Fiqhul Waqi', atau yang dikenal dengan pemahaman terhadap realita,
situasi yang terjadi saat ini adalah salah satu pengetahuan yang penting untuk
diketahui oleh ulama' dalam menetapkan hukum (berfatwa) yang sesuai dengan
keadaan yang ada. Namun banyak terjadi pemahaman yang salah terhadap istilah
ini. Oleh karena itu, kami mencoba untuk memberikan pemahaman yang jelas
mengenai hal ini.
Memahami
kondisi dan situasi adalah salah satu syarat bagi seorang mufti sebelum
berfatwa agar dia dapat menetapkan hukum syar'i selaras dengan situasi dan
kondisi yang ada.
Dalam
istilah ulama hal itu dikenal dengan sebutan fiqhul waqi' (pemahaman
situasi dan kondisi) atau fiqhun nafsi. 1
Sehingga fiqhul
waqi' termasuk kaidah fiqih yang amat mendasar dan termasuk azas dasar dakwah
ilallah. Fiqhul waqi' tergolong inti ajaran Islam, dengannya seorang
Muslim dapat mengetahui kekeliruannya, sehingga ia dapat menetapkan hukum
syar'i pada setiap sikon yang dihadapi.
Akan tetapi
kaidah yang mulia dan asas yang agung ini, pada zaman sekarang jatuh ke tangan
selain pemiliknya (orang-orang jahil). Mereka lalu menuduh pemiliknya yang
hakiki tidak tahu (mengerti-red) fiqhul waqi'. La Haula wala quata ills
bilah.
Mereka
dengan keji menuduh para ulama -yang merupakan ahlinya fiqhul waqi'-
jahil tentang waqi'. Yang lucunya, di lain pihak mereka berkata: "Kami
menghormati ulama!" Yang menjadi tanda-tanya, adalah para penuduh tersebut
bukanlah penuntut ilmu yang melazimi para ulama, menghadiri majlis mereka dan
bukanlah orang-orang yang tekun menelaah kitab (kitab-kitab ulama salaf).
Akan tetapi
didapati sebagian mereka hanya menelaah dan membolak-balik mgjalah, koran,
surat kabar atau tekun di hadapan radio dan televisi, Apakah seperti itu bentuk
fiqhul waqi' menurut ulama? Kalau ternyata bukan saperti itu -dan memang
bukan demikian- lalu fiqhul waqi' model apa yang mereka suarakan itu?
Untuk
mnjawab pertanyaan tersebut, maka kami sajikan pombahasan tentang fiqhul
waqi'. Dengan harapan dapat memahami hakekat fiqhul waqi';
menempatkannya pada posisinya serta menyandarkannya pada ahlinya.
Dan dapat
menyadarkan mereka (khususnya para du'at) yang telah terjerumus ke dalam fiqhul
waqi' yang salah kaprah. Sekaligus merupakan tandzir (peringatan) bagi
ummat dari bahaya fiqhul waqi' yang disandarkan kepada bukan ahlinya.
Ibarat
pedang yang tajam, jika digunakan oleh yang ahli maka akan menebas musuh.
Tetapi jika digunakan oleh yang bukan ahlinya, bisa jadi ia menebas lehernya
sendiri!
Apalagi
kita dihadapkan kepada realita yang mencemaskan, yaitu para dai (baik yang salafi,
apalagi yang bukan salafi) mulai condong kepadanya, ikut-ikutan serta latah bak
orang kehilangan arah, yang akhirnya bertingkah aneh serta bertindak gegabah.
Laa Haula Wala Quwata Ills Billah.
1.
Pengertian Fiqhul Waqi'
Al-Allamah
Ibnul Qayim al-Jauziyah berkata:
"Tidak akan mampu seorang mufti atau seorang hakim untuk berfatwa atau
menetapkan hukum dengan benar, kecuali dengan bantuan dua jenis ilmu
(pemahaman):
1.
Memahami dan mengetahui situasi 'dan kondisi,
dan menetapkan kesimpulan hakekat yang terjadi dengan bantuan beberapa indikasi
dan tanda-tanda, hingga dia benarbenar menguasainya.
2.
Memahami kewajiban yang berkenaan dengan
kondisi tersebut, yaitu memahami hukum Allah, yang telah ditetapkan dalam
kitab-Nya dan juga melalui lisan Rasul-Nya berkenaan dengan kondisi tersebut.
Kemudian ia menerapkan hukum itu pada kondisi tersebut atau sebaliknya.
Maka barangsiapa mengerahkan kemampuan dan usaha untuk itu, niscaya dia
tidak akan kehilangan satu atau dua pahala. Seorang alim adalah orang yang
dengan memahami waqi' (kondisi) dapat mengetahui hukum Allah dan
Rasulnya. 2
Catatan
Kaki
...1
Lihat: Al-Mankhul karya al-Ghozali
hal: 462-464; Ath-Thuruq al-Hukmiyah karya Ibnul Qayim hal. 4 dan As-Siyar
karya adz-Dzahabi V hal 120.
...2
Lihat I'lamul Muwaqqi'in Juz 1 hal 78.
Setelah memahami arti sekilas dan asal munculnya istilah fiqhul waqi',
agar memperjelas arti dan hakikatnya, maka berikut akan diuraikan contoh-contoh
dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Serta tidak lupa penjelasan para ulama'
terhadap contoh-contoh ini. Silahkan simak apa yang dijelaskan oleh Ibul Qayyim
berikut ini.
Banyak
orang yang keliru di dalam memahami istilah fiqhul waqi' yang dibawakan
Ibnul Qayim tadi. Yang berbuntut timbulnya kesalahan di dalam menerapkannya.
Sehingga menurut tanggapan mereka fiqhul waqi' itu identik dengan
membolak-balik berita dan mendalami informasi-informasi bohong yang disebarkan
musuh-musuh Islam.
Untuk itu
akan kita paparkan contoh-contoh penerapan fiqhul waqi' menurut ulama,
sekaligus untuk mengetahui hakekat fiqhul waqi' sebagaimana kata
pepatah:
Ucapan akan menjadi jelas dengan mendatangkan contohnya.
Contoh-contoh
tersebut antara lain :
- Al-Allamah Ibnul Qayim berkata:
Sebagaimana
saksi Nabi Yusuf dapat mengetahui bebasnya Nabi Yusuf dari tuduhan, karena
kejujuran. beliau dengan koyaknya baju beliau di bagian belakang. Yaitu kisah
Nabi Yusuf yang disebutkan dalam al-quran surat Yusuf: 25-29 yang
artinya:
Dan
kedua-duanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari
belakang, hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka
pintu. Wanita itu berkata:
"Apakah
balasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain
dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih."
Yusuf
berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya." Dan
seorang saksi dari keluarga wanita itu berkata (memberikan kesaksiannya):
"Jika
baju gamisnya koyak didepan, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk
orang-orang yang dusta. Dan jika gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah
yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."
Maka
tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, dia
berkata: "Sesungguhnya kejadian itu adalah tipu dayamu. Sesungguhnya tipu
dayamu adalah besar.
