Oleh Rumadi
07/07/2002
Prof John O Voll, guru besar sejarah di Georgetown University AS, mempunyai
kesimpulan menarik mengenai relasi Islam, demokrasi, dan terorisme seperti
dikemukakan dalam diskusi tentang "Demokrasi dan Terorisme di
Negara-Negara Muslim" di Jakarta beberapa waktu lalu. Menurutnya, hubungan
antara demokrasi dan terorisme di negara-negara muslim menampakkan wajah
paradoks. Di satu sisi, tidak adanya demokrasi di negara-negara muslim dapat
memunculkan terorisme, namun adanya demokrasi juga dapat melahirkan terorisme.
Meskipun diakui bahwa terorisme tidak khas Islam, artinya bisa juga dilakukan
siapa saja di luar muslim, namun asumsi yang mengatakan bahwa proses
demokratisasi dapat menghilangkan radikalisme agama seperti terorisme, tidak
berlaku di negara-negara muslim, karena proses demokratisasi di negara-negara
muslim tidak otomatis menghilangkan terorisme (Kompas, 15/1/02).
Tesis John O Voll tersebut tentu saja didasari oleh observasi yang mendalam
mengenai perkembangan demokrasi di berbagai negara muslim serta efek-efek
sampingan yang ditimbulkannya, sehingga kesimpulan tersebut memang banyak
benarnya. Bahkan, proses demokratisasi bukan saja tidak secara otomatis
menghilangkan terorisme, tapi justru dijadikan inspirasi bangkitnya radikalisme
agama. Di beberapa negara muslim, gerakan-gerakan radikal keagamaan justru
lahir pada saat proses demokratisasi sedang digelar. Indonesia barangkali bisa
dijadikan contoh yang baik mengenai hal ini. Gerakan-gerakan agama radikal di
Indonesia justru lahir di saat proses demokratisasi sedang berjalan. Otonomi
daerah sebagai refleksi dari tuntutan demokrasi misalnya, justru ditandai
dengan bangkitnya literalisme-radikalisme agama seperti kehendak untuk
menerapkan "syariat Islam". Di beberapa daerah seperti Sumatera
Barat, Aceh, Makassar dan Cianjur sudah disusun sejumlah Peraturan Daerah
(Perda) untuk menerapkan syari'at Islam. Munculnya ormas-ormas Islam radikal
dalam skala massif sebagai bagian dari gerakan sosial (social movement) juga
terjadi ketika arus demokratisasi mulai digulirkan sejak Mei 1998, meskipun
bibit-bibitnya sudah muncul jauh sebelum itu.
Bagaimana hal ini dijelaskan? Demokrasi yang seharusnya menjadikan tatanan
masyarakat semakin cair, egaliter dan inklusif, tapi yang terjadi justru
sebaliknya. Demokrasi di Indonesia justru semakin mengentalkan identitas
kesukuan, keagamaan, perbedaan agama menjadi sedemikian dieksploitasi, yang
kemudian memberi peluang lahirnya eksklusifisme beragama. Kenyataan ini tentu
saja tidak dikehendaki oleh proses demokrasi itu sendiri, tapi kemunculannya
tidak dapat ditolak, persis seperti "anak jadah" yang kelahirannya
tidak dikehendaki tapi juga tidak mungkin dicegah. Bahkan, membunuh "anak
jadah" itu dapat dikatakan sebagai perbuatan kriminal. Artinya, menghambat
sebuah aliran pemikiran tertentu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan semangat demokrasi. "Anak jadah" demokrasi berupa
radikalisme agama tersebut pada tingkat tertentu justru menjadi ancaman bagi
demokrasi.
Demokrasi yang melindungi kebebasan berbicara, berpikir dan mengemukakan
pendapat (freedom to speech, and expression) tidak mungkin menghalang-halangi
aspirasi masyarakat, apapun bentuknya. Senang atau tidak, demokrasi tidak
mungkin membungkam pemikiran-pemikiran tertentu meskipun pemikiran tersebut
bertentangan dengan nilai demokrasi, karena pembungkaman itu bertentangan
dengan makna demokrasi itu sendiri. Negara-negara yang sudah dewasa dalam
berdemokrasi menunjukkan bahwa variasi ideologi dan pemikiran tetap dilindungi
oleh negara. Namun justru di sinilah problemnya, karena dalam demokrasi ada
kebebasan dan penghormatan atas pluralitas, maka demokrasi kelihatan begitu
"loyo" untuk menghadapi radikalisme agama. Mekanisme demokrasi tidak
bisa berbuat lain kecuali membiarkannya untuk berkompetisi dengan gagasan dan
ide-ide lain.
