Prof.
Dr. M. Amin Abdullah:
30/08/2004
Perbedaan pandangan
dalam soal-soal keagamaan tidak mesti divonis secara hitam-putih. Keragaman
pandangan wacana keagamaan juga tidak mengandaikan salah satu pandangan mesti
berada di jalur sesat, alias keluar dari pakem agama. Sebab, tak jarang
persoalannya masih berada pada bentang horison pemikiran keagamaan yang amat
luas. Demikian hasil perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam
Liberal (JIL) dengan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta
Perbedaan pandangan
dalam soal-soal keagamaan tidak mesti divonis secara hitam-putih. Keragaman
pandangan wacana keagamaan juga tidak mengandaikan salah satu pandangan mesti
berada di jalur sesat, alias keluar dari pakem agama. Sebab, tak jarang
persoalannya masih berada pada bentang horison pemikiran keagamaan yang amat
luas. Demikian hasil perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari Jaringan Islam
Liberal (JIL) dengan Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Rektor UIN Yogyakarta.
Perbincangan yang didedikasikan untuk mengapresiasi kunjungan pemikir Islam
asal Mesir, Prof. Dr. Nasr Hamid Abu Zayd, yang kini sedang berkunjung di
Indonesia, itu berlangsung Kamis (26/08/2004). Berikut petikannya:
ULIL ABSHAR-ABDALLA
(UAA): Pak Amin, Anda tentu mengenal Nasr Hamid Abu Zayd sebagai seorang
pemikir terkemuka di dunia Islam saat ini. Bagaimana kisah perkenalan Anda
dengan beliau?
M. AMIN ABDULLAH
(MAA): Perkenalan saya dimulai saat mengajar di pascasarjana IAIN Yogyakarta
tahun 1994, melalui bacaan terhadap buku-bukunya. Uniknya, buku Abu Zayd justru
saya temukan saat saya berkunjung ke Paris. Saya hanya bertemu bukunya di sana,
bukan orangnya. Ketika itu, saya menemukan buku dengan judul yang membuat saya
tertarik, seperti Naqd al-Khitâb al-Dînî (Kritik Wacana Agama), Naqd al-Nash
(Kritik Teks), dan lain-lain. Buku itu saya bawa ke tanah air, lalu saya
telaah. Ternyata isinya memang bagus dan sesuai dengan perkembangan studi Islam
kontemporer. Saya kira, tema seperti Naqd al-Khitâb al-Dînî merupakan tema yang
cocok untuk dibahas di lingkungan IAIN atau PTAI (Perguruan Tinggi Agama
Islam).
UAA: Sebagai Rektor
UIN Yogyakarta, apakah Anda telah mengadopsi sejumlah pendekatan yang digunakan
Abu Zayd, khususnya di lingkungan akademik UIN?
MAA: Kalau melihat
sebagian corak tesis atau skripsi mahasiswa, kita akan dapat menemukan
tema-tema yang mengarah ke situ. Jadi di UIN Yogya, tema-tema seperti itu sudah
dibahas cukup luas. Kalau IAIN lain di Indonesia saya tidak tahu. Tapi paling
tidak, di Yogya ada komunitas yang menekuni karena memang cocok untuk
lingkungan akademik.
UAA: Abu Zayd
sering mengatakan bahwa Alquran pada batas tertentu bisa dikatakan sebagai
“produk budaya” (muntâj tsaqâfî). Tapi sekaligus, dia juga dapat disebut
“produsen budaya” (muntij tsaqâfî). Komentar Anda?
MAA: Posisi Alquran
sebagai muntâj tsaqâfî dan muntij tsaqâfî itu sudah barang tentu. Yang namanya
kitab suci, selalu bisa menggerakkan orang dan masyarakat. Kita bisa melihat
bagaimana budaya Arab bisa bergerak dari abad VII sampai abad XI. Itu kan luar
biasa! Jadi, dia ikut memproduksi budaya baru. Hanya dalam perjalanan sejarah,
setelah abad XIII, Abad Pertengahan, khususnya setelah Amerika ditemukan oleh
Columbus, dan perkembangan ilmu kealaman (natural science) yang luar biasa pada
abad 16-17, sudah terjadi pergeseran (peradaban) lagi. Tapi, statemen bahwa
Alquran juga ikut membentuk budaya itu memang benar.
