ASAS KEBANGKITAN PERADABAN

Written by Adian Husaini    
Monday, 27 June 2005 



Resensi Buku

Judul     : Budaya Ilmu (Satu Penjelasan)

Penulis  : Prof. Dr. Wan Mohd. Nor  Wan Daud

Penerbit :Pustaka Nasional Pte-Ltd, Singapura

Tahun    : 2003

Hlmn      : x+173 hal.



ASAS KEBANGKITAN PERADABAN



Pada awal pagi

Dia mendaki gunung mencari kayu api

Sehingga larut malam

Dia menganyam selipar (daripada jerami padi)

Sambil berjalan

Dia tidak pernah berhenti membaca



Puisi itu mengisahkan seorang pemuda Jepang bernama Kinjiro Ninomiya yang hidup pada awal abad ke-20. Kegigihannya dalam memburu ilmu menjadi inspirasi masyarakat Jepang. Oleh pemerintah Jepang, semangat Kinjiro itu kemudian disebarkan dalam bentuk buku teks moral, tugu peringatan, dan lagu-lagu. Semangat inilah yang banyak memberi inspirasi masyarakat Jepang untuk mengejar ilmu pengetahuan dan kemudian tampil sebagai salah satu peradaban besar. Pada abad-abad ke-19, masyarakat Jepang dikenal sebagai masyarakat “haus ilmu”. Budaya itu telah membangkitkan Jepang menjadi kekuatan dunia dalam bidang sains, teknologi, dan ekonomi yang mengagumkan pada masa-masa berikutnya. Banyak ilmuwan Barat heran, bagaimana bangsa yang dikalahkan dan dihancurkan dalam Perang Dunia II itu kini mampu mengalahkan Barat dalam berbagai bidang. Profesor Ezra Vogel dari Harvard University, merumuskan, bahwa  kejayaan Jepang ialah berkat kepekaan pemimpin, institusi, dan rakyat Jepang terhadap ilmu dan informasi dan kesungguhan mereka menghimpun dan menggunakan ilmu untuk faedah mereka.



Jepang telah menempatkan ilmu dalam posisi penting sejak Zaman Meiji (1860-an-1880-an). Pada akhir 1888, dikatakan, terdapat sekitar 30.000 pelajar yang belajar di 90 buah sekolah swasta di Tokyo. Sekitar 80 persennya berasal dari luar kota. Pelajar miskin diberi beasiswa. Sebagian mereka bekerja paroh waktu sebagai pembantu rumah tangga. Namun mereka bangga dan memegang slogan: “Jangan menghina kami, kelak kami mungkin menjadi menteri!” Para pelajar disajikan kisah-kisah kejayaan individu di Barat dan Timur. Contohnya,





buku Yukichi Fukuzawa, berjudul Galakkan Pelajaran pada tahun 1882 terjual 600.000 naskah. Buku ini antara lain menyatakan: “Manusia tidak dilahirkan mulia atau hina, kaya atau miskin, tetapi dilahirkan sama dengan yang lain. Sesiapa yang gigih belajar dan menguasai ilmu dengan baik akan menjadi mulia dan kaya, tetapi mereka yang jahil akan menjadi papa dan hina.”



Paparan menarik tentang budaya ilmu dan kebangkitan bangsa Jepang ini disajikan dengan ringkas dan padat oleh penulis buku ini. Penulisnya,



Prof. Dr. Wan Mohd. Nor Wan Daud, seorang guru besar di International Institut of Islamic Thought and Civilization—International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM). Jepang hanya satu contoh, bagaimana bangsa kecil ini mampu bangkit dengan menjadikan budaya ilmu sebagai asasnya. Bom sekutu yang meluluhlanttakan beberapa kotanya terbukti tidak mampu menghentikan kebangkitan bangsa ini di dunia sains dan ilmu pengatahuan.



