Fiqhul Waqi' (Pemahaman Realita) Antara Teori Dan Terapan

Fiqhul Waqi', atau yang dikenal dengan pemahaman terhadap realita, situasi yang terjadi saat ini adalah salah satu pengetahuan yang penting untuk diketahui oleh ulama' dalam menetapkan hukum (berfatwa) yang sesuai dengan keadaan yang ada. Namun banyak terjadi pemahaman yang salah terhadap istilah ini. Oleh karena itu, kami mencoba untuk memberikan pemahaman yang jelas mengenai hal ini.
Memahami kondisi dan situasi adalah salah satu syarat bagi seorang mufti sebelum berfatwa agar dia dapat menetapkan hukum syar'i selaras dengan situasi dan kondisi yang ada.
Dalam istilah ulama hal itu dikenal dengan sebutan fiqhul waqi' (pemahaman situasi dan kondisi) atau fiqhun nafsi. 1

Sehingga fiqhul waqi' termasuk kaidah fiqih yang amat mendasar dan termasuk azas dasar dakwah ilallah. Fiqhul waqi' tergolong inti ajaran Islam, dengannya seorang Muslim dapat mengetahui kekeliruannya, sehingga ia dapat menetapkan hukum syar'i pada setiap sikon yang dihadapi. 

Akan tetapi kaidah yang mulia dan asas yang agung ini, pada zaman sekarang jatuh ke tangan selain pemiliknya (orang-orang jahil). Mereka lalu menuduh pemiliknya yang hakiki tidak tahu (mengerti-red) fiqhul waqi'. La Haula wala quata ills bilah. 

Mereka dengan keji menuduh para ulama -yang merupakan ahlinya fiqhul waqi'- jahil tentang waqi'. Yang lucunya, di lain pihak mereka berkata: "Kami menghormati ulama!" Yang menjadi tanda-tanya, adalah para penuduh tersebut bukanlah penuntut ilmu yang melazimi para ulama, menghadiri majlis mereka dan bukanlah orang-orang yang tekun menelaah kitab (kitab-kitab ulama salaf). 

Akan tetapi didapati sebagian mereka hanya menelaah dan membolak-balik mgjalah, koran, surat kabar atau tekun di hadapan radio dan televisi, Apakah seperti itu bentuk fiqhul waqi' menurut ulama? Kalau ternyata bukan saperti itu -dan memang bukan demikian- lalu fiqhul waqi' model apa yang mereka suarakan itu? 

Untuk mnjawab pertanyaan tersebut, maka kami sajikan pombahasan tentang fiqhul waqi'. Dengan harapan dapat memahami hakekat fiqhul waqi'; menempatkannya pada posisinya serta menyandarkannya pada ahlinya. 

Dan dapat menyadarkan mereka (khususnya para du'at) yang telah terjerumus ke dalam fiqhul waqi' yang salah kaprah. Sekaligus merupakan tandzir (peringatan) bagi ummat dari bahaya fiqhul waqi' yang disandarkan kepada bukan ahlinya. 

Ibarat pedang yang tajam, jika digunakan oleh yang ahli maka akan menebas musuh. Tetapi jika digunakan oleh yang bukan ahlinya, bisa jadi ia menebas lehernya sendiri!
Apalagi kita dihadapkan kepada realita yang mencemaskan, yaitu para dai (baik yang salafi, apalagi yang bukan salafi) mulai condong kepadanya, ikut-ikutan serta latah bak orang kehilangan arah, yang akhirnya bertingkah aneh serta bertindak gegabah. Laa Haula Wala Quwata Ills Billah. 

1. Pengertian Fiqhul Waqi'
Al-Allamah Ibnul Qayim al-Jauziyah berkata:
"Tidak akan mampu seorang mufti atau seorang hakim untuk berfatwa atau menetapkan hukum dengan benar, kecuali dengan bantuan dua jenis ilmu (pemahaman): 

1.     Memahami dan mengetahui situasi 'dan kondisi, dan menetapkan kesimpulan hakekat yang terjadi dengan bantuan beberapa indikasi dan tanda-tanda, hingga dia benarbenar menguasainya.
2.     Memahami kewajiban yang berkenaan dengan kondisi tersebut, yaitu memahami hukum Allah, yang telah ditetapkan dalam kitab-Nya dan juga melalui lisan Rasul-Nya berkenaan dengan kondisi tersebut. Kemudian ia menerapkan hukum itu pada kondisi tersebut atau sebaliknya. 

Maka barangsiapa mengerahkan kemampuan dan usaha untuk itu, niscaya dia tidak akan kehilangan satu atau dua pahala. Seorang alim adalah orang yang dengan memahami waqi' (kondisi) dapat mengetahui hukum Allah dan Rasulnya. 2


Catatan Kaki
...1
Lihat: Al-Mankhul karya al-Ghozali hal: 462-464; Ath-Thuruq al-Hukmiyah karya Ibnul Qayim hal. 4 dan As-Siyar karya adz-Dzahabi V hal 120.
...2
Lihat I'lamul Muwaqqi'in Juz 1 hal 78.

