Kajian Pemikiran Islam
Oleh : Redaksi 13 May 2005 - 11:50 am
Salah satu mekanisme ijtihad yang dilakukan pada masa Khafilah Abu Bakar As-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat untuk bermusyawarah menentukan hukum terhadap suatu permasalahan. Suatu hari, salah seorang sahabat yakni Amr bin Ash diketahui melaksanakan shalat tanpa terlebih dahulu mandi padahal dia dalam keadaan junub. Amr ketika itu hanya bertayamum. Kontan hal tersebut menimbulkan pertanyaan di kalangan para sahabat.
Untuk menengahi persoalan itu, Rasulullah SAW lantas bersabda dalam rangka membenarkan perbuatan Amr, "Apabila seorang hakim berijtihad dan benar, maka baginya dua pahala, tetapi bila berijtihad lalu keliru maka baginya satu pahala." (HR Bukhari dan Muslim).
Dalam buku Ensiklopedi Islam, dari sejarahnya, ijtihad memang sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan beliau sendiri merupakan mujtahid (ahli ijtihad) pertama. Ijtihadnya terbatas pada masalah-masalah yang belum ditetapkan hukumnya oleh Alquran. Bila hasil ijtihad Rasulullah benar maka akan turun wahyu membenarkannya. Adapun jika sebaliknya, turunlah wahyu untuk meluruskan kesalahan tersebut.
Ijtihad banyak digunakanan pada masa sahabat sebab setelah wafatnya Rasul, tentu saja wahyu tidak lagi diturunkan demikian pula hadis pun tidak bertambah. Sementara di sisi lain, problema yang timbul di tengah umat makin bertambah, baik ragam maupun jumlah.
Salah satu mekanisme ijtihad yang dilaksanakan pada zaman Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq adalah dengan mengumpulkan para sahabat guna bermusyarawah serta menentukan hukum terhadap permasalahan tertentu. Hal yang sama juga dilakukan pada masa kekhalifahan berikutnya terutama pada masalah-masalah yang tidak ditemukan nash-nya dalam Alquran.
Ijtihad ini kian mengalami perkembangan setelah masa sahabat. Kemunculan sejumlah mujtahid besar semisal Abdullah bin Umar bin Khattab, Ibn Shihad az-Zuhri, Abdullah bin Abbas, Anas bin Malik dan masih banyak lagi, menandai hal tersebut.
Pada abad kedua dan keempat Hijriyah, ijtihad mencapai masa perkembangan paling pesat. Masa ini pula kemudian dikenal dengan periode pembukuan sunah dan fikih demikian pula munculnya para mujtahid terkemuka yang merupakan imam-imam mazhab, antara lain Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafii serta Imam Hanbali.
Akan tetapi ijtihad mulai mengalami kemunduran setelah abad keempat Hijriyah. Muncul pendapat yang menyatakan pintu ijtihad telah tertutup lantaran umat Muslim merasa sudah cukup dengan pendapat mujtahid sebelumnya. Selain itu, tidak lagi muncul mujtahid-mujtahid handal yang memiliki kemampuan seperti para mujtahid sebelumnya.
Sebenarnya, apa ijtihad itu? Dalam bidang fikih, ijtihad berarti mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk menyelidiki dan mengeluarkan (meng-istinbat-kan) hukum-hukum yang terkandung dalam Alquran dengan syarat-syarat tertenty Sedangkan menurut para ahli ushul fikih, antara lain Imam asy-Syaukani dan Imam az-Zarkansi, ijtihad adalah mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan syarak (hukum Islam) yang operasional dengan istinbat (mengambil kesimpulan hukum).
Terdapat tiga hukum ijtihad seperti ditetapkan oleh ahli ushul fikih, antara lain fardlu ain (wajib bagi setiap orang), fardlu kifayah (cukup dilakukan sebagian orang) serta mandub (sunah).
Dalam pandangan Ketua Ikatan Dai Indonesia, KH Ahmad Satori, saat ini ijtihad juga banyak diterapkan untuk menjawab dan mencari solusi terhadap permasalahan kekinian atau ibadah yang sifatnya ghoiru mahdhah (ibadah yang bukan termasuk 'paket' dari Rasulullah) atau yang berupa bidang muamalah. Sementara yang sifatnya ibadah mahdhah atau ibadah yang dipaketkan oleh Rasulullah seperti haji, puasa, dan shalat tidak bisa untuk diijtihadkan.
"Maka ketika ada sementara pihak yang melakukan inovasi dalam hal shalat dan ibadah lainnya, tentu saja para ulama dan umat Muslim sangat keberatan. Karena memang tidak pernah ada ijtihad untuk praktek ibadah sejak dahulu kala," tegas Ahmad Satori.
Namun begitu, Ahmad menolak jika dikatakan Islam agak kaku terkait penerapan inovasi pada bidang ibadah. Dia mengatakan bahwa dalam persoalan tauhid ini, ada hal-hal yang sifatnya konstan dan tidak bisa diganggu gugat dan ada pula hal-hal yang dapat disesuaikan."Misalnya saja kiblat umat Islam yakni Kabah di Makkah, apakah bisa begitu saja kita alihkan ke tempat lain? Tentu saja tidak bisa kan."
Sebaliknya pada beberapa praktek ibadah, ambil contoh ketika harus melaksanakan shalat di perjalanan, maka seorang Muslim bisa tidak harus shalat menghadap kiblat. Ini menunjukkan bahwa Islam juga bisa sangat fleksibel dalam penerapan ibadah.
Pada kesempatan terpisah, Thabrani Syabirin, Wakil Ketua Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus PP Muhammadiyah, juga menyatakan penerapan ijtihad pada umumnya hanya untuk hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan aktual bagi kemaslahatan umat. Ini antara lain menyangkut praktek jual beli, utang piutang, bunga perbankan dan sebagainya. Sementara untuk persoalan ibadah, Thabrani sependapat bahwa tidak bisa diutak-atik.
Organisasi Muhammadiyah sendiri, papar Thabrani, lahir dari kehendak untuk menyokong upaya ijtihad secara terbuka pada pelbagai bidang kehidupan di masyarakat. Oleh karenanya pula, Muhammadiyah tidak menganut mazhab tertentu melainkan mengambil pendapat yang paling sesuai untuk diterapkan pada situasi dan kondisi yang berkembang.
Maka dengan sendirinya tradisi ijtihad ini sudah demikian mengakar dalam perjalanan sejarah organisasi Muhammadiyah di Tanah Air. Dan upaya itu tetap dipertahankan keberlangsungannya melalui kiprah Majelis Tarjih Muhammadiyah. "Keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih mengenai satu persoalan kemudian akan diikuti oleh segenap warga Muhammadiyah," papar Thabrani.
Dijelaskan lebih lanjut, Majelis Tarjih ini tidak harus menunggu saat penyelenggaraan muktamar untuk berkumpul dan membahas suatu permasalahan. Melainkan bisa sewaktu-waktu diperlukan utamanya apabila hal yang hendak dibicarakan mendesak sifatnya bagi umat seperti penanganan korupsi dan sebagainya. (RioL)