Gunung Api Agama

Oleh HD. Haryo Sasongko
19/07/2004

Sosiolog Peter L. Berger meyakini bahwa agama adalah sacred canopy yang sampai kapan pun akan melindungi manusia dari chaos. Agama baginya merupakan semesta simbolik yang selalu memberi makna pada kehidupan manusia, dan karena itu akan selalu dibutuhkan sampai kapan saja. Tapi bertolak belakang sama sekali dari pendapat Berger, AN Wilson --novelis dan wartawan Inggris-- malah menulis buku berjudul Against Religion: Why We Should Try to Live Without It. Di sini, Berger terlihat optimis dalam memandang agama, sementara Wilson pesimis akan peranan positif agama bagi manusia.

Lantas, mana dari keduanya yang benar? Bukan jawaban hitam putih itu yang kita cari, dan itu memang tidak perlu. Masing-masing dari mereka melihat agama dari sisi yang berbeda; makanya masing-masing bisa benar dan bisa salah. Titik persamaannya: keduanya memandang agama seperti gunung api. Yang satu optimis gunung api sangat berguna, karena dapat menciptakan lahan pertanian yang subur melalui lahar yang dimuntahkannya. Yang pesimis, justru melihat lahar sebagai ancaman, karena bila gunung api meletus, akan banyak korban yang berjatuhan.

Karena itu, akan lebih baik bila kita melihat gunung api sebagai subyek yang mempunyai potensi membangun dan merusak sekaligus, dan kita harus mampu mengendalikannya. Makanya, kalau terhadap gunung api kita membutuhkan kemampuan teknologi, terhadap agama kita butuh kemampuan penalaran, wisdom, juga kesadaran diri. Ringkas kata, kita perlu aktualisasi pemikiran, pemahaman, dan juga perilaku keagamaan di tengah-tengah masyarakat yang serba plural sekaligus kental dengan sentimen-sentimen primordial ini.


Sikap Partisipatif

Aktualisasi pemikiran, pemahaman, serta perilaku keagamaan, sesungguhnya merupakan tonggak untuk membangun sikap partisipatif dan inklusif bagi setiap pemeluk agama yang menyadari bahwa dirinya adalah bagian yang tak terpisahkan dari masyarakatnya yang pluralis. Kesadaran ini merupakan napas utama bagi tegaknya demokrasi. Karena itu, bagi masyarakat Indonesia yang jelas serba plural, membangun konsensus (ijmâ') melalui berbagai bentuk ijtihad agar umat beragama tetap eksis di tengah kemajuan dan perkembangan sosial, politik, budaya, ekonomi, dan hal-hal --yang secara jelas belum terungkap pada teks-teks keagamaan yang lahir beberapa belas abad yang silam--.merupakan keharusan. Sebab teks-teks tersebut memang tidak berbicara soal detail, melainkan hanya menunjukkan garis besar persoalan yang tak luput dari kontek situasional. Dengan modal akal yang dimilikinya, selanjutnya merupakan tugas manusia untuk menjadikan teks-teks tersebut tetap bermakna dinamis.

Dengan modal akal yang diberikan Tuhan, kita harus dapat menggunakannya seoptimal mungkin, sehingga setiap teks tetap aktual dan kontekstual. Sebab justru dengan pemberian bekal akal itu, Tuhan tak pernah lagi memberikan bekal lainnya kepada manusia dalam bentuk yang matang dan final. Semuanya serba mentah, dan manusialah --dengan akalnya-- yang harus mengolah bekal itu menjadi matang dan final. Pengertian matang dan final di sinipun bersifat dinamis, terus berkembang. Apa yang dianggap matang dan final hari ini, boleh jadi akan dianggap belum matang dan belum final besok pagi. Teks keagamaan, sesungguhnya bukan doktrin yang harus membuat kita menjadi dogmatis dan beku.

Pada konteks ini, tepat apa yang dituliskan Ulil Abshar Abdalla. Menurutnya, "musuh Islam yang paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang tertutup bahwa suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan itu merupakan hasil usaha bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa." (Kompas, 18/11/ 2002).

Dalam banyak hal, dogmatisme akan melahirkan sikap dikotomis yang berujung pada radikalisme. Karena itu pula, di sela-sela Konferensi Internasional Cendekiawan Islam (International Conference of Islamic Scholars-ICIS) yang diselenggarakan di Jakarta 24 Februari 2004 lalu, Nurcholish Madjid menegaskan perlunya menghapus dikotomi-dikotomi antara kelompok Islam dan Nasionalis, Islam moderat dan Islam radikal, dan dikotomi lainnya yang dikuatirkan akan menimbulkan perpecahan anak bangsa. Yang diperlukan saat ini justru konvergensi; penyatuan atau saling membangun pendekatan satu sama lain.

Semua itu hanya akan terlaksana bila kita mau melakukan aktualisasi secara terus-menerus dalam pemikiran dan pemahaman keagamaan kita, dan mengolah semua yang bersifat tekstual menjadi kontekstual. Di tengah-tengah pluralisme kehidupan, sesungguhnya satu sama lain saling membutuhkan. Primordialisme tak perlu dipandang sebagai hantu, karena bila dilihat dari sisi positifnya, justru dia merupakan landasan untuk membangun dinamika bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Konsensus Bersama

Melihat pelbagai fenomena keagamaan yang berkembang seputar kita, adalah kewajiban setiap pemeluk agama, atau aliran kepercayaan apapun, untuk tidak menampilkan apa yang diyakininya sebagai pedang yang siap memenggal pihak lain yang dianggap lawan atau berbeda keyakinan. Agama, justru harus dimanfaatkan potensinya untuk membangun konsensus bersama dalam suatu tatanan masyarakat pluralistik. Sekali lagi, agama memang bisa menjadi gunung api yang meletus dahsyat dan meminta banyak korban bilamana tersumbat atau disumbat pemeluknya sebagai doktrin-doktrin yang dogmatis. Hanya saja, kalau kita buka sumbatan itu dan membiarkan laharnya mengalir secara perlahan, justru itu akan menciptakan kesuburan dan kemakmuran masyarakat yang ada di sekelilingnya.

Dengan aktualisasi pemikiran, pemahaman dan perilaku keagamaan, dan ditambah semangat untuk memaknai setiap teks-teks agama secara kontekstual, sesungguhnya kita sedang melangkah menuju perwujudan civil society secara lebih nyata. Salah satu aspek penting civil society tak lain adalah menerima pluralitas sebagai potensi untuk mengembangkan sikap inklusif.di tengah-tengah masyarakat.

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design