Written by Hamid Fahmy
Saturday, 20 August 2005
Pikiran yang menganggap semua agama itu sama telah lama
masuk ke Indonesia dan beberapa negara
Islam lainnya. Tapi akhir-akhir ini pikiran itu menjelma menjadi sebuah paham
dan gerakan “baru” yang kehadirannya serasa begitu mendadak, tiba-tiba dan
mengejutkan. Ummat Islam seperti mendapat kerja rumah baru dari luar rumahnya
sendiri. Padahal ummat Islam dari sejak dulu hingga kini telah biasa hidup
ditengah kebhinekaan atau pluralitas agama dan menerimanya sebagai realitas
sosial. Piagam Madinah dengan jelas sekali mengakomodir pluralitas agama saat
itu dan para ulama telah pula menjelaskan hukum-hukum terkait. Apa sebenarnya
dibalik gerakan ini?
Sebenarnya paham inipun bukan baru. Akar-akarnya seumur
dengan akar modernisme di Barat dan gagasannya timbul dari perspektif dan
pengalaman manusia Barat. Namun kalangan ummat Islam pendukung paham ini
mencari-cari akarnya dari kondisi masyarakat Islam dan juga ajaran Islam.
Kesalahan yang terjadi, akhirnya adalah menganggap realitas kemajmukan
(pluralitas) agama-agama dan paham pluralisme agama sebagai sama saja. Parahnya, pluralisme agama malah dianggap
realitas dan sunnatullah. Padahal keduanya sangat berbeda. Yang pertama
(pluralitas agama) adalah kondisi dimana berbagai macam agama wujud secara
bersamaan dalam suatu masyarakat atau Negara. Sedangkan yang kedua (pluralisme
agama) adalah suatu paham yang menjadi tema penting dalam disiplin sosiologi,
teologi dan filsafat agama yang berkembang di Barat dan juga agenda penting
globalisasi.
Solusi Islam terhadap adanya pluralitas agama adalah
dengan mengakui perbedaan dan identitas agama masing-masing (lakum dinukum wa
liya din). Tapi solusi paham pluralisme agama diorientasikan untuk
menghilangkan konflik dan sekaligus menghilangkan perbedaan dan identitas
agama-agama yang ada. Jadi menganggap pluralisme agama sebagai sunnatullah
adalah klaim yang berlebihan dan tidak benar. Dalam paham pluralisme agama yang
berkembang di Barat sendiri terdapat sekurang-kurangnya dua aliran yang
berbeda: yaitu paham yang dikenal dengan program teologi global (global
theology) dan paham kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of
Religions). Kedua aliran ini telah membangun gagasan, konsep dan prinsip
masing-masing yang akhirnya menjadi paham yang sistemik. Karena itu yang satu
menyalahkan yang lain.
Munculnya kedua aliran diatas juga disebabkan oleh dua
motif yang berbeda, meskipun keduanya muncul di Barat dan menjadi tumpuan perhatian
masyarakat Barat. Bagi aliran pertama yang umumnya diwarnai oleh kajian
sosiologis motif terpentingnya adalah karena tuntutan modernisasi dan
globalisasi. Karena pentingnya agama di era globalisasi ini maka hubungan
globalisasi dan agama menjadi tema sentral dalam sosiologi agama. Tentang
hubungan antara agama dan globalisasi bisa dibaca dari Religion and
Globalization, karya Peter Bayer, Islam,
Globalization and Postmodernity, karya Akbar S Ahmed dan H. Donnan, The
Changing Face of Religion, karya James A Beckford dan Thomas Luckmann atau
Religion and Global Order, oleh Ronald
Robertson dan WR. Garet.
Nampaknya agama dianggap sebagai kendala bagi program
globalisasi. Tidak aneh jika kini seminar tentang dialog antar agama, global
ethic, religious dialogue yang diadakan oleh World Council of Religions dan
lembaga lain sangat marak diseluruh dunia. Organisasi non pemerintah (NGO) di
dunia ketiga pun mendapat kucuran dana dengan mudah. Bukti bahwa Barat
berkepentingan dengan paham ini dapat dilihat dari tema yang diangkat jurnal
rintisan oleh Zwemmer The Muslim World
pada edisi terkininya (volume 94 No.3, tahun 2004). Jurnal missionaris
itu menurunkan tema pluralisme agama dengan fokus dialog Islam Kristen. Sudah
tentu disitu framework Barat sangat dominan.
