(Gatra
Nomor 42 Tahun II, 31 Agustus 1996)
Amerika Latin tempoe
doeloe. Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh
pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966.
Di Desa Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa
Pater John Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral
karena mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan
kawan-kawannya. Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior
Union--pasukan penjagal manusia dan pelindung tuan tanah--di sebuah desa di San
Salvador, 12 Maret 1977.
Kisah di atas dikutip
dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih banyak lagi
para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik itu
menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan rakyat
Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan,
dan keterbelakangan.
Mereka, para pengabar Injil
yang tewas itu, adalah para penganut Teologi Pembebasan, sebuah paham baru
tentang peranan gereja dalam lingkungan sosial. Paham ini mulai mengagetkan
kalangan gereja dan intelektual di Eropa dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez
--pastor dari Peru-- menerbitkan buku Teologia de la Liberacion pada 1971.
Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode pendekatan yang tak
biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni pendekatan marxis yang
radikal.
Secara ringkas, apa yang
dimaksud dengan paham itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi
ajaran-ajaran dan nilai keagamaan pada masalah kongkret di sekitarnya. Dalam
kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang dihadapi adalah
situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Sejak depresi dunia pada
1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin begitu bergantung pada
ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya, mereka mengimpor
komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang mentah jatuh di
pasaran dunia. Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau. Mereka juga tak
mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan barang pabrik di
dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi dengan memacu
industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan sistem kapitalisme
sebagai model modernisasi.
Namun karena mementingkan
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang
begitu tajam. Kaum proletar --kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi
melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi
tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan
diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di Brasilia menggulingkan
pemerintahan sipil. Pada tahun yang sama, Kolonel Juan Peron menjadi penguasa
tunggal Argentina, setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel
Odria menjadi diktator di Peru. Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir
di seluruh belahan Amerika Latin.
Kondisi tersebut
mengundang gerakan di berbagai bidang. Dalam literatur sosiologi dan ekonomi
politik, penerapan sistem kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah
melahirkan pemikir-pemikir baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik.
Misalnya Andre Gunder Frank--orang Amerika Serikat yang pernah tinggal di
Amerika Latin--dan Fernando H. Cardoso. Dengan menggunakan pendekatan
neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi (ketergantungan) dalam memandang
nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama ini, kata mereka, modernisasi di
negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia Ketiga lainnya justru melahirkan
para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan tanah, dan kaum elite yang
mengeksploitasi rakyat.
Bantuan negara maju dalam
proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada
negara maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga.
Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan
para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis.
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan
penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam
pendekatan marxis.
Di bidang keagamaan,
terjadi pergeseran pandangan teologis di kalangan Gereja Katolik di seantero
Amerika Latin. Disebutkan dalam buku Teologi Pembebasan, selama berabad-abad
gereja di Amerika Latin menganut pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat
transendental dan rasional, yang berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman
secara rasional. Para uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah
menimbulkan kemandekan berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari
masaah-masalah kongkret. Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka,
hanya sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi,
mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur
kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja
harus secara nyata melibatkan diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya.
Agama dan teologi, lanjut mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman,
melainkan harus memberikan dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan.
Namun keterlibatan rakyat hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki
harapan untuk mengubah sistem yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan
bahwa penderitaan, kemiskinan, dan keterbelakangan bukan nasib turunan,
melainkan buah dari struktur sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran
baru, kata para uskup, hanya dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk
itu gereja memelopori upaya pembebasan tingkat intelektual dengan mendirikan
Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia (1937), Universitas Katolik di Lima
(1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo (1947), Porto Alegre (1950), Campinas
dan Quito (1956), Buenos Aires dan Cordoba (1960), dan lain-lain.
Bersamaan dan berkaitan
dengan pendirian universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba,
Argentina, Uruguay, Kosta Rika, Peru, dan Bolivia. Organisasi pemuda aksi
Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya, pada 1934, jumlah
anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai 8000 orang. Di
Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka 120.000 orang. Organisasi
buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat negara yang mempunyai
Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua negara Amerika Latin
mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika, Guatemala, dan Kuba.
Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar satu juta
orang. Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya dengan upaya gereja
untuk menciptakan kaum awam yang militan.
Untuk melembagakan
kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin membentuk
Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)--sidang para uskup Amerika latin--Di
Rio de Janeiro, Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak
diterapkannya "sistem kolegialitas antar uskup" dan ditinggalkannya
sistem patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem
patronato, gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para uskup cenderung
berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik, walaupun penguasa itu
menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem kolegialitas, gereja tak lagi
berada di bawah payung penguasa politik. Mereka dapat bergerak bebas untuk
menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal ini mengantar mereka untuk
melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat tertindas, walau dengan risiko dimusuhi
penguasa.
Gerakan pembebasan itu
makin gencar setelah Konsili Vatikan II --sidang resmi para uskup sedunia--
pada 1962 memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual,
umpamanya, turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian
dunia.
