Oleh
Abdul Mukti Ro'uf
21/09/2005
Menghadirkan
demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah.
Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi.
Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif.
Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual
maupun yang kontekstual sudah teramat banyak.
Cak Nur Itu Seorang
Teolog Yang Visioner
Menghadirkan
demokrasi di negeri bermayoritas muslim seperti Indonesia ternyata tidak mudah.
Sebabnya bukan karena Islam sebagai doktrin tidak welcome terhadap demokrasi.
Spirit Islam dan spirit demokrasi bahkan dapat bertemu secara substantif.
Penelitian tentang wacana kesesuaian Islam dan demokrasi baik yang tekstual
maupun yang kontekstual sudah teramat banyak. Sebut saja hasil penelitian
mutakhir sarjana Barat seperti Robert W. Hefner (Civil Islam: Muslims and
Democratization in Indonesia: 2000). Dengan analisa "antropologi demokrasi"nya,
Hefner merekomendasikan bahwa Indonesia memiliki modal sosial dari sejarah
Islam Indonesia dalam mengembangkan demokratisasi. Tokoh-tokoh besar seperti
Abdurahman Wahid dan almarhum Nurcholish Madjid, sepanjang karir intelektualnya
tidak pernah berhenti untuk mendorong laju demokrasi di Indonesia. Demokrasi
memang bukan segalanya, tetapi ia lebih bisa diterima ketimbang yang lain
seperti teokrasi.
Keberhasilan
Indonesia menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilihan persiden secara
langsung sepanjang tahun 2004 lalu, dipuji oleh majalah terkemuka The Economist
edisi 10 Juli 2004, yang dalam cover story-nya membuat judul, "Indonesia's
Shining Muslim Democrazy" (Demokrasi Muslim Bersinar di Indonesia). Pujian
dunia internasional terhadap keberhasilan "proyek demokrasi"
sekaligus "hadiah" bagi umat Islam (yang percaya dengan demokrasi)
dalam mengaplikasikan "Islam damai" sekaligus membantah tudingan akan
suburnya "islam radikal" di Indonesia.
Fakta ini juga
menjawab "tudingan" Oliver Roy (The Failure of Political Islam) yang
mengatakan bahwa kemenangan politik islamis di negeri muslim hanya membawa
berbagai perubahan superfisial di bidang hukum dan adat istiadat. Islamisme,
belakangan berubah menjadi tipe neo-fundamentalisme yang hanya peduli kepada
gerakan menegakkan syariat tanpa menciptakan bentuk-bentuk politik yang baru.
Pengalaman
keberhasilan kerja demokrasi di negeri berpenduduk mayoritas muslim seperti
Indonesia-meskipun baru seumur jagung-dengan demikian semakin meyakinkan bagi
akademisi politik ternama seperti Liddle, Stephan, Esposito, Voll, dan Hefner
bahwa umat Islam di Indonesia berbeda dengan umat Islam di kalangan Timur
Tengah yang selalu dipersepsi keras.
Namun, seperti
diingatkan Hefner, modal sosial yang dimiliki itu bisa saja berbalik sebagai
ancaman bagi demokrasi. Pasca-robohnya rezim Orde Baru, ternyata tesis Hefner
tengah mendapat pembenarannya, baik sebagai pendorong demokrasi maupun sebagai
'pemukul' demokrasi. Aktualitas kehidupan beragama adalah salah satu ukuran apakah
pilar-pilar demokrasi dapat terjabarkan dengan baik pada tataran sosiologis
atau tidak.
Tidak dapat
dielakkan, di Indonesia, karena fakta kemajemukan yang tinggi, hubungan antar
agama dan suku sering melahirkan konflik serius. Islam dan Kristen misalnya
(dua agama yang paling sering "berseteru"), selalu saja memunculkan
"kecurigaan teologis" di atas isu semacam "Kristenisasi"
dan "Islamisasi". Orang Islam khawatir dikristenkan dan orang Kristen
khawatir diislamkan. Konflik antar agama ini sering pula didasarkan atas
hubungan mayoritas-minoritas di mana politik diskriminatif sering berlangsung.
Fakta-fakta terbaru
seperti perusakan kampus Ahmadiyah di Parung Bogor, kontroversi 11 fatwa MUI,
penutupan gereja di Bandung dan Serang Banten oleh warga adalah dilema
tersendiri bagi pembangunan demokrasi, untuk tidak menyebut sebagai cacat
demokrasi. Ada sebagian dari gerakan Islam yang amat serius menangani isu
semacam itu dengan paradigmanya sendiri yang acapkali memicu kekerasan.
