Dengan telah
memeriksa tiga cara penerapan pembedaan logis antara “analisis” dan “sintesis”,
dan dengan agak rinci telah merambah penerapannya pada Geometri Logika, tugas kita
yang tersisa di Bagian Dua ini adalah mempertimbangkan bagaimana penekanan yang
berlebihan pada analisis atau pun pada sintesis menjadi cara pengembangan
ide-ide oleh sebagian filsuf. Pada Kuliah 1 yang lalu saya memperlihatkan
perbedaan dua gerakan yang berlawanan yang mendominasi filsafat Barat selama
sebagian besar dari abad keduapuluh: analisis linguistik dan eksistensialisme
(lihat Gambar I.2). Kebanyakan versi analisis linguistik menekankan pentingnya analisis, dan kebanyakan versi
eksistensialisme, sintesis, hampir
mengabaikan atau bahkan secara terang-terangan menolak makna penting
kecenderungan lawanannya. Sekalipun begitu, seperti yang telah kita duga,
dengan adanya pertalian komplementer antara analisis dan sintesis, setiap
kecenderungan tersebut saling bergantung demi melanjutkan keberadaan
masing-masing, karena merupakan kutub-kutub yang komplementer pada sebuah
gerakan. Oleh sebab itu, mestinya tidaklah sampai mengejutkan [tatkala] kita
dapati bahwa, menjelang akhir abad itu, kedua kecenderungan tersebut mulai
sama-sama gugur, dan diganti secara bertahap oleh cara pikir lain, yakni, yang
terpenting, filsafat hermeneutik. Menariknya, tiga pendekatan utama terhadap
filsafat itu semuanya menekankan tema umum: sentralitas bahasa pada pencarian filosofis. Jadi, pada pekan ini kita akan
mencurahkan sebuah kuliah bagi masing-masing.
Pada jam
kuliah ini kita hendak membahas anasir utama gerakan filosofis yang mendominasi
filsafat yang berbahasa-tutur Inggris sepanjang abad yang lalu, yang dikenal
sebagai “analisis linguistik”. Jalan filosofis ini juga disebut dengan
nama-nama seperti “filsafat analitik”, “filsafat linguistik”, atau “filsafat
bahasa”, bergantung pada preferensi filsuf yang bersangkutan. Namun pada
umumnya kita dapat memerikan pendekatan ini sebagai sesuatu yang menganggap analisis bahasa sebagai tugas mendasar
filsuf. Cara yang cermat tentang
bagaimana bahasa mestinya dianalisis, definisi yang tepat tentang apakah analisis itu, dan juga pembatasan
yang pas tentang apa yang terhitung
sebagai bahasa, semuanya merupakan persoalan yang diperdebatkan secara terbuka
di kalangan anggota-anggota aliran ini. Namun di tengah semua perbedaan mereka,
para analis linguistik disatukan oleh keyakinan bersama mereka bahwa persoalan
filosofis harus didekati mula-mula dan terutama (jika bukan hanya) dari sudut pandang yang
akar-akarnya pada bahasa manusia. Sebagiannya percaya bahwa dalam memegang
keyakinan ini mereka merupakan pewaris sejati atas gagasan keterbatasan
pengetahuan [yang dicanangkan] oleh Kant—sampai pada pengertian bahwa gagasan
“peralihan transendental” dalam berfilsafat dikira, oleh banyak filsuf saat
ini, identik dengan “peralihan linguistik”.
Akar-akar
analisis linguistik ditanam di lahan yang disiangi oleh seorang matematikawan
bernama Gottlob Frege (1848-1925). Frege memulai sebuah revolusi logika
(analitik), yang implikasinya masih dalam proses penanganan oleh filsuf-filsuf
kontemporer. Ia menganggap bahwa logika sebetulnya bisa direduksi ke dalam
matematika, dan yakin bahwa bukti-bukti harus selalu dikemukakan dalam bentuk
langkah-langkah deduktif yang diungkapkan dengan gamblang. Yang lebih penting,
ia percaya logika mampu mengerjakan tugas-tugas jauh melampaui apa saja yang
dibayangkan oleh Aristoteles, asalkan para logikawan bisa mengembangkan cara
pengungkapan makna linguistik
seluruhnya dengan simbol-simbol logika.
Salah satu idenya yang paling berpengaruh adalah membuat perbedaan antara
“arti” (sense) proposisi dan “acuan” (reference)-nya, dengan mengetengahkan
bahwa proposisi memiliki makna hanya apabila mempunyai arti dan sekaligus
acuan. (Ide ini mengandung kemiripan yang menonjol, secara kebetulan, dengan
peryataan Kant bahwa pengetahuan hanya muncul melalui sintesis antara konsep
dan intuisi.) Frege juga menyusun notasi baru yang memungkinkan
terekspresikannya “penentu kuantitas” (kata-kata seperti “semua”, “beberapa”,
dan sebagainya) dalam bentuk simbol-simbol. Ia berharap para filsuf bisa
menggunakan notasi ini untuk menyempurnakan bentuk logis argumen mereka,
sehingga memungkinkan mereka untuk jauh lebih dekat, daripada waktu-waktu
sebelumnya, dengan ide pembuatan filsafat menjadi ilmu yang ketat.
Salah seorang
filsuf pertama yang mengakui teramat pentingnya temuan baru Frege dalam logika
ialah Bertrand Russel (1872-1970)—barangkali dialah filsuf Inggris yang paling
terkenal di abad keduapuluh. Russel, bersama-sama dengan A.N. Whitehead,
menerapkan banyak wawasan Frege dalam menulis buku yang tentu merupakan tulisan
terpenting filsafat abad keduapuluh, yang sekurang-kurangnya masih dibaca, Principia Mathematica. Russel
mengembangkan banyak ide yang menarik dan berpengaruh pada aneka-macam pokok
bahasan selama karir panjangnya. Sayangnya, pada sejumlah kesempatan ia
mengubah pandangannya, dengan mengajukan teks yang melawan pandangannya sendiri yang ia bela di tulisan-tulisan
terdahulu. Lantaran ia tidak pernah menyusun sebuah sistem filsafat yang taat-asas, aneka-macam idenya itu terlalu
sulit untuk diperiksa di sini. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan
seorang rekan Russel yang lebih muda, yang memulai karir filsafatnya sebagai
murid Russel. Filsuf yang berbahasa-tutur Jerman ini, setelah menempuh studi
teknik selama beberapa tahun di Manchester, mengirim esai kepada Russel di
Cambridge, memberitahu dia bahwa ia ingin mengkaji filsafat di bawah bimbingan
Russel—kalau tidak, ia akan menuntut ilmu lebih lanjut di bidang ilmu
penerbangan. Untungnya, bagi dunia filsafat, Russel mengundang pemuda ini untuk
menjadi mahasiswanya di Cambridge.
Jika Frege
dapat dipandang selaku “bapak” analisis linguistik, maka “putra” terbesarnya,
tak pelak lagi, ialah Ludwig Wittgenstein (1889-1951). Tak lama sesudah datang
ke Cambridge, Wittgenstein terjun sendiri, menjadi salah seorang dari dua atau
tiga orang filsuf abad keduapuluh yang paling berpengaruh. Sebagian besar dari
pengaruhnya menyebar melalui kuliah-kuliah dan les-lesnya, dan melalui
murid-muridnya dan melalui filsuf-filsuf lain yang ikut dalam diskusi-diskusi
ini dengannya. Wittgenstein sendiri hanya menerbitkan sebuah buku selama hayatnya,
yang ia tulis semasa ia masih muda. Akan tetapi, ketika ia meninggal, ia
meninggalkan naskah bukunya yang kedua, yang akhirnya diterbitkan pada dua
tahun selepas kematiannya. Tiap buku itu meletakkan pondasi bagi versi utama
analisis linguistik yang baru. Untuk waktu yang masih tersedia pada jam kuliah
ini, mari kita perhatikan dua arah umum ini berturut-turut.
Buku
Wittgenstein, Tractatus
Logico-Philosophicus (1921), sampai diperlakukan sebagai manifesto bagi
salah satu versi analisis linguistik yang terawal: “positivisme logis”. Buku
ini berawal dengan penetapan batas-batas dunia linguistik dengan menggunakan
serangkaian proposisi yang mendasar berikut ini:
1 Alam adalah semua yang nyata.
1.1 Alam adalah totalitas fakta, bukan benda.
1.11 Alam ditentukan oleh fakta-fakta,
dan oleh keberadaan semua fakta.
1.12 Karena totalitas fakta menentukan
apa yang nyata, dan juga apa saja yang tidak nyata.
1.13 Fakta-fakta di bidang logika adalah
alam.
1.2 Alam ini terbagi menjadi fakta-fakta.
1.21 Setiap benda dapat nyata atau tidak
nyata sedangkan segala sesuatu lainnya tetap sama.
Di keseluruhan buku
ini, Wittgenstein mengikuti bentuk matematis yang seketat pasal pendahuluan
ini, dengan menomori setiap paragraf berikutnya dengan urutan yang hierarkis.
Bentuk logis ini mencerminkan tujuan lengkap buku tersebut: menyusun
serangkaian proposisi analitik yang
bisa dimanfaatkan sebagai kerangka pemahaman semua “fakta” (yakni proposisi
maknawi) mengenai alam. Fokus analitik perhatian Wittgenstein adalah bukti
nyata tatkala, untuk contoh, ia menyatakan bahwa masing-masing dari fakta-fakta
ini “dapat nyata” (can be the case)
(+) “atau tidak nyata” (or not the case)
(-).
Setelah
menetapkan garis tapal batas yang tajam antara apa yang terhitung sebagai
“alam” (the world) dan apa yang
tidak—yakni antara “fakta” dan “benda”—Wittgenstein menuturkan jaring rumit
proposisi-proposisi logis di bukunya, seksi 2-6. Proposisi-proposisi ini
diharapkan mengokohkan kerangka filosofis demi pemahaman segala fakta yang sah
bahwa “alam” (yaitu himpunan semua proposisi maknawi) memperkenalkan diri
kepada kita. Ia kemudian menyimpulkan dengan pasal yang laik untuk dikutip
dengan panjang:
6.522 Sungguh, ada hal-hal yang tidak bisa
dituangkan dalam kata-kata. Hal-hal tersebut maujud dengan sendirinya. Hal-hal tersebut adalah yang mistis.
