Oleh: Abdurrahman Wahid*
Dalam apa yang dinamakan ‘Muktamar Sukolilo’ di Surabaya baru-baru ini, kubu Alwi Shihab mengalami permasalahan yang cukup serius. Pertama, KH. Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan di Tuban, menyatakan siap bertemu penulis kapan saja. Penulis mensyaratkan pertemuan itu harus diselenggarakan di luar ponpes tersebut, karena ‘biang kerok’ persoalan antara beliau dan penulis, terletak pada salah seorang putra beliau yaitu Gus Ubed. Selain itu dalam forum tersebut, KH. Idris Marzuki dan Ponpes Lirboyo mendahului pulang ke Kediri karena kecewa tokoh yang ingin dijadikan Ketua Umum Dewan Tanfidz Saifullah Yusuf tidak bersedia menempati posisi itu, dan malah ‘mengatur’ agar Choirul Anam yang terpilih. Dengan kepulangannya itu, KH. Idris Marzuki dianggap akan menekuni ponpes yang dipimpinnya, dan bukannya aktif dalam kegiatan politik seperti yang dilakukannya dua tahun terakhir ini.
Dalam apa yang dinamakan ‘Muktamar Sukolilo’ di Surabaya baru-baru ini, kubu Alwi Shihab mengalami permasalahan yang cukup serius. Pertama, KH. Abdullah Faqih dari Pondok Pesantren (Ponpes) Langitan di Tuban, menyatakan siap bertemu penulis kapan saja. Penulis mensyaratkan pertemuan itu harus diselenggarakan di luar ponpes tersebut, karena ‘biang kerok’ persoalan antara beliau dan penulis, terletak pada salah seorang putra beliau yaitu Gus Ubed. Selain itu dalam forum tersebut, KH. Idris Marzuki dan Ponpes Lirboyo mendahului pulang ke Kediri karena kecewa tokoh yang ingin dijadikan Ketua Umum Dewan Tanfidz Saifullah Yusuf tidak bersedia menempati posisi itu, dan malah ‘mengatur’ agar Choirul Anam yang terpilih. Dengan kepulangannya itu, KH. Idris Marzuki dianggap akan menekuni ponpes yang dipimpinnya, dan bukannya aktif dalam kegiatan politik seperti yang dilakukannya dua tahun terakhir ini.
Dari peristiwa-peristiwa itu, muncul pertanyaan tentang ‘ketahanan’ ponpes
dalam politik praktis. Pertanyaan itu merupakan bagian dari hubungan ‘tidak
wajar’ antara ponpes dengan dunia politik praktis, yang dimulai dari kedekataan
antara para pengasuh ponpes dengan para pejabat atau tokoh pemerintahan. Ini tampak
jelas, bahwa salah satu pemeo: jika “wakaf” dari orang-orang non-muslim sah-sah
saja, apalagi sumbangan dari pejabat yang pada umumnya yang sama sekali ‘tidak
mengikat’. Untuk sejumlah ponpes, yang memang para pengasuhnya ‘mengikatkan
diri’ dengan para pejabat dan tokoh di atas, mereka lalu tidak memandang
penting ‘kebersihan diri’ dari virus politik yang sangat berbahaya itu.
Sehingga banyak tokoh-tokoh ponpes yang ‘tergelincir’ secara politis, sehingga
tidak dapat mengambil tindakan bagi kepentingan rakyat banyak dan masyarakat
pada umumnya.
Hal ini sangat berbeda dengan masa KH. A. Wahab Chasbullah menjadi Ra’is
Aam NU dan wakil beliau, KH. Bisri Syansuri. Penulis masih ingat, sewaktu ia
masih kecil bagaimana KH. Wahab Chasbullah habis-habisan menentang gagasan Bung
Karno untuk membubarkan semua parpol dan tinggal satu partai saja yang boleh
berdiri di Indonesia. Begitu juga ketika Bung Karno mempersiapkan Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, KH. Bisri Syansuri menentang habis-habisan DPR-RI, yang
menurut beliau pada waktu itu, adalah hasil pemilihan umum tahun 1955. Kalau
harus diganti maka gantinya harus dipilih, dan bukannya ditunjuk oleh Bung
Karno. Untuk itu, beliau menghadapi semua tekanan termasuk datangnya tiga orang
perwira RPKAD (sekarang Kopassus), dengan bersenjata lengkap dan melakukan
intimidasi di ponpes beliau.
Dari dua contoh di atas terlihat bahwa para pimpinan ponpes masa lampau
mendasarkan pandangan mereka pada aturan-aturan agama, bukannya pada uang dan
sejenisnya. Contoh terkenal dalam hal ini, adalah Ra’is Akbar NU KH. M. Hasjim
Asy’ari dari Tebuireng Jombang yang ‘membiarkan diri’ ditangkap Kempetai
(polisi rahasia Jepang), karena ia menolak untuk melakukan seikirai
(upacara membungkuk badan untuk mendukung Kaisar Jepang). Menurut beliau, hal
itu sama saja dengan mengakui bahwa Kaisar Jepang adalah keturunan Dewa
Matahari (Amaterasu) sesuatu hal yang tidak akan mungkin dilakukan
secara keagamaan bagi seorang muslim, yang hanya mengakui kekuasaan Allah SWT
semata-mata. Untuk sikapnya itu, ia harus membiarkan tangan kirinya lumpuh
karena siksaaan polisi rahasia Jepang tersebut.
