Ekspresi Berjilbab

13/05/2005 04:22
Oleh Ali Sobirin
Alumni PP. Ma’haduth Tholabah Babakan Lebaksiu Tegal, aktif di P3M Jakarta

SEKARANG ini, pakaian telah memainkan peran yang sangat penting. Corak dan bentuk tertentu dapat melembagakan suatu kode moral tertentu. Khususnya jilbab, ia dapat menunjukkan peran ritual sebagai ekspresi kesolehan, peran sosial sebagai ekspresi kesopanan, dan peran politik sebagai simbol perlawanan.

Pada peran pertama ini, jilbab menuai kontroversinya. Baik kontroversi dari sisi kewajiban untuk memakainya karena dianggap sebagai salah satu ajaran agama yang fundamental, maupun dari sisi bentuknya. Bagi kalangan Islam tertentu, para wanita wajib berjilbab dengan bentuk yang menjuntai hingga bagian dada. Biasanya mereka merujuk pada QS. al-Nur/24: 31 dan al-Ahzab/33: 59.

Sementara bagi kalangan Islam lain, jilbab adalah ekspresi lokal Arab. Setiap lokalitas, mempunyai kebijaksanaannya sendiri untuk mewujudkan kesalehannya. Bentuknya pun sebagaimana kebijaksanaan lokalitas itu. Dan, perintah berjilbab yang termuat dalam ayat tersebut sifatnya tidak mengikat dan bisa ditafsir ulang.

Penolakan keras berjilbab datang dari kelompok sekularis dan feminis karena mengancam posisi ideologis mereka. Pendekatan kaum feminis menengarai bahwa jilbab merupakan bentuk sub-ordinasi perempuan dan penindasan wanita di tengah masyarakat patriarkhal. Ini yang akhirnya jilbab kemudian masuk ke wilayah politik, di samping sebab-sebab sosio-politik tertentu yang kemudian jilbab menjadi simbol gerakan dan resistensi.

Ini sebagaimana yang terjadi di Iran. Chador, kain hitam pembungkus tubuh dari kepala hingga kaki, adalah pakaian tradisional di desa dan di kota sebelum terjadi revolusi. Untuk tujuan westernisasi, Syah melarang pemakaian chador. Namun, kemudian Revolusi Islam memerintahkan memakainya dengan tujuan melestarikan tradisi. Juga, di Mesir. Pakaian Islam yang dipakai sejak pertengahan 1970-an oleh wanita, menggantikan kain modern yang sekuler. Ini merupakan bagian dari gerakan para aktivis dari tingkat akar rumput. Dari sini, pemerintah mulai merasakan ancaman dari militansi Islam. Dan, kemudian menurunkan kebijakan yang salah satunya adalah pembatasan berjilbab.

Di buku ini, Fedwa El Guindi, profesor antropologi di Universitas Sourthen California, juga mengurai fakta seputar berjilbab sebagai ekspresi kesopanan dan tata-cara pergaulan yang menjadi tradisi di berbagai tempat.

Buku ini tidak berpretensi membela maupun menyerang praktik berjilbab, melainkan berupaya untuk menghadirkan pemahaman yang lebih proporsional tentang pola berjilbab. Di sini tersuguhkan temuan bahwa jilbab ternyata fenomena berusia purba yang kaya makna dan penuh nuansa. Jilbab bisa berfungsi sebagai bahasa penyampai pesan sosial budaya. Bagi penganut Kristen Protestan, jilbab merupakan simbol bermuatan ideologis. Di kalangan umat Katolik, jilbab menandai pandangan tentang kewanitaan dan kesalehan. Sedangkan bagi masyarakat Islam, jilbab bisa menjadi alat perlawanan.

Satu hal menarik dalam buku ini adalah fakta etnografis bahwa bukan hanya wanita yang berjilbab, tapi laki-laki juga berjilbab, jilbab maskulinitas. El Guindi menjelaskan bahwa laki-laki Berber di Afrika Utara, dan laki-laki Arab di Jazirah Arabia juga berjilbab. (hal. 195) Bahkan, Nabi Muhammad sendiri sering memakai tutup kepala (berjilbab) di beberapa kesempatan. Dalam hadits Shahih Bukhari 5360 dan Abu Daud 3561, dilaporkan bahwa di suatu waktu, Nabi mendatangi rumah Abu Bakar mutaqanni’an (menutup muka). Juga dalam Shahih Bukhari 934, dilaporkan bahwa Nabi mendatangi isterinya, Aisyah, dengan wajah yang ditutup kain. (hal. 197)*

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design