6.53 Metode filsafat yang benar pada
hakikatnya sebagai berikut: tidak berkata apa-apa kecuali apa yang bisa
dikatakan, yaitu proposisi-proposisi ilmu alamiah—yakni sesuatu yang tidak
berkaitan dengan filsafat—dan lantas, memperlihatkan kepada siapa saja
yang mengatakan sesuatu yang metafisis
bahwa ia gagal memberi makna pada isyarat-isyarat yang pasti dalam
proposisi-proposisinya. Walaupun ini tidak memuaskan orang lain tersebut—ia
tidak merasa bahwa kita mengajari dia filsafat—metode ini satu-satunya metode yang benar semata-mata.
6.54 Proposisi-proposisi saya berfungsi
sebagai penjelasan dengan cara berikut ini: siapa saja yang memahami saya
akhirnya mengakui proposisi-proposisi saya non-akliah (nonsensical), bila ia menggunakannya—sebagai langkah-langkah—untuk
memanjat melampauinya. (Jadi, untuk membicarakannya, ia harus melempar
jauh-jauh tangganya sesudah ia memanjatinya.) Ia harus melampaui
proposisi-proposisi ini, dan kemudian ia akan melihat alam dengan benar.
7 Hal-hal yang tidak bisa kita
bicarakan itu harus kita lewati dengan keheningan.
Para filsuf
analitik telah berdebat dengan lama dan keras mengenai interpretasi yang tepat
atas teka-teki di bagian akhir yang mengejutkan pada Tractatus Wittgenstein. Namun jika kita cermati perbedaan antara
logika analitik dan logika sintetik, maka makna klaim-klaim tadi cukup jelas.
Dengan menghubungkan pembedaan antara “fakta” dan “benda” dengan pembedaan
antara logika analitik dan logika sintetik, khususnya seperti yang tergambar
pada Gambar IV.6, tersirat cara penggambaran struktur utama argumen
Wittgenstein di pasal di atas sebagai berikut:
“hal-hal”
mistis
alam
“fakta”
### = proposisi-proposisi
bermakna
Gambar VI.1:
“Tangga” Wittgenstein
Pandangan
Wittgenstein bahwa filsafat apa pun berdasar pada pondasi logika analitik yang ketat belaka pasti membatasi ruang lingkup
penyelidikannya pada pertanyaan-pertanyaan yang timbul di dalam “alam fakta” yang dihasilkan, meskipun ini mensyaratkan
kita untuk memperlakukan banyak pertanyaan filosofis tradisional sebagai
seakan-akan tidak ada. Ia mengakui dengan cukup tepat bahwa alam metafisis ini (yaitu alam “hal-hal” di luar logika analitik) adalah alam mistis; logika sintetik selalu menjadi alat mistis favorit. Akan tetapi, lantaran
keyakinan kukuhnya akan kesahihan logika analitik
yang universal dan eksklusif, Wittgenstein terpaksa menyimpulkan bahwa
tanggapan yang tepat terhadap alam mistis itu tetap hening. Jika kata-katanya
benar bahwa “hal-hal” semacam itu bukan bagian yang tepat dari tugas filsuf,
maka banyak filsafat yang saya ajarkan kepada anda di matakuliah ini pada aktualnya
bukan filsafat sama sekali, melainkan tong kosong belaka.
Keheningan,
sebagaimana yang hendak kita jelajahi di Bagian Empat, pada aktualnya merupakan
cara tanggap yang amat tepat terhadap pengalaman mistis. Namun demikian,
sebagai binatang yang menggunakan kata-kata, kita manusia tentu mencoba memaparkan pengalaman semacam
itu dengan kata-kata. Wittgenstein memerikan upaya ini tatkala ia mengacu pada
orang-orang yang memanfaatkan proposisi analitik sebagai “tangga” (ladder) dengan harapan memanjat melampaui
fakta-fakta menuju pemahaman hal-hal
secara langsung. Ia memang benar kalau ia bermaksud untuk mengatakan bahwa
dalam kasus-kasus semacam itu logika analitik
berputar haluan menjadi “non-akliah”; secara demikian, nasihatnya, cukup
tepatlah bahwa seorang manusia harus “melempar jauh-jauh tangganya sesudah ia
memanjatinya”. Ia juga benar sepenuhnya dengan bersikeras bahwa kita harus
“melampaui proposisi-proposisi ini” supaya “melihat
alam dengan benar”; para mistikus jauh lebih tertarik pada pengubahan cara pandang kita terhadap alam daripada cara
papar kita terhadapnya. Akan tetapi,
yang alpa untuk dipertimbangkan oleh Wittgenstein adalah bahwa alam visi itu
mungkin memiliki jenis logikanya sendiri,
sehingga kata-kata lain yang tidak masuk
akal (nonsense) akhirnya bisa masuk
akal (make sense): proposisi-proposisi yang menggunakan logika sintetik itu
masuk akal karena membuka mata kita lebar-lebar dalam memandang alam dengan cara baru!
Sayangnya,
filsuf-filsuf terawal yang mengikuti petunjuk Wittgenstein tidak tertarik pada
perambahan implikasi dari acuan-acuan misterius pada “hal-hal” yang agak
“maujud dengan sendirinya”. Acuan-acuan itu tenggelam oleh pandangannya tentang
pembangunan pondasi analitik yang akan memungkinkan filsafat untuk menjadi bentul-betul
ilmiah untuk pertama kalinya. Pengikutnya yang paling berpengaruh ialah A.J.
Ayer (1910-1989), yang pada usia 26 menulis buku, Language, Truth, and Logic, yang mempopulerkan interpretasi
positivis terhadap ide-ide Wittgenstein. Jauh dari membiarkan terbukanya ruang
untuk apresiasi yang hening terhadap “hal-hal yang mistis”, Ayer mengemukakan
bahwa karakter non-akliah pengalaman mistis, bersama-sama dengan semua ide
metafisis, seharusnya menyebabkan kita membuang itu semua lantaran tidak
berguna sama sekali. Jadi, di dekat awal bab pertamanya, yakni “The Elimination
of Metaphysics”, ia menulis:
For we shall
maintain that no statement which refers to a "reality" transcending
the limits of all possible sense-perception can possibly have any literal significance;
from which it must follow that the labours of those who have striven to
describe such a reality have all been devoted to the production of nonsense. (LTL 34)
([Ini] karena
kita hendak mempertahankan bahwa tidak ada pertanyaan yang mengacu pada “realitas”
yang melampaui batas-batas semua kemungkinan pencerapan-inderawi yang
barangkali bisa memiliki kebermaknaan harfiah apa saja; dari situ harus
dituruti bahwa para pelaku yang telah berjuang untuk memaparkan realitas
semacam itu telah tercurah semuanya pada pembuatan hal-hal yang non-akliah.) (LTL 34)
Pisau Ayer
yang dipakai untuk memangkas semua ilusi semacam itu muncul dalam bentuk
sesuatu yang ia sebut prinsip “verifikasi”. Ia memaparkan prinsip ini dalam
bentuk pertanyaan yang menurut dia seharusnya kita kemukakan tentang proposisi
apa saja yang diajukan sebagai kemungkinan “fakta” alam: “Apakah observasi apa
pun relevan dengan penentuan benar-salahnya?” (LTL 38). Jika jawabannya “Tidak”, maka, dalam pikiran Ayer, tidak
ada jalan untuk memverifikasi
kebenaran atau kesalahan proposisi yang dibicarakan; dan dalam segala situasi
semacam itu, proposisi tersebut sungguh kurang bermakna. Jadi, jika saya
mencoba membela kebenaran proposisi semacam “Tuhan berada”, Ayer mensyaratkan
saya untuk memerikan situasi empiris potensial tertentu yang menyebabkan saya
membuang keyakinan kepada Tuhan. Contohnya, jika saya katakan saya akan
membuang keyakinan kepada Tuhan jika ibu saya wafat secara tragis, maka Ayer
mengakui bahwa keyakinan saya sebagian mengandung isi yang maknawi; namun ini
pun terutama merupakan keyakinan tentang ibu
saya, bukan keyakinan tentang Tuhan.
Orang yang mengklaim mempunyai keimanan yang tak tergoyahkan hanya akan dianggap meyakini omong kosong
melompong. Ayer menyatakan hal ini dalam bagian berikutnya di bukunya, dengan
menerapkan pisau verifikasi untuk memangkas sebagian besar dari hal-hal yang
secara tradisional dianggap sebagai bidang penyelidikan filosofis terpenting.
Bukan hanya proposisi-proposisi semacam itu, melainkan juga kebanyakan
proposisi nilai-nilai moral, religius, dan estetik yang paling dekat dan paling
berharga pun dijelaskan secara demikian, paling-paling sebagai sekadar ungkapan
keadaan perasaan orang (dan karenanya, dianggap tidak rasional).
Akan tetapi,
ada masalah yang serius mengenai program Ayer, umpamanya upaya untuk menegakkan
seperangkat batas-batas yang disebut “positif” terhadap penyelidikan filosofis
di atas landasan logis tersebut. Masalahnya adalah bahwa prinsip yang melandasi
aliran keseluruhan pemikiran itu sendiri tidak dapat lulus uji verifikasi.