Setelah memahami arti sekilas dan asal munculnya istilah fiqhul waqi', agar memperjelas arti dan hakikatnya, maka berikut akan diuraikan contoh-contoh dari Al-Qur'an dan Sunnah Rasulullah. Serta tidak lupa penjelasan para ulama' terhadap contoh-contoh ini. Silahkan simak apa yang dijelaskan oleh Ibul Qayyim berikut ini.
Banyak orang yang keliru di dalam memahami istilah fiqhul waqi' yang dibawakan Ibnul Qayim tadi. Yang berbuntut timbulnya kesalahan di dalam menerapkannya. Sehingga menurut tanggapan mereka fiqhul waqi' itu identik dengan membolak-balik berita dan mendalami informasi-informasi bohong yang disebarkan musuh-musuh Islam.
Untuk itu akan kita paparkan contoh-contoh penerapan fiqhul waqi' menurut ulama, sekaligus untuk mengetahui hakekat fiqhul waqi' sebagaimana kata pepatah:
Ucapan akan menjadi jelas dengan mendatangkan contohnya.
Contoh-contoh tersebut antara lain :
  1. Al-Allamah Ibnul Qayim berkata:
Sebagaimana saksi Nabi Yusuf dapat mengetahui bebasnya Nabi Yusuf dari tuduhan, karena kejujuran. beliau dengan koyaknya baju beliau di bagian belakang. Yaitu kisah Nabi Yusuf yang disebutkan dalam al-quran surat Yusuf: 25-29 yang artinya:
Dan kedua-duanya berlomba menuju pintu dan wanita itu menarik baju gamis Yusuf dari belakang, hingga koyak dan kedua-duanya mendapati suami wanita itu dimuka pintu. Wanita itu berkata:
"Apakah balasan terhadap orang yang bermaksud berbuat serong dengan isterimu, selain dipenjarakan atau dihukum dengan azab yang pedih."
Yusuf berkata: "Dia menggodaku untuk menundukkan diriku kepadanya." Dan seorang saksi dari keluarga wanita itu berkata (memberikan kesaksiannya):
"Jika baju gamisnya koyak didepan, maka wanita itu benar, dan Yusuf termasuk orang-orang yang dusta. Dan jika gamisnya koyak di belakang, maka wanita itulah yang dusta, dan Yusuf termasuk orang-orang yang benar."
Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf koyak di belakang, dia berkata: "Sesungguhnya kejadian itu adalah tipu dayamu. Sesungguhnya tipu dayamu adalah besar.
Hai Yusuf berpalinglah dari ini (rahasiakanlah peristiwa ini). Dan kamu (wahai isteriku) motion ampunlah atas dosamu itu, karena kamu sesunguhnya termasuk orang yang berbuat salah."
Coba lihat betapa tajam dan kuatnya firasat saksi dari keluarga wanita tersebut, sehingga dapat menetapkan al-haq dalam kasus itu.
  1. Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan lagi:
Sebagaimana Nabi Sulaiman dapat menentukan ibu seorang anak yang diperdebatkan, dengan ucapan beliau
"Berikanlah kepadaku sebilah pisau hingga aku dapat membelah dua anak ini bagi kalian."
Beliau mengisyaratkan kepada sebuah kisah dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda:
Dahulu ada dua orang wanita bersama anak mereka berdua, lalu seekor serigala menerkam anak salah seorang dari mereka. Seorang berkata kepada temannya : "Serigala itu telah menerkam anakmu." Temannya menjawab: "Tidak. Bahkan serigala itu yang menerkam anakmu."
Kemudian mereka berdua berhukum (meminta keputusan hukum -red) kepada Nabi Dawud. Lalu Nabi Dawud memutuskan bahwa anak yang selamat itu adalah anak dari wanita yang tertua di antara keduanya.
Lalu keduanya berangkat ke Nabi Sulaiman (anak Nabi Dawud) dan menceritakan apa yang terjadi. Lalu Nabi Sulaiman berkata:
Datangkan sebilah pisau agar aku dapat membagi (membelah -red) dua anak ini bagi kalian berdua!"
Wanita yang muda berkata: "Jangan lakukan hal itu. -Semoga Allah merahmatimu- Anak itu adalah anaknya.".
Kemudian (dengan ucapan itu) Nabi Sulaiman memutuskan bahwa anak tersebut adalah anak (milik) wanita yang muda. 3
Ibnul Qayim berkata:
"Nabi Sulaiman beralasan bahwa kerelaan wanita yang tua terhadap pembelahan (menjadi dua) anak itu menunjukkan bahwa ia ingin berbagi duka dengan wanita yang muda atas kehilangan anaknya.
Dan (Nabi Sulaiman) beralasan bahwa penolakan wanita yang muda serta rasa kasih sayangnya, menunjukkan bahwa ia adalah ibu anak tersebut. Indikasi itu merupakan bukti kuat bagi Nabi Sulaiman untuk menetapkan anak baginya tanpa menghiraukan pengakuan lisannya bahwa "anak itu adalah milik wanita yang tua". 4
Demikianlah ketajaman firasat Nabi Sulaiman dalam mengungkap waqi' (realita) hingga beliau dapat menetapkan hukum dengan benar.
  1. Al-Allamah Ibnul Qayim melanjutkan contoh lainnya:
Sebagaimana Ali bin Abu Thalib dapat mengeluarkan kitab (surat rahasia) dari seorang wanita yang membawanya dari Hathib (seorang sahabat) tatkala wanita itu mengingkari telah membawanya; dengan ucapan beliau:
"Engkau keluarkan kitab tersebut, atau aku lepaskan pakaianmu."
Kisah lengkapnya dapat dilihat dalam shaih Bukhari dan Muslim dari Ali bin Abu Thalib yang berkata:
Rasullulah mengutus aku, Abu Martsad dan Aj-Jubeir bin Awwam. Kami semua mengendarai kuda. Rasullulah bersabda:
"Berangkatlah kalian sampai ke Raudhatu-khokh, sebab di sana ada seorang wanita musyrik yang membawa kitab dari Hathib bin Abi Balta'ah kepada kaum musyrikin."
Kemudian kami mendapatinya (wanita itu) sedang menunggang untanya di tempat yang dikatakan Rasulullah tadi. Lalu kami berkata: "Serahkan kitab tersebut!" Ia berkata: "Aku tidak membawa kitab." Lalu kami tambatkan untanya dan kami periksa, namun kami tidak menemukannya. Kami berkata:
"Rasulullah pasti tidak berbohong. Keluarkanlah kitab tersebut atau kami akan melepaskan pakaianmu.
Maka tatkala ia melihat kesungguhan kami, ia merogoh tempat ikat pinggangnya (ia mengenakan ikat pinggang) lalu mengeluarkan kitab tersebut. Selanjutnya kami membawa kitab itu kepada Rasulullah. Umar berkata:
"Ya Rasulull'ah, ia (Hathib bin Abi Balta'ah) telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya dan orang-orang beriman. Biarkanlah aku menebas lehernya."
Nabipun bersabda kepada Hathib: "Apa yang mendorong engkau melakukan hal itu?" Hathib menjawab:
"Demi Allah, aku hanyalah seorang yang beriman kepada Allah dan Rasulullah. Aku hanya ingin agar aku punya kekuatan untuk membela keluargaku di sana (Mekkah). Semoga Allah melindungi keluargaku dengan kekuatan tersebut. Dan setiap sahabat engkau (Nabi), pasti punya kekuasaan di sana, yang dengannya Allah melindungi keluarga dan hartanya."
Rasullulah menjawab: "Engkau benar, ia (Hathib) jangan kalian kornentari kecuali dengan kebaikan." 5
Berdasarkan hadits ini, Ibnul Qayim berkata:
"Apabila seorang terdakwa mengaku pailit (tidak ada harta padanya), lalu penggugat berkata kepada hakim bahwa ada harta padanya dan penggugat meminta agar terdakwa diperiksa, maka wajib bagi hakim untuk memenuhinya, agar dapat mengembalikan barang kepada yang berhak." 6
Coba lihat kedalaman dan keahlian para sahabat dalam mengambil tindaKan dalam situasi dan kondisi apapun. Sehingga mereka dapat memecahkan berbagai masalah dengan firasat (ilham dari Allah -red) dan pemahaman yang jernih.
Dari contoh-contoh di atas serta syarah (keterangan dan penjelasan) Ibnul Qayim, maka jelaslah bagi kita bahwa beliau berbicara tentang firasat yang dianugerahkan kepada seorang alim. (hakim, qadi atau mufti) tatkala dihadapkan kepada suatu kasus yang tidak ia dapati sebelumnya dan pada kondisi yang tidak dia ketahui sebelumnya.
Tidak sebagaimana yang disangka sebagian orang -tatkala mendapati Ibnul Qayim mendapati istilah tersebut- bahwa yang dimaksud dengan fiqhul waqi' adalah fiqhul waqi' yang mereka pahami dan mereka ada-adakan, yaitu membolak-balik majalah dan surat kabar serta memasang telinga di depan radio dan televisi.
Bukan demikian maksud Ibnul Qayim ... akan tetapi beliau berbicara tentang firasat para ulama mujtahidin. Oleh karena itu beliau memulai kitab ath-Thuruqul Hukmiyah fis Siyasah asy-Syariah, dengan pembahasan mengenai firasat seorang hakim dan qadi. Bahkan di sebagian naskah kuno kitab beliau tersebut berjudul al-Firasah al-Mardiyah fi Ahkamis Siyasah asy-Syar'iyyah.
Jadi seorang dapat dikatakan faqihul waqi' jika berkumpul padanya dua perkara yaitu ijtihad dan firasat. Sehingga dia adalah seorang ulama mujtahid dan memiliki firasat yang tajam dan jernih; Oleh karena itu tidak semua ulama dapat berbicara tentang fiqhul waqi'.