Apa yang dicanangkan
Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para uskup Amerika Latin
untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada 1968. Ringkasnya,
sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin telah menjelma
menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence) dan terjadi di
segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab untuk
mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik.
Tiga tahun kemudian,
1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan-- karya Gustavo
Gutierrez, pastor dari Peru itu. Buku ini menguraikan secara jelas
gagasan-gagasan dan tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin.
Sidang Celam II dan buku
Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat.
Sebaliknya, rasa permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap gereja kian
tajam. Seiring dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula suara
yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang
merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi
kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan kelas" dan
"perubahan struktur" oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk
Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa terhadap
Kristianitas".
Namun para tokoh Teologi
Pembebasan membantah tuduhan tersebut. Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang
ikut bergerilya dan tewas, misalnya, mengaku sebenarnya tak ingin bergabung
dengan para gerilyawan. "Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi
dengan kekerasan. Manakala rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi
diri, kelas penguasa cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan
kekerasan. Kita tak ingin kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang
kita cita-citakan adalah bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan
rakyat," katanya pada 1965.
Bahwa ia akhirnya
menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok gerilyawan komunis, memanggul
senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain. Pemerintah dan aparat militer
tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya mempunyai satu jalan: senjata. Tapi
Camilo menolak bila dituduh komunis. "Saya tak pernah akan bergabung ke
dalam aparatnya, dan saya tak hendak menjadi komunis, baik sebagai warga
Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang Kristen, maupun sebagai pastor. Namun
saya bersedia berjuang bersama-sama mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni
melawan dan menentang oligarki dan dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan
kembali ke tangan rakyat," katanya pada September 1965.
Pengikut Teologi
Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi
menolak bila dituduh "berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang
mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos, tetap
bersikap kritis terhadap kekurangan dan bahaya marxis.
Bagi Gutierrez, peranan
marxisme hanyalah alat analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan
tak adil dan praktek kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut
Gutierrez, "perjuangan kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal
baru bagi penganut Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata
Gutierrez, telah menyuarakan perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan
struktur kapitalisme yang menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat
banyak, bukanlah monopoli Marx. Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu
menganjurkannya. Untuk memperkuat argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat
dalam Injil. Misalnya dari Injil Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain
berbunyi: "Ia menurunkan orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan
meninggikan orang-orang yang rendah. Ia melimpahkan segala yang baik kepada
orang-orang lapar, dan menyuruh orang kaya pergi dengan tangan hampa."
Tak lupa ia menafsirkan
makna kelahiran Yesus sebagai Sang Pembebas. Yesus, menurut Gutierrez, lahir
untuk mewartakan kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan
bagi mereka yang terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para
penguasa Romawi yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut,
ia menganggap tak ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan
tugas sosial gereja. "Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang
mengatakannya, melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat
kita hidup. Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang
lain," katanya.
Namun, Gutierrez tetap
bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan Kristianitas sebagai pedoman
hidup yang lebih unggul ketimbang marxis. Keunggulan Kristianitas, katanya,
terletak pada kemampuannya melihat kemenangan setelah kematian. Sementara
tentang maut, marxisme tak punya jawaban.
Pembenaran Gutierrez
tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan Teologi
Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang para imam
Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan pendekatan
marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin yang
tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan
marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles, Meksiko, pada
1979, mereka mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka,
kedua sistem itu membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan,
pengagungan kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang
menggerogoti hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk
menggalakkan gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan sebelumnya.
Toh, semangat Teologi
Pembebasan terlanjur menjalar ke berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga
yang mayoritas penduduknya beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre,
penulis buku Touching Ground, Taking Root: Theological and Political
Reflections on The Phillipine Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi
Pembebasan itu terlihat pada gerakan massa yang menggulingkan Presiden
Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani, katanya, terlibat aktif dalam
gerakan rakyat untuk melakukan perubahan fundamental di bidang ekonomi dan
politik.
Di Indonesia, menurut Budhy
Munawar Rachman, Manajer Program Studi Islam Yayasan Paramadina,
bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara, katanya, justru
pengaruh teori dependensi --pemikiran di bidang ekonomi-- yang pernah dipakai
sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada 1970-an.
..."Gereja Katolik
Indonesia tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar
Romo Purbo.
Begitu pula menurut Romo
Ismartono. "Tapi bukan berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan
yang terjadi di masyarakat," kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis
keterlibatan gereja di Indonesia dalam solidaritas sosial berpegang pada Instruksi
Mengenai Kebebasan dan Pembebasan Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi
Vatikan yang antikekerasan. "Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang
ada pada Teologi Pembebasan di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan
reformasi ketimbang revolusi, yang sering memakan korban dan akhirnya
melahirkan rezim totaliter," lanjut Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo
Utomo dari Gatra.