Berbeda dari motif aliran pertama yang diwarnai
pendekatan sosiologis, motif aliran kedua yang didominasi oleh pendekatan
filosofis dan teologis Barat justru kebalikan dari motif aliran pertama.
Kalangan filosof dan teolog justru menolak arus modernisasi dan globalisasi
yang cenderung mengetepikan agama itu dengan berusaha mempertahankan tradisi
yang terdapat dalam agama-agama itu. Yang pertama memakai pendekatan
sosiologis, sedangkan yang kedua memakai pendekatan religious filosofis.
Solusi yang ditawarkan kedua aliran inipun berbeda.
Berdasarkan motif sosiologis yang mengusung program globalisasi, aliran pertama
menawarkan konsep dunia yang tanpa batas geografis cultural, ideologis,
teologis, kepercayaan dan lain-lain. Artinya identitas kultural, kepercayaan
dan agama harus dilebur atau disesuaikan dengan zaman modern. Kelompok ini
yakin bahwa agama-agama itu berevolusi dan nanti akan saling mendekat yang pada
akhirnya tidak akan ada lagi perbedaan antara satu agama dengan lainnya.
Agama-agama itu kemudian akan melebur menjadi satu. Berdasarkan asumsi itu maka
John Hick, salah satu tokoh terpentingnya, segera memperkenalkan konsep
pluralisme agama dengan gagasannya yang ia sebut global theology. Selain Hick diantara tokohnya yang terkenal
adalah Wilfred Cantwell Smith, pendiri McGill Islamic Studies. Tokoh-tokoh lain
dapat dilihat dari karya Hick berjudul Probblems of Religious Pluralism. Pada
halaman dedikasi buku ini John Hick menulis yang terjemahannya begini: “Kepada
kawan-kawan yang merupakan nabi-nabi pluralisme agama dalam berbagai tradisi
mereka: Masau Abe dalam agama Buddha, Hasan Askari dalam Islam, Ramchandra
Gandhi dalam agama Hindu, Kushdeva Singh dalam agama Sikh, Wilfred Cantwell
Smith dalam agama Kristen dan Leo Trepp dalam agama Yahudi.
Solusi yang ditawarkan oleh aliran kedua adalah
pendekatan religious filosofis dan
membela eksistensi agama-agama. Bagi kelompok ini agama tidak bisa di rubah
begitu saja dengan mengikuti zaman globalisasi, zaman modern ataupun
post-modern yang telah meminggirkan agama itu. Agama tidak bisa dilihat hanya
dari perspektif sosilogis ataupun histories dan tidak pula dihilangkan
identitasnya. Kelompok ini lalu memperkenalkan pendekatan tradisional dan
mengangkat konsep-konsep yang diambil secara parallel dari tradisi agama-agama.
Salah satu konsep utama kelompok ini adalah konsep sophia perrenis atau dalam
bahasa Hindu disebut Sanata Dharma atau dalam Islam disebut al-Hikmah
al-khalidah. Konsep ini mengandung pandangan bahwa di dalam setiap agama terdapat
tradisi-tradisi sakral yang perlu dihidupkan dan dipelihara secara adil, tanpa
menganggap salah satunya lebih superior dari pada yang lain. Agama bagi aliran
ini adalah bagaikan “jalan-jalan yang mengantarkan ke puncak yang sama” (“all
paths lead to the same summit). Tokoh pencetus dan pendukung paham ini adalah
René Guénon (m. 1951), T. S. Eliot (m. 1965), Titus Burckhardt (m. 1984),
Fritjhof Schuon (m.1998), Ananda K. Coomaraswamy (m. 1947), Martin
Ling, Seyyed Hossein Nasr, Huston Smith, Louis Massignon, Marco Pallis (m.
1989), Henry Corbin, Jean-Louis Michon, Jean Cantein, Victor Danner, Joseph E.
