Judhistira Aria Utama
Sudah sejak dulu manusia memandang langit dengan penuh ketakjuban. Bagi
mereka semesta mempunyai daya magis yang memberi pengharapan maupun
mendatangkan kecemasan. Tak heran karenanya semua fenomena langit lantas
diterjemahkan sebagai pekabaran dari para dewa kepada umat manusia di Bumi.
Sebagai sebuah pekabaran, berarti gejala alam tersebut terkait dengan bencana
maupun keberuntungan yang akan di alami oleh suatu bangsa. Catatan sejarah
tentang hal ini misalnya, bertepatan dengan saat Komet Halley menampakkan diri
pada abad ke-11 M. Kala itu Bangsa Norman yang tengah menghadapi peperangan
memperoleh gairah dan semangat bertempur sebab mengartikan penampakan bintang
berekor ini sebagai pertanda kemenangan, dan memang pada akhirnya Bangsa Norman
berhasil mengalahkan musuhnya.
Seiring dengan berjalannya waktu, timbul pengertian dalam diri manusia-dulu
untuk mengatasi desakan kebutuhannya dengan memanfaatkan keteraturan yang
teramati di langit. Kebutuhan itu menyangkut penanggalan untuk penentuan pesta
atau upacara keagamaan, penentuan waktu untuk mulai menabur benih dan waktu
panen saat pola hidup menetap (food gathering) menjadi pilihan, juga
kebutuhan akan kepastian arah pada saat harus mulai mengembara. Peninggalan
dari zaman Megalitikum yang dijumpai di daerah Inggris Utara, Stonehenge,
menunjukkan kepada kita bahwa selain dimanfaatkan sebagai penentu awal tahun,
yakni saat Matahari terbit di titik terjauhnya di utara di banding pada
hari-hari lainnya sepanjang tahun, bangunan berupa batu melingkar ini juga
digunakan sebagai alat prediksi peristiwa gerhana. Orang-orang Mesir Kuno, yang
sezaman dengan era Megalitikum di atas, telah mengetahui bahwa tampaknya Sirius
di langit sebelah timur menjadi pertanda akan pasangnya sungai Nil. Demikian
juga dengan orang-orang Funisia dan Minoan yang menggunakan arah terbit dan
terbenam bintang-bintang sebagai alat navigasi mereka. Selain yang disebutkan
di atas, kita pun mengenal peradaban Babilonia, Cina Kuno, Caldea, Indian Maya
di Amerika Tengah, juga Inca di Peru dengan pemahaman keastronomian dan
matematikanya masing-masing. Singkatnya, manusia-dulu sudah menerapkan
astronomi praktis dalam kehidupannya meskipun keilmuan astronomi sendiri belum
terkodifikasi. Mereka hanya memanfaatkan fakta yang teramati untuk keperluan
praktis keseharian mereka.
Era Yunani Kuno
Meskipun demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa peradaban kuno di atas telah
memberi andil besar dalam meletakkan ide dasar bagi pemahaman kita tentang
semesta. Perenungan yang lebih dalam atas fenomena langit dimulai pada era
Yunani Kuno. Berangkat dari kekaguman atas keindahan geometri lingkaran,
orang-orang Yunani memandang bentuk ini sebagai suatu bangun yang sempurna.
"Tuhan selalu sibuk dengan geometri," demikian kata Plato pada
suatu ketika. Dari keindahan dan harmoni geometri, para pemikir bangsa Yunani
menggunakannya untuk menerjemahkan gerakan benda-benda langit, meskipun baru
pada era Newton (abad ke-17) penjelasan ilmiah untuk persoalan ini tersedia
dengan menggunakan perangkat matematika kalkulus diferensial. Setidaknya ini
memberi gambaran bagi kita bahwa ketajaman intuisi diperlukan untuk bisa
menerangkan sesuatu seperti yang dicontohkan oleh para filosof Yunani di atas.
Ada banyak sumbangan pemikiran yang diwariskan oleh peradaban Yunani Kuno
bagi kita. Pada era itu mereka berani untuk mendobrak pemikiran-pemikiran lama
dan menggantikannya dengan hal-hal baru yang "menantang". Mereka
mulai meninggalkan konsep Bumi datar, yang merupakan warisan terdahulu, dengan
konsep Bumi bulat yang memang terbukti menjelaskan fenomena yang teramati.