UAA: Alquran
berperan dalam mengubah atau mentransformasikan peradaban. Lantas bagaimana
pula hubungan antara Alqur’an dan sejarah, khususnya konteks sosial di
sekitarnya?
MAA: Dalam ilmu
Alquran klasik, kita mengenal istilah asbâbunnuzûl (konteks atau sebab-sebab
turun ayat Alquran, Red). Sebab-sebab turunnya ayat, menurut pendekatan
historis kontemporer jelas sekali terkait dengan isu-isu yang berkembang dalam
masyarakat. Jadi sebetulnya Alquran memang tidak bisa terlepas dari
kesejarahan, dari aspek historisitas atau târîkhiyyah-nya. Jika kita lihat
kasus Umi Maktum, misalnya, tampak jelas bahwa ada dimensi historisitas dalam
Alquran.
UAA: Kita mengimani
bahwa Alquran itu firman Tuhan yang konon “datang dari langit”. Nah, bagaimana
firman itu bisa dipengaruhi konteks historis yang di bumi ini; dan apakah
dengan begitu akan menurunkan martabatnya yang azali dan transendental itu?
MAA: Cara melihat
semacam itu, sebetulnya kalau dibagi menurut klasifikasi pendekatan sejarah,
kelihatan sudah ada pada periode klasik Islam. Tapi yang menjadi masalah
menurut Abu Zayd sebetulnya bagaimana tafsiran terhadap teks kitab suci itu
sendiri. Yang menjadi konsen Abu Zayd adalah penafsiran terhadap teks kitab
suci (Alquran) itu dari satu fase ke fase lain yang berubah-ubah. Nah,
sebetulnya yang lebih menarik adalah dimensi historisitas penafsiran itu
sendiri.
UAA: Abu Zayd
sering dikaitkan dengan praktik hermeneutika. Dia dianggap mempraktikkan suatu
pendekatan yang mungkin ilhamnya dari Barat terhadap kitab suci. Komentar Anda?
MAA: Sebagian orang
mungkin bisa memandang dengan perspektif seperti itu. Tapi perspektif lain juga
tidak bisa dicegah. Kalau (praktik hermeneutika) dikaitkan dengan tradisi
Barat, kelihatannya Islam kok tidak punya tradisi seperti itu. Padahal tradisi
Islam sebetulnya kaya sekali dengan apa yang disebut hermeneutika atau aspek
al-qirâ’ah al-muntijah (bacaan produktif) terhadap kitab suci. Tapi memang,
kalau dikait-kaitkan dengan tradisi hermeneutika Barat, saya kita memang agak
berbeda. Ayat Alquran yang menyebut “wa-fauqa kulli dzi ‘ilmin ‘alim”
tegas-tegas merupakan embrio hermeneutika.
UAA: Anda menyebut
istilah al-qirâ’ah al-muntijah atau pembacaan yang produktif atas kitab suci.
Anda bisa jelaskan lebih lanjut?
MAA: Istilah
al-qirâ’ah al-muntijah akan jelas posisinya ketika berhadapan atau
berdialektika dengan al-qirâ’ah al-mutakarrirah (membaca turâts, atau warisan
masa lampau dengan cara mengulang-ulang; cara mutakarrirah atau repetitif).
Kedua istilah ini memang dari bahasa Arab, tapi sebetulnya bisa kita cermati
dalam budaya kita masing-masing. Bacaan yang mutakarrirah itu, kalau kita baca dari
buku Abu Zayd atau pemikir-pemikir kontemporer lain, adalah telaah atau bacaan
yang agak kehilangan dimensi historisitas pemahaman atas teks itu sendiri. Yang
dimaksud dengan historisitas adalah adanya dimensi perubahan
(sosial-politik-ekonomi-budaya) dalam sebuah masyarakat.