Seolah-olah, dalam konteks penutupan tempat ibadah secara paksa, antara agama
satu dengan yang lainnya sudah tertutup ruang toleransi. Surat Keputusan
Bersama No.01/BER/MDN-MAG/1969 (Menteri Agama dan Menteri dalam Negeri) menjadi
alasan hukum untuk menutup tempat ibadah yang tidak seharusnya. Di samping
alasan hukum, ada semangat keagamaan yang menyelinap di atas logika penutupan
tempat ibadah oleh kelompok agama lain. Bagi mereka, gerakan ini adalah bagian
dari ibadah dan dakwah yang diletakkan dalam frame amar makruf nahi munkar.
Dilema empirik
semacam itu, meskipun secara bijak harus dianggap sebagai bumbu demokrasi,
haruslah dianggap sebagai masalah serius baik oleh warga maupun negara. Bagi
negara yang menganut sistem demokrasi, ekspresi keberagamaan warga haruslah
dijamin melalui undang-undang. Hubungan mayoritas-minoritas harus diletakkan
dalam bingkai keadilan. 'Warga mayoritas' tidak bisa berlindung di atas nama
kuantitas. Keduanya harus bergerak meng-indonesia. Jika tidak demikian, maka
warna-warni 'bunga Indonesia' tidak lagi indah dipandang mata.
Sinergi Islam dan
Demokrasi
Ironi demokrasi
yang disajikan Indonesia, jika mau jujur, bukanlah hal baru dalam praktik
demokrasi di negera-negara tertua demokrasi sekalipun. Di AS misalnya, ironi
semacam itu sering pula terjadi. Kelompok White Anglo Saxon Protestant (WASP),
sebagai kelompok mayoritas di AS, memiliki privilege di atas yang lainnya.
Artinya, secara diam-diam, ideal demokrasi seringkali dikalahkan oleh
aktualitasnya. Karena itu, tidak keliru jika Giovanni Satori (1986), seperti
dikutip Amich al-Humami (Negara Sekuler: Sebuah Polemik: 2000), mengajukan
pertanyaan kritis: "Jika kita bicara tentang demokrasi Barat, maka kata
kuncinya itu 'Barat' atau 'pengalaman'? Dalam perspektif demikian, Demokrasi
Indonesia haruslah dibangun secara mandiri dan otonom dari pengalaman demokrasi
negara-negara Barat. Sebagaimana Iran, Indonesia kurang lebih sama. Yaitu,
bagaimana menjadikan agama (Islam) sebagai pemandu demokrasi yang khas
Indonesia. Mungkin di sini ada soal klasik, yaitu bagaimana Islam sebagai
ajaran diolah menjadi 'menu Indonesia' sebagaimana anjuran Cak Nur,
"bagaimana ber-Islam secara Indonesia dan 'ber-Indonesia' secara
Islam". Maksudnya, Islam (dengan I besar) sebagai sebuah ajaran yang murni
mau tidak mau harus berdialog dengan islam (dengan i kecil) sebagai aspek
kesejarahan umat Islam. Dinamisme masyarakat muslim Indonesia sebagai fenomena
keberagamaan, yang oleh Hefner disebut sebagai modal sosial demokrasi harus
selalu diperiksa untuk meneguhkan kembali ikatan Islam dan demokrasi, terutama
pada wilayah sosialnya.
Dalam ruang yang
lebih spesifik, kehidupan demokratik harus ditopang oleh kehidupan beragama
yang kondusif. Untuk itu, kehidupan umat beragama di Indonesia harus diletakkan
dan diabdikan untuk kepentingan umat Indonesia. Itulah yang dimaksud dengan
'ber-Islam secara Indonesia' ala Cak Nur.
Pengrusakan,
penutupan paksa tempat ibadah adalah "peristiwa sosial" yang
mendefisitkan cita-cita demokrasi. Jikapun bukan atas nama demokrasi,
"peristiwa sosial" yang anarkhis pastilah tertolak secara sosial.
Maka, kebebasan beragama harus mendapat tempat yang layak di atas pelataran
demokrasi Indonesia. Posisi mayoritas-minoritas harus ditempatkan dalam bingkai
keadilan yang jujur.
Kekhawatiran
"penjajahan teologis" dari agama satu ke agama lain bukan lagi
menjadi wacana yang menarik di era multikulturalisme dan pasar bebas agama dan
budaya. Agama-agama justru harus menjadi 'imam' kemajuan bangsa. Pendekatan
teologis-eksklusif terhadap fakta kemajemukan hanya akan memelihara jarak kerja
sama agama-agama. Dalam konteks kehidupan beragama di Indonesia, musuh Islam
bukan Kristen, musuh Kristen bukan Islam. Musuh keduanya adalah
keterbelakangan, kebodohan, pengangguran, kemiskinan dan lain-lain. Maka, kerja
sama agama-agama mutlak diperlukan untuk melawan musuh-musuh itu sebagai
tanggung jawab publik-agama-agama.
Abdul Mukti Ro'uf,
Dosen STAIN Pontianak