Judul Buku: Mengenal Cultural Studies For Beginners
Pengarang : Ziauddin Sardar dan Borin Van Loon
Penerjemah: Alfathri Aldin
Penerbit : Mizan, Oktober 2001
Tebal : 176 halaman
Mulai dua tahun terakhir ini Kompas seringkali menurunkan
laporan-laporan menarik seputar peristiwa budaya yang dibahas secara cukup
mendalam. Ada banyak tema yang diturunkan: mulai dari peristiwa menjamurnya
makanan gaya McDonald, koleksi boneka barbie, gaya rambut punk, sampai pada erotisme dalam
media. Semua itu adalah contoh-contoh praksis Cultural Studies (- selanjutnya disingkat C.S.). Laporan itu selalu
mengajak pembacanya untuk melihat secara kritis apa yang sedang terjadi dan apa
yang sedang ia alami.
Ulasan budaya di Kompas menunjukkan bahwa C.S. bukanlah hal yang
asing bagi kita. Namun, di lain pihak, belum banyak buku dalam bahasa Indonesia
yang secara khusus membahas apa itu C.S. Dalam keadaan yang demikian itu, kita
patut gembira dengan usaha penerbit Mizan menerjemahkan Cultural Studies For Beginners.
Seperti seri-seri For Beginners yang lain, Cutural Studies For Beginners
ini dikondisikan menampilkan bahasan secara ringkas, padat, sedikit provokatif,
dan pasti menyederhanakan banyak hal yang sebenarnya rumit. Namun, pengarang
buku ini, Ziauddin dan Borin Van Loon ternyata cukup berhasil memberikan
gambaran yang ringkas, menyeluruh, serta menarik (dengan gambar komik yang
kocak) mengenai apa itu C.S.
Buku ini mulai dengan membahas apa itu C.S.
Lalu disusul penjelasan tentang apa bidang kajiannya, apa kerangka teoretis dan
bagaimana cara kerjanya. Tak terlewatkan juga sejarah munculnya C.S. dan
perkembangannya.
***
Buku-buku yang
membahas C.S. biasanya mulai dengan pengakuan betapa sulitnya mendefinisikan
C.S.. Demikian pula Cultural Studies
For Beginners ini.
Kesulitan ini pertama-tama muncul dari beragam dan luasnya definisi kebudayaan
(Culture). Bagi E.B. Tylor
(1832-1917), budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan dan kebiasaan
lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. Sementara itu, Margaret Mead (1910-1978) mendefinisikan budaya sebagai
perilaku pembelajaran sebuah masyarakat atau subkelompok. Definsi yang lain
lagi diberikan oleh Clifford Geertz. Menurut Geertz, budaya hanyalah
serangkaian cerita yang kita ceritakan pada diri kita mengenai diri kita.
Sementara itu, Raymond Williams (1921-1988) berpendapat bahwa budaya
mencakup organisasi produksi, struktur keluarga, struktur lembaga yang
mengekspresikan atau mengatur hubungan sosial dan bentuk-bentuk komunikasi khas
anggota masyarakat.
Dengan latar belakang definisi di atas,
penulis buku ini melihat bahwa tampaknya budaya mencakup (hampir) segala
sesuatu dan karena itu C.S. mempelajari (hampir) segala sesuatu. Ia mengkaji
budaya dalam arti seluas-luasnya (subjek kajian tak terbatas) dan
menerobos batas-batas disiplin ilmu
konvensional (fiska, biologi, sosiologi, filsafat, lingustik, dst). Dalam
analisisnya, C.S. meminjam secara bebas teori-teori dan metodologi yang dipakai
oleh seluruh cabang studi humaniora: sosiologi, antropologi, psikologi,
lingustik, kritik sastra, teori seni dan musikologi, filsafat, maupun ilmu
politik.
'Keinginan' untuk mempelajari semua dan
menggunakan semua kerangka disiplin ilmu ini merupakan salah satu bentuk
perlawanan C.S. terhadap disiplin ilmu saat ini yang cenderung mempelajari
subjek kajian dalam perspektif yang terbatas dan terkotak-kotak. Alasan lainnya
adalah pandangan bahwa kegiatan intelektual pada bidang-bidang disiplin ilmu
itu juga sebagai praksis kebudayaan.