Hai
Yusuf berpalinglah dari ini (rahasiakanlah peristiwa ini). Dan kamu (wahai
isteriku) motion ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesunguhnya termasuk
orang yang berbuat salah."
Coba
lihat betapa tajam dan kuatnya firasat saksi dari keluarga wanita tersebut,
sehingga dapat menetapkan al-haq dalam kasus itu.
- Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan lagi:
Sebagaimana
Nabi Sulaiman dapat menentukan ibu seorang anak yang diperdebatkan, dengan
ucapan beliau
"Berikanlah
kepadaku sebilah pisau hingga aku dapat membelah dua anak ini bagi
kalian."
Beliau
mengisyaratkan kepada sebuah kisah dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah bahwa Rasullulah bersabda:
Dahulu
ada dua orang wanita bersama anak mereka berdua, lalu seekor serigala menerkam
anak salah seorang dari mereka. Seorang berkata kepada temannya :
"Serigala itu telah menerkam anakmu." Temannya menjawab: "Tidak.
Bahkan serigala itu yang menerkam anakmu."
Kemudian
mereka berdua berhukum (meminta keputusan hukum -red) kepada Nabi Dawud. Lalu
Nabi Dawud memutuskan bahwa anak yang selamat itu adalah anak dari wanita yang
tertua di antara keduanya.
Lalu
keduanya berangkat ke Nabi Sulaiman (anak Nabi Dawud) dan menceritakan apa yang
terjadi. Lalu Nabi Sulaiman berkata:
Datangkan
sebilah pisau agar aku dapat membagi (membelah -red) dua anak ini bagi kalian
berdua!"
Wanita
yang muda berkata: "Jangan lakukan hal itu. -Semoga Allah merahmatimu-
Anak itu adalah anaknya.".
Kemudian
(dengan ucapan itu) Nabi Sulaiman memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak
(milik) wanita yang muda. 3
Ibnul
Qayim berkata:
"Nabi
Sulaiman beralasan bahwa kerelaan wanita yang tua terhadap pembelahan (menjadi
dua) anak itu menunjukkan bahwa ia ingin berbagi duka dengan wanita yang muda
atas kehilangan anaknya.
Dan
(Nabi Sulaiman) beralasan bahwa penolakan wanita yang muda serta rasa kasih
sayangnya, menunjukkan bahwa ia adalah ibu anak tersebut. Indikasi itu
merupakan bukti kuat bagi Nabi Sulaiman untuk menetapkan anak baginya tanpa
menghiraukan pengakuan lisannya bahwa "anak itu adalah milik wanita yang
tua". 4
Demikianlah
ketajaman firasat Nabi Sulaiman dalam mengungkap waqi' (realita) hingga
beliau dapat menetapkan hukum dengan benar.
- Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan contoh lainnya:
Sebagaimana
Ali bin Abu Thalib dapat mengeluarkan kitab (surat rahasia) dari seorang wanita
yang membawanya dari Hathib (seorang sahabat) tatkala wanita itu mengingkari
telah membawanya; dengan ucapan beliau:
"Engkau
keluarkan kitab tersebut, atau aku lepaskan pakaianmu."
Kisah
lengkapnya dapat dilihat dalam shaih Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abu
Thalib yang berkata:
Rasullulah
mengutus aku, Abu Martsad dan Aj-Jubeir bin Awwam. Kami semua mengendarai kuda.
Rasullulah bersabda:
"Berangkatlah
kalian sampai ke Raudhatu-khokh, sebab di sana ada seorang wanita musyrik yang
membawa kitab dari Hathib bin Abi Balta'ah kepada kaum musyrikin."
Kemudian
kami mendapatinya (wanita itu) sedang menunggang untanya di tempat yang
dikatakan Rasulullah tadi. Lalu kami berkata: "Serahkan kitab
tersebut!" Ia berkata: "Aku tidak membawa kitab." Lalu kami
tambatkan untanya dan kami periksa, namun kami tidak menemukannya. Kami
berkata:
"Rasulullah
pasti tidak berbohong. Keluarkanlah kitab tersebut atau kami akan melepaskan
pakaianmu.
Maka
tatkala ia melihat kesungguhan kami, ia merogoh tempat ikat pinggangnya (ia
mengenakan ikat pinggang) lalu mengeluarkan kitab tersebut. Selanjutnya kami
membawa kitab itu kepada Rasulullah. Umar berkata:
"Ya
Rasulull'ah, ia (Hathib bin Abi Balta'ah) telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya
dan orang-orang beriman. Biarkanlah aku menebas lehernya."
Nabipun
bersabda kepada Hathib: "Apa yang mendorong engkau melakukan hal
itu?" Hathib menjawab:
"Demi
Allah, aku hanyalah seorang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah. Aku hanya
ingin agar aku punya kekuatan untuk membela keluargaku di sana (Mekkah). Semoga
Allah melindungi keluargaku dengan kekuatan tersebut. Dan setiap sahabat engkau
(Nabi), pasti punya kekuasaan di sana, yang dengannya Allah melindungi keluarga
dan hartanya."
Rasullulah
menjawab: "Engkau benar, ia (Hathib) jangan kalian kornentari kecuali
dengan kebaikan." 5
Berdasarkan
hadits ini, Ibnul Qayim berkata:
"Apabila
seorang terdakwa mengaku pailit (tidak ada harta padanya), lalu penggugat
berkata kepada hakim bahwa ada harta padanya dan penggugat meminta agar
terdakwa diperiksa, maka wajib bagi hakim untuk memenuhinya, agar dapat
mengembalikan barang kepada yang berhak." 6
Coba
lihat kedalaman dan keahlian para sahabat dalam mengambil tindaKan dalam
situasi dan kondisi apapun. Sehingga mereka dapat memecahkan berbagai masalah
dengan firasat (ilham dari Allah -red) dan pemahaman yang jernih.
Dari contoh-contoh di atas serta syarah (keterangan dan penjelasan) Ibnul
Qayim, maka jelaslah bagi kita bahwa beliau berbicara tentang firasat yang
dianugerahkan kepada seorang alim. (hakim, qadi atau mufti) tatkala dihadapkan
kepada suatu kasus yang tidak ia dapati sebelumnya dan pada kondisi yang tidak
dia ketahui sebelumnya.
Tidak
sebagaimana yang disangka sebagian orang -tatkala mendapati Ibnul Qayim
mendapati istilah tersebut- bahwa yang dimaksud dengan fiqhul waqi'
adalah fiqhul waqi' yang mereka pahami dan mereka ada-adakan, yaitu
membolak-balik majalah dan surat kabar serta memasang telinga di depan radio
dan televisi.
Bukan
demikian maksud Ibnul Qayim ... akan tetapi beliau berbicara tentang firasat
para ulama mujtahidin. Oleh karena itu beliau memulai kitab ath-Thuruqul
Hukmiyah fis Siyasah asy-Syariah, dengan pembahasan mengenai firasat
seorang hakim dan qadi. Bahkan di sebagian naskah kuno kitab beliau tersebut
berjudul al-Firasah al-Mardiyah fi Ahkamis Siyasah asy-Syar'iyyah.
