Pertaruhan Integritas Kiai



Oleh Agus Muhammad
14/06/2004

Kiai adalah simbol moral. Ia bukan sekadar gelar intelektual, tetapi terutama representasi dari sebuah integritas. Namun eksistensi kiai sebagai simbol moral kini mulai dipersoalkan. Disamping banyak kiai yang terjun ke politik, sebagian diantara mereka bahkan mengeluarkan fatwa yang sangat kontroversial: mengharamkan memilih presiden perempuan.

Sebagaimana dilansir sejumlah media, fatwa itu dihasilkan dari sebuah pertemuan tertutup awal Juni lalu di kediaman KH Mas Subadar, Pengasuh Pondok Pesantren Raudlatul Ulum, Pasuruan. Hadir dalam pertemuan itu sejumlah kiai khos antara lain KH Abdulah Faqih (Langitan), KH Soleh Qosim (Wakil Syuriah PBNU), KH Khotib Umar (Jember), KH Idris Hamid (Pasuruan), serta sejumlah kiai lainnya se-Jawa Timur.

Fatwa itu menjadi semakin kontroversial karena pada saat yang sama, para kiai itu secara terang-terangan memberikan dukungan terhadap Wiranto dan Solahuddin Wahid. Tidak aneh jika orang menduga adanya muatan politis di dalamnya. Dan bisa dipahami jika fatwa itu lalu melahirkan cibiran karena dianggap menjual agama untuk kepentingan politik.

Fatwa semacam itu memang bukan isu baru dalam kehidupan politik di Indonesia. Fatwa yang hampir sama sudah pernah muncul lima tahun silam. Bahkan dalam tradisi politik di Indonesia sering terjadi apa yang disebut “perang ayat” terutama memasuki masa kampanye.

Persoalannya menjadi lebih krusial bukan hanya karena ada kandidat presiden perempuan, tetapi juga karena pemilihan presiden kini dilakukan secara langsung. Dalam pemilihan langsung, rakyat akan menjadi hakim tertinggi untuk menentukan siapa kandidat yang dianggap paling layak untuk menjadi presiden. Dan ukuran kelayakan tidak hanya ditentukan oleh kapabilitas kandidat yang bersangkutan, tetapi juga dipengaruhi oleh opini publik. Dan fatwa itu termasuk salah satunya.

Sebagai fatwa, apa yang diputuskan oleh sejumlah kiai itu memang tidak memiliki daya paksa untuk diikuti. Apalagi umat Islam sebagai obyek fatwa itu sudah memiliki rujukan sendiri dalam menentukan pilihannya. Dalam masalah keagamaan barangkali sebagian umat Islam masih menjadikan kiai sebagai satu-satunya rujukan. Namun dalam masalah politik, kiai bukan lagi satu-satunya rujukan.

Namun tetap saja fatwa itu krusial, karena di belakang para kiai itu ada sejumlah ummat yang sebagian diantaranya merasa terikat secara moral untuk mengikuti fatwa itu. Mau tidak mau ini akan semakin mempertajam polarisasi umat yang memang sudah terfragmentasi dalam masalah pemilihan presiden. Apalagi komunitas nahdliyin khususnya tidak cukup memiliki kesadaran politik untuk memahami dan memaklumi perbedaan pilihan politik. Ini bisa melahirkan ketegangan di tingkat akar rumput. Jika tidak tidak diantisipasi dengan baik, ketegangan itu bisa berubah menjadi konflik. Lagi-lagi, umat hanya kena getahnya.

Inilah yang sejak awal dikuatirkan oleh Dewan Syuriah PBNU. Jauh-jauh hari Dewan Syuriah telah mengantisipasi kemungkinan buruk itu dengan keputusan luar biasa yang lahir dari pertemuan Rembang pertengahan Mei lalu. Keputusan yang diambil Dewan Syuriah PBNU itu bukan sekadar bersikap netral terhadap semua calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) tetapi juga diikuti kebijakan-kebijakan lain yang tak kalah pentingnya. KH Hasyim Muzadi dan KH Solahuddin Wahid dinonaktifkan sementara dari jabatan keduanya di PBNU. Hal yang sama berlaku bagi seluruh pengurus NU di semua tingkatan yang menjadi Tim Sukses capres-cawapres tertentu. Mereka juga dilarang mengeluarkan pernyataan maupun fatwa yang mendukung salah satu capres-cawapres, apalagi menggunakan institusi maupun fasilitas NU untuk kekepentingan kampanye.