Dengan demikian telah terjadi perubahan kualitatif dari sikap dan pandangan
para kyai dari ponpes dalam kurun waktu sekitar setengah abad ini. Hal ini
tentu menimbulkan pertanyaan, berapa besarkah perubahan pandangan dan sikap
tersebut? Dalam pandangan penulis, ternyata perubahan-perubahan yang terjadi
tidaklah besar. Secara kuantitatif, dari sekitar seratus ribu orang kyai yang
ada di Indonesia saat ini, ternyata paling tinggi hanya 11 orang yang mengalami
perubahan pandangan akibat perkembangan politik. Itupun dapat dibagi dua adanya
perubahan pandangan itu.
Ada yang berpandangan, mereka berubah karena faktor uang dan hal-hal yang
sejenis, tetapi lebih banyak faktor pandangan ‘politik’ seperti contohnya
adalah KH. Abdurrahman Chudlori dari Ponpes Tegalrejo (Magelang) dan KH. Hanif
Muslich dari Ponpes Al-Futuhiyah di Mranggen (Demak). Sikap kedua orang itu
didasarkan pada pandangan bahwa orang-orang non-muslim tidak dapat menjadi
pengurus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Padahal ini dilakukan penulis agar
PKB yang ‘campur baur’ menjadi parpol yang besar di kemudian hari. Di sinilah
terletak perbedaan antara PKB dan NU. Penulis harus merelakan orang-orang itu
berada di luar PKB, yang juga berarti sikap untuk membesarkan NU. Penulis
pernah menyatakan, kedua orang itu pantas memimpin NU tetapi tidak pantas
mengurusi parpol. Ini tetap menjadi pandangan penulis sampai hari ini. Dua
sikap penulis itu adalah untuk menjunjung NU, walaupun dua institusi itu
memiliki wajah yang sama sekali berbeda dalam dunia politik. Di sini jelas,
alasan bagi perbedaan pandangan itu adalah hasrat membesarkan NU semata-mata.
Perbedaan pandangan yang demikian fundamental antar mereka yang ingin
berkiprah dalam NU semata-mata dan mereka yang ingin berkiprah bagi NU melalui
PKB, adalah konsekuensi dari pilihan kegiatan yang dilakukan. Dilihat dari
sudut pandang ini jelas ponpes menempuh strategi yang saling berbeda, dan
melalui bidang yang berbeda-beda pula dalam perjuangan. Kalau dilihat
prospeknya, ponpes memiliki kemampuan untuk ‘bermain politik’ melalui wadah
yang saling berbeda. Ini berarti hampir seluruh ponpes mampu bermain politik
secara dewasa. Hanya sedikit ponpes yang kehilangan kemampuan bermain politik
itu, karena faktor uang dan kekuasaan, yang dalam jangka panjang akan membunuh
kemampuan ponpes itu.
Politik yang dijalankan mayoritas ponpes seluruh Indonesia adalah
mengembangkan sikap ‘melayani kebutuhan’ berbagai pihak di luar dari mereka.
Artinya, ‘peranan agama’ dalam penciptaan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa
dan negara ini ternyata tidak pupus dan bahkan justru menunjuk kepada masa
depan yang gemilang. Dengan kata lain, peranan agama dalam dunia perpolitikan
di negeri kita tidaklah pudar, bahkan semakin cerah dan nyata di masa depan.
Marilah kita songsong era ini dengan membenahi ‘sasaran-sasaran politik’ yang
ingin dicapai. Inilah yang sangat menggembirakan bagi penulis, dan menimbulkan
harapan akan masa depan yang cerah bagi PKB dan parpol-parpol lain dalam pemilu
yang akan datang.
Setelah era politik parpol-parpol yang berebut kekuasaan, disusul oleh
kekuasaan kaum profesional dan kemudian tentara/militer selama tigapuluh tahun
lebih, kini datanglah era untuk menyaksikan munculnya peranan lembaga-lembaga
keagamaan (seperti ulama dan sebagainya). Kalau dari pihak-pihak sebelumnya
tidak begitu banyak hasil yang diperoleh, maka bagaimana dengan kepemimpinan
ulama yang disimbolkan oleh pengaruh ponpes dalam berpolitik? Dapatkah mereka
membawakan kemakmuran dan keadilan bagi bangsa ini, dengan menciptakan
masyarakat yang kuat dan negara yang besar? Seperti halnya faktor-faktor lain
dalam pembangunan, ponpes juga harus terlibat dengan pelestarian dan pembuangan
jauh-jauh beberapa aspek dari kehidupannya. Ini adalah hal yang biasa terjadi
dalam sejarah manusia, bukan?
Ciganjur, 5 Oktober 2005