Jadi
seorang dapat dikatakan faqihul waqi' jika berkumpul padanya dua perkara
yaitu ijtihad dan firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan
memiliki firasat yang tajam dan jernih; Oleh karena itu tidak semua ulama dapat
berbicara tentang fiqhul waqi'.
Catatan
Kaki
Lihat Fathul Bahri 12/56.
Thuruqul Hukmiyah hal 5.
Lihat Fathul Bari no hadits 3081.
Thuruqul Hukmiyah hal. 9.
Selanjutnya, dari contoh-contoh yang gamblang dan uraian para ulama'
tentang fiqhul waqi', maka pada bagian ketiga akan dibahas, siapa-siapa
saja yang perlu mengetahui fiqhul waqi'. Apakah semua kaum muslimin?
Semua para ulama' mereka? Apakah tercela / aib bagi seorang yang alim yang
luput darinya beberapa waqi'? Berikut jawabannya.
Jika tidak
semua harus berbicara tentang fiqhul waqi', lalu bagaimana pula dengan
orang awam? Tentu saja orang awam selayaknya diam dan mengembalikan urusan
kepada ahli Ilmu (ulama), terutama di dalam menanggapi waqi' (kondisi).
Dalil kedua
perkara tersebut (yaitu kewajiban awam adalah mengembalikan urusan kepada ahli
ilmu dan tidak semua ahli ilmu harus berbicara tentang waqi' adalah
firman Allah:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan, merekapun lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada
Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin
mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka. (QS 4: 83)
Ayat
tersebut di atas secara jelas menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan waqi'
diserahkan kepada ulama dan umara'. Kemudian sebagian mereka -tidak seluruhnya-
menetapkan hukum syar'i yang berkenaan dengan waqi' tertentu. Sebab
Allah mengatakan �� / dari
sebagian mereka atau tidak seluruhnya. Dan juga firman Allah
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan
ketakutan"
terdapat
dalil bahwa orang awam ada kalanya mengetahui beberapa waqi' yang tidak
diketahui oleb seorang alim, Hal tersebut tidak dianggap cela atau cacat pada
orang alim itu.
Sebab
mengetahui seluruh waqi' manusia adalah perkara yang mustahil. Akan
tetapi yang aib dan cela adalah jika seorang alim mujtahid berfatwa tentang
suatu kondisi tertentu tanpa menanyakan terlebih dulu kepada "orang-orang
khusus" tentang kondisi itu; padahal ia mampu untuk bertanya, 7
Rasulullah
terkadarg luput (tidak mengetahui -red) beberapa waqi' masyarakat
Madinah. Seorang awam pernah menemui beliau dengan membawa kabar; lalu beliau
berfatwa dengan dasar kabar itu. Para rasul sebelum beliau juga demikian.
Pada kisah
burung hud-hud dengan Nabi Sulaiman. Yaitu tatkala burung hud-hud itu berkata
kepadanya
Aku mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari
negeri Saba' suatu berita penting yang, diyakini. (QS 27: 22)
Burung
hud-hud itu mengetahui waqi' yang belum diketahui oleh seorang Rasul
yang telah diberi kerajaan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun
sebelum maupun sesudah beliau. Bahkan beliau mengetahui bahasa burung dan semut
serta keadaan mereka.
Apakah
pengetahuan hud-hud tentang sebuah waqi' itu mengurangi keutamaan Nabi
Sulaiaman? Tentu saja tidak. Kalau demikian mengapa para Hizbiyun menghujat dan
mengejek para ulama dengan dalih ulama tidak mengerti waqi'. Padahal
mereka sendiri termakan berita-berita bohong yang mereka anggap sebagai
"diyakini kebenarannya".
Al Alamah
Syeikh Abdul Aziz bin Baz pernah berkata:
"Di antara fenomena-fenomena yang muncul akibat kebodohan tentang waqi'
yang banyak diperbincangkan pada saat ini adalah tuduhan terhadap sebagian ahli
ilmu bahwa mereka jahil terhadap keadaan kaum munafik dan sekuler.
Padahal hal tersebut bukanlah aib atau cela. Sebab memang ada di
tengah-tengah umat orang munafik atau zindiq yang tidak diketahui oleh para
ulama. Ketidaktahuan semacam ini tidaklah merupakan aib atau cela atas
mereka."
Di dalam
biografi al-Hallaj (salah seorang tokoh al-Hululiyah), al-Imam
adz-Dzahabi berkata:
"Pada zaman Rasulullah, ada beberapa orang yang menisbatkan diri
sebagai sahabat dengan mengaku Muslim, padahal dalam batin mereka adalah
munafiqin. Terkadang Rasulullah tidak mengetahui mereka dan kondisi
mereka."
Allah
berfirman:
Dan di antara penduduk Madinah (terdapat orang-orang munafik) mereka
keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka;
tetapi Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka Kami siksa dua kali. (at-Taubah:
101)
Jika
penghulu bani Adam (Rasulullah) saja tidak mengetahui sebagian keadaan
orang-orang munafik -padahal mereka tinggal bersama beliau selama
bertahun-tahun di Madinah- apalagi ummatnya!
Wajar jika
terluput dari ummat keadaan sebagian jamaah kaum munafiqin yang menyimpang dari
agama, sepeninggal beliau. 8
Oleh karena
itu fiqhul waqi' tidaklah termasuk syarat dan sifat seorang mujtahid.
Akan tetapi hanya syarat bagi seorang mujtahid, jika ia ingin membuat keputusan
tentang waqi' tertentu.
Ada sebuah
kisah yang sering dibawakan oleh kaum Hizbiyun tentang Syeikh Muhammad bin
Utsaimin yang maksudnya adalah ingin menjatuhkan karismanya; yaitu bahwa Syeikh
Utsaimin tidak tahu atau jahil tentang waqi'. Mereka berkata:
"Syeikh Utsaimin telah diperingatkan tentang adanya majalah-majalah
porno di pasar. Setiap kali beliau diberitahu hal itu, beliau tetap
mengingkarinya, sebab beliau belum pernah melihatnya.
Dan tatkala beliau sedang mengajar, tiba-tiba datanglah seseorang yang
melemparkan majalah itu ke ruangan beliau. Setelah itu, bangkitlah beliau, lalu
menulis peringatan-peringatan terhadap majalah dan film-film seperti itu."
Demikian
mereka menyebarkan cerita ini. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita itu,
yang jelas hal itu tidaklah mengurangi karisma dan ilmu beliau. Bahkan justru
menambah keutamaan beliau. Sebab hal itu menunjukkan bahwa beliau memfokuskan
perhatian beliau kepada ilmu dalam bentuk proses belajar mengajar serta menghabiskan
waktu beliau untuk itu. Sehingga tidak ada kesempatan untuk menelaah apa yang
ada di pasar. Dan membaca majalah bukanlah suatu yang beliau senangi. Secara
implisit tindakan beliau itu sesuai dengan syair berikut:
Harapanku dari dunia adalah ilmu yang aku sebarkan.