Buku ini menarik, karena bukan hanya menyajikan konsep ilmu dan budaya ilmu dalam tataran normatif. Telaah historis dan perbandingan konsep budaya ilmu antar berbagai peradaban disajikan dengan gamblang, seperti budaya ilmu dalam masyarakat Yunani, Cina, India, Yahudi, Barat, dan Islam dipaparkan dengan kemas.



Dalam tradisi Yunani, misalnya, seperti dikatakan Robert M. Huchins, bekas Presiden dan conselor University of Chicago, bahwa di Athens: “pendidikan merupakan matlamat (tujuan.pen.) utama masyarakat. Kota raya mendidik manusia. Manusia di Athens dididik oleh budaya, oleh paideia.” Meskipun terbilang kecil dan tidak memiliki tentara yang kuat, peradaban Yunani berpengaruh besar terhadap masyarakat Romawi dan kemudian juga peradaban Barat.  Namun, meskipun berbudaya ilmu, masyarakat Yunani mengabaikan akhlak – ciri budaya ilmu yang berbeda dengan budaya lmu dalam Islam.



Demonsthenes, seorang filosof Yunani, mengungkap pandangan kaum cerdik pandai tetapi pintar menjustifikasi amalan tidak berakhlak: “Kami mempunyai institusi pelacuran kelas tinggi (courtesans) untuk keseronokan (keindahan. Pen.), gundik untuk kesihatan harian tubuh badan, dan istri untuk melahirkan zuriat halal dan untuk menjadi penjaga rumah yang dipercayai.” 



Bangsa Yahudi sudah dikenal luas menghargai budaya ilmu. Ilmuwan-ilmuwan Yahudi seperti Einstein, Baruch Spinoza, Sigmund Freud, Karl Marx, memiliki pengaruh besar dalam ilmu pengetahuan dan peradaban manusia. Budaya keilmuan di Barat juga menarik dicermati. Setelah terlepas dari cengkeraman kekuasaan Geraja dan memasuki zaman baru (renaissance), bermunculan ilmuwan-ilmuwan Barat  yang memiliki pengaruh besar dalam









tradisi keilmuan seperti Galileo Gelilei (m. 1642), Charles Darwin (m. 1882), Marie Curie (m. 1934), dan sebagainya. Kini, dunia Barat tetap memberikan perhatian besar terhadap masalah keilmuan. Berbagai pusat kajian ilmu dibangun. Untuk memahami dunia Timur (Asia-Afrika) mereka membangun pusat-pusat kajian dan bidang kajian yang dikenal sebagai “Orientalisme”. Berbagai daya upaya dan biaya dikeluarkan untuk menguasai bahan-bahan literatur, baik buku, manuskrip, majalah, risalah tentang dunia Timur (termasuk dunia Islam). Penguasaan bahasa Arab, Parsi, Turki, Urdu, dan sebagianya juga digalakkan.


Bagaimana dengan dunia Islam? Penulis buku ini dikenal sebagai pendukung kuat konsep “Islamisasi”. Berbagai buku dan artikelnya – yang biasanya ditulis dalam bahasa Inggris --  tentang pemikiran dan pendidikan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Malaysia, Indonesia, Bosnia, Turki, Farsi, Rusia, dan Jepang. Salah satu bukunya, The Educational Philosophy and Practice of  Syed Muhammad Naquib al-Attas: An Exposition of the Original Concept of Islamization, tahun 2003 ini juga diterbitkan di Indonesia dan Russia. Islam, menurut penulis, memiliki akar konsep dan budaya yang kuat dalam pengembangan tradisi dan budaya ilmu.