Catatan Kaki
Lihat Fathul Bahri 12/56.
Thuruqul Hukmiyah hal 5.
Lihat Fathul Bari no hadits 3081.
Thuruqul Hukmiyah hal. 9.


Selanjutnya, dari contoh-contoh yang gamblang dan uraian para ulama' tentang fiqhul waqi', maka pada bagian ketiga akan dibahas, siapa-siapa saja yang perlu mengetahui fiqhul waqi'. Apakah semua kaum muslimin? Semua para ulama' mereka? Apakah tercela / aib bagi seorang yang alim yang luput darinya beberapa waqi'? Berikut jawabannya.
Jika tidak semua harus berbicara tentang fiqhul waqi', lalu bagaimana pula dengan orang awam? Tentu saja orang awam selayaknya diam dan mengembalikan urusan kepada ahli Ilmu (ulama), terutama di dalam menanggapi waqi' (kondisi).
Dalil kedua perkara tersebut (yaitu kewajiban awam adalah mengembalikan urusan kepada ahli ilmu dan tidak semua ahli ilmu harus berbicara tentang waqi' adalah firman Allah:
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan, merekapun lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari mereka. (QS 4: 83)
Ayat tersebut di atas secara jelas menegaskan bahwa hal-hal yang berkaitan dengan waqi' diserahkan kepada ulama dan umara'. Kemudian sebagian mereka -tidak seluruhnya- menetapkan hukum syar'i yang berkenaan dengan waqi' tertentu. Sebab Allah mengatakan �� / dari sebagian mereka atau tidak seluruhnya. Dan juga firman Allah
Dan apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan dan ketakutan"
terdapat dalil bahwa orang awam ada kalanya mengetahui beberapa waqi' yang tidak diketahui oleb seorang alim, Hal tersebut tidak dianggap cela atau cacat pada orang alim itu.
Sebab mengetahui seluruh waqi' manusia adalah perkara yang mustahil. Akan tetapi yang aib dan cela adalah jika seorang alim mujtahid berfatwa tentang suatu kondisi tertentu tanpa menanyakan terlebih dulu kepada "orang-orang khusus" tentang kondisi itu; padahal ia mampu untuk bertanya, 7
Rasulullah terkadarg luput (tidak mengetahui -red) beberapa waqi' masyarakat Madinah. Seorang awam pernah menemui beliau dengan membawa kabar; lalu beliau berfatwa dengan dasar kabar itu. Para rasul sebelum beliau juga demikian.
Pada kisah burung hud-hud dengan Nabi Sulaiman. Yaitu tatkala burung hud-hud itu berkata kepadanya
Aku mengetahui sesuatu yang belum kamu ketahui; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba' suatu berita penting yang, diyakini. (QS 27: 22)
Burung hud-hud itu mengetahui waqi' yang belum diketahui oleh seorang Rasul yang telah diberi kerajaan yang tidak pernah diberikan kepada seorangpun sebelum maupun sesudah beliau. Bahkan beliau mengetahui bahasa burung dan semut serta keadaan mereka.
Apakah pengetahuan hud-hud tentang sebuah waqi' itu mengurangi keutamaan Nabi Sulaiaman? Tentu saja tidak. Kalau demikian mengapa para Hizbiyun menghujat dan mengejek para ulama dengan dalih ulama tidak mengerti waqi'. Padahal mereka sendiri termakan berita-berita bohong yang mereka anggap sebagai "diyakini kebenarannya".
Al Alamah Syeikh Abdul Aziz bin Baz pernah berkata:
"Di antara fenomena-fenomena yang muncul akibat kebodohan tentang waqi' yang banyak diperbincangkan pada saat ini adalah tuduhan terhadap sebagian ahli ilmu bahwa mereka jahil terhadap keadaan kaum munafik dan sekuler.
Padahal hal tersebut bukanlah aib atau cela. Sebab memang ada di tengah-tengah umat orang munafik atau zindiq yang tidak diketahui oleh para ulama. Ketidaktahuan semacam ini tidaklah merupakan aib atau cela atas mereka."
Di dalam biografi al-Hallaj (salah seorang tokoh al-Hululiyah), al-Imam adz-Dzahabi berkata:
"Pada zaman Rasulullah, ada beberapa orang yang menisbatkan diri sebagai sahabat dengan mengaku Muslim, padahal dalam batin mereka adalah munafiqin. Terkadang Rasulullah tidak mengetahui mereka dan kondisi mereka."
Allah berfirman:
Dan di antara penduduk Madinah (terdapat orang-orang munafik) mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka; tetapi Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka Kami siksa dua kali. (at-Taubah: 101)
Jika penghulu bani Adam (Rasulullah) saja tidak mengetahui sebagian keadaan orang-orang munafik -padahal mereka tinggal bersama beliau selama bertahun-tahun di Madinah- apalagi ummatnya!
Wajar jika terluput dari ummat keadaan sebagian jamaah kaum munafiqin yang menyimpang dari agama, sepeninggal beliau. 8
Oleh karena itu fiqhul waqi' tidaklah termasuk syarat dan sifat seorang mujtahid. Akan tetapi hanya syarat bagi seorang mujtahid, jika ia ingin membuat keputusan tentang waqi' tertentu.
Ada sebuah kisah yang sering dibawakan oleh kaum Hizbiyun tentang Syeikh Muhammad bin Utsaimin yang maksudnya adalah ingin menjatuhkan karismanya; yaitu bahwa Syeikh Utsaimin tidak tahu atau jahil tentang waqi'. Mereka berkata:
"Syeikh Utsaimin telah diperingatkan tentang adanya majalah-majalah porno di pasar. Setiap kali beliau diberitahu hal itu, beliau tetap mengingkarinya, sebab beliau belum pernah melihatnya.
Dan tatkala beliau sedang mengajar, tiba-tiba datanglah seseorang yang melemparkan majalah itu ke ruangan beliau. Setelah itu, bangkitlah beliau, lalu menulis peringatan-peringatan terhadap majalah dan film-film seperti itu."
Demikian mereka menyebarkan cerita ini. Terlepas dari benar atau tidaknya cerita itu, yang jelas hal itu tidaklah mengurangi karisma dan ilmu beliau. Bahkan justru menambah keutamaan beliau. Sebab hal itu menunjukkan bahwa beliau memfokuskan perhatian beliau kepada ilmu dalam bentuk proses belajar mengajar serta menghabiskan waktu beliau untuk itu. Sehingga tidak ada kesempatan untuk menelaah apa yang ada di pasar. Dan membaca majalah bukanlah suatu yang beliau senangi. Secara implisit tindakan beliau itu sesuai dengan syair berikut:
Harapanku dari dunia adalah ilmu yang aku sebarkan.
Ilmu yang aku siarkan di setiap pelosok desa dan kota
Berdakwah kepada Al-Qur'an dan Sunnah
Yang sekarang telah menjadi perkara yang dilupakan oleh manusia
Dan mereka telah menggatikannya dengan koran-koran
Dan dengan televisi mereka yang merupakan sumber kejahatan dan kemungkaran
Dan juga dengan radio-radio, jangan engkau lupakan bahayanya
Betapa banyak waktu terbuang percuma dengannya dalam kerugian.