Ilmu yang aku siarkan di setiap pelosok desa dan kota
Berdakwah kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Yang sekarang telah menjadi perkara yang dilupakan oleh manusia
Dan mereka telah menggatikannya dengan koran-koran
Dan dengan televisi mereka yang merupakan sumber kejahatan dan kemungkaran
Dan juga dengan radio-radio, jangan engkau lupakan bahayanya
Betapa banyak waktu terbuang percuma dengannya dalam kerugian.
Catatan
Kaki
Lihat pembahasan ayat ini dalam majalah As-Sunnah
08/111/1414 H.
Lihat kitab Wujubu Tha'atis Sulthan fi
Tha'atir Rahman hal 44-45.
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya yaitu hanya para
ulama' lah yang berhak dalam fiqhul waqi', bahkan tidak semua di antara
mereka, maka bagaimana jika seorang awam / selain ulama' menemukan suatu waqi'?
Apa kewajiban mereka dalam hal ini? Berikut jawaban serta sebagian contoh para
salafus shalih dalam menerapkan kaidah tersebut.
Allah
berfirman:
Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada ulil amri di
antara mereka, maka orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat
mengetahui dari sebagian mereka. (an-Nisaa': 83)
Ayat di
atas jelas menegaskan agar mereka mengembalikannya kepada ulil amri (ulama dan
umara). Menyelisihi ayat ini berarti mengkhianati amanat. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk mengembalikan amanah
kepada pemiliknya dan jika kalian menghukum di antara manusia hendaklah
menghukum dengan keadilan. (an-Nisaa': 58)
Pada suatu
ketika Rasulullah pernah ditanya tentang hari kiamat, beliau menjawab:
Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!
Si penanya
bertanya lagi: "Bagaimana penyianyiaannya?" Rasul menjawab:
Jika disandarkan suatu perkara kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah
saatnya datang hari kiamat. (HR. Thabrani)
Maka sikap
yang benar bagi seorang awam adalah mengembalikan analisa waqi' kepada para
ahlinya. Secara umum Allah telah memerintah kan mereka agar bertanya kepada ahli
ilmu:
Tanyakanlah kepada ahli dzikir (ahli ilmu) jika kamu tidak mengetahui.
Dan
Rasulullah secara khusus juga telah memerintahkan mereka untuk bertanya:
Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, sebab obat
kebodohan adalah bertanya.
Sedikitnya
fitnah dan kehancuran pada generasi salaf, salah satu faktornya adalah
penerapan kaidah ini dengan benar. Mereka mengembalikan waqi' (kondisi) yang
mereka hadapi kepada para ulama waqi' setelah menggambarkannya dengan jujur dan
bertanggung jawab tanpa mengada-ada!
Sebagaimana
burung hud-hud yang menginformasikan kepada nabi Sulaiman dengan akurat dan
yakin tentang kondisi yang ia lihat. Berikut contoh penerapan salaf
- Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Yahya bin Ya'mar, ia berkata:
Orang
pertama yang berkomentar tentang masalah takdir (pengingkaran takdir) di negeri
Bashrah adalah Ma'bad Al-Juhani. Pada saat aku dan sahabatku, Humeid bin Abdir
Rahman berangkat menunaikan ibadah haji atau umrah.
Kami
berharap sekiranya kami bertemu dengan seorang sahabat Nabi sehingga kami dapat
bertanya kepadanya tentang komentar Ma'bad dalam masalah takdir!
Kebetulan
seorang sahabat Nabi yaitu Abdullah bin Umar datang ke masjid, lalu aku dan
sahabatkupun mengiringi beliau. Aku di kanan dan sahabatku di kiri. Aku merasa
sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku. Aku berkata:
"Wahai
Abu Abdir Rahman (kuniyah Abdullah bin Umar) sesungguhnya telah muncul di
daerah kami orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan menisbahkan diri kepada
ilmu."
Lalu
Yahya pun menceritakan waqi' (kondisi) mereka, bahwa mereka mendakwahkan
"tidak ada takdir", bahwa segala urusan adalah baru (yaitu tidak
diketahui Allah sebelumnya -pent). Maka Abdullah bin Umar pun berkata:
"Jika
kamu bertemu dengan mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwa aku berlepas diri
dari mereka dan mereka berlepas diri dari tanggunganku.
Dan
demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya mereka
menyedekahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan diterima, kecuali
mereka beriman kepada takdir."
Lalu
beliau membawakan hadits Jibril 9 sebagai
dalilnya!
Perhatikanlah,
kisah tersebut. Tatkala mereka menghadapi suatu keadaan yang tidak mereka kenal
sebelumnya yaitu pengingkaran takdir, mereka mengetahui bahwa tempat menanyakan
hal itu adalah para sahabat, sebab para sahabat itulah orang yang paling alim
ketika itu.
Ccatatan
Kaki
hadits tentang Islam-Iman-Ihsan.
Pada bagian ini akan memaparkan contoh penerapan dari para sahabat di zaman
mereka sebagai penguat dari bagian sebelumnya. Setelah itu, dari contoh-contoh
penerapan para sahabat yang terjadi akan dijelaskan syarat-syarat dan
batasan-batasan fiqhul waqi'. Apa saja dan seperti apakah itu? Berikut
uraiannya.
- Diriwayatkan oleh ad-darimi (1/68-69) dan Amru bin Salamah al-hamdani, ia berkata:
Pada
suatu ketika kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat
subuh. Jika beliau keluar kami pun berjalan bersamanya ke masjid.
Tiba-tiba
datang Abu Musa Al-Asy'ari seraya berkata: "Apakah Abu Abdir Rahman sudah
menemui kalian?" Jawab kami: "Tidak." Lalu ia pun duduk bersama
kami, hingga akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar.
Dan
ketika sudah keluar kamipun bangkit untuk berangkat bersama beliau. Lantas Abu
Musa Al-Asy'ari berkata kepadanya:
"Wahai
Abu Abdir Rahman! 10 Sungguh
tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap asing dan aku tidak
menganggapnya kecuali sebagai kebaikan."
Ibnu
Mas'ud berkata: "Perkara apa itu?" Abu Musa menjawab: "Jika
umurmu panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum yang
duduk berhalaqah-halaqah (berkelompok-kelompok) menunggu shalat.
Setiap
halaqah dipimpin seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil (semacam
tasbih untuk menghitung jumlah dzikir). Ia (pemimpin halaqah tersebut) berkata:
"Bertakbirlah seratus kali!" Lalu anggota halaqahpun bertakbir
seratus kali.
Ia
memerintah lagi, bertahlillah seratus kali, lalu anggota halaqah pun bertahlil
seratus kali. Lalu berkata: "Bertasbihlah seratus kali." Maka anggota
halaqah bertasbih seratus kali. Aku (Abu Musa) bertanya:
"Apa
komentar engkau bagi mereka? Aku tidak berkomentar apapun bagi mereka, karena
menunggu pendapatmu, atau menunggu perintahmu!"