Prof. Hamidullah, misalnya, menunjukkan, bahwa kebanyakan ayat-ayat al-Quran yang berkaitan dengan aspek keilmuan, justru diturunkan di Mekkah. Berbagai hadith Nabi Muhammad saw menekankan pentingnya kedudukan ilmu dalam Islam. Para sahabat Nabi juga dikenal sebagai orang-orang yang haus akan ilmu. Kata Muadh bin Jabal: “Ilmu adalah ketua bagi amal; amal menjadi pengikutnya.”  Salah satu sabda Nabi saw yang sangat popular adalah: “Menuntut ilmu adalah satu kewajiban ke atas Muslim dan muslimat.”  Budaya ilmu di dalam Islam memang khas. Konsep pembagian ilmu menjadi “ilmu fardhu ain” dan “fardhu kifayah”, misalnya, tidak dikenal dalam konsep peradaban lain. Umur manusia yang terbatas tidak memungkinkan manusia mengejar semua ilmu. Maka, perlu dipelajari ilmu-ilmu yang bermanfaat. Sebab, ujung dari pengejaran ilmu adalah pengenalan Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Dalam konteks inilah bisa dipahami makna ayat Quran: ”Hanyasanya hanya mereka yang berilmu yang takut kepada Allah.”



Satu konsep menarik yang diajukan penulis adalah konsep “integratif” – disamping konsep “Islamisasi”. Penulis mengkritik keras konsep “spesialisasi sempit” yang membutakan ilmuwan dari khazanah keilmuan bidang-bidang lain. Ia menekankan perlunya menjelmakan sifat keilmuan yang multi-disciplinary dan inter-disciplinary. Spesialiasi yang membutakan terhadap bidang lain, menurut Jose Ortega Y, filosof Spanyol yang berpengaruh besar selepas Nietszche, telah melahirkan “manusia biadab baru” (a new barbarian). Tradisi keilmuan dalam Islam tidak mengenal sifat “spesialisasi buta” seperti





ini. Ilmuan-ilmuwan Islam dulu dikenal luas memiliki penguasaan di berbagai bidang. Pada akhir bukunya, penulis membuktikan, bahwa konsep budaya ilmu dalam Islam telah diterapkan dalam institusi pendidikan yang praktis di ISTAC.



Meskipun menekankan “keunikan” budaya ilmu dalam Islam dan mengajukan konsep “Islamisasi ilmu-ilmu semasa (kontemporer)”, Prof. Wan Mohd Nor mengimbau kaum Muslim tidak apriori terhadap ilmu-ilmu yang berasal dari peradaban di luar Islam. Meskipun mengkritik keras berbagai aspek konsep dan budaya ilmu dalam peradaban Barat,   yang diilhami oleh semangat sekular, penulis mengajak kaum Muslim untuk mengakui, bahwa banyak ilmuwan Barat yang gigih dan bersungguh-sungguh dalam mengejar ilmu, dan banyak juga iktibar dan kebaikan dapat diperolehi dari mereka.



Meskipun tidak terlalu tebal, buku ini ditulis dengan standar ilmiah yang tinggi, lengkap dengan referensi, catatan belakang, dan indeks, sehingga memudahkan pembaca untuk menjadikannya sebagai rujukan. “Sayangnya”, buku ini masih ditulis dalam bahasa Malaysia, meskipun penerbitnya juga memasarkannya di Indonesia, melalui kerjasama dengan penerbit Media Dakwah. Sejumlah istilah bisa menimbulkan salah paham, seperti “seronok”, “bandar”, dan sebagainya. Jumlahnya memang tidak banyak. Dengan bahasa ini pun, pembaca Indonesia akan cukup mudah memahami pesan buku ini.



Akhirul kalam, sebagai bangsa yang sedang “menggeliat” dalam keterpurukan yang berkepanjangan, buku ini sangat baik untuk bahan renungan tentang sejarah dan perjalanan bangsa Indonesia. Apakah budaya ilmu yang melandasi sejarah dan arah perjalanan bangsa Indonesia, atau budaya yang berlawanan, yaitu “budaya jahil”. Jika terlalu banyak dana dihamburkan untuk membangun patung, monumen, pelesiran, dan berbagai fasilitas hiburan, dibandingkan anggaran pendidikan, itu diantara pertanda bahwa budaya ilmu masih jauh dari tradisi bangsa itu. Dan sejarah menunjukkan, budaya jahil tidak pernah membangkitkan satu peradaban. Wallahu a’lam. (KL, 8 Desember 2003). 
© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design