Diambil dari Gatra Nomor
42 Tahun II, 31 Agustus 1996.
Teologi Pembebasan
Oleh:
Budhy Munawar-Rachman
Hampir semua negara
Amerika Latin selama 20 tahun ini didominasi Teologi Pembebasan. Paham ini
adalah satu upaya kontekstualisasi dari ajaran dan nilai keagamaan dalam konteks
sosial tertentu. Konteks sosial yang terjadi adalah penindasan, pemiskinan,
keterbelakangan, dan penafian harkat manusia. Paham ini tumbuh bersama suburnya
sosialisme di Amerika Latin, akhir 1960-an dan awal 1970-an.
Teologi Pembebasan
merupakan refleksi bersama suatu komunitas terhadap suatu persoalan sosial,
misalnya. Karena itu masyarakat terlibat dalam perenungan-perenungan keagamaan.
Mereka mempertanyakan tanggung jawab agama itu seperti apa? Apa yang harus
dilakukan agama dalam konteks pemiskinan struktural?
Gustavo Gutierrez, asal
Peru, adalah orang pertama yang merangkum paham Teologi Pembebasan lewat
bukunya, Teologia de la Liberacion, 1971. Buku itu menjadi pemicu diskusi yang
lebih rinci tentang paham Teologi Pembebasan. Tokoh setelah Gustavo, Juan
Louise Sguondo dan John Sabrino, adalah pastor yang relatif punya otoritas dan
profesional secara akademis. Karena itu pemikiran Teologi Pembebasan menjadi
kuat. Teologi Pembebasan menjadi mainstream dan paradigma yang khas Amerika
Latin.
Analisis sosial yang
paling efektif dan sering digunakan dalam Teologi Pembebasan adalah analisis
marxian. Dengan pendekatan marxisme akan diketahui siapa yang diuntungkan atau
dirugikan sistem sosial itu. Karena itu tokoh Teologi Pembebasan sangat cocok
dengan analisis marxian ini.
Ketika para tokoh Teologi
Pembebasan di angkatan laut mengalami tekanan politik, gerakannya justru
melebar ke Dunia Ketiga yang memiliki persoalan sama. Misalnya ke beberapa
negara Asia yang mayoritas Katolik, seperti Filipina. Yang paling ekspresif
memang di Filipina. Boleh dibilang people power yang menjatuhkan Marcos adalah
satu corak dari Teologi Pembebasan. Karena Teologi Pembebasan menekankan pada
people power dan kedaulatan rakyat.
Di Indonesia, saya tak
melihat Teologi Pembebasan masuk lewat Timor Timur. Sebab wilayah ini baru
berintegrasi. Yang jelas, berbarengan dengan munculnya LSM-LSM, pada 1970-an
muncul pemikiran kritis sebagai counter terhadap teori pembangunan. Beberapa
tokoh LSM mensponsori masuknya teori tentang pembebasan dari Amerika Latin.
Misalnya Adi Sasono dan Dr. Sritua Arif. Lihat saja bukunya, Indonesia:
Ketergantungan dan Keterbelakangan.
Yang dilakukan Romo
Sandyawan sebetulnya empowering orang-orang yang termarjinalisasi. Saya tak
tahu apakah ia menggunakan pandangan Teologi Pembebasan. Tapi yang menarik
adalah concern-nya sebagai agamawan terhadap realitas masyarakat dan gerakan
empowerment.
Di kalangan Islam, pada
1980-an, subur pemikiran tentang Teologi Pembebasan. Sehingga suatu ketika Karl
A. Steinbreenk, teolog Katolik, kaget melihat Teologi Pembebasan dibicarakan
dengan bersemangat di LP3ES oleh anak muda muslim, seperti Fachry Ali dan
Komaruddin Hidayat, dengan figurnya, M. Dawam Rahardjo. Ia heran Teologi
Pembebasan dibicarakan dengan sangat terbuka di kalangan Islam, sementara di
kalangan Katolik dibicarakan sangat hati-hati.
Tahun 1980-an memang
puncak kesuburan pemikiran pembebasan di kalangan Islam Indonesia. Mungkin
suasana sosial politiknya mendukung ke arah sana. Tapi pada 1990-an, gerakan
ini mulai merosot, terutama setelah ICMI berdiri. Sebab Teologi Pembebasan pada
akhirnya akan merefleksikan struktur kenegaraan, sementara ICMI berkepentingan
dengan struktur.
Di banyak kalangan
Katolik Indonesia, Teologi Pembebasan mungkin merupakan wacana keagamaan yang
sangat mencerahkan dan memberi jalan bagaimana agama bisa terlibat dalam proses
sosial. Keterlibatan seorang romo dalam upaya menguatkan orang marjinal, saya
kira, merupakan bentuk Teologi Pembebasan. Tapi mereka sadar betul sulit
mempraktekkan Teologi Pembebasan karena mereka minoritas.
Teologi Pembebasan hanya
kuat di kalangan Jesuit. Karena sebagian besar yang concern terhadap pergumulan
sosial adalah pastor Jesuit, seperti Romo Sandy. Dan umumnya tokoh-tokoh
Teologi Pembebasan di Amerika Latin adalah pastor Jesuit.