Abdullah
bin Mas'ud berkata:
"Mengapa
engkau tidak memerintahkan untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka saja?
Dan engkau jamin bagi mereka untuk tidak tersia-siakan kebaikan-kebaikan
mereka."
Lalu
beliaupun berlalu dan kami pun berlalu bersamanya, hingga beliau sampai ke
halaqah tersebut dan berdiri di hadapan mereka seraya berkata: " Apa yang
kalian sedang kerjakan?" Mereka menjawab:
"Wahai
Abu Abdir Rahman ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung jumlah
takbir, tahlil dan tasbih."
Maka
Ibnu Mas'ud berkata:
"Hitung
saja kesalahan-kesalahan kalian! Aku menjamin bagi kalian untuk tidak
tersia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad!
Betapa
cepatnya kebinasaan merenggut kalian, padahal mereka para sahabat Rasulullah
masih banyak bertebaran, ini pakaian-pakaian mereka belum lagi usang dan ini
perabot-perabot mereka belum lagi pecah!
Dan
demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama
yang lebih lurus dari agama Muhammad? Atau kalian telah membuka lebar-lebar
pintu kesesatan?"
Mereka
pun menjawab: "Demi Allah, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan."
Ibnu Mas'ud menjawab:
"Berapa
banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!
Sesungguhnya Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa akan ada kaum yang
membaca Al-Qur'an, tapi tidak melampaui kerongkongan mereka! Mereka keluar dari
Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya!"
Selanjutnya
kata Ibnu Mas'ud: "Demi Allah, aku tidak tabu barangkali kebanyakan mereka
berasal dari kalian!" Kemudian beliau berpaling darinya! Lalu Amru bin
Salamah berkata:
"Sungguh
kami telah melihat kebanyakan anggota halaqah tersebut memerangi kami pada hari
peperangan Nahrawan bersama kaum Khawarij!!
Beberapa
faedah:
Lihatlah
sikap Abu Musa Al-Asy'ari yang notabene ia adalah seorang sahabat Rasulullah
yang sudah pasti memiliki keutamaan ilmu dari yang lainnya! Akan tetapi dalam
menanggapi waqi' (kondisi) tertentu yang ia belum ketahui, ia serahkan kepada
yang ia rasa lebih alim dari dirinya yaitu Abdullah bin Mas'ud.
Beliau
tidak hendak berkomentar tentangnya! Demikian ketinggian sikap tawadlu' beliau!
Seandainya orang awam dan para penuntut ilmu menerapkan apa yang diterapkan
oleh Abu Musa, niscaya pintu fitnah tidak akan menganga lebar dan setan tidak
akan dapat melancarkan misinya!
Oleh
karena itu Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan firman-Nya:
Dan
sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian
akan mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja di antara kamu. (an-Nisaa':
83)
Perhatikan
juga Abdullah bin Mas'ud yang berfirasat bahwa tindakan mereka tersebut (bid'ah
yang mereka lakukankan) dapat menggiring mereka kepada kebinasaan (yaitu jatuh
ke dalam bid'ah Khawarij). Sungguh merupakan firasat seorang ulama mujtahid
yang jernih dan terbukti! Allah berfirman:
Sungguh
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (Al-Hijr: 75)
Imam
Mujahid berkata yang dimaksud dengan adalah yaitu orang orang yang memiliki
firasat 11 yaitu
firasat seorang alim! Firasat yang di latar-belakangi Al-Qur'an. dan As-Sunnah!
Bandingkanlah
pengertian fiqhul waqi' yang dibawakan oleh Al-allamah Ibnul Qoyim
berikut contoh-contoh yang beliau bawakan dengan penerapan yang dilakukan oleh
Abu Musa dan Ibnu Mas'ud tadi.
Dan
dengan ayat 83 dari surat An-Nisa'. Maka akan kalian dapati keselarasan yang
amat menakjubkan. Demikiankah pengertian dan penerapan yang benar dan tepat
bagi fiqhul waqi'.
Di
antara faedah yang dapat diambil dari kisah di atas tadi, bahwasanya bid'ah
yang kecil dan sepele dapat menghantarkan kepada bid'ah yang besar! Yaitu
anggota-anggota halaqah-halaqah tersebut menjadi Khawarij di belakang hari,
yang diperangi oleh Khalifatur Rasyid Ali bin Abi Thalib. 12
Asy-Syekh
Abul Hasan al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul
waqi' ini dalam silsilah fatawa syar'iyyah 13 beliau. Di
antaranya:
- Mengetahui kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
- Yang menangani berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi umat.
- Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
Hanya
saja yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak
mempunyai keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal
di bidang yang dengannya ia dapat sukses.
- Mereka yang menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini; bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada tingkatannya dan bid'ah juga demikian.
Bahwa
mayoritas kerapkali menimbulkan mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul
Islam adalah dienullah yang tidak diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam.
Bahwa kemenangan adalah bagi al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam
jangka waktu yang panjang.
Bahwasannya
perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/ kebodohan tentang agama adalah senjata
utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan
As-Sunnah adalah jaminan keselamatan.
Barangsiapa
yang tidak memiliki prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan
menyimpang bersama gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
- Bahwa mereka yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya berdasarkan niak!uinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya kepada ulama.
Merekalah
(para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa berdasarkan kekokohan/
kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat tersebut.
- Masalah fiqhul waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri
sebagai ketentuan -bagi mereka yang menangani beritaberita waqi'. Hal ini
adalah amat penting, agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam
sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini.
Ccatatan
Kaki
kuniyah Abdullah bin Mas'ud.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2 hal 732.
Lihat Silsilah Hadits Shahihah juz 5
hal. 14.
yakni No 4 edisi bulan Rajab soal 67 hal 103.
Pada bagian ini akan memaparkan contoh penerapan dari para sahabat di zaman
mereka sebagai penguat dari bagian sebelumnya. Setelah itu, dari contoh-contoh
penerapan para sahabat yang terjadi akan dijelaskan syarat-syarat dan
batasan-batasan fiqhul waqi'. Apa saja dan seperti apakah itu? Berikut
uraiannya.
- Diriwayatkan oleh ad-darimi (1/68-69) dan Amru bin Salamah al-hamdani, ia berkata:
Pada
suatu ketika kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat
subuh. Jika beliau keluar kami pun berjalan bersamanya ke masjid.
Tiba-tiba
datang Abu Musa Al-Asy'ari seraya berkata: "Apakah Abu Abdir Rahman sudah
menemui kalian?" Jawab kami: "Tidak." Lalu ia pun duduk bersama
kami, hingga akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar.
Dan
ketika sudah keluar kamipun bangkit untuk berangkat bersama beliau. Lantas Abu
Musa Al-Asy'ari berkata kepadanya:
"Wahai
Abu Abdir Rahman! 10
Sungguh tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap asing dan aku
tidak menganggapnya kecuali sebagai kebaikan."