Brown, William Stoddart, Lord Northbourne, Gai Eaton, W. N. Perry, G. Durand,
E. F. Schumacher, J. Needleman, William C. Chittick dan lain-lain.
Karena keterbatasan ruang ISLAMIA edisi ketiga ini baru
dapat menghadirkan kajian kritis terhadap aliran kedua yaitu paham yang
mengusung ide kesatuan transenden agama-agama (Transcendent Unity of
Religions). Untuk lebih mengenal asal usul dan konsep dasar paham ini kami
hadirkan kajian Adnin Armas terhadap doktrin transendentalis dari penggagas
awalnya yaitu Fritjhof Schuon yang diilhami oleh Rene Guenon (baca: Gagasan
Frithjof Schuon tentang Titik-Temu Agama-Agama). Disitu ia mengangkat topik tentang metafisika,
epistemoligi, pendekatan esoterik dan eksoterik. Schuon yang dikabarkan masuk
Islam itu mempunyai pengikut fanatik dari cendekiawan Muslim asal Iran yaitu
Seyyed Hossein Nasr. Beliaulah yang menterjemahkan istilah philosophia perrenis
itu menjadi al-hikmah al-khalidah. Sebenarnya ide-ide Guenon, Schuon dan Nasr
adalah parallel, ketiganya mendukung paham kesatuan transenden agama-agama.
Pemikiran pluralis S.H.Nasr ini dikaji secara kritis oleh Dr. Anis Malik Toha
(baca: Seyyed Hossein Nasr: Mengusung “Tradisionalisme” Membangun Pluralisme
Agama).
Selain itu aspek penting paham ini adalah pendekatannya
yang diambil dari pengalaman spiritual dari tradisi mistik yang terdapat dalam
tradisi agama-agama. Dalam kasus Islam mereka mengambil pengalaman spiritual dari
tradisi sufi. Untuk menguji klaim mereka bahwa para sufi itu pluralis Sani
Badron mengupas pandangan tokoh Sufi terkenal yang sering mereka kutip, yaitu
Ibn ‘Arabi. Kajian langsung terhadap karya-karya utamanya ini mengungkapkan
pandangan Ibn ‘Arabi terhadap agama-agama selain Islam. (baca: Ibn ‘Arabi
tentang Pluralisme Agama).
Meskipun kajian-kajian diatas telah merespon paham
pluralisme agama dengan menggunakan framework pemikiran Islam, namun respon
dari sumber yang lebih otoritatif masih diperlukan. Untuk itu kami hadirkan
pandangan Prof. Syed Muhammad Naquib al-Attas tentang konsep-konsep asas Islam
seperti tentang wahyu, tentang Tuhan, tentang konsep tawhid dan lain-lain.
Dengan eksposisi konsep-konsep itu al-Attas menyimpulkan bahwa paham pluralisme
agama tidak sesuai dengan Islam. Tulisan ini kami cuplik dan terjemahkan dari
karya beliau Prolegomena To the Metaphysic of Islam. (baca: Respon Islam
terhadap Konsep Kesatuan Agama-agama). Untuk menjelaskan pemikiran al-Attas
secara lebih dalam dan luas tentang makna Islam sebagai din kami hadirkan
tulisan Dr. Fatimah Abdullah yang berjudul Konsep Islam sebagai Din, Kajian
terhadap Pemikiran Prof.Dr.SMN. al-Attas. Sedangkan untuk penjelasan lebih
lanjut tentang respon Islam terhadap paham kesatuan transenden agama-agama,
kami hadirkan kritik dan analisa Wan Azhar
terhadap doktrin Transcendent Unity of Religion (baca: Kesatuan
Transenden Agama-agama, Sebuah Respon Awal). Disitu argumentasi Prof. Al-Attas dielaborasi sehingga menjadi lebih jelas.
Dari beberapa kajian diatas barangkali muncul suatu kesan
bahwa kritik terhadap paham pluralisme agama cenderung diwarnai oleh sikap
anti-Barat. Namun kesan ini nampak tergesa-gesa dan justru nampak lebih
cenderung merupakan sikap mental yang ter-Barat kan dari pada obyektif. Sebab
paham pluralisme agama yang dibawa oleh arus pemikiran globalisasi Barat modern
dan post-modern ternyata juga menuai kritik dari paham pluralisme agama yang
dimotivasi oleh keinginan untuk menghidupkan tradisi dalam agama-agama di Timur.
Dalam kondisi pemikiran yang problematik ini sangatlah bijaksana jika kita
tidak ke Barat dan tidak ke Timur, tapi kembali kepada Islam.