Catatan Kaki
Lihat pembahasan ayat ini dalam majalah As-Sunnah 08/111/1414 H.
Lihat kitab Wujubu Tha'atis Sulthan fi Tha'atir Rahman hal 44-45.


Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya yaitu hanya para ulama' lah yang berhak dalam fiqhul waqi', bahkan tidak semua di antara mereka, maka bagaimana jika seorang awam / selain ulama' menemukan suatu waqi'? Apa kewajiban mereka dalam hal ini? Berikut jawaban serta sebagian contoh para salafus shalih dalam menerapkan kaidah tersebut.
Allah berfirman:
Seandainya mereka mengembalikannya kepada Rasul dan kepada ulil amri di antara mereka, maka orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahui dari sebagian mereka. (an-Nisaa': 83)
Ayat di atas jelas menegaskan agar mereka mengembalikannya kepada ulil amri (ulama dan umara). Menyelisihi ayat ini berarti mengkhianati amanat. Allah berfirman:
Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk mengembalikan amanah kepada pemiliknya dan jika kalian menghukum di antara manusia hendaklah menghukum dengan keadilan. (an-Nisaa': 58)
Pada suatu ketika Rasulullah pernah ditanya tentang hari kiamat, beliau menjawab:
Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari kiamat!
Si penanya bertanya lagi: "Bagaimana penyianyiaannya?" Rasul menjawab:
Jika disandarkan suatu perkara kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah saatnya datang hari kiamat. (HR. Thabrani)
Maka sikap yang benar bagi seorang awam adalah mengembalikan analisa waqi' kepada para ahlinya. Secara umum Allah telah memerintah kan mereka agar bertanya kepada ahli ilmu:
Tanyakanlah kepada ahli dzikir (ahli ilmu) jika kamu tidak mengetahui.
Dan Rasulullah secara khusus juga telah memerintahkan mereka untuk bertanya:
Tidakkah mereka bertanya apabila mereka tidak mengetahui, sebab obat kebodohan adalah bertanya.
Sedikitnya fitnah dan kehancuran pada generasi salaf, salah satu faktornya adalah penerapan kaidah ini dengan benar. Mereka mengembalikan waqi' (kondisi) yang mereka hadapi kepada para ulama waqi' setelah menggambarkannya dengan jujur dan bertanggung jawab tanpa mengada-ada!
Sebagaimana burung hud-hud yang menginformasikan kepada nabi Sulaiman dengan akurat dan yakin tentang kondisi yang ia lihat. Berikut contoh penerapan salaf
  1. Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Yahya bin Ya'mar, ia berkata:
Orang pertama yang berkomentar tentang masalah takdir (pengingkaran takdir) di negeri Bashrah adalah Ma'bad Al-Juhani. Pada saat aku dan sahabatku, Humeid bin Abdir Rahman berangkat menunaikan ibadah haji atau umrah.
Kami berharap sekiranya kami bertemu dengan seorang sahabat Nabi sehingga kami dapat bertanya kepadanya tentang komentar Ma'bad dalam masalah takdir!
Kebetulan seorang sahabat Nabi yaitu Abdullah bin Umar datang ke masjid, lalu aku dan sahabatkupun mengiringi beliau. Aku di kanan dan sahabatku di kiri. Aku merasa sahabatku menyerahkan pembicaraan kepadaku. Aku berkata:
"Wahai Abu Abdir Rahman (kuniyah Abdullah bin Umar) sesungguhnya telah muncul di daerah kami orang-orang yang membaca Al-Qur'an dan menisbahkan diri kepada ilmu."
Lalu Yahya pun menceritakan waqi' (kondisi) mereka, bahwa mereka mendakwahkan "tidak ada takdir", bahwa segala urusan adalah baru (yaitu tidak diketahui Allah sebelumnya -pent). Maka Abdullah bin Umar pun berkata:
"Jika kamu bertemu dengan mereka, maka kabarkan kepada mereka bahwa aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri dari tanggunganku.
Dan demi Dzat yang Abdullah bin Umar bersumpah dengan-Nya, seandainya mereka menyedekahkan emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan diterima, kecuali mereka beriman kepada takdir."
Lalu beliau membawakan hadits Jibril 9 sebagai dalilnya!
Perhatikanlah, kisah tersebut. Tatkala mereka menghadapi suatu keadaan yang tidak mereka kenal sebelumnya yaitu pengingkaran takdir, mereka mengetahui bahwa tempat menanyakan hal itu adalah para sahabat, sebab para sahabat itulah orang yang paling alim ketika itu.


Ccatatan Kaki
hadits tentang Islam-Iman-Ihsan.


