Sampai sekarang,
saya belum menemukan jawaban yang memuaskan pada level mana kritik Qur'an
terhadap Bibel dan doktrin Kristen harus ditempatkan. Apakah di level kritik
doktrin, atau di level, yang saya sebut, “kritik politis”. Maksudnya, seperti kritik
yang dikemukakan Islam dalam rangka persaingan antara agama baru yang sedang
mencari umat dan agama lama yang sudah mapan.
Martin Sinaga,
teolog Kristen, dalam "percakapan yang mencerahkan" di Utan Kayu
mengatakan, bahwa kritik Islam terhadap Kristen itu adalah salah satu cara
Islam meng-apresiasi Yesus. Itu adalah salah satu perspektif keimanan dalam
melihat figur-figur kenabian yang diajukan oleh Islam.
Mendengar
kata-kata Martin ketika itu, saya sedikit terpukau. Saya belum bisa
berkomentar. Tetapi, setelah sedikit berjarak, saya mulai mempersoalkan, apakah
apresiasi Islam seperti direkam dalam Qur'an itu memadai dalam konteks
perjumpaan antaragama sekarang? Yang lebih membuat saya musykil adalah bahwa
kritik itu dikemukakan dalam bahasa yang sangat keras, "Sungguh kafir
orang-orang yang mengatakan bahwa Allah itu adalah Tuhan ketiga dari Tiga
Tuhan," (QS 5:73). Dalam ayat lain, dikatakan, “Sungguh kafir orang-orang
yang mengatakan bahwa Allah itu sama dengan Al- Masih anak Maryam (QS 5:17 dan
72). Saya tahu, bahwa kata "kafir" itu dipakai dalam pelbagai konteks
dan penggunaan. Orang Islam pun disebut sebagai "kafir", yaitu
orang-orang yang tidak mensyukuri nikmat Tuhan.
Keterangan yang
sedikit agak lebih memuaskan saya peroleh dari Ustadz Jamal Al Banna, adik
kandung Hasan Al Banna, pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir. Saya pernah
bertemu dengannya dan berdiskusi secara panjang lebar tentang doktrin jihad
dalam Islam. Keterangan dia mengilhami saya untuk berpandangan seperti berikut
ini. Kalau kita baca Qur'an secara keseluruhan, sama sekali tidak ada semangat
"triumfalistik", yaitu semangat mengalahkan agama-agama lain. Ini
semangat yang mendasari "golongan kristologi”. Dalam Qur'an, tidak ada
penegasan tentang Islam sebagai agama yang membatalkan agama-agama sebelumnya.
Kata Jamal Al
Banna, yang ada dalam Qur'an adalah suatu pembelaan diri karena Islam sebagai
agama baru saat itu mendapat serangan hebat dari suku-suku Arab di sekeliling
Jazirah Arab. Karena serangan itu, Islam berusaha mempertahankan diri dengan
melancarkan serangan balik.
Saya menduga,
ajaran Islam yang membatalkan agama-agama sebelumnya ini datang belakangan, dan
dirumuskan jauh setelah turunnya Qur'an. Dalam Qur'an, sama sekali tidak ada
penegasan mengenai hal itu. Sebaliknya, Qur'an justru menunjukkan bahwa dirinya
bukanlah "wahyu baru", tetapi kelanjutan dari wahyu-wahyu sebelumnya.
Qur'an sendiri menegaskan hal itu (QS 46:9): “Saya (Muhamad) bukanlah rasul
yang baru sama sekali.”
Jadi, dua agama
terlalu susah untuk dibandingkan, meskipun perbandingan juga perlu dilakukan
untuk mencari titik-titik pertemuan yang mungkin. Ketika kita membandingkan,
kita harus tetap sadar bahwa usaha itu mempunyai batas. Ketika kita menganggap
bahwa dua agama begitu berbeda, kita juga tetap harus waspada bahwa perbedaan
tidak pernah total, tetap saja ada segi-segi dalam dua agama (apalagi yang
berasal dari tradisi besar yang sama) yang bisa disepadankan.
[Ulil
Abshar-Abdalla]