Dengan kata lain, jika Ayer ada di sini pada hari ini dan kita meminta dia
untuk menunjukkan suatu observasi—pengamatan apa pun—yang akan dianggap sebagai bukti prinsip verifikasi, ia
tidak akan mampu melakukannya! Mengapa? Karena prinsip ini bukan sekadar “alat
logika”, seperti yang dikira oleh Ayer; prinsip itu sendiri merupakan keyakinan metafisis yang terlalu sering
hendak ia buang karena dianggap tidak masuk akal. Artinya, prinsip itu benar
kalau saja prinsip itu sendiri kurang
bermakna, atau, kalau tidak, prinsip itu salah kalau saja pondasi inti positivisme logis hancur
berkeping-keping. Kita dapat mengungkap karakter prinsip verifikasi yang
kontradiktif-diri dalam bentuk yang lebih tegas sebagai berikut (dengan
mengasumsikan “PV” mewakili “prinsip verifikasi” dan “-v” melambangkan
“proposisi yang tidak bisa diverifikasi oleh observasi sama sekali”):
Semua –v kurang
bermakna. (= PV)
PV adalah sebuah
–v.
Q PV (jika benar) kurang bermakna.
Bentuk argumen ini
pasti tidak terlihat asing bagi anda; ini adalah masalah “mengacuan-diri”, yang
diungkap di Kuliah 10 sebagai kesesatan.
Walaupun
positivisme logis memang mengalami masa kejayaan dengan dukungan banyak filsuf,
terutama selama 1930-an dan 1940-an, tidak lama kemudian sifat klaim-klaim
dasarnya yang kontradiktif-diri menjadi bukti yang tak tersangkal. Bahkan,
bukti itu tak tersangkal sama sekali sehingga Ayer sendiri akhirnya berhenti
mencoba membela pandangan positivis yang seekstrim tersebut. Pelajaran yang
dapat kita petik dari eksperimen filosofis yang masanya relatif singkat itu
adalah bahwa beberapa macam praduga bersifat esensial bagi upaya filosofis apa pun, dan bahwa praduga-praduga
semacam itu, sebagaimana mitos-mitos
yang kita hadapi di Bagian Satu, selalu melampaui
alam pengetahuan yang dibatasi oleh praduga-praduga. Prinsip transenden seperti
itu biasanya harus diterima berdasarkan keyakinan, karena tidak bisa dibuktikan
dari dalam sistem yang disokong oleh prinsip tersebut; namun tanpa hal itu, tidak
ada garis batas di sistemnya, dan karenanya tidak ada pengetahuan sama sekali.
Dengan kata lain, positivisme logis mungkin telah berhasil, dalam pengertian
tertentu, dalam membuat filsafat menjadi ilmu; namun harga yang harus dibayar
adalah mengukuhkan ketidakruntutan dasar yang sangat menodai ilmu modern:
keyakinan bahwa pengetahuan bisa dicapai tanpa berakar pada suatu mitos yang
mendasarinya. Segera sesudah kita akui sia-sianya keyakinan semacam itu, kita
dapat melihat bahwa “benda-benda” [yang ada dalam pikiran] Wittgenstein itu sama pentingnya dengan “fakta-fakta”
[yang ada dalam pikiran]-nya: tanpa “benda” kita pun tidak dapat membicarakan “fakta”!
Salah satu
perbedaan tajam yang paling menarik dalam sejarah filsafat abad keduapuluh
adalah antara adikarya Wittgenstein yang pertama dan adikaryanya yang kedua.
Tidak lama sesudah ia menyusun kerangka filsafat positivis, ia melangkah menuju
jalan pencerapan tugas filosofis secara amat berbeda. Ia mengawali pandangan
barunya dalam Philosophical Investigations
(1953), sebuah buku yang diterbitkan setelah ia meninggal, yang sampai
diperlakukan sebagai manifesto bagi sebuah versi analisis linguistik lainnya,
yang disebut “filsafat bahasa sehari-hari”. Berbedanya karakter antara dua
bukunya sangat jelas, bahkan juga terlihat dari judulnya: Tractatus bersifat logis ketat dan analitik sepenuhnya, sedangkan Investigations ditulis dengan gaya yang
jauh lebih longgar, lebih sintetik—tidak berbeda dengan cerita detektif. Batu
pondasi filsafat bahasa sehari-hari (yang mengambil alih posisi prinsip
verifikasi positivisme logis) adalah prinsip bahwa makna kata atau proposisi ditentukan oleh penggunaannya. Dengan dilengkapi dengan prinsip ini, para filsuf
analitik mengalihkan perhatian mereka pada tugas penyelidikan tentang bagaimana
kata-kata digunakan dalam bahasa sehari-hari, dengan keyakinan bahwa semua
masalah metafisis pada dasarnya bisa ditelusuri jejaknya pada kekeliruan pemakaian beberapa kata kunci
yang digunakan.
Di samping
prinsip penggunaan yang menentukan makna, Wittgenstein menyarankan sejumlah
pedoman lain tentang bagaimana mestinya bahasa sehari-hari diselidiki oleh
filsuf. Dua di antaranya mesti disebut di sini sebelum kita simpulkan bahasan
kita tentang analisis linguistik. Yang pertama adalah bahwa kata-kata
mendapatkan makna dengan turut serta dalam “permainan-bahasa” tertentu. Tepat
seperti permainan yang berlainan memiliki aturan yang berlainan, namun semuanya
dapat disebut “permainan”, cara penggunaan bahasa yang berlainan pun mempunyai
aturan yang berlainan, namun makna dapat muncul di dalam semua cara tersebut.
Ini berarti bahwa ilmu, satu-satunya
alam pengetahuan yang bisa diterima oleh positivis logis, lantas dianggap
sebagai salah satu dari banyak kemungkinan permainan-bahasa. Kata-kata yang kita
pakai dalam konteks non-ilmiah, sebagaimana dalam penalaran moral, dalam
penyusunan penilaian estetik, dan bahkan dalam pembangunan sistem keyakinan
religius, bagaimanapun, bisa dianggap mempunyai makna yang sah. Walau di setiap
kasus itu kita tidak dapat memahami makna-makna sedemikian itu dari luar, kita
harus turut serta dalam permainan
supaya [dapat] mengerti apa yang terjadi. Karena alasan ini, memahami konsep
“permainan” itu penting sekali bagi para filsuf bahasa sehari-hari. Sebetulnya,
ketika saya menempuh studi di Oxford, saya pernah mengikuti serangkaian kuliah
oleh seorang filsuf yang merupakan salah seorang murid Wittgenstein. Percaya
atau tidak, ia menghabiskan seluruh waktu
[yang tersedia] dengan membahas pertanyaan “Apakah permainan itu?” dengan
kami—namun kami tidak pernah sampai pada seperangkat prinsip penentu yang bisa
diterapkan pada semua permainan!
Sebuah
pedoman lain yang diperkenalkan oleh Wittgenstein didasarkan lagi-lagi pada
analogi—yaitu bahwa kelompok-kelompok kata kadang-kadang mengandung “pertalian
keluarga” satu sama lain, baik antarkata maupun antarkelompok. Dengan melacak
pertalian-pertalian ini dan menyadari pola-pola ruwet yang terlihat pada bahasa
sehari-hari, ia percaya para filsuf bisa terhindar dari pengulangan banyak
kekeliruan yang dilakukan oleh filsuf-filsuf masa lampau. Upaya menggunakan
suatu kata seolah-olah kata itu anggota keluarga yang tidak terkait dengan
bahasa sehari-hari berarti melanggar aturan permainan-bahasa; jadi, tidaklah
aneh muncul masalah-masalah yang tampaknya tak terpecahkan sebagai akibatnya.
Dengan menggunakan pedoman ini dan pedoman-pedoman lainnya, Wittgenstein
mendeteksi sering kelirunya kecenderungan para filsuf dalam memperlakukan
kata-kata. Kendati karya deteksi semacam itu kadang-kadang berakhir dengan
simpulan yang tidak berbeda dengan pemikiran logis Tractatus (umpamanya, bahwa masalah filosofis itu lantaran
kesalahan penggunaan bahasa), nada terbuka dan lenturnya amat berbeda dengan
kekakuan karya belianya.
Jika
positivisme logis mencoba membuat filsafat menjadi ilmu, filsafat bahasa
sehari-hari mencoba membuatnya menjadi seni. Dengan cara ini analisis
linguistik dalam bentuk tertentunya pada aktualnya menjadi lebih sepenuhnya
menghargai pentingnya sintesis—walau tentu saja masih menempatkan analisis
sebagai prioritas. Tekanan pada analisis mempunyai faedah lantaran mengundang
perhatian para filsuf akan pentingnya penjernihan bahasa. Akan tetapi, salah
satu masalah seluruh gerakan ini yang paling serius adalah bahwa dalam banyak
kasus para filsuf analitik yang menyatakan klaim mereka, “kami hanya mencoba
membantu menjernihkan hal-hal yang telah anda lakukan tatkala ada menggunakan
bahasa”, pada aktualnya juga menyiratkan klaim lain yang amat berbeda. Sebagian
dari filsuf-filsuf analitik berfilsafat dengan sikap bahwa pada faktanya, “kami
mengetahui kesalahan tradisi seluruhnya, dan kami tidak membutuhkannya lagi!”
Hal ini, tentu saja, merupakan perkataan yang berbahaya, karena tradisi
filsafat merupakan tanah di bawah permukaan, tempat pengambilan gizi bagi
akar-akar metafisis pohon filsafat kita.