Pada bagian ini akan memaparkan contoh penerapan dari para sahabat di zaman mereka sebagai penguat dari bagian sebelumnya. Setelah itu, dari contoh-contoh penerapan para sahabat yang terjadi akan dijelaskan syarat-syarat dan batasan-batasan fiqhul waqi'. Apa saja dan seperti apakah itu? Berikut uraiannya.
  1. Diriwayatkan oleh ad-darimi (1/68-69) dan Amru bin Salamah al-hamdani, ia berkata:
Pada suatu ketika kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat subuh. Jika beliau keluar kami pun berjalan bersamanya ke masjid.
Tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy'ari seraya berkata: "Apakah Abu Abdir Rahman sudah menemui kalian?" Jawab kami: "Tidak." Lalu ia pun duduk bersama kami, hingga akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar.
Dan ketika sudah keluar kamipun bangkit untuk berangkat bersama beliau. Lantas Abu Musa Al-Asy'ari berkata kepadanya:
"Wahai Abu Abdir Rahman! 10 Sungguh tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap asing dan aku tidak menganggapnya kecuali sebagai kebaikan."
Ibnu Mas'ud berkata: "Perkara apa itu?" Abu Musa menjawab: "Jika umurmu panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum yang duduk berhalaqah-halaqah (berkelompok-kelompok) menunggu shalat.
Setiap halaqah dipimpin seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil (semacam tasbih untuk menghitung jumlah dzikir). Ia (pemimpin halaqah tersebut) berkata: "Bertakbirlah seratus kali!" Lalu anggota halaqahpun bertakbir seratus kali.
Ia memerintah lagi, bertahlillah seratus kali, lalu anggota halaqah pun bertahlil seratus kali. Lalu berkata: "Bertasbihlah seratus kali." Maka anggota halaqah bertasbih seratus kali. Aku (Abu Musa) bertanya:
"Apa komentar engkau bagi mereka? Aku tidak berkomentar apapun bagi mereka, karena menunggu pendapatmu, atau menunggu perintahmu!"
Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Mengapa engkau tidak memerintahkan untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka saja? Dan engkau jamin bagi mereka untuk tidak tersia-siakan kebaikan-kebaikan mereka."
Lalu beliaupun berlalu dan kami pun berlalu bersamanya, hingga beliau sampai ke halaqah tersebut dan berdiri di hadapan mereka seraya berkata: " Apa yang kalian sedang kerjakan?" Mereka menjawab:
"Wahai Abu Abdir Rahman ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung jumlah takbir, tahlil dan tasbih."
Maka Ibnu Mas'ud berkata:
"Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian! Aku menjamin bagi kalian untuk tidak tersia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad!
Betapa cepatnya kebinasaan merenggut kalian, padahal mereka para sahabat Rasulullah masih banyak bertebaran, ini pakaian-pakaian mereka belum lagi usang dan ini perabot-perabot mereka belum lagi pecah!
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih lurus dari agama Muhammad? Atau kalian telah membuka lebar-lebar pintu kesesatan?"
Mereka pun menjawab: "Demi Allah, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan." Ibnu Mas'ud menjawab:
"Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya! Sesungguhnya Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa akan ada kaum yang membaca Al-Qur'an, tapi tidak melampaui kerongkongan mereka! Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya!"
Selanjutnya kata Ibnu Mas'ud: "Demi Allah, aku tidak tabu barangkali kebanyakan mereka berasal dari kalian!" Kemudian beliau berpaling darinya! Lalu Amru bin Salamah berkata:
"Sungguh kami telah melihat kebanyakan anggota halaqah tersebut memerangi kami pada hari peperangan Nahrawan bersama kaum Khawarij!!
Beberapa faedah:
Lihatlah sikap Abu Musa Al-Asy'ari yang notabene ia adalah seorang sahabat Rasulullah yang sudah pasti memiliki keutamaan ilmu dari yang lainnya! Akan tetapi dalam menanggapi waqi' (kondisi) tertentu yang ia belum ketahui, ia serahkan kepada yang ia rasa lebih alim dari dirinya yaitu Abdullah bin Mas'ud.
Beliau tidak hendak berkomentar tentangnya! Demikian ketinggian sikap tawadlu' beliau! Seandainya orang awam dan para penuntut ilmu menerapkan apa yang diterapkan oleh Abu Musa, niscaya pintu fitnah tidak akan menganga lebar dan setan tidak akan dapat melancarkan misinya!
Oleh karena itu Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan firman-Nya:
Dan sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja di antara kamu. (an-Nisaa': 83)
Perhatikan juga Abdullah bin Mas'ud yang berfirasat bahwa tindakan mereka tersebut (bid'ah yang mereka lakukankan) dapat menggiring mereka kepada kebinasaan (yaitu jatuh ke dalam bid'ah Khawarij). Sungguh merupakan firasat seorang ulama mujtahid yang jernih dan terbukti! Allah berfirman:
Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (Al-Hijr: 75)
Imam Mujahid berkata yang dimaksud dengan adalah yaitu orang orang yang memiliki firasat 11 yaitu firasat seorang alim! Firasat yang di latar-belakangi Al-Qur'an. dan As-Sunnah!
Bandingkanlah pengertian fiqhul waqi' yang dibawakan oleh Al-allamah Ibnul Qoyim berikut contoh-contoh yang beliau bawakan dengan penerapan yang dilakukan oleh Abu Musa dan Ibnu Mas'ud tadi.
Dan dengan ayat 83 dari surat An-Nisa'. Maka akan kalian dapati keselarasan yang amat menakjubkan. Demikiankah pengertian dan penerapan yang benar dan tepat bagi fiqhul waqi'.
Di antara faedah yang dapat diambil dari kisah di atas tadi, bahwasanya bid'ah yang kecil dan sepele dapat menghantarkan kepada bid'ah yang besar! Yaitu anggota-anggota halaqah-halaqah tersebut menjadi Khawarij di belakang hari, yang diperangi oleh Khalifatur Rasyid Ali bin Abi Thalib. 12
Asy-Syekh Abul Hasan al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul waqi' ini dalam silsilah fatawa syar'iyyah 13 beliau. Di antaranya:
  1. Mengetahui kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
  2. Yang menangani berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi umat.
  3. Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
Hanya saja yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal di bidang yang dengannya ia dapat sukses.
  1. Mereka yang menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini; bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada tingkatannya dan bid'ah juga demikian.
Bahwa mayoritas kerapkali menimbulkan mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul Islam adalah dienullah yang tidak diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam. Bahwa kemenangan adalah bagi al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam jangka waktu yang panjang.
Bahwasannya perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/ kebodohan tentang agama adalah senjata utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah jaminan keselamatan.
Barangsiapa yang tidak memiliki prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan menyimpang bersama gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
  1. Bahwa mereka yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya berdasarkan niak!uinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya kepada ulama.
Merekalah (para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa berdasarkan kekokohan/ kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat tersebut.
  1. Masalah fiqhul waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri sebagai ketentuan -bagi mereka yang menangani beritaberita waqi'. Hal ini adalah amat penting, agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini.


Ccatatan Kaki
kuniyah Abdullah bin Mas'ud.
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2 hal 732.
Lihat Silsilah Hadits Shahihah juz 5 hal. 14.
yakni No 4 edisi bulan Rajab soal 67 hal 103.


