Oleh
M. Khoirul Muqtafa
21/03/2002
Persoalan
agama menjadi salah satu isu krusial yang banyak disoroti oleh berbagai
kalangan pasca keruntuhan Orde Baru. Di masa ini kita bisa melihat bagaimana
‘trilogi kerukunan agama’ yang dulu diproklamirkan dan dibangga-banggakan oleh
Orde Baru karena dianggap mampu mewadahi aspirasi dan menyatukan berbagai
kelompok keagamaan yang ada justru berubah menjadi bencana. Konflik keagamaan
bermunculan dan meruyak diberbagai daerah, bak cendawan di musim hujan.
Radikalisme (umat) beragama dipertontonkan secara kasat mata tanpa tedeng
aling-aling oleh berbagai kelompok berbasis agama.
Judul
buku : Wahdat al-Adyan: Dialog Pluralisme Agama Penulis : Fathimah Usman
Penerbit : LKiS Yogyakarta Tgl terbit : April 2002 Jumlah hal : xii+154 halaman
Persoalan
agama menjadi salah satu isu krusial yang banyak disoroti oleh berbagai
kalangan pasca keruntuhan Orde Baru. Di masa ini kita bisa melihat bagaimana
‘trilogi kerukunan agama’ yang dulu diproklamirkan dan dibangga-banggakan oleh
Orde Baru karena dianggap mampu mewadahi aspirasi dan menyatukan berbagai
kelompok keagamaan yang ada justru berubah menjadi bencana. Konflik keagamaan
bermunculan dan meruyak diberbagai daerah, bak cendawan di musim hujan.
Radikalisme (umat) beragama dipertontonkan secara kasat mata tanpa tedeng
aling-aling oleh berbagai kelompok berbasis agama. Pembakaran dan pengeboman
tempat-tempat ibadah, penghancuran fasilitas umum, pembunuhan dan pembantaian
berdarah menjadi sorotan utama yang menghiasi media setiap hari. Tak nampak
lagi wajah agama yang dianggap sebagi pengkhutbah pesan-pesan keselamatan yang
diyakini umatnya mampu menghantarkan umatnya kepada kebahagiaan yang hakiki.
Wajah agama telah berubah menjadi beringas dan sangar.
Fenomena
diatas ditengarai terjadi karena (di samping factor sosio-politik, ekonomi)
masih kukuhnya truth claim dan salvation claim yang terjelmakan kepada monopoli
kebenaran agama yang diusung oleh para agamawan. Mereka mematok harga mati atas
klaim-kalim tersebut. Akibatnya, nyaris tak ada ruang-ruang untuk negosiasi,
diskusi, dan dialog karena argumen yang diangkat selalu undebatable. Munculnya
berbagai doktrin keagamaan yang kaku dan rigid seperti jihad, perang demi
melaksanakan misi suci untuk saling menyingkirkan kelompok lain yang berbeda
adalah konsekuensi logis dari kenyataan di atas. Akibatnya segala tindakan yang
dilakukan atas nama agama kemudian dianggap legitimate. Betapa agama telah
menjadi seekor ‘monster’ yang siap menelan siapa saja yang tidak sejalan
dengannya. Tentunya hal ini menimbulkan satu pertanyaan besar ikhwal pluralitas
sebagai conditio sine quanon masyarakat serta signifikansi dialog yang sering
dikampanyekan oleh para agamawan untuk merajut tali kerukunan dan perdamaian
antar agama.
Isu
keagamaan di ataslah kiranya yang mengoda Fathimah Usman untuk menulis buku
ini. Ia menawarkan sebuah konsep yang sebenarnya “tidak baru” karena sudah
dikenal dalam tradisi sufistik masa lalu, namun konsep ini menarik untuk
ditilik dan ditela’ah kembali. Wahdat al-adyan (kesatuan agama), demikian
konsep tersebut dinamai. Sebagai sebuah konsep wahdat al-adyan mengajarkan
bahwa pada hakikatnya semua agama bertujuan sama dan mengabdi kepada Tuhan yang
sama pula. Perbedaan yang ada hanyalah pada aspek lahiriah yakni
penampilan-penampilan dan tata cara dalam melakukan ibadah dan mendekatkan diri
kepada Tuhan. Dalam konsep ini tidak ada lagi superioritas dan inferioritas
agama karena berasal dari satu sumber yakni Tuhan.
Al-Hallaj,
sosok tokoh sufi yang sangat controversial, disebut-sebut sebagai penggagas
konsep ini, karena konsep ini merupakan merupakan untaian dari teori hulul dan
Nur Muhammad-nya. Keterkaitan antara kedua teori tersebut dengan wahdat
al-adyan sangatlah erat, terutama dengan Nur Muhammad karena menurut al-Hallaj,
Nur Muhammad merupakan jalan hidayah (petunjuk) dari semua Nabi. Karena itu
agama yang dibawa oleh para Nabi pada prinsipnya sama apalagi dalam keyakinan
al-Hallaj, semua Nabi merupakan ‘emanasi wujud’ sebagaimana terumus dalam teori
hulul-nya.
