Gebrakan Amina Wadud

Oleh Luthfi Assyaukanie
28/03/2005
Saya menganggap isu “imam perempuan” adalah bagian dari tradisi keagamaan semata, dan bukan fondasi asasi dari agama. Ulama sejak lama berdebat soal ini, sama seperti mereka memperdebatkan soal jilbab, bunga bank, eutanasia, dan kawin beda agama. Adapun jika reaksi terhadap isu ini begitu besar, itu karena Amina Wadud merupakan perempuan pertama yang berani menarik masalah ini dari perdebatan fikih ke ruang nyata.

Kontroversi Amina Wadud, seorang intelektual muslimah yang mengimami shalat Jum’at pekan lalu (18/3) tampaknya masih terus berlanjut. Reaksi kaum Muslim dan para ulama terus bermunculan. Seingat saya, tak pernah ada reaksi dari para ulama dan tokoh agama di Timur Tengah yang begitu keras sejak novel Ayat-Ayat Setan karya Salman Rushdi beberapa tahun silam.
Dr Yusuf Qardhawi, seorang alim yang bukunya banyak diterjemahkan di Indonesia, mengecam Amina telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Sementara Abdul Aziz al-Shaikh, Mufti Agung Arab Saudi, menganggap Amina sebagai “musuh Islam yang menentang hukum Tuhan” (Associated Press, 19/3). Beberapa koran di Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan menganggap Amina sebagai “wanita sakit jiwa” yang berkolaborasi dengan Barat kafir untuk menghancurkan Islam (Associated Press, 19/3).
Mengikuti gelombang reaksi terhadap Amina Wadud saya merasa kecewa, karena kaum Muslim ternyata masih belum berubah: paranoid dalam menyikapi setiap perubahan dalam tradisi agama mereka. Saya katakan paranoid karena reaksi itu bersikap kolosal dan berlebihan. Amina bukan hanya dicaci-maki dan dikecam, tapi juga diancam bunuh karena dianggap telah merusak Islam (Daily Times, 23/3).
Saya menganggap isu “imam perempuan” adalah bagian dari tradisi keagamaan semata, dan bukan fondasi asasi dari agama. Ulama sejak lama berdebat soal ini, sama seperti mereka memperdebatkan soal jilbab, bunga bank, eutanasia, dan kawin beda agama. Adapun jika reaksi terhadap isu ini begitu besar, itu karena Amina Wadud merupakan perempuan pertama yang berani menarik masalah ini dari perdebatan fikih ke ruang nyata.
Reaksi berlebihan kaum muslim menunjukkan bahwa mereka tak pernah berkaca pada sejarah. Bagi yang mengikuti perkembangan pemikiran Islam pasti tahu bagaimana para ulama awal abad ke-20 hampir serempak mengharamkan bunga bank, mengecam wanita karir, menghujat keluarga berencana, dan melarang beberapa produk teknologi. Mereka melakukan semua itu atas nama agama. Tapi, perkembangan sejarah membuktikan bahwa pandangan kolot itu tak cukup kuat melawan arus perubahan dalam tubuh umat Islam.
Saya kira, penerimaan kaum muslim terhadap “imam perempuan” hanyalah soal waktu saja. Masalah itu kini boleh dihujat, sama seperti para ulama Mesir pernah menghujat Muhammad Abduh, tokoh reformis Islam, karena menghalalkan bunga bank, atau menghujat Ali Abd al-Raziq karena menganggap bahwa sistem khalifah bukan bagian dari Islam. Suatu saat nanti, saya meyakini, bahwa “imam perempuan” bisa diterima, sama seperti sebagain besar kaum muslim kini menerima pandangan kontroversial Abduh dan Ali Abd al-Raziq itu.
Sekarang pun, sebagian intelektual muslim dan ahli fikih yang mengkaji secara tekun sudah sepakat bahwa masalah “imam perempuan” adalah masalah konstruk sosial-budaya semata yang sangat erat kaitannya dengan masyarakat Arab yang patriarkis. Dengan kata lain, ia bukan merupakan bagian dari doktrin agama yang benar-benar datang dari Tuhan. Dr Khaled Abou el-Fadl, ahli fikih dari UCLA, misalnya menegaskan bahwa tak ada larangan dari al-Qur’an tentang masalah ini. Sementara K.H. Husein Muhammad, kiai asal Cirebon, meyakini bolehnya perempuan mengimami shalat di depan jamaah campuran (laki-laki dan perempuan).
Keberatan sebagian ulama bahwa percampuan laki-laki dan perempuan dalam satu ruang shalat pun sesungguhnya kurang memiliki pijakan, semata-mata karena tempat paling suci di dunia ini, yakni Masjidil Haram (di mana ka’bah berada), laki-laki dan perempuan shalat berjamaah bersama-sama tanpa ada dinding pemisah sama sekali. Tak pernah ada ulama yang keberatan dengan bercampurnya kaum laki-laki dan perempuan dalam shalat di mesjid ini.
Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari kasus Amina Wadud adalah bahwa kaum muslim masih sulit menerima perbedaan pendapat, khususnya menyangkut agama mereka. Fakta bahwa shalat Jum’at yang diimami Amina diselenggarakan di Amerika, negara demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, menunjukkan bahwa peristiwa ini hampir mustahil dilakukan di negara-negara muslim. Bahkan di Amerika pun, Amina harus melakukan ritual shalat itu di sebuah gereja dengan penjagaan cukup ketat, semata-mata karena adanya ancaman dari kaum fundamentalis muslim.
Saya kira, perjuangan Amina patut didukung. Saya melihat bukan shalatnya benar yang penting, tapi bagaimana sebuah pemahaman agama bisa diterima dan dihormati. Dan jika kita mengaku sebagai umat yang toleran dan menjunjung tinggi kebebasan, mengapa mesti gusar dengan sebuah pandangan dan penafsiran yang hanya merupakan pernik kecil dari tradisi agama?

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design