Atas dasar itu tidak mengherankan jika bangkitnya radikalisme agama
seringkali dibungkus dengan baju demokrasi, sesuatu yang sebenarnya paradoks
dengan semangat demokrasi. Perjuangan menegakkan syariat Islam di beberapa
daerah, semangat menghidupkan kembali Piagam Jakarta misalnya, muncul atas nama
demokrasi dan kebebasan. Barangkali inilah keterbatasan dari demokrasi yang
tidak mampu mengeluarkan aspek-aspek yang dapat mengurangi kewibawaannya.
Demokrasi bisa dimakan oleh kebebasan yang dibawanya, sehingga dengan demokrasi
tidak menutup kemungkinan sebuah bangsa justru terjatuh pada otoritarianisme
baru. Hal ini jelas sangat berbahaya, karena otoritarianisme baru berbaju
demokrasi.
Dari perspektif inilah kita bisa menjelaskan mengapa perkembangan demokrasi
di dunia Islam selalu defisit seperti survey yang dilakukan oleh Freedom House,
sebuah lembaga penelitian di Amerika Serikat. Survey akhir tahun 2001 tentang
skor kebebasan sejumlah negara di seluruh dunia memperlihatkan bahwa skor
kebebasan dan demokrasi negara-negara Muslim sangat rendah. Dari 47
negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim, hanya 11 negara yang
pemerintahnya dipilih secara demokratis. Sementara, di kawasan negara-negara
non-Islam yang jumlahnya 145 negara, 110 di antaranya mengikuti sistem
demokrasi elektoral. Skor Freedom House yang dikeluarkan setiap tahun hampir
tidak menunjukkan perubahan yang berarti, di mana negara-negara Islam secara
umum tidak menunjukkan peningkatan kualitas demokrasinya.
***
Dalam kaitan ini ada pertanyaan yang patut direnungkan, adakah sesuatu yang
"salah" di negara-negara Muslim, sehingga proses pemantapan demokrasi
dan kebebasan di sana terus tersendat? Kalaupun demokrasi mulai berkembang,
yang muncul kemudian adalah radikalisme dalam segala bentuknya, terutama agama.
Indeks yang ditunjukkan Freedom House bisa menjadi satu indikasi bahwa
demokrasi di negara-negara Islam masih mempunyai masalah yang besar.
Mengapa demikian? Dalam kaitan ini ada penjelasan yang baik dari Samuel P
Huntington (1991). Di samping faktor ekonomi dan politik, faktor budaya dan
tradisi menjadi penghalang paling penting tumbuhnya demokrasi di suatu negara.
Budaya dan tradisi masyarakat --menyangkut sikap, nilai, kepercayaan dan pola
perilaku-- akan sangat berpengaruh terhadap perkembangan demokrasi. Suatu
budaya masyarakat yang tidak demokratis, baik yang berasal dari kultur maupun
pemahaman agama, akan menghambat penyebaran norma-norma demokratis dalam
masyarakat, tidak memberi legitimasi pada lembaga-lembaga demokrasi, sehingga
menghalangi fungsi-fungsi demokrasi secara baik.
Berkaitan dengan budaya ini, paling tidak ada dua versi. Pertama, versi
restriktif, yang menyatakan bahwa hanya budaya Barat yang cocok untuk
persemaian demokrasi. Negara-negara yang berbudaya non-Barat tidak akan mampu
melaksanakan demokrasi secara baik. Argumentasi ini muncul karena kenyataan
bahwa demokrasi modern bermula dari Barat, karenanya sejak awal abad ke-19, negeri
demokratis terbesar adalah negeri-negeri Barat. Kedua, versi kurang restriktif
yang menyatakan bahwa tidak hanya satu budaya yang secara khusus dapat menopang
demokrasi. Kebudayaan Konfusianisme dan Islam yang hidup di Timur tidak menutup
kemungkinan dapat dijadikan lahan persemaian demokrasi. Konfusianisme yang
pernah dianggap anti-demokrasi dan tidak akan berhasil dalam pembangunan yang
kapitalis, namun ternyata menjelang dasawarsa 1980 Konfusinisme mampu mendorong
demokrasi dan pertumbuhan ekonomi yang luar biasa di masyarakat Asia Timur.