Akibat kecenderungan dan cita-cita menembus
batas ini, C.S. sering kali dituduh anti-disiplin
dan anti-metode. Oleh
mereka yang menjunjung tinggi kompetensi bidang-bidang ilmu, C.S. sering kali
dicibir sebagai kegiatan yang 'main-main', mau seenaknya sendiri, tidak rigorus dan hanya bagian dari
proyek klangenan saja.
Penulis buku ini membatah penilain tersebut.
Ia menjelaskan bahwa C.S. itu amat serius dan mempunyai tujuan yang jelas. C.S.
mengklaim diri sebagai kajian ilmiah sekaligus gerakan politik. Alasannya, pertama, kajian C.S. selalu
bertolak dari praktik kebudayaan dan hubungannya dengan kekuasaan. Tujuannya
mengungkapkan hubungan kekuasaan dan mengkaji bagaimana hubungan tersebut
mempengaruhi dan membentuk praktik kebudayaan. Kedua, C.S. berupaya memahami budaya dalam konteks
sosial dan politik tempat kebudayaan itu mengejawantah. Ketiga, bagi C.S. kajian budaya
selalu dipahami sebagai praktik kebudayaan. Kajian bertujuan mengintervensi
praktik budaya. Ia tidak hanya meneliti tetapi juga mengkaji kegiatan meneliti
itu sendiri serta pengaruhnya terhadap apa yang ia teliti. Keempat, C.S. melibatkan dirinya
dalam evalusi moral dan praksis politik. Ia mempunyai komitmen rekonstruksi
sosial dengan melibatkan diri dalam praktik polik. Ia berupaya memahami dan
mengubah struktur dominasi dalam masyarakat.
Mengapa budaya dikaji begitu serius? C.S.,
mengambil inspirasi dari marxisme, mengasumsikan, bahwa masyarakat industri
kapitalis terbagi secara tidak seimbang menurut garis kelas, gender, dan etnik.
Namun, C.S. melangkah lebih jauh dengan memandang budaya sebagai arena utama
tempat stratifikasi sosial tersebut dimapankan dan diperjuangkan; budaya
merupakan tempat kelompok-kelompok yang terpinggirkan dan subordinat mungkin
melawan pemaksaan makna yang mencerminkan kepentingkan kelompok dominan.
Sebagai ilustrasi, analisis C.S. tentang
iklan-iklan perawatan kecantikan akan berupaya untuk menyingkap
ideologi-ideologi yang ada dibalik imaji-imaji yang mewakili konsep apa itu
yang cantik. Iklan-iklan pada umumnya menghubungkan kecantikan dengan
"kulit putih", "rambut lurus", "kulit halus", dan
"tubuh langsing". C.S. akan menunjukkan bahwa konsep kecantikan yang
demikian ini meminggirkan mereka yang berkulit gelap, berambut ikal dan
keriting, berkulit kasar dan mereka yang berbadan gemuk.
Dalam hierarki konsep kecantikan seperti itu,
C.S. mencoba menyingkap kedok-kedok konsep-konsep budaya dominan. Ia ingin
memberikan kabar bahwa banyak orang ditipu oleh imaji. C.S. ingin mengajak
masyakat kritis terhadap imaji-imaji yang ditawarkan budaya kapitalisme. C.S.
ingin menunjukkan bahwa "kulit gelap" dan "tubuh gemuk"
tidak lebih buruk dari "kulit putih" dan "tubuh langsing".
Ia mau menunjukkan bahwa konsep cantik (kulit putih dan tubuh langsing) sering
kali hanya merupakan konsep yang dipakai untuk menjual barang belaka. C.S.
mengajak orang untuk melakukan perlawanan budaya.
Hubungan C.S. dengan politik dan tema-tema
perlawanan ini tidak dapat dilepaskan dari sejarah munculnya C.S.. Pada tahun
1964 berdirilah Centre for
Contemporary Culural Studies (CCC.S.) di University Birmingham. Yang menjadi
tokoh pendirinya antara lain Richard
Hoggart, Raymond Williams, dan Struat Hall. Tiga orang ini merupakan
intelektual
yang berasal dari kelas buruh. Mereka
berupaya menggali 'sejarah' kaum buruh yang tak penah dilihat sebagai sejarah.
Mereka berupaya mengangkat kebudayaan buruh yang sering kali dilihat sebagai
kebudayaan rendah.