Mengapa keputusan Dewan Syuriah PBNU tidak ditaati oleh para kiai di tingkat lokal? Salah satu yang belum banyak diketahui orang adalah bahwa para kiai tidak identik dengan NU. Secara kultural mereka memang bisa diidentifikasi sebagai bagian dari NU. Namun, secara struktural, tidak semua kiai menjadi pengurus NU. Padahal, keputusan Dewan Syuro dalam pertemuan Rembang itu hanya ditujukan kepada para pengurus NU. Para kiai NU yang tidak duduk dalam kepengurusan NU memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan politiknya, termasuk mengeluarkan fatwa. Hal ini dijamin oleh khittah 1926 yang mengambil jarak terhadap semua keputusan politik.

Bagi kalangan tertentu dalam komunitas NU, khittah 1926 memang sering dipahami secara ekstrem sebagai anti-politik. Namun rasanya mustahil memisahkan warga NU dari politik. Bahkan keputusan kembali ke khittah sendiri sebetulnya tak lebih dari keputusan politik. Yang ingin ditekankan dari khittah adalah memberi kebebasan kepada warga NU untuk terlibat politik tetapi tidak boleh menyeret NU dalam kubangan politik praktis.

Hal ini dipertegas dalam keputusan Rembang. NU secara kelembagaan mengambil jarak terhadap proses perebutan kekuasaan agar bisa menjadi wasit dalam proses-proses politik baik sewaktu kekuasaan itu diperebutkan maupun ketika kekuasaan mulai dijalankan.

Di atas itu semua, keputusan Rembang merupakan upaya serius untuk memberikan pendidikan politik kepada warga NU khususnya. Dari situlah warga NU akan belajar demokrasi dalam arti yang sesungguh­nya, bahwa mereka punya hak politik yang harus diputuskan sendiri tanpa intervensi pihak lain. Apa pun pilihan politik mereka akan sangat penting dalam menentukan hitam putihnya negara ini, paling tidak dalam lima tahun ke depan. Pilihan mereka, sebagaimana juga pilihan rakyat pada umumnya, akan membawa risiko tertentu dalam kehidupan mereka. Inilah pendidikan politik secara tidak langsung.

Selama ini, yang terjadi pada rakyat bukan pendidikan politik, tetapi justru pembodohan. Rakyat terus menerus didikte dalam menentukan pilihan. Rakyat selalu diposisikan sebagai obyek; tidak hanya oleh negara, partai politik, ormas, tetapi juga oleh pemimpin informal di masyarakat.

Sayangnya, keputusan Rembang tidak memiliki daya paksa terhadap para kiai yang berada di luar struktur kepengurusan NU. Sehingga NU tidak bisa berbuat apa-apa terhadap fatwa yang diputuskan oleh sejumlah kiai lokal. Padahal, fatwa itu jelas-jelas bertentangan dengan keputusan Musyawarah Nasional NU di NTB 1997.

Mengapa para kiai ikut-ikutan terlibat dalam urusan dukung mendukung bahkan mengeluarkan fatwa segala? Ketika kiai terjun dalam politik, maka ia sesungguhnya sedang mempertaruhkan integritasnya. Jika berhasil memelihara eksistensinya sebagai simbol moral di tengah hiruk pikuk politik yang cenderung busuk, maka integritasnya akan semakin diakui. Jika tidak, maka ia harus rela menanggalkan simbol moral itu dengan risiko ditinggalkan oleh umatnya.

Menghadapi pemilu presiden, para kiai di tingkat lokal memang dihadapkan pada pilihan sulit. Di satu pihak, ia harus menjaga integritasnya sebagai simbol moral dengan bersikap netral terhadap para kandidat presiden dan wakil presiden.

Di pihak lain, mereka setiap hari berhadapan langsung dengan umat yang selalu bertanya mengenai pemilu. Mereka tidak punya banyak pilihan sehingga akhirnya harus menentukan pilihan politiknya. Apalagi kiai juga mendapat keuntungan melalui konsesi-konsesi tertentu dari capres-cawapres yang didukungnya.

Sayangnya, mereka menggunakan cara yang kurang elegan sehingga pendidikan politik yang diusahakan Dewan Syuriah PBNU menjadi kurang berarti. Namun Dewan Syuriah tidak perlu berkecil hati. Bukankah fatwa itu hanya dikeluarkan oleh sekelompok kiai yang sudah bisa ditebak motif politisnya? Wallahu a’lam.


Agus Muhammad, alumnus Pondok Pesantren Nurul Jadid Probolinggo, sekarang bekerja di Perhim­pun­an Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M), Jakarta.

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design