Ajaran Katolik, dibanding Protestan, juga pernah dituduh sebagai penghalang
demokrasi dan ekonomi. Namun pada 1960-an dan 70-an negeri-negeri Katolik
menjadi demokratis dan memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
daripada negeri-negeri Protestan.
Melihat kenyataan tersebut, sejauh dikaitkan dengan ajaran dan tradisi
agama, maka demokrasi tidak bisa dinilai secara hitam-putih, "sesuai"
dan "tidak sesuai". Budaya dan tradisi sebagai wadah gagasan, kepercayaan,
doktrin, asumsi, pola perilaku dan sebagainya, mempunyai unsur-unsur yang
sangat kompleks, karenanya di dalam tradisi dan ajaran itu terdapat unsur-unsur
yang "sesuai" dan "tidak sesuai" dengan demokrasi
sekaligus. Di samping itu, budaya yang kemudian melahirkan tradisi bukanlah
sesuatu yang sudah selesai, tapi selalu dalam proses berubah. Oleh karena itu,
sebuah tradisi yang semula diklaim menjadi penghalang demokrasi, pada generasi
berikutnya bisa berubah menjadi sebaliknya. Spanyol barangkali contoh yang baik
mengenai hal ini. Pada 1950-an budaya Spanyol dilukiskan bersifat tradisional,
otoriter, hierarkis dan sangat religius. Namun pada dasawarsa 1970-an
sifat-sifat tersebut tidak punya tempat lagi di Spanyol. Karenanya, budaya
senantiasa mengalami evolusi dan faktor yang sangat mempengaruhi adalah
perkembangan ekonomi. Dengan penjelasan ini jelas bahwa faktor budaya dan
tradisi tidak dapat dijadikan sebagai argumentasi permanen untuk menilai
tingkat demokrasi suatu negara.
***
Di samping karena faktor demokrasi yang memberi peluang kebebasan
mengekspresikan ide, gagasan dan gerakan, munculnya gerakan radikalisme agama
bisa disebabkan beberapa hal. Pertama, kekecewaan terhadap sistem demokrasi
yang dinilai sekuler, dimana agama tidak diberi tempat di dalam negara. Agama
adalah urusan privat yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun, sedang negara
urusan publik. Ajaran demokrasi yang menempatkan suara rakyat adalah suara
Tuhan (vox populi vox dei) dianggap telah mensubordinasi Tuhan. Oleh karena itu,
gerakan radikalisme agama biasanya mengambil bentuk pada perjuangan mendirikan
negara Islam, negara teokrasi atau teo-demokrasi dalam istilah al-Maududi.
Meskipun kelompok radikal kecewa terhadap sistem demokrasi, namun mereka
memanfaatkan momentum demokrasi itu memperjuangkan aspirasi politiknya.
Kedua, kekecewaan terhadap kebobrokan sistem sosial yang disebabkan oleh
ketidakberdayaan negara untuk mengatur kehidupan masyarakat secara religius.
Dalam konteks Islam, radikalisme agama jenis ini biasanya mengambil bentuk pada
islamisasi sistem sosial dan masyarakat dengan melakukan kontrol yang ketat
terhadap aktifitas sosial yang dianggap maksiat, melanggar agama. Radikalisme
jenis ini bisa diekspresikan dalam bentuk perusakan terhadap tempat-tempat maksiat,
pelacuran, perjuadian dan sebagainya.
Ketiga, ketidakadilan politik. Radikalisme agama juga bisa muncul sebagai
ekspresi perlawanan terhadap sistem politik yang menindas dan tidak adil. Suatu
kelompok yang terus menerus ditindas dan diperlakukan tidak adil, maka akan
muncul solidaritas internal serta militansi untuk tetap survive. Radikalisme
jenis ini biasanya mengambil bentuk pada oposisi atas nama agama terhadap
pemerintah.
Dari ketiga hal tersebut, radikalisme agama yang muncul di Indonesia merupakan
variasi dan percampuran dari model-model di atas. Dalam sebuah negara
demokrasi, radikalisme agama, asal tidak melakukan anarkhisme sosial, harus
tetap diberi ruang untuk berekspresi. Oleh karena itu, tugas negara bukan
bagaimana membungkam radikalisme tersebut, tapi menyalurkannya melalui
institusionalisasi politik secara baik. Dengan demikian, radikalisme agama akan
tetap terkontrol dalam bingkai demokrasi.