Pada bagian ini akan memaparkan contoh penerapan dari para sahabat di zaman mereka sebagai penguat dari bagian sebelumnya. Setelah itu, dari contoh-contoh penerapan para sahabat yang terjadi akan dijelaskan syarat-syarat dan batasan-batasan fiqhul waqi'. Apa saja dan seperti apakah itu? Berikut uraiannya.
  1. Diriwayatkan oleh ad-darimi (1/68-69) dan Amru bin Salamah al-hamdani, ia berkata:
Pada suatu ketika kami duduk di depan pintu Abdullah bin Mas'ud sebelum shalat subuh. Jika beliau keluar kami pun berjalan bersamanya ke masjid.
Tiba-tiba datang Abu Musa Al-Asy'ari seraya berkata: "Apakah Abu Abdir Rahman sudah menemui kalian?" Jawab kami: "Tidak." Lalu ia pun duduk bersama kami, hingga akhirnya Abdullah bin Mas'ud keluar.
Dan ketika sudah keluar kamipun bangkit untuk berangkat bersama beliau. Lantas Abu Musa Al-Asy'ari berkata kepadanya:
"Wahai Abu Abdir Rahman! 10 Sungguh tadi aku melihat di masjid suatu perkara yang aku anggap asing dan aku tidak menganggapnya kecuali sebagai kebaikan."
Ibnu Mas'ud berkata: "Perkara apa itu?" Abu Musa menjawab: "Jika umurmu panjang, engkau akan melihatnya. Aku melihat di masjid suatu kaum yang duduk berhalaqah-halaqah (berkelompok-kelompok) menunggu shalat.
Setiap halaqah dipimpin seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil (semacam tasbih untuk menghitung jumlah dzikir). Ia (pemimpin halaqah tersebut) berkata: "Bertakbirlah seratus kali!" Lalu anggota halaqahpun bertakbir seratus kali.
Ia memerintah lagi, bertahlillah seratus kali, lalu anggota halaqah pun bertahlil seratus kali. Lalu berkata: "Bertasbihlah seratus kali." Maka anggota halaqah bertasbih seratus kali. Aku (Abu Musa) bertanya:
"Apa komentar engkau bagi mereka? Aku tidak berkomentar apapun bagi mereka, karena menunggu pendapatmu, atau menunggu perintahmu!"
Abdullah bin Mas'ud berkata:
"Mengapa engkau tidak memerintahkan untuk menghitung kesalahan-kesalahan mereka saja? Dan engkau jamin bagi mereka untuk tidak tersia-siakan kebaikan-kebaikan mereka."
Lalu beliaupun berlalu dan kami pun berlalu bersamanya, hingga beliau sampai ke halaqah tersebut dan berdiri di hadapan mereka seraya berkata: " Apa yang kalian sedang kerjakan?" Mereka menjawab:
"Wahai Abu Abdir Rahman ini adalah kerikil yang kami gunakan untuk menghitung jumlah takbir, tahlil dan tasbih."
Maka Ibnu Mas'ud berkata:
"Hitung saja kesalahan-kesalahan kalian! Aku menjamin bagi kalian untuk tidak tersia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad!
Betapa cepatnya kebinasaan merenggut kalian, padahal mereka para sahabat Rasulullah masih banyak bertebaran, ini pakaian-pakaian mereka belum lagi usang dan ini perabot-perabot mereka belum lagi pecah!
Dan demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada di atas agama yang lebih lurus dari agama Muhammad? Atau kalian telah membuka lebar-lebar pintu kesesatan?"
Mereka pun menjawab: "Demi Allah, kami tidak menghendaki kecuali kebaikan." Ibnu Mas'ud menjawab:
"Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan akan tetapi tidak mendapatkannya! Sesungguhnya Rasulullah telah menceritakan kepada kami bahwa akan ada kaum yang membaca Al-Qur'an, tapi tidak melampaui kerongkongan mereka! Mereka keluar dari Islam sebagaimana keluarnya anak panah dari busurnya!"
Selanjutnya kata Ibnu Mas'ud: "Demi Allah, aku tidak tabu barangkali kebanyakan mereka berasal dari kalian!" Kemudian beliau berpaling darinya! Lalu Amru bin Salamah berkata:
"Sungguh kami telah melihat kebanyakan anggota halaqah tersebut memerangi kami pada hari peperangan Nahrawan bersama kaum Khawarij!!
Beberapa faedah:
Lihatlah sikap Abu Musa Al-Asy'ari yang notabene ia adalah seorang sahabat Rasulullah yang sudah pasti memiliki keutamaan ilmu dari yang lainnya! Akan tetapi dalam menanggapi waqi' (kondisi) tertentu yang ia belum ketahui, ia serahkan kepada yang ia rasa lebih alim dari dirinya yaitu Abdullah bin Mas'ud.
Beliau tidak hendak berkomentar tentangnya! Demikian ketinggian sikap tawadlu' beliau! Seandainya orang awam dan para penuntut ilmu menerapkan apa yang diterapkan oleh Abu Musa, niscaya pintu fitnah tidak akan menganga lebar dan setan tidak akan dapat melancarkan misinya!
Oleh karena itu Allah Ta'ala menutup ayat ini dengan firman-Nya:
Dan sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah atas kalian, niscaya kalian akan mengikuti setan kecuali sebagian kecil saja di antara kamu. (an-Nisaa': 83)
Perhatikan juga Abdullah bin Mas'ud yang berfirasat bahwa tindakan mereka tersebut (bid'ah yang mereka lakukankan) dapat menggiring mereka kepada kebinasaan (yaitu jatuh ke dalam bid'ah Khawarij). Sungguh merupakan firasat seorang ulama mujtahid yang jernih dan terbukti! Allah berfirman:
Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda kekuasaan Kami bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. (Al-Hijr: 75)
Imam Mujahid berkata yang dimaksud dengan adalah yaitu orang orang yang memiliki firasat 11 yaitu firasat seorang alim! Firasat yang di latar-belakangi Al-Qur'an. dan As-Sunnah!
Bandingkanlah pengertian fiqhul waqi' yang dibawakan oleh Al-allamah Ibnul Qoyim berikut contoh-contoh yang beliau bawakan dengan penerapan yang dilakukan oleh Abu Musa dan Ibnu Mas'ud tadi.
Dan dengan ayat 83 dari surat An-Nisa'. Maka akan kalian dapati keselarasan yang amat menakjubkan. Demikiankah pengertian dan penerapan yang benar dan tepat bagi fiqhul waqi'.
Di antara faedah yang dapat diambil dari kisah di atas tadi, bahwasanya bid'ah yang kecil dan sepele dapat menghantarkan kepada bid'ah yang besar! Yaitu anggota-anggota halaqah-halaqah tersebut menjadi Khawarij di belakang hari, yang diperangi oleh Khalifatur Rasyid Ali bin Abi Thalib. 12
7. Syarat Dan Batasan Fiqhul Waqi'
Asy-Syekh Abul Hasan al-Mishri telah mencantumkan beberapa syarat dan batasan bagi fiqhul waqi' ini dalam silsilah fatawa syar'iyyah 13 beliau. Di antaranya:
  1. Mengetahui kabar-kabar (informasi tentang waqi' tertentu) dari sumber yang benar (yang dapat dipercaya kebenarannya). Tidak cukup dengan sumber-sumber berita yang palsu. Yang hari ini mengatakan suatu ucapan, besok dibantah sendiri.
  2. Yang menangani berita-berita waqi' tersebut adalah sebagian kecil dari umat, dan selebihnya terus tetap menuntut ilmu syar'i atau yang lainnya, yang dapat mendatangkan manfaat bagi umat.
  3. Dan bagi mereka yang menangani, jika mereka ada kemauan untuk menuntut ilmu, maka hendaknya mereka mendahulukan menuntut ilmu. Apalagi jika mereka memiliki kecakapan dan kecerdasan.
Hanya saja yang menangani berita-berita waqi' ini adalah orang-orang yang tidak mempunyai keseriusan menuntut ilmu syar'i. Dan seorang insan hendaknya beramal di bidang yang dengannya ia dapat sukses.
  1. Mereka yang menanganinya harus memiliki pemahaman tentang prinsip-prinsip dasar Al-Qur'an dan As-Sunnah seperti: permusuhan kaum Yahudi dan Nasrani terhadap umat ini; bahwa syirik dan bid'ah dapat meruntuhkan dien ini; bahwa dosa syirik itu ada tingkatannya dan bid'ah juga demikian.
Bahwa mayoritas kerapkali menimbulkan mudharat dan tidak bermanfaat; bahwa dienul Islam adalah dienullah yang tidak diterima dari seorangpun, kecuali al-Islam. Bahwa kemenangan adalah bagi al-Islam. Tidak bagi yang lainnya, walaupun dalam jangka waktu yang panjang.
Bahwasannya perselisihan itu tercela. Dan kejahilan/ kebodohan tentang agama adalah senjata utama musuh-musuh kita. Bahwasannya pemahaman salaf terhadap Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah jaminan keselamatan.
Barangsiapa yang tidak memiliki prinsip-prinsip dengan jelas, maka dikhawatirkan ia akan menyimpang bersama gemerlapnya ucapan musuh-musuh Allah.
  1. Bahwa mereka yang menangani berita-berita tidak menyendiri dalam berfatwa', dengan hanya berdasarkan niak!uinat yang mereka terima. Akan tetapi mengembalikan seluruhnya kepada ulama.
Merekalah (para ulama) yang akin menangani din mengeluarkan fatwa berdasarkan kekokohan/ kedalaman ilmu mereka, disertai penelaahan maklumat tersebut.
  1. Masalah fiqhul waqi' ini harus ditempatkan sesuai dengan porsinya di tengah-tengah masalah-masalah ilmiyah lainnya, sesuai dengan timbangan syar'inya berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas tadi. Tidak dikatakan la fardu ain yang paling penting! sebab ia hanyalah fardlu kifayah dan tidak pula dikatakan bid'ah.
Demikianlah enam point yang disebutkan oleh Syeikh Abul Hasan al-Mishri sebagai ketentuan -bagi mereka yang menangani beritaberita waqi'. Hal ini adalah amat penting, agar mereka tidak salah kaprah, lalu terjerumus ke dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dalam masalah ini.