17. Filsafat Sintetik: Eksistensialisme dan Bahasa Tuhan
Tekanan yang
berlebihan pada logika analitik dalam filsafat, seperti yang telah kita amati,
sering menimbulkan pandangan yang mengabaikan semua mitos dalam pencarian
sistem ilmiah. Sejauh mana filsuf-filsuf membolehkan cara pikir mitologis untuk
memainkan peran dalam berfilsafat barangkali langsung sebanding dengan sejauh
mana mereka mengakui beberapa bentuk logika sintetik sebagai komplemen logika
analitik yang sah. Seperti yang saya sebutkan di Kuliah 16, fokus kuliah kita
saat ini adalah eksistensialisme, sebuah aliran filsafat yang
pendukung-pendukungnya cenderung lebih menekankan logika sintetik daripada
logika analitik. Gerakan ini berpengaruh dominan di dunia filsafat yang disebut
“Daratan” (yaitu Eropa non-Inggris), khususnya selama paruh pertama abad
keduapuluh. Pada aktualnya, banyak hal dalam bagian keempat matakuliah ini yang
mengenai persoalan-persoalan yang diangkat terutama oleh para filsuf
eksistensialis dalam upaya mereka untuk menerapkan pemikiran filosofis untuk
meningkatkan pemahaman kita tentang pengalaman manusia yang konkret. Jadi, pada
jam kuliah ini kita dapat membatasi perhatian kita pada persoalan yang lebih
terkait langsung dengan logika—yakni
masalah tentang bagaimana bahasa keagamaan
(religious language), dan “bahasa Tuhan” (God talk) pada khususnya, mendapatkan maknanya. (Tentu saja,
filsuf-filsuf analitik pun juga mencurahkan banyak perhaitian pada persoalan
ini; namun di sini kita berfokus pada kecenderungan penanganannya yang dijalani
oleh para eksistensialis.) Topik ini berfungsi sebagai sesuatu yang kontras
dengan analisis linguistik karena bahasa mengenai Tuhan, yang jauh dari
penyingkiran mitos, diakui oleh sebagian filsuf sebagai “bahasa mitos”.
Bahasa
keagamaan pada keadaan terbaiknya sering, seperti mitos, menggunakan logika
sintetik untuk membantu kita menangani kebebalan
kita perihal kenyataan hakiki. Dengan kata lain, ini pada dasarnya
merupakan upaya membicarakan hal yang tak terkatakan. Pada kebanyakan agama,
“kenyataan yang tak terkatakan” ini mengacu pada “Tuhan”—dan, karenanya, pada
frase “bahasa Tuhan”. Namun banyak filsuf yang lebih suka menggunakan istilah
yang lebih bersahaja; salah satu contoh penggunaannya yang baik adalah
“Yang-Berada” (Being). Jauh sebelum
eksistensialisme muncul sebagai gerakan sendiri yang khas, banyak filsuf dan
teolog yang menganut konvensi pembedaan antara manusia (dan semua hal lain yang
ada di dunia awam kita), sebagai “yang-berada”, dan realitas hakiki yang
melandasi semua eksistensi, sebagai “Yang-Berada”. John Macquarrie, seorang
teolog eksistensialis kontemporer yang sangat terpengaruh oleh filsafat
eksistensialis Heidegger, memaparkan pembedaan ini dalam bukunya, Principles of Christian Theology (PCT 138):
.. there
could be no beings without the Being that lets them be; but Being is present
and manifest in the beings, and apart from the beings, Being would become
indistinguishable from nothing. Hence
Being and the beings, though neither can be assimilated to the other, cannot be
separated from each other either.
(... tidak
mungkin ada para yang-berada tanpa Yang-Berada yang menyebabkan mereka ada;
namun Yang-Berada itu hadir dan maujud dalam yang-berada, dan lepas dari
yang-berada, Yang-Berada itu menjadi tak bisa terbedakan dari yang-tiada. Oleh
sebab itu, Yang-Berada dan yang-berada, walau tak bisa saling terbaur, tak
dapat terpisahkan juga satu sama lain.)
Pembedaan antara
Yang-Berada dan yang-berada ini berfungsi sebagai titik-pijak utama bagi banyak
eksistensialis, kendati filsuf-filsuf yang tak begitu berpikiran-teologis
seringkali lebih suka berpijak dari pembedaan yang bahkan lebih dasar antara
Yang-Berada (dan/atau yang-berada) dan yang-tiada.
Pembedaan
eksistensialis utama tersebut (yang versinya kita ambil di sini) pada bentuk
dasarnya bersesuaian dengan pembedaan Kant antara alam pengetahuan-nirmustahi
dan kebebalan-niscaya. Meskipun kedua pembedaan itu tidak identik, dan sangat
sering diterapkan dengan beragam cara yang berbeda-beda, kita dapat melukiskan
pembedaan eksistensial ini dengan menggunakan peta lingkaran yang sama, dengan
cara yang sekarang tidak asing (bandingkan Gambar III.5 dan VI.2). Salah satu
keuntungan penggunaan kata yang berakar sama untuk menunjukkan kedua tingkat
realitas adalah bahwa ini menyiratkan bahwa—sebagaimana kesaksian siapa saja
yang pernah mengalami pengalaman keagamaan—Yang-Berada menampakkan sendiri dalam yang-berada. Namun ini memunculkan
masalah: dengan adanya perbedaan yang tajam antara yang-berada dan Yang-Berada,
bagaimana mungkin kita bisa secara bermakna membicarakan Yang-Berada yang
maujud sendiri dalam berbagai yang-berada namun melampaui mereka semua? Inilah
masalah pokok bahasa keagamaan; dan secara tradisional ada dua cara untuk
menanggulanginya.
yang-ada
(atau
yang-tiada)
yang-berada
yang
eksis
(existing beings)
Gambar VI.2:
Pembedaan Eksistensial Utama
Jenis solusi
pertama dapat disebut “cara negasi”. Mereka yang mengambil pendekatan ini
bersikeras bahwa kata apa saja yang dipakai untuk memerikan Yang-Berada pasti
benar secara harfiah—yakni benar dengan secara serupa dengan penerapan kata
yang sama pada yang-berada. Hasilnya adalah bahwa cara pendekatan terhadap
bahasa mengenai Tuhan ini menghadirkan deskripsi yang sangat bersahaja tentang
kenyataan hakiki atau, kalau tidak, tiada deskripsi sama sekali. Kita telah
bersua dengan beberapa wakil khas pendekatan ini. Salah satu contohnya yang
terawal dan terbaik adalah kutipan panjang di Kuliah 12 dari Pseudo-Dionysius.
Proposisinya, seperti yang kita lihat, membatasi keberadaan yang dibicarakan
yang pada praktisnya hambar jika kita menafsirkannya hanya dengan menggunakan
logika analitik, padahal itu bisa menunjukkan makna-makna yang lebih dalam jika
kita menafsirkannya dengan memanfaatkan logika sintetik. Teori Kant tentang
pengetahuan, yang garis-besarnya terdapat di Kuliah 8, juga sering ditafsirkan
bahwa teori ini menyiratkan keterbatasan bahasa secara ketat pada alam
keberadaan. Adapun Tractatus
Wittgenstein, tentu saja, berujung pada saran yang jelas bahwa kita tetap
membisu bila sampai pada “hal-hal mistis” yang “maujud sendiri” kepada kita,
melampaui “alam fakta”.
Pendekatan
kedua yang menjelaskan bagaimana kata-kata bisa dipakai untuk menyusun ekspresi
maknawi mengenai suatu “Yang-Berada” hakiki disebut “cara afirmasi”.
Menariknya, ketiga filsuf tersebut di atas, dalam beberapa hal, tidak hanya mengusulkan
“cara” yang negatif, tetapi juga “cara” afirmatif komplementer—bukti yang
mengisyaratkan bahwa mereka semua layak disebut filsuf “yang baik”. Investigations Wittgenstein bisa
dianggap sebagai upayanya untuk menempa cara afirmatif. Filsafat moral Kant,
yang akan diulas di Kuliah 22, sengaja disusun sebagai komplemen afirmatif bagi
pembatasan negatif yang dipancangkan oleh epistemologinya. Adapun
Pseudo-Dionysius sendiri pada aktualnya ialah filsuf yang menamai dua cara ini;
yang mengejutkan, uraiannya tentang cara afirmatif pada kenyataannya
panjang-lebar, padahal teologi negatifnya sangat sederhana.
Para filsuf
dan teolog yang menggunakan cara afirmatif acapkali mengembangkan pendekatan
tersebut dengan memanfaatkan sesuatu yang disebut “analogi tentang
yang-berada”. Analogi ini menyatakan, dengan cukup sederhana, bahwa dalam hal
tertentu “Yang-Berada” terhadap “yang-berada” itu seperti “yang-berada x”
terhadap “yang-berada y”. Kita dapat mengungkapkan ide tersebut dalam bentuk
persamaan matematis sebagai berikut:
Yang-Berada yang-berada x
-------- =
----------
yang-berada yang-berada y
Analogi ini
tidak menyiratkan bahwa setiap pertalian antara dua yang-berada agak serupa
dengan pertalian antara Yang-Berada dan semua yang-berada, tetapi hanya bahwa
dalam hal tertentu keserupaan semacam
itu sampai ke benak kita sebagai cara penggunaan kata-kata yang tepat untuk
menjelaskan pengalaman kita tentang Yang-Berada. Contohnya, Yesus mengalami
hubungan antara bapak dan putra, sehingga ia mengajari pengikut-pengikutnya
agar berdoa kepada “bapa mereka di surga”. Inilah analoginya:
Tuhan bapa
------- = -----
manusia putra
yang di situ,
“bapa” tentu saja mengacu pada ayah ideal
yang sempurna.
Analogi
tentang “yang-berada” itu memungkinkan kita untuk memecahkan paradoks menarik
yang muncul dari pembedaan eksistensial utama antara Yang-Berada dan
yang-berada. Paul Tillich (1886-1971), seorang eksistensialis Jerman yang
sebagian besar dari hidupnya dijalani di AS, mengemukakan bahwa jika kita mengakui
Tuhan sebagai “yang-ada” atau “latar bagi yang-berada”—yakni jika Tuhan lebih
kita anggap sebagai Yang-Berada daripada sebagai salah satu dari “yang-berada”
yang eksis di sekitar kita—maka pada hakikatnya mengatakan Tuhan itu “eksis”
tidak tepat sama sekali! Salah seorang guru saya pernah mengatakan pernyataan
semacam itu yang menunjukkan bahwa Tillich pada hakikatnya ateis. Akan tetapi, penafsiran semacam itu gagal menangkap maksud
pandangan Tillich. Interpretasi yang lebih baik adalah yang mengemukakan
sendiri yang pernah kita akui bahwa para eksistensialis dari semua tipe gemar
menunjukkan bahwa kata “exist”
(berada) berasal dari kata Latin ex
(“out”) dan sistere (“stand”);
jadi, sebagaimana tukasan para eksistensialis yang berpikiran-teologis, ini berarti bahwa untuk
menjadi eksis, yang-berada itu harus lebih
menonjol daripada Yang-Berada yang merupakan akarnya.