Ibnu
Mas'ud berkata: "Perkara apa itu?" Abu Musa menjawab: "Jika
umurmu panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum yang
duduk berhalaqah-halaqah (berkelompok-kelompok) menunggu shalat.
Setiap
halaqah dipimpin seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil (semacam
tasbih untuk menghitung jumlah dzikir). Ia (pemimpin halaqah tersebut) berkata:
"Bertakbirlah seratus kali!" Lalu anggota halaqahpun bertakbir
seratus kali.
Ia
memerintah lagi, bertahlillah seratus kali, lalu anggota halaqah pun bertahlil
seratus kali. Lalu berkata: "Bertasbihlah seratus kali." Maka anggota
halaqah bertasbih seratus kali. Aku (Abu Musa) bertanya:
"Apa
komentar engkau bagi mereka? Aku tidak berkomentar apapun bagi mereka, karena
menunggu pendapatmu, atau menunggu perintahmu!"
Abdullah
bin Mas'ud berkata:
"Mengapa
engkau tidak memerintahkan untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka saja?
Dan engkau jamin bagi mereka untuk tidak tersia-siakan kebaikan-kebaikan
mereka."
Lalu
beliaupun berlalu dan kami pun berlalu bersamanya, hingga beliau sampai ke
halaqah tersebut dan berdiri di hadapan mereka seraya berkata: " Apa yang
kalian sedang kerjakan?" Mereka menjawab:
"Wahai
Abu Abdir Rahman ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung jumlah
takbir, tahlil dan tasbih."
Maka
Ibnu Mas'ud berkata:
"Hitung
saja kesalahan-kesalahan kalian! Aku menjamin bagi kalian untuk tidak
tersia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad!
Betapa
cepatnya kebinasaan merenggut kalian, padahal mereka para sahabat Rasulullah
masih banyak bertebaran, ini pakaian-pakaian mereka belum lagi usang dan ini
perabot-perabot mereka belum lagi pecah!
Dan
demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama
yang lebih lurus dari agama Muhammad? Atau kalian telah membuka lebar-lebar
pintu kesesatan?"
Mereka
pun menjawab: "Demi Allah, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan."
Ibnu Mas'ud menjawab:
"Berapa
banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya!
Sesungguhnya Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa akan ada kaum yang
membaca Al-Qur'an, tapi tidak melampaui kerongkongan mereka! Mereka keluar dari
Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya!"
Selanjutnya
kata Ibnu Mas'ud: "Demi Allah, aku tidak tabu barangkali kebanyakan mereka
berasal dari kalian!" Kemudian beliau berpaling darinya! Lalu Amru bin
Salamah berkata:
"Sungguh
kami telah melihat kebanyakan anggota halaqah tersebut memerangi kami pada hari
peperangan Nahrawan bersama kaum Khawarij!!
Beberapa
faedah:
Lihatlah
sikap Abu Musa Al-Asy'ari yang notabene ia adalah seorang sahabat Rasulullah
yang sudah pasti memiliki keutamaan ilmu dari yang lainnya! Akan tetapi dalam
menanggapi waqi' (kondisi) tertentu yang ia belum ketahui, ia serahkan kepada
yang ia rasa lebih alim dari dirinya yaitu Abdullah bin Mas'ud.
Beliau
tidak hendak berkomentar tentangnya! Demikian ketinggian sikap tawadlu' beliau!
Seandainya orang awam dan para penuntut ilmu menerapkan apa yang diterapkan
oleh Abu Musa, niscaya pintu fitnah tidak akan menganga lebar dan setan tidak
akan dapat melancarkan misinya!
Oleh
karena itu Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan firman-Nya:
Dan
sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian
akan mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja di antara kamu. (an-Nisaa':
83)
Perhatikan
juga Abdullah bin Mas'ud yang berfirasat bahwa tindakan mereka tersebut (bid'ah
yang mereka lakukankan) dapat menggiring mereka kepada kebinasaan (yaitu jatuh
ke dalam bid'ah Khawarij). Sungguh merupakan firasat seorang ulama mujtahid
yang jernih dan terbukti! Allah berfirman:
Sungguh
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami bagi
orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (Al-Hijr: 75)
Imam
Mujahid berkata yang dimaksud dengan adalah yaitu orang orang yang memiliki
firasat 11
yaitu firasat seorang alim! Firasat yang di latar-belakangi Al-Qur'an. dan
As-Sunnah!
Bandingkanlah
pengertian fiqhul waqi' yang dibawakan oleh Al-allamah Ibnul Qoyim
berikut contoh-contoh yang beliau bawakan dengan penerapan yang dilakukan oleh
Abu Musa dan Ibnu Mas'ud tadi.
Dan
dengan ayat 83 dari surat An-Nisa'. Maka akan kalian dapati keselarasan yang
amat menakjubkan. Demikiankah pengertian dan penerapan yang benar dan tepat
bagi fiqhul waqi'.
Di
antara faedah yang dapat diambil dari kisah di atas tadi, bahwasanya bid'ah
yang kecil dan sepele dapat menghantarkan kepada bid'ah yang besar! Yaitu
anggota-anggota halaqah-halaqah tersebut menjadi Khawarij di belakang hari,
yang diperangi oleh Khalifatur Rasyid Ali bin Abi Thalib. 12
7.
Syarat Dan Batasan Fiqhul Waqi'
Asy-Syekh
Abul Hasan al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul
waqi' ini dalam silsilah fatawa syar'iyyah 13
beliau. Di antaranya:
- Mengetahui kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
- Yang menangani berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi umat.
- Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
Hanya
saja yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak
mempunyai keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal
di bidang yang dengannya ia dapat sukses.
- Mereka yang menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini; bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada tingkatannya dan bid'ah juga demikian.
Bahwa
mayoritas kerapkali menimbulkan mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul
Islam adalah dienullah yang tidak diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam.
Bahwa kemenangan adalah bagi al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam
jangka waktu yang panjang.
Bahwasannya
perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/ kebodohan tentang agama adalah senjata
utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan
As-Sunnah adalah jaminan keselamatan.
Barangsiapa
yang tidak memiliki prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan
menyimpang bersama gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
- Bahwa mereka yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya berdasarkan niak!uinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya kepada ulama.
Merekalah
(para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa berdasarkan kekokohan/
kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat tersebut.
- Masalah fiqhul waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri
sebagai ketentuan -bagi mereka yang menangani beritaberita waqi'. Hal ini
adalah amat penting, agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam
sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini.
Ccatatan
Kaki
...10
kuniyah Abdullah bin Mas'ud.
...11
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2 hal 732.
...12
Lihat Silsilah Hadits Shahihah juz 5
hal. 14.
...13
yakni No 4 edisi bulan Rajab soal 67 hal 103.
Alhamdulillah pada bagian-bagian sebelumnya kita telah mendapat gambaran
yang jelas mengenai pemahaman terhadap fiqhul waqi' setelah sebelumnya
banyak di antara kita yang salah dalam memahami istilah itu. Karena
kesalah-pahaman tentang fiqhul waqi' dapat menimbulkan beberapa masalah
yang berbahaya. Apa saja bahayanya?