Hoggart dalam The
Uses of Literacy (1957) melihat bagaimana media massa kelas
elit dan budaya pop Amerika mengkoloni kelas pekerja Inggris. Sementara itu E.P. Thomson, dalam The Making of the English Working Class
mencoba menelusuri sejarah muculnya kelas pekerja di Inggris. Dengan usaha ini,
ia sekaligus menelusuri sejarah dan menafsirkan kebudayaan dari perspektif
mereka yang kalah dan yang tersingkir. Sementara itu, Raymond Williams selalu
berupaya mencari cara bagaimana melawan budaya dominan.
Keterkaitan C.S. dengan perjuangan politis
tidak boleh membuat mengabaikan aspek-aspek teoretis. Menurut Hall, C.S. perlu
mempertahankan masalah teoretis dan politis "dalam ketegangan yang
senantiasa tak terpecahkan dan terus menerus", membiarkan keduanya
"saling membuat jengkel, mengacaukan, dan mengganggu yang lain" (hlm.
36). Hal ini terkait erat dengan tugas kaum intelektual yaitu menjawab
persoalan konkret dalam masyarakat. Menurut, Hall, kepada mereka mesti terus
menerus ditanyakan "apa efek nyata yang Anda buat terhadap dunia?"
Dalam praktiknya, C.S. di Inggris amat
menaruh perhatian pada budaya populer dan kebudayaan kelas buruh. Akibatnya, ia
menuai banyak kritik pedas dari berbagai kalangan. Ia dituduh berlebihan
menekanan kelas dan mengorbankan ras dan gender. Ia terlalu romantis terhadap
ritual urban dan subkultur, mengagung-agungkan kebudayaan populer. Video dan
musik dianalisis terlalu berlebihan sehingga C.S. justru mengestetikkan sampah.
Ia juga dikecam terlalu Eropa sentris dan masih meminggirkan budaya non-Eropa.
Namun kritik-kritik ini justru membuat C.S. semakin subur.
Dari Inggris, ia berimigrasi ke seluruh
penjuru dunia. Di Amerika Serikat, ia berkembang pesat namun 'sayang' ia segera
terserap ke dalam disiplin akademik dan kehilangan muatan politisnya. Di Kanada,
sebuah bangsa campuran, C.S. terus menggali konsep-konsep dan praksis
kebangsaan. Di Australia, C.S. menjadi sarana untuk membebaskan Australia dari
pengaruh superioritas budaya Inggris. Di Prancis, negara yang dipenuhi imigran
dari daerah bekas jajahan, C.S. mengolah kembali pertanyaan apa itu Prancis.
Sementara itu, di India, C.S. mengolah persoalan transformasi masyarakat
'pramodern' menuju masyarakat modern dengan menekankan cerita-cerita dari
kelompok subaltern (kelompok petani dan pemberontak yang melakukan perlawanan
terhadap penjajah Inggris). Dengan demikian, C.S. India juga menghasilkan
analisis postkolonial yang merupakan kritik tajam terhadap hegemoni Eropa.
Demikianlah C.S. telah menglobal tetapi
sekaligus melokal. Tema-tema kajian C.S. amat tergantung pada konteks tempat
C.S. itu dilakukan. Namun, secara garis besar dapat dikatakan bahwa C.S.
mengkaji ilmu pengetahuan dan pengaruhnya terhadap masyarakat, tema-tema
post-kolonial, multikuturalisme, ras dan identitas, ruang diaspora, perempuan
dan gender, homoseksualitas. Yang menjadi lahan kajian adalah segala bentuk
representasi budaya: mulai dari koran, majalah, musik, televisi, film,
arsitektur, barang kerajian, dan segala praksis kebudayaan yang terjadi.
Bagaimana C.S.
di Indonesia? C.S. di Indonesia cukup berkembang di dalam bentuk gaya
jurnalisme. Kiranya ini merupakan tanda-tanda yang baik, asal gaya jurnalisme
tidak mengorbankan refleksi teoretis dan keseriusan analisis.
Dengan demikian, bagi mereka yang sudah menggeluti C.S.,
buku Cultural Studies
For Beginners ini dapat mengingatkan kembali panggilannya
sebagai seorang kritikus. Bagi 'pemula' buku ini merupakan pengantar yang baik
untuk mulai belajar membaca praksis
kebudayaan yang terjadi secara kritis. Dengan
disertakannya bibliografi yang cukup lengkap, buku ini juga memberikan perluang
lebar bagi mereka yang ingin mendalami C.S.
Penulis,
Sumarwan
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta
Sumarwan
Mahasiswa STF Driyarkara Jakarta