Kita akan
melihat lebih dekat beberapa ide Tillich di Bagian Empat matakuliah ini; namun
untuk sekarang cukup ditunjukkan saja bahwa ia memakai “cara negatif” ketika
Tillich menegaskan bahwa kita jangan, mengikuti peraturan, mengatakan “Tuhan
itu eksis”, karena Tuhan ialah hanya Yang-Berada yang merupakan
asal menonjolnya yang-berada yang
eksis. Jika kita melihat masalah tersebut dari sudut pandang yang lebih
“afirmatif” dari analogi tentang yang-berada, maka kita bisa mengatakan bahwa mode eksistensi Tuhan (atau barangkali
kita dapat menyatakan realitas Tuhan)
terhadap mode eksistensi (atau realitas) manusia adalah seperti puncak gunung
terhadap lembah di bawahnya, atau seperti matahari terhadap bulan, atau seperti
apa saja kekuatan utama atau lebih tinggi lainnya yang kita ketahui terhadap
kekuatan jadian atau lebih rendah lainnya yang relevan. Pembandingan semacam
itu tidak memberi kita pengetahuan
tentang Tuhan, tetapi benar-benar memberi kita cara penggunaan kata-kata untuk
mengungkapkan keyakinan kita mengenai
bagaimana pengalaman kita tentang
Tuhan bisa dipaparkan dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, pembedaan antara
Yang-Berada dan yang-berada tidak menyiratkan bahwa Tuhan tidak nyata, tetapi bahwa realitas Tuhan pada
dasarnya merupakan jenis kenyataan yang berbeda dengan realitas segala
yang-berada yang kita ketahui. Sementara Tillich mengatakan bahwa, mengikuti
peraturan, tidaklah benar mengatakan salah satu dari “Tuhan itu eksis” atau
“Tuhan itu tidak eksis”, saya menambahkan bahwa dari sudut pandang logika
sintetik yang lebih lentur, kita lebih baik mengatakan bahwa kedua proposisi ini benar dan maknawi,
masing-masing dengan caranya sendiri. Ini lantaran Tuhan bukan sekadar yang
terbesar dari semua yang-berada yang eksis: kita yang-berada mempunyai eksistensi; Tuhan ialah eksistensi—atau, sebagaimana yang
tersurat oleh Macquarrie, Tuhan “membiarkan-berada” (lets-be) (PCT 141). Ini
tentunya merupakan inti utama klaim Tillich bahwa Tuhan tidak secara harfiah
“eksis”.
Analogi
tentang yang-berada, seperti praktis segala penggunaan bahasa secara metaforis,
mendapat maknanya dari logika sintetik. Bilamana kita memakai pertalian-yang-diketahui untuk memerikan pertalian
yang tak diketahui, kita mengambil
persamaan antara dua lawanan dengan cara yang tak pernah disahkan oleh logika
analitik. Jika kita mencoba memahami proposisi “Tuhan adalah bapa saya” hanya
dengan menggunakan logika analitik, kita terpaksa menyimpulkan bahwa proposisi
tersebut non-akliah. Ini karena “bapa” ialah seorang pria yang turut
menghasilkan bayi melalui hubungan seksual dengan seorang wanita. Jika Tuhan
ialah “yang-berada yang besar”, maka mungkin ini bisa jadi; sebagian pemeluk
agama yang memandang Tuhan dengan cara ini tidak kesulitan untuk memikirkan
bahwa Tuhan (umpamanya) ialah seorang tua alim yang (dengan jalan yang
sedikit-banyak supernatural) berhubungan seksual dengan Perawan Maria yang
menghasilkan Yesus bayi. Namun kalau Tuhan melampaui
tapal-batas alam yang-berada, maka konsepsi Tuhan sebagai bapa semacam itu,
yang ditafsirkan dengan kekakuan analitik, tidak masuk akal. Walau demikian,
jika kita terima logika sintetik
sebagai alat yang sah untuk menyusun proposisi maknawi, maka kita bisa mengakui
bahwa gagasan kebapakan Tuhan tidak dimaksudkan sebagai deskripsi harfiah tentang Tuhan, tetapi sebagai jalan yang
mengejuti kita menuju pemerolehan wawasan yang lebih luas mengenai pengalaman
kita tentang Tuhan. Dewasa ini orang-orang Kristen cenderung lupa akan apa yang
pasti mengejutkan orang-orang Yahudi yang pertama kali mendengar Yesus berseru
“Allah merupakan bapa kita!” Sekarang
ini beberapa orang mencoba mengejuti orang-orang Kristen tradisional dengan
cara serupa dengan berseru “Allah merupakan ibu
kita!” Seruan semacam ini mungkin mengusik mereka yang hanya menerima logika
analitik: bagaimana mungkin Allah merupakan tidak
saja bapa kita tetapi juga ibu
kita? Namun demikian, logika sintetik memperlihatkan bagaimana kedua klaim itu
bisa benar dengan caranya sendiri-sendiri, masing-masing mendorong perkembangan
wawasan yang sah menuju hakikat Yang-Berada.
Macquarrie
(omong-omong, dialah pembimbing saya di Oxford) telah menyediakan bahasan yang
berfaedah tentang kebermaknaan bahasa keagamaan pada umumnya, dan bahasa Tuhan
pada khususnya, di bukunya, Principles of
Christian Theology. Ia berpendapat bahwa bahasa Tuhan tidak hanya
mengungkapkan suatu analogi abstrak, tetapi timbul dari tanggapan eksistensial terhadap suatu jenis pengalaman konkret pada
yang-ada (PCT 139). Contohnya, jika
seorang manusia mengalami rasa kecil dan hempasan oleh pesona keagungan,
seolah-olah [berada] dalam kehadiran kekuatan yang lebih besar atau lebih
tinggi yang secara tak terhingga melampaui segala kekuatan yang pernah
dialaminya, maka orang itu mengungkapkan proposisi maknawi bilamana ia mengacu
pada sumber misterius pengalaman ini (yakni Tuhan) sebagai “Yang Tertinggi”
atau “Yang-Berada Yang Tertinggi”; begitulah Macquarrie meyakinkan kita. Bahkan
bagi orang yang tidak lagi percaya bahwa Tuhan tinggal di suatu tempat yang
secara harfiah “jauh tinggi di angkasa”, metafora “ketinggian” ini bisa dengan
tepat mengungkap tanggapan mereka
(yakni rasa rendah) sewaktu [berada]
dalam kehadiran Tuhan.
Sering
dianggap bahwa bahasa Tuhan semacam itu tidak mengacu pada sekadar pengalaman
pribadi individu tentang Yang-Berada, tetapi sebagai doktrin yang mesti disetujui oleh setiap orang. Penggunaan dogmatik
bahasa keagamaan ini juga bisa memiliki makna yang sah, asalkan bahasa tersebut
mencerminkan tanggapan eksistensial terhadap pengalaman bersama (shared) tentang penyingkapan Yang-Berada di umat beragama
yang bersangkutan. Di pasal yang membenarkan filsafat Wittgenstein yang
terakhir, Macquarrie mengingatkan kita bahwa makna doktrin atau dogma pada
hakikatnya ditentukan oleh penggunaannya
pada umat beragama (PCT 124-125). Jika kata-kata yang
dipakai untuk mengungkap dogma tidak relevan lagi dengan jenis tanggapan
eksistensial terhadap Yang-Berada yang dialami oleh umat beragama yang
bersangkutan, maka dogma itu kehilangan maknanya, dan harus dibuang atau
diungkap dalam bentuk baru. Dengan kata lain, kaum yang beriman harus memandang
keimanan mereka tidak sebagai mengandung makna analitik yang tetap, yang selalu
bermakna di semua waktu dan semua tempat, tetapi sebagai ekspresi dari makna
sintetik yang lentur, yang terkait langsung dengan kenyataan-hidup yang
senantiasa-baru dan senantiasa-berubah.
Macquarrie
juga mencatat bahwa bahasa Tuhan memiliki akar historisnya di dalam bahasa mitos (PCT 130-134). Ia memaparkan pandangan beberapa eksistensialis,
bahwa mitos adalah bentuk cerita yang berupaya menjawab pertanyaan yang pada
dasarnya subyektif, “Siapa saya?”, dalam bentuk yang diobyektifikasikan. Namun
ia mengingatkan bahwa mitos juga mempunyai aspek yang benar-benar obyektif
(134): “Bahasa mitos sesungguhnya mengenai keberadaan manusia, tetapi bahasa
tersebut membicarakan keberadaan ini dalam hubungannya dengan Yang-Berada,
dalam batas-batas bahwa Yang-Berada menyingkap sendiri.” Dengan kata lain,
pengalaman tersebut adalah pengalaman tentang sesuatu yang obyektif, meskipun pengetahuan
yang diungkapkannya terutama mengenai keadaan orang yang mengalami pengalaman
tersebut. Kendatipun pada hari ini kita “hidup di zaman pasca-mitologis” (132),
alam bahasa mitologis perlu dipahami karena hubungannya dekat dengan bahasa
keagamaan: kedua tipe bahasa tersebut banyak bergantung pada penggunaan simbol.