Ccatatan Kaki
...10
kuniyah Abdullah bin Mas'ud.
...11
Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2 hal 732.
...12
Lihat Silsilah Hadits Shahihah juz 5 hal. 14.
...13
yakni No 4 edisi bulan Rajab soal 67 hal 103.


Alhamdulillah pada bagian-bagian sebelumnya kita telah mendapat gambaran yang jelas mengenai pemahaman terhadap fiqhul waqi' setelah sebelumnya banyak di antara kita yang salah dalam memahami istilah itu. Karena kesalah-pahaman tentang fiqhul waqi' dapat menimbulkan beberapa masalah yang berbahaya. Apa saja bahayanya?
Salah paham tentang fiqhul waqi' dapat menimbulkan bahaya-bahaya yang amat jelek! Dan dapat melahirkan sikap salah kaprah. Syeikh Ali Hasan Ali Abdul Hamid menyebutkan beberapa bahaya yang timbul akibat salah paham tentang fiqhul waqi' sebagai berikut:
  1. Lahirnya Tasawuf gaya baru.
Sebab mereka yang salah paham tentang fiqhul waqi' membagi agama ini dan ulamanya menjadi ahli fiqih waqi' dan ahli fiqih syariat. Pembagian seperti ini merupakan perkara yang amat berbahaya, yang dilahirkan oleh Hizbiyun dan para da'inya. Hingga hasilnya adalah mereka membolehkan serta memisahkan umat dari ulamanya (ulama syari'at).
Pembagian seperti ini mirip dengan pembagian menurut ulama ahli-tasawuf kepada ulama hakikat dan ulama syariat. Keduanya berdampak sama, yaitu menjauhkan/memisahkan antara umat dan ulama syariat serta mendakwakan ilmu yang belum dicapai ulama syariat.
  1. Taklid dalam bentuk baru.
Syeikh Ali Hasan menceritakan tentang surat seseorang yang berasal dari Aljazair yang menyebutkan bentuk perselisihan di antara para da'i di sana, serta dampak negatif dan bahaya yang dihasilkan akibat perpecahan mereka. Orang itu berkata:
Dan kalian telah mengetahui akibat yang timbul dari bergolong-golongan dan perpecahan, menyimpang dari jalannya para ulama dan menghujat mereka serta membantah penyeru kepada as-Sunnah yang tidak bergolong-golongan! Amat miskin mereka itu!
Tidak ada dalil bersama mereka melainkan sebuah ucapan yang menjadi berhala bagi kita, yaitu ucapan mereka: "Apakah engkau lebih pintar dari si Fulan?"
Jika engkau berdialog dengan mereka dan engkau menjelaskan manhaj Nabawi, maka ia akan berteriak di hadapanmu: "Apakah perkara seperti ini tidak diketahui oleh si Fulan, lalu engkau saja yang mengetahuinya?"
Dan apabila demikian keadaan kita, lalu aku selidiki sebab-sebabnya, maka aku mendapati sebabnya, yaitu jahil tentang hukum-hukum Allah.
Dapat dilihat rangkaian kalimatnya yang penuh keprihatinan tentang keadaan para muqollid (ahli taqlid) bentuk baru. Yang menyangka dengan lisan mereka, bahwa mereka anti taqlid. Akan tetapi keadaan mereka menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tenggelam dalam (lautan) taqlid.
Bentuk seperti ini berulang di beberapa penjuru dunia dengan metode yang berbeda pada individu-individu yang berbeda pula. Yang seluruhnya kembali kepada sebuah tarbiyah buta, yaitu menerima ucapan fagihr waqi' dan menolak ucapan faqih syariat.
  1. Mencampuradukan antara ulama dengan orator (khuthaba').
Ini adalah pencampuradukan yang amat jelek, yang menyebabkan penerimaan sebuahr hukum syar'i bukan dari ahlinya. Tatkala seorang orator ulung naik ke atas mimbar, setelah mendengar siaran radio atau membaca majalah atau menonton televisi berdakwah dengan orasi yang berapi-api, meringkas berita-berita yang didengar, dibaca dan dilihatnya!
Akibatnya jadilah orator tersebut sebagai ulama yang tak tertandingi. Lalu para pemuda mudah terbakar emosinya, hanya karena kefasihan lisannya, kemanisan orasinya, kemantapan analisanya dan ketepatan dugaannya.
Adapun ulama pewaris nabi yang menghabiskan umurnya bertahun-tahun lamanya untuk mempelajari al-Qur'an dan as Sunnah, memahami hukum-hukumnya, mengetahui kandungan-kandungan dalilnya menjadi tersisih dari para pemuda itu dengan tuduhan jauh dari waqi'.
Tak dapat dibantah lagi ini adalah kenyataan yang batil. Lalu dari sini timbullah kesalahan-kesalahan selanjutnya.
  1. Mengikat umat kepada yang bukan ahli (bukan ulama). Ini adalah akibat dari pencampuradukkan di atas tadi, yang mengakibatkan umat menjadi rendah diri jika membicarakan / mengamalkan nash-nash al-Qur'an dan as-Sunnah sesuai dengan dzahirnya. Akibat selanjutnya adalah terpisahnya umat dengan ulama al Qur'an dan as-Sunnah.
  2. Dominasi bidang politik (masa kini) atas masalah syariat. Ini adalah akibat yang amat alami dari orang-orang yang terlalu membesar-besarkan fiqhul waqi' dalam bentuk yang keliru! Hingga masalah politik ini telah mengambil tempat yang begitu besar dalam bidang dakwah, lebih besar dari ukuran yang telah ditetapkan al-Islam.
  3. Sebab berkurangnya prioritas masalah tauhid dan as-Sunnah dikhawatirkan bagi orang yang akalnya terlalu didominasi oleh masalah politik akan berkomentar seperti orang-orang jahil yang menyerang para da'i kepada tauhid. Dan menyerang ahli sunnah dengan ucapan mereka:
"Masalah ini (tauhid dan as-sunnah) adalah masalah kulit (parsial); prioritaskan masalah-masalah inti (masalah politik)."
Apakah menyeru kepada as-Sunnah adalah masalah sepele (kecil) atau masalah kulit! Seruan menegakkan tauhid dituduh sepele (kecil)! Subhanallah!
  1. Mempercayai (secara membabi buta) jaringan jaringan informasi yang kacau, baik jaringan informasi Barat maupun Timur. Yang akhirnya mengakibatkannya menjadi hebat dan besar keadaan merek, serta membenarkan ucapan-ucapan mereka di hadapan umat.
Padahal ulama kita tidak menerima berita seorang muslim, jika tidak adil dan kuat hafalannya. Lalu bagaimana pula dengan berita orang-orang kafir yang memerang kita!!?
Dampak negatif yang timbul adalah merasuknya perasaan takut ke dalam hati umat terhadap musuh-musuh mereka. Dikarenakan informasi-informasi palsu yang kebanyakannya bohong dan hanya untuk menakut-nakuti umat saja.