Bagi
al-Hallaj, pada dasarnya agama-agama berasal dari dan akan kembali kepada pokok
yang satu, karena memancar dari cahaya yang satu. Pandangan al-Hallaj tegas
bahwa pada dasarnya agama yang dipeluk oleh seseorang merupakan hasil pilihan
dan kehendak Tuhan bukan sepenuhnya pilihan manusia sendiri. Dan hal ini
merupakan konsekuensi dari kesadaran diri atas ‘kehadiran’ Tuhan di setiap
tempat dalam semua agama. Menurutnya, penyembahan melalui konsep monoteisme
atau politeisme tak masalah bagi Tuhan karena pada dasarnya hanya berkaitan
dengan logika, yakni yang satu dan yang banyak. Dari situ, jika ditelusuri akan
dijumpai kepercayaan-kepercayaan yang apabila ditafsirkan akan mengarah kepada
satu Tuhan.
Dalam
konsep wahdat al-adyan, pengakuan dan penghargaan tradisi-tradisi keagamaan dan
kepercayaan lain sebagai tradisi yang sederajat menjadi sebuah tuntutan. Tak
ada lagi tradisi yang menjadi ‘anak tunggal’ dengan segala privelese yang
dimilikinya. Setiap tradisi keagamaan dan kepercayaan berdiri sama tinggi dan
duduk sama rendah karenanya memiliki hak hidup yang sama. Kalau dalam tradisi
keberagamaan kita masih sering menonjolkan agama sendiri (superioritas diri)
maka wahdat al-adyan menempatkan semua agama pada level dan tingkat yang sama
(egaliter). Konsep ini menegaskan bahwa kesungguhan dalam beragama tidak boleh
disertai dengan anggapan bahwa agama yang lain salah. Hal senada diamini oleh
Paul F. Knitter dalam bukunya No Other Name? A critical Survey of Christian
Attitudes Toward the World Religion bahwa anggapan dengan mengatakan agama yang
yang satu lebih baik dari agama yang lain disebut sebagai sikap yang salah,
ofensif dan menunjukkan pandangan yang sempit. Karena tuntutan kebenaran (truth
claim) terhadap agama sendiri hanya akan menjadikan seseorang
eksklusif-partikular dan hanya akan menimbulkan hubungan yang tidak serasi
antarumat beragama satu dengan yang lain.
Wahdat
al-adyan juga menghilangkan batas-batas dan sekat-sekat yang selama ini menjadi
penghalang (barrier) dalam melakukan dialog dan transformasi nilai-nilai
universal antar agama. Dalam konsep ini rasa saling mencurigai dan meng
(di)awasi (oleh) yang lain harus dibuang jauh-jauh mengingat sikap seperti ini
sering memunculkan ketegangan dan disharmoni sebuah hubungan yang selama ini di
bangun bersama. Wahdat al-adyan merupakan konsep yang sangat fair karena ia
sangat respek terhadap umat beragama lain, karena terasa sama sekali tidak ada
‘jarak’ antara yang satu dengan yang lain.
Konsep
al-Hallaj ini, memaknai pluralisme lebih sebagai upaya bagaimana memahami dan
menghormati sebuah perbedaan bukan mempermasalahkan perbedaan. Namun bukan
berarti konsep ini menghendaki usaha penyatuan agama (sinkretis) atau
pencampuradukan agama-agama atau mempersalahkan melompat-lompat dari satu agama
ke agama yang lain, justru konsep ini menghendaki sesesorang memeluk dengan
konsekuen agama yang diyakininya tanpa embel-embel dan pemberian label
(stereotype) negatif terhadap agama yang lain. Wahdat al-adyan mengandaikan terciptanya
sebuah iklim keberagamaan yang saling terbuka satu sama lain, saling belajar,
mengedepankan sikap inklusifitas untuk kemudian di wujudkan dalam tindakan dan
aksi yang jelas.
***
*
Buku
Fathimah Usman ini memang menarik untuk dibaca. Selain gaya bahasanya yang enak
juga pembahasannya tidak njlimet dan bertele-tele. Buku ini tersusun atas empat
bab. Diawali dengan penelusuran konsep wahdat al-adyan dan latar belakang
social politik keagamaan yang mendasari kemunculannya, bab pertama juga membahas
sekilas tentang al-Hallaj sebagai pencetus konsep ini. Bab kedua membahas
tentang Islam, agama-agama dan tantangan praksisnya pada era modern yang
dilanjutkan dengan mengupas konsep pluralisme agama dan penafsirannya dalam
al-Qur’an. Pada bab ketiga, dikupas secara gamblang perihal situasi dan kondisi
keberagamaan di Indonesia yang dipungkasi dengan refleksi filosofis-etis bagi
keberagamaan di Indonesia.
Apa
yang ditawarkan dalam buku ini, yakni wahdat al-adyan, memang layak
diapresiasi. Mengingat kondisi kehidupan keberagamaan di negara kita sedang
dalam kondisi ‘sakit parah ’ dan sedang membutuhkan obat. Walaupun buku ini
hanya menawarkan sebuah konsep dari berbagai konsep tentang pluralisme agama,
buku ini senantiasa akan menjadi salah satu kitab rujukan utama yang tak kalah
dibanding dengan buku-buku yang lain. Tentunya kehadiran buku ini telah
memberikan sumbangsih yang tidak sedikit dalam rangka menggagas perdamaian yang
dicita-citakan. Diharapkan dengan berkembang dan membuminya konsep ini, maka konflik
keagamaan akan mampu diminimalisir dan diantisipasi sedini mungkin sehingga
kerukunan dan perdamaian bukanlah sebuah mimpi belaka. Semoga. Wallahu a’lam bi
Ash-shawab.