Di Bagian
Empat matakuliah ini, kita akan mengulas dengan agak rinci bagaimana
simbol-simbol tertentu berfungsi dengan cara sedemikian itu supaya memungkinkan
kita untuk menangani kebebalan kita akan kenyataan hakiki. Jadi, akan ada
gunanya memberi catatan pendahuluan yang singkat tentang bagaimana
simbol-simbol berfungsi dalam bahasa keagamaan. Menurut Macquarrie, simbol
adalah segala hal di alam yang-berada yang tersingkap dan karenanya mengarahkan
perhatian kita menuju alam Yang-Berada. Ia meminta perhatian pada karakter sintetik simbol-simbol tatkala ia
mencatat bahwa simbol-simbol itu pasti mengandung “paradoks” (PCT 145): “Karena simbol adalah simbol
itulah, maksudnya keduanya mewakili hal-hal yang disimbolkannya dan belum
mencukupi, maka keduanya harus sekaligus diterima dan ditolak.” Macquarrie juga
beberapa kali (contohnya 135-136) menyinggung definisi simbol yang disarankan
oleh Tillich. Sebagaimana yang akan kita saksikan di Kuliah 31, Tillich
mendefinisikan simbol sebagai lambang yang turut
serta dalam realitas yang ditunjukkannya. Dengan kata lain, dalam pengertian
tertentu simbol adalah realitas itu
sendiri (A), biarpun dalam ertian lain, sebagai obyek empiris belaka, simbol
itu bukan realitas (-A). Secara
demikian, sebagian penulis menyebut hukum kontradiksi sebagai hukum
“partisipasi”, yang mengatur situasi-situasi ketika “A berpartisipasi dalam –A”.
Perbedaan
antara bahasa mitologis dan bahasa keagamaan adalah bahwa pemahaman mitologis
itu tetap tak sadar akan alam
simbolik kata-kata [di dalam]-nya, sedangkan pemahaman keagamaan yang murni itu
mengakui simbol sebagai simbol.
Macquarrie mengiaskan bahasa mitologis dengan aktivitas pengimpian dan bahasa keagamaan dengan aktivitas penafsiran impian (PCT 134). Seterusnya ia membahas sejumlah ciri khas penting
simbol-simbol. Ia mengamati, umpamanya, bahwa simbol-simbol biasanya hanya
berlaku “di dalam sekelompok orang yang sedikit-banyak terbatas” (136).
Akibatnya, barangkali “tiada simbol pribadi”, di samping tiada “simbol
universal”, karena obyek yang sama seringkali mempunyai makna simbolik yang
berbeda di budaya-budaya yang berlainan. Bahkan, Macquarrie mengklaim bahwa
“walaupun Yang-Berada itu ada dan karenanya berpotensi maujud di setiap
yang-berada tertentu, sebagian lebih maujud daripada yang lain” (143).
Maksudnya, terdapat “jangkauan
partisipasi dalam Yang-Berada”, dari obyek impersonal yang cenderung kurang
berpartisipasi sampai yang-berada personal
yang lebih berpartisipasi. Maka, alasan bahwa simbol personal sangat lazim
dalam bahasa keagamaan adalah bahwa simbol personal memiliki “jangkauan partisipasi
terlebar dalam Yang-Berada dan sehingga pelambangannya terbaik.” Kita tahu ini
benar karena yang-berada personal “tidak sekadar berada, tetapi membiarkan
berada” (144). Manusia-manusia
yang-berada pada khususnya tidak eksis belaka, seperti batu; mereka juga menciptakan. Inilah salah satu ciri khas
utama konsepsi keagamaan tentang peran yang-ada.
Sebelum
menyimpulkan kuliah ini saya hendak mengingatkan anda bahwa filsafat-filsafat
sintetik, seperti eksistensialisme, kadang-kadang disajikan dalam bentuk yang
seeksklusif dan seberat-sebelah filsafat analitik pada khususnya. Pada
kenyataannya, kedua aliran pemikiran itu sekaligus menggunakan logika analitik
dan sintetik: tepat seperti analisis linguistik yang mempunyai filsuf-filsuf
positivis logis dan bahasa
sehari-hari, eksistensialisme pun mempunyai penganjur “cara-cara” negasi dan afirmasi. Namun bagaimanapun,
filsuf-filsuf analitik cenderung terlampau menekankan logika analitik,
sementara para eksistensialis cenderung terlampau menekankan logika sintetik.
Yang terakhir ini kadang-kadang menghasilkan pendekatan yang mengatakan
peryataan seperti “Hanya pengalaman subyektif yang benar-benar penting; tradisi
filsafat, sejauh mengabaikan pengalaman ini, bisa dibuang.” Namun seperti yang
saya sebutkan di akhir Kuliah 16, tradisi itu adalah lahan yang memberi makanan
kepada pengalaman itu sendiri; bila tradisi itu dibuang, maka pengalaman itu
sendiri tak dapat dijelaskan.
18. Filsafat Hermeneutik: Wawasan dan Kembali ke Mitos
Dalam
mitologi Yunani kuno, tampaknya ada “seorang” tokoh yang tampaknya sering
menonjol di tengah-tengah yang lain lantaran jauh lebih simbolis daripada yang
lain dalam membantu kita memahami hakikat dan makna logika. Dialah Hermes,
putra “haram” dari Zeus dan Maya, putri tertua dari “Pleiades” (tujuh
bersaudara, putri Atlas dan Pleione). Maya melahirkan dia sewaktu bersembunyi
di gua; namun setelah tumbuh hampir mendekati ukuran anak kecil, ia menyelinap
pada suatu malam, mencuri limapuluh lembu Apollo, dan menyembunyikannya di gua
lain. Untuk mengecoh para pengejar, ia menutupi jejak kuku kaki lembu-lembu itu
[dan membuat jejak lain] dengan sepatu pahatan sehingga jejak-jejak itu
terlihat menuju arah yang berlawanan. Di gua itu ia menemukan api, lalu
menyembelih dua ekor lembu menjadi duabelas potong, mempersembahkannya kepada
dewa-dewa, masing-masing sepotong. Dengan menggunakan kulit kura-kura dan kulit
dua lembu tersebut, ia membuat lyre[i][1]
pertama. Tatkala akhirnya Apollo menemukan tempat persembunyian itu, ia sangat
terpesona oleh suara kecapi Hermes sehingga ia menyerahkan seluruh ternak
tersebut sebagai tukaran alat musik itu, dan keduanya menjadi teman baik. Untuk
menenangkan diri dengan musik seraya menggembala lembu, Hermes membuat seruling
gembala dan mulai mempelajari seni nujum yang terlarang. Akhirnya Zeus menjadi
sangat terkesan akan keterampilan nujum Hermes sehingga ia mengangkat dia
menjadi utusan dari dewa-dewa abadi—salah satu tugas utamanya adalah memberi
mimpi kepada yang fana.
Tidak seperti
kebanyakan dewa Yunani, yang dianggap hanya mengatur satu atau dua aspek
kehidupan, Hermes dipandang selaku aneka ragam lambang. Lantaran perbuatan
awalnya, ia menjadi dewa bagi pencuri dan penipu, dengan kelicikan sebagai
salah satu ciri utamanya. Namun ia juga dipuja selaku dewa bagi musisi,
penggembala, pedagang, dan pengrajin, di samping dewa bagi pemain cinta dan
penyihir (khususnya dipakai untuk memanterai orang yang dicintai). Di antara
semua ciri khasnya, ciri penentu perannya yang lebih menonjol daripada
dewa-dewa lainnya adalah tugasnya selaku utusan.
(Menariknya, kata Yunani untuk “malaikat” juga secara harfiah berarti “utusan
Dewa”.) Sebagai salah satu dari beberapa gelintir dewa yang dibolehkan
melakukan perjalanan secara bebas antara alam insani dan alam ilahi, Hermes
dapat dianggap sebagai dewa tapal batas—gelar yang kelayakannya terbukti di
Gambar VI.3.
dewa-dewa
Hermes
(bandingkan
Malaikat)
penafsiran
manusia
Gambar VI.3:
Hermes selaku Utusan Dewa-Dewa
Aliran utama
filsafat ketiga pada abad keduapuluh meminjam namanya, dengan alasan yang baik,
mengingat sifat mitologis ini. Sebagaimana tugas Hermes ialah mengungkap makna
tersembunyi dari dewa-dewa ke manusia-manusia, filsafat hermeneutik pun berusaha
memahami persoalan paling dasar dalam kajian umum tentang logika atau filsafat
bahasa: bagaimana pemahaman itu
sendiri mengambil tempat bilamana kita menafsirkan pesan-pesan ucapan atau
tulisan. Oleh sebab itu, kita dapat mengakui bahwa Hermes ialah representasi
simbolik filsuf, yang tugas utamanya (begitu kita akui bahwa sebagai manusia
kita bebal perihal kenyataan hakiki) adalah menafsirkan makna kata-kata.
Filsafat
hermeneutik memiliki akar yang dalam di kebudayaan Barat. Bahkan, Aristoteles
sendiri menulis buku berjudul Peri
Hermeneias (Tentang Interpretasi), walau ini lebih berkenaan dengan
pertanyaan-pertanyaan dasar logika daripada dengan persoalan yang saat ini kita
kaitkan dengan hermeneutika. Bagi Agustinus, Aquinas, dan para Skolastik,
hermeneutika adalah persoalan yang signifikan terutama (kalau bukan
satu-satunya) karena ada hubungannya dengan bagaimana Bibel mestinya
ditafsirkan. Karya pertama yang berusaha secara praktis obyektif menata
prinsip-prinsip penafsiran semacam itu adalah Introduction to the Correct Interpretation of Reasonable Discourses and
Books (1742), karya Johann Chladenius (1710-1759). Dengan menetapkan
hermeneutika sebagai seni pemerolehan pemahaman pembicaraan secara lengkap
(entah ucapan entah tulisan), ia mengusulkan tiga prinsip dasar yang harus
selalu diikuti: (1) pembaca harus menangkap gaya atau “genre” pembicara/penulis; (2) aturan logika yang tak bisa berubah
dari Aristotelian harus digunakan untuk menangkap makna setiap kalimat; (3)
“perspektif” atau “sudut pandang” pembicara/penulis harus ditanamkan di dalam
benak, terutama ketika membandingkan laporan yang berbeda tentang peristiwa
atau pandangan yang sama.
