
sebagai wakil ‘pemurnian’ yang ‘skriptualis’. Dalam Serat Cabolek, yang juga
dikutip penuh oleh Milal, tampak bahwa Ketib Anom Kudus juga sangat piawai
dalam membahas kisah Dewa Ruci, dengan menyebut, tanpa enggan, nama-nama dalam
mitologi Jawa yang sarat dengan pengaruh Hindu: Narada, Sang Hyang Wenang,
Wisnu…
Dengan demikian,
masih menjadi persoalan benarkah jelas ada paralelisme dalam dikhotomi antara
‘mistik’ (yang mengasimilasikan budaya lokal seperti wayang dan skisah Dewa
Ruci, yang punya kecenderungan idyosinkratik) dan ‘syari’ah’ (yang berpegang
hanya kepada teks Qur’an dan Hadith, yang percaya dan ingin kembali kepada
‘kemurnian’ ajaran, yang menganggap budaya lokal sebagai bagian dari takhayul,
bid’ah atau khurafat), dengan dikhotomi antara ‘rakyat’ dan ‘elite’. Dalam
kasus Padri dan Haji Rifangi, misalnya, tampak bagaimana kekuasaan, dalam hal
ini penguasa kolonial dan kaum adat setempat (di Sumatera Barat) dan kaum
priyayi (di Jawa Tengah) – sama sekali tidak berpihak kepada mereka.
Mutamakkin dengan
demikian tak dengan pasti bisa diletakkan dalam konfrontasi antara ‘rakyat’ dan
‘elite’, apalagi sementara kita tak tahu pasti seberapa jauh ia datang dari
‘bawah’. Kita tak tahu benarkah asal usulnya, wilayah Tuban dan Pati, merupakan
‘pinggiran’ dalam konstelasi Jawa di abad ke-17, meskipun oleh Milal disebut
sebagai daerah yang ‘rawan pemberontakan’. Milal sendiri menyebut Mutamakkin
sebagai ‘seorang ningrat, keturunan raja dari Pangeran Benawa’ dan seorang
ulama yang bersekolah di Timur Tengah (‘yang kala itu mempunyai posisi
tinggi’). Dengan kata lain, tokoh ini mempunyai ciri lengkap sebagai bagian
dari kalangan elite. Menurut Milal ia ‘mendapat posisi di hati rakyat’,
‘didukung dengan garis keturunan serta kedalaman ilmunya’, tapi bagi saya belum
jelas kenapa justru darah ningrat dan ‘kedalaman ilmu’ itu merupakan alasan
dukungan rakyat kepadanya, dan bahwa ia dengan begitu mewakili apa yang disebut
Milal sebagai perlawanan ‘agama rakyat’.
Sebab itu kiranya
lebih menarik untuk menelaah apa sebenarnya yang hendak diutarakan Mutamakkin.
Serat Cabolek memang merupakan teks yang ditulis untuk menggambarkan ulama dari
desa Cabolek itu dalam wajah yang buruk secara fisik (‘Pun Mutamakin punika
dapure kadya cumiris’) maupun intelektuil. Dalam kata-kata Milal, naskah itu
merupakan contoh ‘hegemoni Agama Keraton’. Tetapi yang menarik ialah bahwa
sebenarnya dalam teks itu ada ambivalensi. Mutamakiiin dianggap salah oleh para
ulama lain karena ia, sebagaimana dikutip Milal, “mengajarkan ilmu hakikat
kepada khalayak umum’. Para ulama, dengan inisiatif Ketib Anom Kudud,
mengadukannya kepada raja agar ajaran Mutamakkin dilarang dan ia dihukum mati.
Tapi seperti dikutip Milal pula, semula raja Pakubuawana tak mengabulkan
keputusan yang dibuat Patih dan para ulama untuk menghukum mati ulama Cabolek
itu. ‘Kegunaan ajaran kisah pengetahuan mistis al-Mutamakkin adalah untuk diri
sendiri, dan dia tidak berusaha untuk mengubah pandangan Jawa secara
menyeluruh’. Bagian dari Serat Cabolek yang mengulas Dewa Ruci bahkan mengesankan
bagaimana penulis teks ini bukan saja sangat mahir, tapi juga sangat menyukai
simbolisme Jawa dengan tradisi wayangnya – tapi pada bagian yang sama ada
peringatan akan perlunya ketaatan akan hukum Islam berdasarkan yang bersumber
Qur’an dan Hadith. Jika dibaca, terutama karena dalam bahasa Jawa, kita bisa
mendapatkan kesan bahwa Serat Cabolek kurang meyakinkan untuk disebut sebagai
lawan diametral dari apa yang oleh Milal dikemuakan sebagai ajaran Mutamakkin.
Tapi jelas, bahwa
Serat Cabolek bersikap merendahkan ulama dari wilayah Tuban dan Pati itu, dan
hanya terpana akan tokoh Ketib Anom Kudus yang wibawanya terasa bahkan dalam
teks. Salah satu jasa dari penelaahan Milal ialah menunjukkan bahwa ada
‘textual politics’ dalam naskah itu –dan dengan cara yang sangat tepat: ia
menunjukkan versi yang berbeda, dari pihak yang berlawanan, tentang cerita yang
sama. Milal mengedepankan teks yang diperolehnya dari wilayah Kajen – sebuah
usaha yang dihargai oleh sejarawan M.C. Ricklefs. Dari sini tampak bagaimana
Mutakakkin sebenarnya lebih ulung ketimbang Ketib Anom Kudus, terutama dalam
membaca dan menafsirkan Dewa Ruci. Bahkan. Menurut teks Kajen sebagaimana
dikisahkan oleh Milal, sang raja pun akhirnya menyatakan diri sebagai pengikut
Mutakamkkin.
Yang menarik di
sini ialah bahwa pada akhirnya yang jadi ukuran keungguan adalah kemampuan
interpretasi ulama Islam atas khasanah kebudayaan lokal yang sumberunya bukan
Islam – sebuah interpretasi bukan untuk mematikan, malah untuk menghidupkannya
lagi. Dan tak kalah penting ialah bahwa pada akhirnya yang jadi lambang utama
bukanlah lambang kongregatif – misalnya barisan perang melawan kebatilan Kurawa
-- melainkan sebuah pengalaman rohani yang sangat mungkin untuk memberi peluang
bagi warna idyosinkratik dalam beriman: Bima melihat Dewa Ruci sebagai sosok
lembut dari dirinya sendiri, dan memasuki telinga Dewa Ruci sendirian, untuk
bersatu dengan yang Ilahiyah. Semua itu bukanlah sebuah pengalaman kolektif,
bukan sebuah tafsir untuk mengukuhkan identitas. Abdul Karim Shaoroush pernah
mengatakan, bahwa baginya ada dua macam Islam: ‘Islam identitas’ dan ‘Islam
kebenaran’. Ia, mungkin seperti Mutamakkin dan seperti setiap orang yang sadar
bahwa pada akhirnya orang akan menghadap Tuhan sendiri-sendiri, lebih memilih ‘Islam
kebenaran’.