Salah paham
tentang fiqhul waqi' dapat menimbulkan bahaya-bahaya yang amat jelek!
Dan dapat melahirkan sikap salah kaprah. Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid
menyebutkan beberapa bahaya yang timbul akibat salah paham tentang fiqhul
waqi' sebagai berikut:
- Lahirnya Tasawuf gaya baru.
Sebab
mereka yang salah paham tentang fiqhul waqi' membagi agama ini dan
ulamanya menjadi ahli fiqih waqi' dan ahli fiqih syariat. Pembagian seperti ini
merupakan perkara yang amat berbahaya, yang dilahirkan oleh Hizbiyun dan para
da'inya. Hingga hasilnya adalah mereka membolehkan serta memisahkan umat dari
ulamanya (ulama syari'at).
Pembagian
seperti ini mirip dengan pembagian menurut ulama ahli-tasawuf kepada ulama
hakikat dan ulama syariat. Keduanya berdampak sama, yaitu menjauhkan/memisahkan
antara umat dan ulama syariat serta mendakwakan ilmu yang belum dicapai ulama
syariat.
- Taklid dalam bentuk baru.
Syeikh
Ali Hasan menceritakan tentang surat seseorang yang berasal dari Aljazair yang
menyebutkan bentuk perselisihan di antara para da'i di sana, serta dampak
negatif dan bahaya yang dihasilkan akibat perpecahan mereka. Orang itu berkata:
Dan
kalian telah mengetahui akibat yang timbul dari bergolong-golongan dan
perpecahan, menyimpang dari jalannya para ulama dan menghujat mereka serta
membantah penyeru kepada as-Sunnah yang tidak bergolong-golongan! Amat miskin
mereka itu!
Tidak
ada dalil bersama mereka melainkan sebuah ucapan yang menjadi berhala bagi
kita, yaitu ucapan mereka: "Apakah engkau lebih pintar dari si
Fulan?"
Jika
engkau berdialog dengan mereka dan engkau menjelaskan manhaj Nabawi, maka ia
akan berteriak di hadapanmu: "Apakah perkara seperti ini tidak diketahui oleh
si Fulan, lalu engkau saja yang mengetahuinya?"
Dan
apabila demikian keadaan kita, lalu aku selidiki sebab-sebabnya, maka aku
mendapati sebabnya, yaitu jahil tentang hukum-hukum Allah.
Dapat
dilihat rangkaian kalimatnya yang penuh keprihatinan tentang keadaan para
muqollid (ahli taqlid) bentuk baru. Yang menyangka dengan lisan mereka, bahwa
mereka anti taqlid. Akan tetapi keadaan mereka menunjukkan bahwa mereka
sebenarnya tenggelam dalam (lautan) taqlid.
Bentuk
seperti ini berulang di beberapa penjuru dunia dengan metode yang berbeda pada
individu-individu yang berbeda pula. Yang seluruhnya kembali kepada sebuah
tarbiyah buta, yaitu menerima ucapan fagihr waqi' dan menolak ucapan faqih
syariat.
- Mencampuradukan antara ulama dengan orator (khuthaba').
Ini
adalah pencampuradukan yang amat jelek, yang menyebabkan penerimaan sebuahr
hukum syar'i bukan dari ahlinya. Tatkala seorang orator ulung naik ke atas
mimbar, setelah mendengar siaran radio atau membaca majalah atau menonton
televisi berdakwah dengan orasi yang berapi-api, meringkas berita-berita yang
didengar, dibaca dan dilihatnya!
Akibatnya
jadilah orator tersebut sebagai ulama yang tak tertandingi. Lalu para pemuda
mudah terbakar emosinya, hanya karena kefasihan lisannya, kemanisan orasinya,
kemantapan analisanya dan ketepatan dugaannya.
Adapun
ulama pewaris nabi yang menghabiskan umurnya bertahun-tahun lamanya untuk
mempelajari al-Qur'an dan as Sunnah, memahami hukum-hukumnya, mengetahui
kandungan-kandungan dalilnya menjadi tersisih dari para pemuda itu dengan
tuduhan jauh dari waqi'.
Tak
dapat dibantah lagi ini adalah kenyataan yang batil. Lalu dari sini timbullah
kesalahan-kesalahan selanjutnya.
- Mengikat umat kepada yang bukan ahli (bukan ulama). Ini adalah akibat dari pencampuradukkan di atas tadi, yang mengakibatkan umat menjadi rendah diri jika membicarakan / mengamalkan nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai dengan dzahirnya. Akibat selanjutnya adalah terpisahnya umat dengan ulama al Qur'an dan as-Sunnah.
- Dominasi bidang politik (masa kini) atas masalah syariat. Ini adalah akibat yang amat alami dari orang-orang yang terlalu membesar-besarkan fiqhul waqi' dalam bentuk yang keliru! Hingga masalah politik ini telah mengambil tempat yang begitu besar dalam bidang dakwah, lebih besar dari ukuran yang telah ditetapkan al-Islam.
- Sebab berkurangnya prioritas masalah tauhid dan as-Sunnah dikhawatirkan bagi orang yang akalnya terlalu didominasi oleh masalah politik akan berkomentar seperti orang-orang jahil yang menyerang para da'i kepada tauhid. Dan menyerang ahli sunnah dengan ucapan mereka:
"Masalah
ini (tauhid dan as-sunnah) adalah masalah kulit (parsial); prioritaskan
masalah-masalah inti (masalah politik)."
Apakah
menyeru kepada as-Sunnah adalah masalah sepele (kecil) atau masalah kulit! Seruan
menegakkan tauhid dituduh sepele (kecil)! Subhanallah!
- Mempercayai (secara membabi buta) jaringan jaringan informasi yang kacau, baik jaringan informasi Barat maupun Timur. Yang akhirnya mengakibatkannya menjadi hebat dan besar keadaan merek, serta membenarkan ucapan-ucapan mereka di hadapan umat.
Padahal
ulama kita tidak menerima berita seorang muslim, jika tidak adil dan kuat
hafalannya. Lalu bagaimana pula dengan berita orang-orang kafir yang memerang
kita!!?
Dampak
negatif yang timbul adalah merasuknya perasaan takut ke dalam hati umat
terhadap musuh-musuh mereka. Dikarenakan informasi-informasi palsu yang
kebanyakannya bohong dan hanya untuk menakut-nakuti umat saja.
Melanjutkan bagian sebelumnya, pada bagian terakhir ini memaparkan
bahaya-bahaya terhadap salah kaprah dalam memahami fiqhul waqi'. Dan
juga sekaligus menyimpulkan uraian sederhana mengenai pemahaman realita yang
terjadi. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari bahasan ini.
8.
Bahaya Salah Faham Dan Salah Kaprah Tentang Fiqhul Waqi' (lanjutan)
- Tidak dapat membedakan antara aulawiyat (perkara-perkara utama) dan menganggap remeh perkara-perkara syar'i.