Selama abad
kedelapanbelas dan terutama abad kesembilanbelas, secara bertahap hermeneutika
berkembang menjadi bidang baku telaah akademik, terutama bagi para teolog,
lantaran kebermaknaannya dalam membantu penafsiran biblikal. Friedrich
Schleiermacher (1768-1834) mengajar hermeneutika sebagai matakuliah khusus,
dengan memperkenalkan banyak wawasan dan ciri baru yang dewasa ini masih
dinilai penting. Salah satu teorinya yang paling terkenal adalah bahwa
kemampuan kita untuk memahami teks dibatasi oleh “lingkaran hermeneutika”. Ini
mengacu pada pertalian timbal-balik yang terdapat antara bagian-bagian teks
(umpamanya, makna setiap kata, frase, dan sebagainya, yang dipertimbangkan
dalam sorotan bahasa asal dan tatabahasanya) dan teks keseluruhan yang
dipertimbangkan sebagai satu keutuhan yang maknawi (yang acapkali membutuhkan
umpamanya pemahaman latarbelakang kultural dan psikologis penulis). Paradoksnya
adalah bahwa kita harus memahami bagian-bagian dengan maksud menangkap
keutuhannya. Dalam prakteknya, ini berarti bahwa tugas penafsir tak pernah
selesai: semakin paham kita terhadap bagian-bagiannya, semakin akurat pandangan
kita terhadap keutuhannya, dan sebaliknya. Saya pikir “lingkaran” tanpa akhir
ini bahkan lebih tepat untuk dianggap sebagai spiral, dengan pemahaman kita terhadap teks itu yang tumbuh semakin
lebar, dengan revolusi bagian-keutuhan masing-masing. Seperti yang tersirat di
Gambar VI.4, ini mengisyaratkan sebuah cara pemahaman bagaimana hermeneutika menggabungkan sintesis dan analisis:
sintesis adalah proses penggabungan bagian-bagiannya menjadi satu keutuhan;
analisis ialah proses timbal-balik pembagian satu keutuhan menjadi
bagian-bagiannya.
satu keutuhan
sintesis teks analisis
bagian-bagian
Gambar VI.4:
Spiral Hermeneutik
Ada banyak
cendekiawan dengan berbagai tingkat minat terhadap filsafat, seperti William
Dilthey (1833-1911), yang turut memberi wawasan lebih lanjut untuk pemahaman
kita tentang hermeneutika; tetapi fokus utama pekan ini adalah pada abad
keduapuluh. Fokus semacam ini pada aktualnya cukup tepat, karena hanya melalui karya
salah seorang filsuf paling istimewa abad itu filsafat hermeneutik
sungguh-sungguh menjadi cara berfilsafat (sebagai
lawan terhadap seperangkat prinsip penafsiran biblikal). Oleh sebab itu, mari
kita bahas ide-idenya dengan lebih rinci, dengan suatu pandangan yang menuju
pemerolehan pemahaman lebih lanjut tentang bagaimana filsafat hermeneutik
merupakan sintesis filsafat analitik dan eksistensialisme, yang karenanya
mewakili sesuatu yang paling dekat dengan filsafat yang “baik” di abad
keduapuluh.
Dialah Hans
Georg Gadamer (1900- ) yang perkembangannya dipengaruhi oleh filsafat Edmund
Husserl (1859-1938) dan Martin Heidegger (1889-1976). Husserl menyusun metode
filosofis yang bernama “fenomenologi”, yang mencakup proses yang disebut
“periode transendental” (transcendental
epoche), yang dengannya filsuf berupaya mereduksi fenomena ke sifat khasnya
yang paling esensial dengan menempatkan segala yang non-esensial “di luar
interval”. Dengan berfokus pada percakapan,
Husserl mencoba menjelaskan bagaimana kata-kata menunjukkan realitas obyektif
yang melampaui kata-kata itu sendiri. Heidegger, seorang murid Husserl,
menggunakan ide-ide gurunya sebagai papan loncat bagi suatu filsafat baru yang
menghargai hermeneutika sebagai tugas filosofis inti. Dalam bukunya yang amat
berpengaruh, Being and Time (1927),
Heidegger mengemukakan bahwa “Dasein”
(sebuah istilah yang bermakna “yang-berada-di-sana”, tetapi dipakai sebagai
nama untuk inti hakikat manusia yang esensial) mempunyai “prioritas ontologis”
di atas semua yang-berada lainnya, karena seluruh manusia memiliki
“keterbukaan” dengan sendirinya (in-built)
menuju (atau “pra-pemahaman” tentang) Yang-Berada. Heidegger menunjukkan,
masalahnya adalah bahwa melalui proses “penutupan”, kita “melupakan” hubungan
initim kita dengan Yang-Berada. Adapun selama Yang-Berada tetap bersembunyi
dari pemandangan kita, kita “terasing” dari akar-akar terdalam kita. Penutupan
semacam ini terjadi karena kebanyakan ujaran kita (yakni penggunaan kata)
timbul dari hubungan yang “tidak otentik” dengan Yang-Berada. Jadi, tugas
filsuf adalah mengatasi masalah ini melalui proses “realisasi-diri” dengan
syarat bahwa kita, mula-mula dan terutama, mengakui betapa kita dibatasi oleh
sifat temporal kita. Sayangnya, Heidegger tak pernah menulis volume kedua
[lanjutan dari] buku ini, yang di dalamnya ia menyatakan akan menafsirkan
Yang-Berada secara demikian.
Gadamer,
murid Heidegger, ialah seorang pendatang lambat. Seperti Kant, ia hampir
berusia senja tatkala ia menulis adikaryanya, Truth and Method (1960). Buku ini, yang kadang-kadang dijuluki
“Kitab Suci” filsafat hermeneutik Jerman, memperkirakan perbedaan tajam
historis antara periode filsafat Pencerahan dan Romantik. Filsafat Pencerahan
berpegang pada pandangan yang naif bahwa akal dapat memecahkan semua masalah
manusia, asalkan kita mau membuang semua praduga dan memandang alam dari sudut
pandang kebenaran universal yang obyektif. Filsafat Romantik menolak “prasangka
terhadap parasangka” ini (TM 240),
menggantinya dengan prasangka demi tradisi
dan, bersama dengan ini, suatu penghormatan baru terhadap mitos. Jadi, para
Romantik memandang alam dari sudut pandang kebenaran individual yang subyektif.
Gadamer mengemukakan bahwa dengan sekadar mengatakan “tidak” terhadap sudut
pandang lawan, gerakan ini melakukan kesalahan dasar yang sama dengan kesalahan
Pencerahan: para filsuf di kedua tradisi tersebut cenderung tetap tak sadar
akan prasangka mereka. Filsafat hermeneutik melampaui kedua gerakan itu dengan
mengklaim bahwa memiliki suatu
prasangka tidak terelakkan. Gadamer menyatakan, prasangka adalah buruk hanya
bila merupakan hasil dari melihat bukti secara terlalu tergesa-gesa. Prasangka
yang didasarkan pada rasa percaya kepada
otoritas yang sah bukan hanya tidak buruk, melainkan juga merupakan
langkah-niscaya dalam pemerolehan segala pengetahuan murni. Kuncinya adalah
mengakui bahwa “otoritas” itu muncul bukan dari posisi orang, melainkan dari pengetahuan
orang. Seseorang mematuhi orang lain dengan sukarela bukan melalui paksaan
politis, melainkan melalui pengakuan bebas bahwa orang lain tersebut mengetahui apa yang ia bicarakan.
Gadamer setuju bahwa tradisi merupakan sumber otoritas semacam itu yang
seringkali paling andal; namun bila ini mengemukakan pengetahuan murni, kita
harus dapat menyokongnya dengan akal juga. Seperti Kant pula, ia mengingatkan
bahwa akal (yakni logika) belaka tidak selalu dapat dipercaya untuk mengarahkan
kita menuju kebenaran.
Paradoks
periode Romantik adalah bahwa, walau ini membangkitkan kesadaran historis
manusia, periode ini lalai untuk mengakui bahwa keterbatasan kita, sebagai
yang-berada dalam waktu, membatasi kemampuan kita untuk memahami sejarah kita
sendiri dengan akurat. Pada jantung “masalah hermeneutik” (TM 245): “sejarah bukan milik kita, tetapi kita dimiliki olehnya.”
Lantaran penafsir adalah dalam
sejarah, proses penafsiran makna teks apa saja adalah tugas yang tanpa akhir.
Pemahaman mensyaratkan kita untuk mula-mula mengatasi “rasa asing” terhadap
teks atau obyek yang dipikirkan, dan kita melakukan hal ini dengan mengubahnya
menjadi sesuatu yang lebih dikenal, sesuatu yang telah kita pahami. Inilah
alasan mengapa prasangka merupakan bagian yang tak terelakkan dari proses
pemahaman, dan mengapa menyadari
prasangka kita sangat penting untuk penafsiran teks—atau sebetulnya segala segi
pengalaman kita. Kesadaran bahwa penafsir berada di dalam rangkaian kesatuan
historis yang sama tatkala menafsirkan apa saja adalah prinsip yang oleh
Gadamer disebut “prinsip sejarah-efektif” (267).
Salah satu
argumen pokok Gadamer dalam Truth and
Method adalah bahwa “keyakinan naif akan metode ilmiah” (268) “menyebabkan
penyangkalan seseorang akan kesejarahannya sendiri.” Pada aktualnya, upaya apa pun untuk mendapatkan kebenaran
harus didasarkan pada suatu metode; dan metode apa saja yang kita pilih itu
secara paradoksis pasti membatasi pandangan kita tentang apa yang benar. Ini
karena, seperti yang saya tekankan pada berbagai gagasan di sepanjang
matakuliah ini, kita bisa mengakui kebenaran sesuatu hanya bila kita
memandangnya dari suatu perspektif.
(Saya akan mengulas tema ini dengan lebih rinci di Kuliah 24.) Akan tetapi,
metode ilmiah itu berbahaya khususnya
dalam hal ini, para penganjur lantangnya cenderung memperlakukannya sebagai
satu dan satu-satunya metode pencapaian kebenaran; namun dengan tetap bebal
akan prasangka (atau “mitos”, seperti yang kita sebut di Bagian Satu) mereka
sendiri, klaim-klaim semacam itu akhirnya bersembunyi
sebanyak kebenaran yang mereka ungkap—kalau tidak lebih banyak. Sebaliknya,
apresiasi filosofis terhadap prinsip sejarah-efektif memberi kita “kesadaran
akan situasi hermeneutiknya” (268).