Kalau kita
menggunakan paradigma Alfin Tofler, mirip seperti pergantian era dari agraris,
industri, dan informasi. Dalam peralihan-peralihan itu terjadi proses change
atau perubahan. Aspek-aspek perubahan itu turut diperhatikan dalam penelaahan
terhadap kitab suci. Nah, al-qirâ’ah al-muntijah adalah membaca dengan
mempertimbangkan pemehaman seseorang atau kelompok terhadap perubahan-perubahan
sejarah itu. Yang dimaksud sebetulnya adalah sesederhana itu. Intinya,
pembacaan yang produktif akan selalu mempertimbangkan aspek historisitas
(târikhîyyah), baik dari sisi sosial, budaya, ekonomi, maupun politik.
UAA: Bagaimana
bentuk al-qirâ’ah al-mutakarrirah atau pembacaan yang repetitif?
MAA: Pembacaan yang
repetitif adalah bacaan yang dilakukan dengan (sekedar) mengulang-ulang masa
lampau atau the golden age of Islam. Masa keemasan itu lalu diidealisasi
sedemikian rupa, untuk kemudian dibaca kembali persis seperti itu adanya, untuk
diterapkan di era sekarang. Tapi soalnya, kalau bacaan terhadap masa lampau
yang diidealisasikan itu difungsikan untuk era sekarang, akan kelihatan sekali
kekurang-jelian kita terhadap aspek historisitas tadi.
UAA: Apakah yang
disebut al-qirâ’ah al-muntijah itu bisa disejajarkan dengan isu penafsiran yang
kontekstual atas Alquran?
MAA: Ya,
mirip-mirip dengan beberapa komponen yang kita sebutkan tadi. Jadi yang
diperhitungkan di dalam penelaahan itu adalah aspek sosiologi, sejarah, dan
lain-lain. Konteks historis itu menjadi pertimbangan pokok dalam pembacaan.
UAA: Di awal
pembicaraan, Anda menyebut Abu Zayd telah melakukan naqd al-khitâb al-dînî atau
kritik atas wacana agama. Kira-kira apa yang dia mau; kok agama
dikritik-kritik?
MAA: Agama tidak
boleh dikritik, tapi pemikiran keagamaan sah untuk dikritik. Kedua hal itu
harus dibedakan. Kalau dalam dunia akademik yang agak kompleks, keduanya harus
dibeda-bedakan. Jadi, antara al-dîn (agama) dan al-afkâr al-dîniyyah (pemikiran
keagamaan) itu berbeda. Ketika Anda menyebut firman Tuhan, mungkin itu masuk wilayah
al-dîn yang absolut, mutlak, tidak boleh diganggu gugat, qath’iy (pasti), dan
bagian dari al-tsawâbit (yang tetap). Tapi ketika rumusan-rumusan keagaman itu
disusun oleh ulama, cerdik cendekia, atau organisasi sosial keagamaan manapun,
maka secara otomatis itu masuk kategori al-intâj al-tsaqâfî (produk kebudayaan)
tadi. Pemikiran keagamaan selalu qâbil li al-niqâsy wa al-taghyîr; bisa
dicermati ulang, dipertanyakan, dan jangan-jangan tidak cocok dengan yang
diinginkan agama itu sendiri. Jadi itu bagian dari pemikiran keagaman yang
kadang susah dibedakan dengan agama itu sendiri.
UAA: Lantas, bagian
mana yang dikritik Abu Zayd?
MAA: Menurut bacaan
saya, kritiknya lebih kepada yang kedua, yaitu pada aspek pemikiran keagamaan.