Merupakan
syarat dakwah yang tepat dan benar adalah memulai dengan perkara yang paling
utama dan penting yaitu berdakwah kepada pembenahan aqidah.
Yaitu
menyeru kepada pengikhlasan ibadah bagi Allah dan melarang syirik, kemudian
memerintahkan menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan kewajiban dan
menjauhi perkara haram. Sebagaimana ini adalah metode dakwah para Rasul seluruhnya.
Tidaklah
kami utus seorang Rasulpun sebelum engkau melainkan telah Kami wahyukan
kepadanya bahwa tiada sesembahan yang berhak melainkan Aku, maka sembahlah Aku!
(Al Anbiya' : 25)
Dan
tatkala Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berkata
kepadanya:
"Engkau
akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka jadikan awal dakwahmu kepada
mereka kalimat syahadat. Jika mereka menyambut seruanmu, maka ajarkan kepada
mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. (Muttafaqun
Alaihi).
Syeikh
Ali Hasan mengatakan lebih lanjut:
"Emosi
orang-orang jahil (tentang kondisi sebenarnya) yang telah terbakar membuat
mereka buta untuk mengetahui hakikat keutamaan perkara tauhid ini. Aku tidak
katakan dengan ucapan mereka, sebab kebanyakan mereka juga
mendengung-dengungkan bahwa tauhid adalah perkara yang paling penting.
Akan
tetapi tindakan dan keadaan mereka berkata lain dan jauh berbeda. Motivasinya
hanyalah agar dapat bertemu di tengah jalan bersama sebagian jamaah-jamaah
dakwah yang menyimpang dari manhaj para Nabi.
Di
antara contoh ketidakmampuan membedakan antara aulawiyat tersebut adalah seruan
para dai fiqhul waqi' kepada hakimiyah, yang mereka maksud dengan
hakimiyah adalah menegakkan daulah Islamiyah. Akan tetapi hal tersebut
mengakibatkan mereka terlepas dari dakwah kepada tauhid.
Sesungguhnya
dakwah kepada hakimiyah dan mewujudkannya adalah perkara penting yang menjadi
kepedulian setiap muslim yang memahami al Islam -jika diperhatikan/ dipenuhi
syarat-syaratnya- sebab seluruh dakwah yang dibawa oleh Rasulullah*, adalah
penting dan agung.
Akan
tetapi kita bertanya-tanya apakah dakwah kepada hakimiyah menyebabkan peremehan
atau penyepelean asas-asas Islam. Jawabnya adalah tidak. Sebab hakimiyah wajib
dimulai dari perkara yang amat agung di dalam Islam yaitu i'tiqod / keyakinan
(yang benar) tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
- Terjebak dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan), hingga mereka mewajibkan fiqhul waqi' ini bagi setiap orang.
Juga
berlebihan dalam mengangkat fiqhul waqi', hingga meletakkannya di atas
ilmu syari'at. Juga berlebihan dalam menyanjung faqihul waqi', hingga
melebihkan mereka atas ulama syariat. Dan yang paling parah adalah ghuluw
(berlebih-lebihan) dalam menyikapi dan menanggapi waqi, sehingga mengakibatkan
sikap tergesa-gesa dan ceroboh (gegabah).
- Menerima demokrasi dan metode kotornya. 14
Demikianlah sepuluh poin yang disebutkan Syeikh Ali Hasan dalam kitabnya
yang berjudul Fiqhul Waqi' Baina Nazhariyati Wa Tathbiq (hal 44-60) yang
kami nukil secara ringkas dan bebas.
Syeikh
Abdul Malik ar-Ramadhani menambahkan beberapa dampak negatif fiqhul waqi'
dengan pemahaman dan penerapan yang salah diantaranya:
- Menjadikan praktek-praktek politik yang salah kaprah sebagai asas/dasar al-Islam.
- Terlibat dalam kancah politik -padahal bukan kewajibannya- dan berfatwa tentang masalah-masalah politik padahal bukan ahlinya (bukan ulama).
- Menisbatkan kepada syariat hukum-hukum yang mengandung aniaya yang mereka simpulkan dari berita-berita palsu/bohong.
- Ramalan-ramalan politik yang tidak ada
- Penyelewengan nash-nash al-Qu ,n dan al-Hadits sebagai akibat dari menyelewengkan ucapan Ibnul Qayim tentang fiqhul Waqi'.
- Ditegakkan di atas kejahilan dan hawa nafsu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Dampak nyata dari semua ini adalah tercerai-berainya umat, khususnya para
pemudanya serta tertanamnya rasa dengki dan tersebarnya akhlak-akhlak yang
bejat seperti tuduhan-tuduhan dusta tanpa bukti dan lain-lain. Yang paling
parah adalah terbengkalainya dakwah kepada aqidah yang benar. 15
Kata tengah
dan benar tentang fiqhul waqi' ini adalah seperti yang disebutkan Syeikh
al-Albani sebagai berikut:
"fiqhul waqi' dengan manna dan pengertian yang syar'i dan wajib
tanpa diragukan lagi- tetapi wajibnya adalah wajib kifayah. Jika sebagian ulama
telah menanganinya, inaka gugurlah kewajiban ulama lainnya; apalagi bagi para
penuntut ilmu dan orang awam."
Oleh karena
itu wajib untuk mengambil sikap tengah dengan memperkenalkan fiqhul dengan
paham yang syar'i dan benar kepada umat. Dan tidak melibatkan mereka begitu
jauh hingga tengelam dalam berita-berita politik, analisa-analisa para pemikir
Barat dan fain-lainnya.
Akan tetapi
kewajiban (sekarang ini) adalai menyuarakan kembali tentang tashfiyatul
Islam (pemurnian kembali dienul Islam) dari perkara-perkara kotor yang
menempel kepadanya.
Kemudian
melangkah kepada tarbiyatul muslimin (membimbing kaum muslimin)
balk perorangan maupun kelompok di atas Islam yang telah bersih tersebut. Dan
mengikat mereka dengan manhaj da'wah yang asasi yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah
dengan pemahaman salafus-shalih. 16
Demikianlah
semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
- Al-Qur'anul Karim dan terjemahannya.
- Madarikun Nazhar Fis-Siyasah, karya Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani.
- Fiqhul Waqi' Baina Nazhariyyah wat Tathbiq, karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
- Soal Jawab Haula Fiqhul Waqi', Syeikh al-Albani.
- Fatawa Syar'iyah Abul Hasan al-Mishri.
- Tafsir Ibnu Katsir.
Ccatatan
Kaki
Mengenai masalah demokrasi serta
perangkat-perangkatnya. Silakan baca majalah As-Sunnah no 10 &
11/III 1420.
Coba lihat beberapa dampak negatif lainnya di
dalam kitab Madarikun Nazhar fi Siyasah karya Abdul Malik Ar Ramadhani
hal 202-229.
Lihat Soal Jawab Fiqhul waqi';
Syeikh Al-Albani, hal: 57-58.