Melanjutkan bagian sebelumnya, pada bagian terakhir ini memaparkan bahaya-bahaya terhadap salah kaprah dalam memahami fiqhul waqi'. Dan juga sekaligus menyimpulkan uraian sederhana mengenai pemahaman realita yang terjadi. Semoga kita dapat mengambil hikmah dari bahasan ini.
8. Bahaya Salah Faham Dan Salah Kaprah Tentang Fiqhul Waqi' (lanjutan)
  1. Tidak dapat membedakan antara aulawiyat (perkara-perkara utama) dan menganggap remeh perkara-perkara syar'i.
Merupakan syarat dakwah yang tepat dan benar adalah memulai dengan perkara yang paling utama dan penting yaitu berdakwah kepada pembenahan aqidah.
Yaitu menyeru kepada pengikhlasan ibadah bagi Allah dan melarang syirik, kemudian memerintahkan menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan kewajiban dan menjauhi perkara haram. Sebagaimana ini adalah metode dakwah para Rasul seluruhnya.
Tidaklah kami utus seorang Rasulpun sebelum engkau melainkan telah Kami wahyukan kepadanya bahwa tiada sesembahan yang berhak melainkan Aku, maka sembahlah Aku! (Al Anbiya' : 25)
Dan tatkala Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman, beliau berkata kepadanya:
"Engkau akan mendatangi suatu kaum dari Ahli Kitab, maka jadikan awal dakwahmu kepada mereka kalimat syahadat. Jika mereka menyambut seruanmu, maka ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan atas mereka shalat lima waktu sehari semalam. (Muttafaqun Alaihi).
Syeikh Ali Hasan mengatakan lebih lanjut:
"Emosi orang-orang jahil (tentang kondisi sebenarnya) yang telah terbakar membuat mereka buta untuk mengetahui hakikat keutamaan perkara tauhid ini. Aku tidak katakan dengan ucapan mereka, sebab kebanyakan mereka juga mendengung-dengungkan bahwa tauhid adalah perkara yang paling penting.
Akan tetapi tindakan dan keadaan mereka berkata lain dan jauh berbeda. Motivasinya hanyalah agar dapat bertemu di tengah jalan bersama sebagian jamaah-jamaah dakwah yang menyimpang dari manhaj para Nabi.
Di antara contoh ketidakmampuan membedakan antara aulawiyat tersebut adalah seruan para dai fiqhul waqi' kepada hakimiyah, yang mereka maksud dengan hakimiyah adalah menegakkan daulah Islamiyah. Akan tetapi hal tersebut mengakibatkan mereka terlepas dari dakwah kepada tauhid.
Sesungguhnya dakwah kepada hakimiyah dan mewujudkannya adalah perkara penting yang menjadi kepedulian setiap muslim yang memahami al Islam -jika diperhatikan/ dipenuhi syarat-syaratnya- sebab seluruh dakwah yang dibawa oleh Rasulullah*, adalah penting dan agung.
Akan tetapi kita bertanya-tanya apakah dakwah kepada hakimiyah menyebabkan peremehan atau penyepelean asas-asas Islam. Jawabnya adalah tidak. Sebab hakimiyah wajib dimulai dari perkara yang amat agung di dalam Islam yaitu i'tiqod / keyakinan (yang benar) tentang Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya.
  1. Terjebak dalam sikap ghuluw (berlebih-lebihan), hingga mereka mewajibkan fiqhul waqi' ini bagi setiap orang.
Juga berlebihan dalam mengangkat fiqhul waqi', hingga meletakkannya di atas ilmu syari'at. Juga berlebihan dalam menyanjung faqihul waqi', hingga melebihkan mereka atas ulama syariat. Dan yang paling parah adalah ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menyikapi dan menanggapi waqi, sehingga mengakibatkan sikap tergesa-gesa dan ceroboh (gegabah).
  1. Menerima demokrasi dan metode kotornya. 14
Demikianlah sepuluh poin yang disebutkan Syeikh Ali Hasan dalam kitabnya yang berjudul Fiqhul Waqi' Baina Nazhariyati Wa Tathbiq (hal 44-60) yang kami nukil secara ringkas dan bebas.
Syeikh Abdul Malik ar-Ramadhani menambahkan beberapa dampak negatif fiqhul waqi' dengan pemahaman dan penerapan yang salah diantaranya:
  1. Menjadikan praktek-praktek politik yang salah kaprah sebagai asas/dasar al-Islam.
  2. Terlibat dalam kancah politik -padahal bukan kewajibannya- dan berfatwa tentang masalah-masalah politik padahal bukan ahlinya (bukan ulama).
  3. Menisbatkan kepada syariat hukum-hukum yang mengandung aniaya yang mereka simpulkan dari berita-berita palsu/bohong.
  4. Ramalan-ramalan politik yang tidak ada
  5. Penyelewengan nash-nash al-Qu ,n dan al-Hadits sebagai akibat dari menyelewengkan ucapan Ibnul Qayim tentang fiqhul Waqi'.
  6. Ditegakkan di atas kejahilan dan hawa nafsu untuk kepentingan pribadi dan golongan.
Dampak nyata dari semua ini adalah tercerai-berainya umat, khususnya para pemudanya serta tertanamnya rasa dengki dan tersebarnya akhlak-akhlak yang bejat seperti tuduhan-tuduhan dusta tanpa bukti dan lain-lain. Yang paling parah adalah terbengkalainya dakwah kepada aqidah yang benar. 15
Kata tengah dan benar tentang fiqhul waqi' ini adalah seperti yang disebutkan Syeikh al-Albani sebagai berikut:
"fiqhul waqi' dengan manna dan pengertian yang syar'i dan wajib tanpa diragukan lagi- tetapi wajibnya adalah wajib kifayah. Jika sebagian ulama telah menanganinya, inaka gugurlah kewajiban ulama lainnya; apalagi bagi para penuntut ilmu dan orang awam."
Oleh karena itu wajib untuk mengambil sikap tengah dengan memperkenalkan fiqhul dengan paham yang syar'i dan benar kepada umat. Dan tidak melibatkan mereka begitu jauh hingga tengelam dalam berita-berita politik, analisa-analisa para pemikir Barat dan fain-lainnya.
Akan tetapi kewajiban (sekarang ini) adalai menyuarakan kembali tentang tashfiyatul Islam (pemurnian kembali dienul Islam) dari perkara-perkara kotor yang menempel kepadanya.
Kemudian melangkah kepada tarbiyatul muslimin (membimbing kaum muslimin) balk perorangan maupun kelompok di atas Islam yang telah bersih tersebut. Dan mengikat mereka dengan manhaj da'wah yang asasi yaitu al-Qur'an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus-shalih. 16
Demikianlah semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua.
  1. Al-Qur'anul Karim dan terjemahannya.
  2. Madarikun Nazhar Fis-Siyasah, karya Abdul Malik bin Ahmad Ramadhani.
  3. Fiqhul Waqi' Baina Nazhariyyah wat Tathbiq, karya Ali Hasan Ali Abdul Hamid.
  4. Soal Jawab Haula Fiqhul Waqi', Syeikh al-Albani.
  5. Fatawa Syar'iyah Abul Hasan al-Mishri.
  6. Tafsir Ibnu Katsir.


Ccatatan Kaki
Mengenai masalah demokrasi serta perangkat-perangkatnya. Silakan baca majalah As-Sunnah no 10 & 11/III 1420.
Coba lihat beberapa dampak negatif lainnya di dalam kitab Madarikun Nazhar fi Siyasah karya Abdul Malik Ar Ramadhani hal 202-229.
Lihat Soal Jawab Fiqhul waqi'; Syeikh Al-Albani, hal: 57-58.

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design