Oleh Abd Moqsith Ghazali
04/04/2005
Beberapa waktu yang lalu, saya diundang sebagai pembicara dalam seminar
nasional yang bertajuk, “Khilafah Islamiyah, Masih Relevankah?” kerja bareng
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) & BEM Fak. Adab UIN Jakarta. Seperti sudah
diduga, para pembicara yang datang dari HTI (diwakili oleh Abu Zaid dan Hafidz
Abdurrahman) tampil menggebu untuk meyakinkan audiens bahwa mendirikan khilafah
islamiyah sungguh amat mendesak. Bagi mereka, khilafah adalah panacea bagi
penyelesaian problem-problem kemanusiaan. Abu Zaid, seorang insinyur yang
jebolan IPB itu terus merapalkan sejumlah ayat Alquran dan hadis untuk
melegitimasi pandangan dan ideologinya tersebut. Para jemaah HTI yang
(di)hadir(kan) dalam forum seminar kerap menganggukkan kepala sebagai pertanda
setuju atas pokok-pokok pikiran Ustadz Abu Zaid dan Hafidz tersebut.
Paparan mereka mengenai urgensi mendirikan khilafah, pada hemat saya, tidak
cukup meyakinkan bahkan gampang dipatahkan justru dengan argumen-argumen yang
sederhana. Saya katakan bahwa khilafah islamiyah bukan hanya sekedar tidak
realistis, melainkan sangat absurd untuk diselenggarakan. Pertama, amat tidak
mudah mencari rumusan khilafah yang disepakati oleh seluruh umat Islam yang
menyebar di sejumlah kawasan dunia. Konsep khilafah yang diusung oleh
teman-teman HTI adalah hanya salah satu rumusan dari Taqiyuddin al-Nabhani,
yang belum tentu diamini oleh para ulama yang lain. Dalam konteks Indonesia,
agak sulit dibayangkan bagaimana umat Islam bisa satu kata untuk menerima satu
konsep mengenai khilafah. Eksperimentasi khilafah model siapa? Abu bakar, Umar,
Utsman, Ali, atau yang lainnya? Cukup pelik memang menghadirkan konsep khilafah
dalam konteks sekarang, sehingga jauh hari NU dan Muhammadiyah telah bersuara
bahwa Indonesia dengan Pancasilanya adalah bentuk negara bangsa yang final.
Khilafah tidak pernah dipertimbangkan oleh kedua ormas Islam terbesar itu.
Kedua, jika khilafah merupakan lanskap atau wadah untuk memformalisasikan
syariat Islam, maka pertanyaan sederhananya adalah syariat Islam yang mana?
Syariat dalam tafsir siapa? Sebagaimana dikatakan Ibn ‘Aqil, bukankah syariat
itu amat beragam, sekalipun agama tetap satu? Al-din wahid wa al-syari’atu
mukhtalifah. Memformalisasikan satu bentuk syariat tentu akan menghancurkan
syariat Islam yang lain. Alasan ini kiranya yang menyadarkan seorang tokoh
sekelas Imam Malik ketika menolak tawaran khalifah saat itu untuk menjadikan
al-Muwaththa`, salah satu karyanya, menjadi konstitusi negara (daulah).
Ketiga, khilafah tidak memiliki kisah sukses yang memadai. Sejarah telah
banyak menunjukkan perihal kegagalan demi kegagalan penyelenggaraan khilafah.
Betapa dari empat khulafa` rasyidun, tiga di antaranya (Umar ibn Khattab,
Utsman ibn Affan, Ali ibn Abi Thalib) mati terbunuh justru ketika konsep
khilafah itu diterapkan. Peperangan onta (waq’ah al-jamal) yang melibatkan Ali
ibn Abi Thalib (menantu sekaligus sepupu Nabi) dan Siti Aisyah (istri Muhammad
SAW) telah menelan korban nyawa yang tidak sedikit. Inkuisisi (mihnah) dengan
menghukum para intelektual muslim brilian juga terjadi dalam dunia khilafah.
Ini adalah bukti kuat bahwa khilafah bukanlah konsep yang ideal. Ia telah gagal
justru pada saat uji cobanya yang pertama.
Dengan hujah-hujah ini, maka di akhir sesi saya katakan agar teman-teman
HTI belajar realistis untuk menerima Indonesia sebagai konsep negara bangsa
yang final. Berjuanglah melalui lembaga negara ini, dan tidak usah bermimpi
untuk menghadirkan khilafah yang terbukti telah gagal. Khilafah bukan rukun
iman yang harus dipercaya dan bukan pula rukun Islam yang mesti dilaksanakan.
Tidaklah kafir, seorang muslim yang tidak mempercayai dan tidak melaksanakan
khilafah. Maka, jangan pernah ragu untuk meninggalkannya. [Abd Moqsith Ghazali]