Kita tahu, kondisi kultural Mesir (negara asal Abu Zayd) itu kan luar biasa
unik. Mesir berada pada titik temu antarperadaban: Timur-Tengah, Barat, Afrika,
dan Eropa. Karena pertemuan kultur dari berbagai macam peradaban, maka
lalu-lintas pemikiran kagamaan Islam di sana luar biasa perkembangannya. Selain
luar biasa perkembangannya, juga luar biasa kompleks dan konfliknya. Nah,
ketika pelbagai peradaban itu berebut soal mana yang paling otentik, maka
terjadilah residu-residu, rigiditas atau kekakuan-kekakuan. Sebetulnya, yang
ditajami bahasannya oleh Abu Zayd terletak pada soal itu: pemikiran keagamaan
yang kaku dan tidak historis itu tadi.
UAA: Tapi
pendapatnya dianggap melenceng dari ortodoksi Islam, lalu dia dikafirkan.
Makanya, Abu Zayd sangat gundah dengan soal takfîr (pengkafiran) yang
berlawanan dengan etos tafkîr (kreativitas berpikir) dalam dunia Islam. Apa
komentar Anda?
MAA: Aktivitas
tafkîr (berpikir) itu selalu melalui proses epistemologi atau menapaki tangga
nadlariyyat al-`ilm. Makanya, konstruksi ilmu pengetahuan itu kemudian rumit
dan kompleks. Yang namanya ilmu itu kan sistematis, teoretis, dan tidak mudah.
Sementara teman-teman dialog Abu Zayd inginnya tidak usah yang rumit-rumit,
langsung clear-cut, dan jelas-jelas saja. Padahal menurut Abu Zayd, setelah
dipikir-pikir persoalannya memang kompleks sekali.
UAA: Abu Zayd
menyebut tantangan di dunia Islam saat ini adalah al-tafkîr fî zaman al-takfîr,
berpikir dalam era pengkafiran. Kita sedang mengalami abad pengkafiran. Nah,
apakah masalah pengkafiran ini merupakan masalah serius di dunia Islam?
MAA: Untuk
wilayah-wilayah tertentu, di Timur-Tengah dan di beberapa tempat lain, mungkin
ya. Tapi di Asia Tenggara saya kira tidak begitu rigid, meskipun ada satu-dua
kasus yang serius. Tapi memang istilah takfîr yang berkembang saat ini bukan
takfîr dalam wilayah akidah, tetapi lebih pada wilayah perbedaan epistemologi,
perbedaan cara pandang keilmuan. Makanya, mengapa sebagian orang mudah mengarah
ke isu takfîr? Ada apa? Padahal, tak jarang persoalannya hanya pada perbedaan
pada bahan dan sumber bacaan dan perbedaan dalam melihat persoalan. Yang satu
melihat persoalan dari atas, yang satu lagi dari bawah; yang satu dari kanan,
yang satu dari kiri. Jadi sebetulnya ini persoalan multiperspektif. Makanya
ketika berbeda, masak mesti berimplikasi pada takfîr? Itulah yang
dipermasalahkan Abu Zayd sebetulnya. Perbedaan dalam pemikiran kemudian
dianggap perbedaan dalam agama.
UAA: Terakhir,
bagaimana pengalaman Anda dalam memperkenalkan beberapa pendekatan Abu Zayd
kepada mahasiswa muslim di Indonesia, dan bagaimana respon mereka?
MAA: Perasaan saya,
ketika saya mengajar di UGM dan UIN, mereka merasa senang. Artinya, mereka
merasa mendapatkan sesuatu yang baru. Mungkin karena ada kombinasi pendekatan
antara hadlâratun-nash (peradaban teks) dan hadlâratul-`ilm (peradaban
pengetahuan). Bagian hadlâratul-`ilm ini terkait sekali dengan soal tafkîr,
seperti pendekatan sosiologis, antropologis, dan lain sebagainya. Kemudian
ditambah lagi dengan kombinasi hadlâratul-falsafah (peradaban falsafah). Yang
dimaksud hadlâratul-falsafah di sini adalah akhlak baru yang membebaskan. Jadi
kombinasi dari tiga ramuan itu cukup menggairahkan mereka. Makanya, respon
mahasiswa tampaknya positif. Hal itu dapat dilihat dari penulisan tesis mereka
yang cukup berkembang wilayah penelitiannya.