Mereka juga tahu bahwa kesegarispandangan Matahari-Bulan dari Bumilah yang
membuat peristiwa gerhana terjadi. Pada abad ke-6 SM, Pythagoras berpendapat
bahwa semua benda langit melakukan gerakan melingkar. Sejalan dengan ide
Pythagoras, Philolaus yang hidup pada abad ke-7 SM menyatakan bahwa alih-alih
diam di tempat, Bumi tempat kita berpijak justru bergerak dan bukan merupakan pusat
alam semesta. Pada masa itu, antara mistik dan pemikiran rasional masih belum
memiliki batas pemisah yang tegas, karenanya tak heran bila Philolaus pun
mengusulkan keberadaan objek yang disebutnya anti-Bumi untuk menggenapi ke
sembilan planet yang telah dikenal pada masa itu. Hal ini tidak lain karena
angka sepuluh bagi mereka menggambarkan kesempurnaan.
Adalah Anaxagoras dari Clazomenae yang dengan lantangnya menyatakan bahwa
sinar Bulan yang sampai ke mata kita adalah pantulan cahaya Matahari yang diterima
permukaannya dan bahwa Matahari sendiri adalah sebuah logam yang bersinar
karena panasnya, alih-alih sebagai dewa. Karena keberaniannya ini, Anaxagoras
harus rela dituduh kafir karena menyebarkan ajaran bid'ah dan mengalami
pembuangan ke Lampsacus. Selain Anaxagoras kita mengenal pula nama Aristarchus
dalam sejarah. Pada abad ke-3 SM, mendukung ide Philolaus tentang Bumi yang
bergerak, Aristarchus menambahkan bahwa Bumi juga berotasi. Ia juga terkenal
karena berhasil mengukur diameter Matahari. Walau hasil yang diperolehnya saat
itu melenceng jauh dari hasil pengukuran modern saat ini, setidaknya pada zaman
itu mereka sudah mempunyai gambaran tentang ukuran relatif benda-benda langit.
Setelah itu, berturut-turut astronom dan matematikawan Yunani seperti
Eratosthenes, Hipparchus, Thales, Apollonius, Aristoteles, dan Ptolomeus
semakin melengkapi khasanah pengetahuan pada masa itu.
Zaman Keemasan Islam
Saat Abad Kegelapan melanda Eropa, kendali atas ilmu pengetahuan berada di
tangan ilmuwan-ilmuwan Dunia Timur. Pada masa itu banyak dilakukan penerjemahan
karya-karya besar para pemikir Yunani ke dalam bahasa Arab oleh ilmuwan-ilmuwan
muslim, termasuk di antaranya karya Ptolomeus yang termasyhur, Almagest.
Dengan Baghdad sebagai pusatnya, budaya keilmuan di Dunia Timur tumbuh dengan
subur. Ada banyak nama yang bisa disebut, misalnya Al-Biruni, yang mendapat
julukan al-Ustadz fil 'Ulum (guru berbagai ilmu), Nasiruddin at-Tusi (hidup
pada akhir abad ke-13 M) yang memodifikasi model semesta episiklus Ptolomeus dengan
prinsip-prinsip mekanika untuk menjaga keseragaman rotasi benda-benda langit,
Al-Khawarizmi yang banyak membuat tabel-tabel untuk digunakan menentukan saat
terjadinya Bulan baru, terbit-terbenam Matahari, Bulan, planet, dan untuk
prediksi gerhana, juga Ibnu Sina yang mewakili dunia kedokteran dengan karya
terbesarnya al-Qanun yang berisi tentang deskripsi peralatan kedokteran dan
cara penyembuhan berbagai penyakit termasuk didalamnya proses pembedahan
(operasi), yang hingga kini masih dijadikan rujukan utama oleh dunia. Beragam
sumbangan para ilmuwan muslim dalam memperkaya bangunan ilmu pengetahuan antara
lain konsep metode ilmiah, matematika trigonometri, sistem bilangan dengan
memperkenalkan angka 0 (nol), peralatan mekanik yang disebut torquetum untuk
menghitung posisi bintang dengan teliti, juga penyempurnaan astrolab, alat yang
digunakan Ptolomeus sebagai penunjuk waktu di malam hari dengan mengukur posisi
bintang-bintang terang. Selain itu kata-kata dari bahasa Arab pun mewarnai
istilah-istilah yang digunakan di dalam astronomi, misalnya zenit, nadir,
almanak, termasuk juga nama-nama bintang seperti Alnitak, Alnilam, dan Mintaka
(tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair, Betelgeus, dan
masih banyak lagi. Sampai saat gemerlap cahaya Dunia Timur mulai meredup, Eropa
menggeliat bangkit membebaskan diri dari kegelapan.