“Situasi”,
menurut Gadamer (TM 269), adalah “sudut pandang yang membatasi kemungkinan
pandangan.” Batas-batas situasi kita dinamai “horison”—istilah yang dipinjam
oleh Gadamer dari Heidegger—kita. Yang penting dari penyadaran akan cakrawala
pribadi kita sendiri ini adalah bahwa ini memberi kita rasa mawas (perspective) mengenai segala yang
dapat kita lihat dari sudut pandang tertentu kita. Tanpa kesadaran semacam ini,
orang cenderung peduli hanya terhadap kejadian yang terdekat dengan waktu
sekarang. Filsafat hermeneutik memecahkan masalah ini dengan menyediakan rasa
kesadaran historis—“horison masa lalu” (271)—yang memungkinkan kita untuk
memperluas cakrawala kita sehingga ini memasukkan situasi orang lain (orang
yang kata-katanya kita tafsirkan). Peleburan cakrawala-cakrawala ini terjadi
bilamana kita tafsirkan kata-kata orang lain.
Dalam
pengertian apakah kita dapat mengatakan bahwa filsafat hermeneutik, seperti
yang tersaji oleh Gadamer dalam bentuknya yang paling lengkap dan sistematis,
pada aktualnya mensintesis gerakan yang lebih awal, yakni analisis linguistik
dan eksistensialisme? Salah satu dari banyak cara pembelaan klaim semacam ini
akan mempertimbangkan bagaimana masing-masing cenderung memandang tugas
berfilsafat. Para filsuf linguistik memandang sendiri bahwa mereka (idealnya)
ialah analis ilmiah terhadap bentuk-bentuk bahasa yang obyektif, sedangkan para
eksistensialis memandang sendiri bahwa mereka peramal yang menyeru manusia
menuju penghargaan baru terhadap makna (atau kesia-siaan) pengalaman insani. Dengan menganggap bahwa filsafat pada dasarnya
adalah percakapan untuk ditafsirkan,
Gadamer menggabungkan bias analitik Wittgenstein dan bias sintetik Heidegger (seperti
yang ditafsirkan oleh filsuf yang mengaku eksistensialis): filsafat adalah dan
harus merupakan upaya, baik untuk
menganalisis dan memahami
bentuk-bentuk linguistik ekspresi maupun
untuk mensintesis dan mengalami
dorongan dan tarikan maknawi dari bentuk-bentuk tersebut ketika berkembang
dalam komunitas-komunitas yang ditengahi-secara-historis. Sungguh, pelajaran
inti yang diajarkan oleh filsafat hermeneutik kepada kita ketika kita memasuki
abad keduapuluhsatu adalah sama esensialnya dengan pelajaran yang kita pelajari
di Kuliah 10 tatkala kita bahas masalah mengacu-diri: bahwa kebenaran dapat
“ditangkap” hanya selama kita mau mengakui mitos
kita.
Salah satu
cara penekanan pentingnya penyediaan ruang bagi prasangka kita adalah pembedaan
antara “eksegesis” (membaca makna keluar
dari teks) dan “eisegesis” (membaca makna anda sendiri ke dalam teks). Dewasa ini kebanyakan cendekiawan masih menganggap
bahwa eksegesis merupakan satu-satunya pendekatan yang sahih terhadap
penafsiran. Namun filsafat Gadamer memperlihatkan bahwa membongkar makna teks
secara analitis (eksegesis) dan menambahkan wawasan kita sendiri terhadap
kemungkinan makna teks secara sintetis (eisegesis) keduanya merupakan aspek
penting proses hermeneutik. Salah seorang contoh cendekiawan yang tidak
menanggung bias terhadap eisegesis ialah Kant, yang mengemukakan bahwa semua
penafsiran biblikal yang berlangsung dalam konteks agama mestinya diberi interpretasi moral, meskipun itu bukan bagian
dari makna harfiah teks—asalkan tidak bertentangan
dengan makna tersebut. Pada Pekan XI kita akan berbicara lebih banyak tentang
pandangan Kant tentang agama. Yang penting di sini adalah bahwa tanpa suatu
ukuran eisegesis, pemahaman kita akan jauh dari wawasan dan juga jauh dari makna yang mendalam. Karena itu, sebelum
menyimpulkan kuliah ini, mari kita merambah alam wawasan dengan lebih rinci
sehubungan dengan pembedaan antara logika analitik dan sintetik.
Lantaran kita
menyimpulkan tahap kedua dalam eksplorasi pohon filsafat kita, saya ingin
memastikan bahwa batangnya, yakni logika, telah memberi anda beberapa wawasan
baru mengenai bagaimana kita memahami kata-kata. Pada khususnya, saya harap
anda sekarang memperhatikan betapa penting mengakui pertalian yang komplementer
antara analisis dan sintesis dalam segala bentuknya. Ingatlah perbandingan yang
dibuat di Kuliah 12 antara pembedaan ini dan pembedaan pandangan-wawasan (sight-insight): logika analitik sering
menyediakan cara terbaik untuk memaparkan permukaan
hal-hal yang kita lihat dan kita alami, sedangkan logika sintetik membawa
kita menerobos permukaan, memasuki pendalaman
ide-ide baru. Namun ide-ide baru tidak bisa berdiri sendiri. Jika kita memiliki
wawasan dan kemudian membiarkannya begitu saja, ini tidak akan menghasilkan
buah. Oleh sebab itu, penemuan
sintetik wawasan baru harus selalu diikuti dengan kritisisme analitik; dan kritisisme ini hanya dapat dilakukan
dengan tepat oleh orang yang terbenam sepenuhnya dalam tradisi itu. Dengan
sedikit perubahan terhadap Gambar IV.6, kita dapat melukiskan cara pemerian
pertalian komplementer ini antara analisis dan sintesis, pandangan dan wawasan,
kritisisme dan penemuan, seperti yang terlihat di Gambar VI.5.
Wawasan
penemuan (sintesis)
kritisisme (analisis)
pandangan
Gambar VI.5:
Analisis dan Sintesis sebagai Fungsi-Fungsi Komplementer
Mengingat-ingat
peta ini selama kita menelaah Bagian Tiga dari matakuliah ini ternyata bisa
cukup berfaedah dalam menuntun perenungan kita mengenai hakikat kealiman. Dalam
rangka persiapan kuliah pekan mendatang yang akan mendiskusikan pertanyaan “Apakah kealiman itu?”, saya harap anda
masing-masing membaca cerita pendek, Jonathan
Livingston Seagull karya Richard Bach. Meskipun kata “kealiman” tak pernah
muncul di cerita itu, saya ingin anda, sewaktu membacanya, mencari isyarat apa
saja yang bisa dipegang sebagai hakikat kealiman. Bach bukan filsuf, sehingga
bukunya bukan bacaan lazim yang diperlukan untuk tugas kelas filsafat; namun ia
orang yang menulis dengan wawasan,
dan yang tulisannya sering menyulut api wawasan yang membara di dalam
pembaca-pembacanya. Karena itu, harapan saya adalah bahwa diskusi tentang kisah
populer seekor burung yang mencari kealiman itu akan memberi kita wawasan yang
bisa berlaku sebagai pengantar yang tepat terhadap Bagian Tiga.
Pertanyaan Perambah
1.
1. A. Mengapa kebenaran
matematis dan alamiah sering cocok?
B. Apakah makna kata atau proposisi berbeda dengan penggunaannya?
..............................
..............................
2.
2. A. Apa fungsi sintesis, kalau ada, dalam analisis
linguistik?
B. Mungkinkah ada bahasa yang analitik seluruhnya?
..............................
..............................
3.
3. A. Mengapa ada sesuatu, bukan yang-tiada sama sekali?
B. Adakah jalan
tengah antara cara negasi dan afirmasi?
..............................
..............................
4.
4. A. Bisakah kita
mengatakan sesuatu yang benar secara
harfiah mengenai Tuhan?
B. Apakah eksegesis ataukah eisegesis yang lebih penting untuk pemahaman yang baik?
..............................
..............................
Bacaan Anjuran
1.
1. Ludwig Wittgenstein,
Tractatus Logico-Philosophicus 2nd
Edition, terj. D.F. Pears dan B.F. McGuinnes (London: Routledge & Kegan
Paul, 1974[1961]), §§ 1, 6.1-3, dan 7.[ii][2]
2.
2. Alfred Jules Ayer, Language, Truth and Logic 2nd Edition,
Bab Satu, “The Elimination of Metaphysics” (LTL
33-45).
3.
3. Ludwig Wittgenstein,
Philosophical Investigations 2nd
Edition, terj. G.E.M. Anscombe (Oxford: Basil Blackwell, 1968[1953]), §§ 1-25.
4.
4. Bertrand Russel, The Problems of Philosophy (New York:
Oxford University Press, 1997[1912]}, Bab 15, “The Value of Philosophy”, pp.
153-161.[iii][3]
5.
5. John Macquarrie, Principles of Christian Theology, Bab 6,
“The Languange of Theology”, (PCT
123-148).
6.
6. Paul Tillich, Systematic Theology, vol. 1 (Chicago:
The University of Chicago Press, 1951), terutama Bagian II, “Being and God”,
pp. 163-289.
7.
7. “Hermes”
(http://web.uvic.ca/grs/bowman/myth/gods/hermes_t.html), yang dikelola oleh
Laurel Bowman.
8.
8. Hans Georg Gadamer, Truth and Method 2nd Edition, Bagian
Kedua, §§ II.1, “The Elevation of the Historicality of Understanding to the
Status of Hermeneutical Principle” (TM
253-274).
Catatan Penerjemah
[ii][2] Untuk
alternatif, lihat http://www.kfs.org/~jonathan/witt/t6en.html
http://www.kfs.org/~jonathan/witt/t7en.html