Era Modern
Dengan masuknya Eropa ke zaman Renaisans yang mengagungkan rasionalitas dan
materialisme, arus pemikiran menjadi kian deras. Tinjauan ulang atas
pemikiran-pemikiran lama yang telah diwariskan oleh para pendahulu banyak
dilakukan dalam usaha menyempurnakannya atau malah membuangnya ke dalam tong
sampah. Ada banyak nama-nama besar yang ditorehkan dengan tinta emas dalam
lembar sejarah dunia. Nama-nama seperti Tycho Brahe, Johannes Kepler, Galileo
Galilei, dan Isaac Newton hanyalah sedikit contoh dari panjangnya deretan
"pendekar" yang ada. Tongkat estafet pun terus diserahterimakan
sampai dengan saat ini, hingga kita pun mengenal tokoh monumental di abad XX
yang hadir dalam sosok Hawking.
Manusia di abad ke-20 memandang semesta sudah bukan lagi sebagai pertanda.
Manusia sudah beralih pada pemikiran bahwa langit dan seluruh isinya adalah
objek yang harus dieksplorasi; manusia (baca: astronom) disibukkan dengan pencarian
hukum dan kaidah-kaidah yang mengendalikan daerah ekstrim nun jauh di sana
untuk mengetahui hakikat fisisnya. Lebih jauh lagi, tidak terlepas dari
kepentingan yang menyertai, manusia memandang semesta sebagai sesuatu yang
harus dikuasai. Perjalanan pesawat-pesawat ruang angkasa, baik berawak maupun
tidak, adalah sebagai buktinya. Dan hal tersebut pada saat sekarang sudah bukan
sesuatu yang musykil berkat dukungan kemajuan teknologi yang telah dicapai
peradaban manusia. Pendaratan manusia di Bulan, studi yang intensif atas
tetangga Bumi, Mars, untuk mengetahui peluang menjadikannya sebagai tempat
tinggal kedua atau setidaknya sebagai bahan ajar bagi kemanusiaan di Bumi untuk
bisa menjaga kelestarian Planet Hijau ini, penelitian atas Matahari untuk lebih
memahami keterkaitan aktifitas bintang terdekat ini dengan Bumi, penelitian
atas Matahari untuk lebih memahami keterkaitan aktifitas bintang terdekat ini
dengan Bumi, juga rencana pembangunan pemukiman di Bulan sebagai pangkalan
perjalanan luar angkasa adalah contoh dari agenda-agenda internasional yang
telah, sedang, dan akan diwujudkan. Dan hebatnya, itu semua bukan isapan jempol
belaka sebagaimana pernah diucapkan oleh Robert Goddard bahwa sulit untuk
mengatakan 'tidak mungkin' dalam hidup ini, sebab mimpi hari kemarin adalah
pengharapan di hari ini dan kenyataan esok hari. Sungguh sebuah kalimat yang
indah, yang memberi manusia tenaga lebih untuk terus "bermimpi",
melontarkan pertanyaan-pertanyaan tentang alam yang melingkunginya, hingga dengan
atau pun tanpa sadar ia telah menjalani suatu proses penyadaran tentang betapa
kecil dirinya di tengah semesta yang bergejolak ini.
Adalah kodrati bila manusia memiliki keingintahuan yang tak terpuaskan.
Tidak cukup dengan informasi yang diterima di Bumi pada jendela optik dan
radio, manusia pun mengirimkan wahana ke luar atmosfer dengan "mata"
yang berbeda untuk bisa menangkap sinyal-sinyal lain dari langit. Pada tahun
1970 diluncurkan satelit sinar-X yang pertama, UHURU, yang segera disusul
dengan peluncuran "saudara-saudaranya" seperti ROSAT (Roentgen
Satellite), EINSTEIN, IUE (International Ultraviolet Explorer), IRAS (Infra Red
Astronomical Satellite), HUBBLE dan yang belum lama berselang, peluncuran
observatorium sinar-X landas layang CHANDRA. Dengan makin banyaknya data yang
bisa dikumpulkan, banyak hal yang bisa dipelajari dari langit yang bukan
sekadar kubah setengah bola ini. Penjelajahan alam ini, sebagai suatu kegiatan
terhormat dari homo sapiens, tak ubahnya dengan permainan yang memerlukan
keberanian dan imajinasi. Keberanian untuk terus bertanya hingga menerobos
batas-batas yang telah disusunnya sendiri untuk sampai pada pemahaman tertinggi
dan imajinasi untuk bisa turut merasakan objek-objek yang berada di luar
kuasanya. Manusia masih bertanya dan bertanya. Pekerjaan rumah berupa sejumlah
persoalan yang belum terpecahkan pun menjadi kian bertambah. Teori demi teori
lahir dan tumbang dan belum ada tanda-tanda akhir dari perjalanan panjang dan
agung ini.