Adian Husaini
Nama Samuel P Huntington identik dengan wacana clash of civilizations, meskipun wacana ini sudah diluncurkan oleh Bernard Lewis, melalui artikelnya berjudul The Roots of Muslim Rage di jurnal Atlantic Monthly, September 1990. Artikel Lewis ini merupakan persiapan untuk menentukan siapa ''musuh baru'' Barat pasca Perang Dingin.
Huntington kemudian mempopulerkan wacana Lewis. Pemikirannya tentang clash of civilizations khususnya antara Islam dengan Barat masih terus menjadi perbincangan luas. Bukan karena kualitas ilmiah wacana populer tersebut, tetapi karena banyaknya kecocokan antara pemikiran dan saran Huntington dengan perkembangan politik global saat ini. Khususnya, kebijakan politik Barat (terutama AS) terhadap Islam.
Buku terkenalnya, The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order, lebih ditujukan sebagai bahan nasihat bagi pengambil kebijakan politik Barat, khususnya AS, dan bukan untuk satu kajian ilmiah dalam ilmu sosial.
Ia menulis dalam pengantar bukunya: This book is not intended to be a work of sosial science. It is instead meant to be an interpretation of the evolution of global politics after the Cold War. It aspires to present a framework, a paradigm, for viewing global politics that will be meaningful to scholars and useful to policymakers.
Kini, Huntington kembali meluncurkan buku barunya, berjudul Who Are We?: The Challenges to America's National Identity (New York: Simon&Schuster, 2004). Huntington adalah ilmuwan politik dari Harvard University yang juga dikenal sebagai penasihat politik kawakan Gedung Putih. Di samping pernah menduduki jabatan-jabatan prestisius di bidang akademis, Huntington juga aktif terlibat dalam perumusan kebijakan luar negeri AS. Tahun 1977-1978 ia bekerja di Gedung Putih sebagai Coordinator of Security Planning for the National Security Council.
Jika di dalam The Clash of Civilizations Huntington masih tidak terlalu tegas menyebut ''Islam'' sebagai alternatif musuh baru bagi Barat, maka dalam bukunya, Who Are We? ia menggunakan bahasa yang lebih lugas, bahwa musuh utama Barat pasca Perang Dingin adalah Islam yang ia tambah dengan predikat ''militan''. Namun, dari berbagai penjelasannya, definisi ''Islam militan'' melebar ke mana-mana, ke berbagai kelompok dan komunitas Islam, sehingga definisi itu menjadi kabur.
Dalam Who Are We? Huntington menempatkan satu sub-bab berjudul Militant Islam vs America, yang menekankan, bahwa saat ini, Islam militan telah menggantikan posisi Uni Soviet sebagai musuh utama AS. (This new war between militant Islam and America has many similarities to the Cold War). Jadi, Huntington memang menggunakan istilah ''perang'' (war) antara AS dengan Islam militan. Jika saat berperang dengan Uni Soviet yang memiliki persenjataan seimbang dengan AS, masih digunakan istilah ''Perang Dingin'' maka sekarang predikat ''Dingin'' sudah tidak ada lagi.
Penggunaan istilah war merupakan refleksi kebijakan baru politik AS sebagaimana disarankan Huntington. Saat berdialog dengan Anthony Giddden, pada late spring 2003, Huntington mendukung dilakukannya preemptive strike terhadap kaum militan. Nasihat Huntington memang telah dijalankan. Pada awal Juni 2002, doktrin preemptive strike (serangan dini) dan defensive intervention (intervensi defensif) secara resmi diumumkan. Melalui doktrin ofensifnya yang baru ini, AS telah mengubah secara radikal pola ''peperangan'' melawan ''musuh''. Sebelumnya, di masa Perang Dingin saat menghadapi komunis, AS menggunakan pola containtment (penangkalan) dan deterrence (penangkisan). Kini menghadapi musuh baru yang diberi nama Islam militan AS menggunakan pola preemptive strike dan defensive intervention.
Dari kasus doktrin preemptive strike ini tampak bagaimana pola pikir ''bahaya Islam'' atau ''ancaman Islam'' yang dikembangkan ilmuwan seperti Huntington, berjalan cukup efektif. Dengan doktrin itu, AS dapat melakukan berbagai serangan ke sasaran langsung, meskipun tanpa melalui persetujuan PBB. Pola pikir Huntington, bahwa ''Islam'' lebih berbahaya dari ''komunis'' juga tampak mewarnai kebijakan politik dan militer AS tersebut.
Tentu saja, yang penting kemudian adalah pendefinisian siapa yang dimaksud sebagai ''musuh baru yang lebih bahaya dari komunis?'' Dalam Who Are We? Huntington menyebut, yang disebut sebagai Islam militan bukan hanya Usamah bin Ladin atau kelompok Alqaidah. Tetapi, banyak kelompok lain yang bersifat negatif terhadap AS. Kata Huntington, sebagaimana dilakukan oleh Komunis Internasional dulu, kelompok-kelompok Islam militan melakukan protes dan demonstrasi damai, dan partai-partai Islam ikut bertanding dalam pemilihan umum. Mereka juga melakukan kerja-kerja amal sosial.
Dengan definisi dan penggambaran seperti itu, banyak kelompok Islam yang dimasukkan ke dalam kategori militan, dan layak diserang secara dini. Tanpa menampilkan sebab-sebab dan fakta yang komprehansif, misalnya, Huntington menulis, bahwa selama beberapa dekade terakhir, kaum Muslim memerangi kaum Protestan, Katolik, Kristen Ortodoks, Hindu, Yahudi, Budha, atau Cina. (In recent decades, Muslims have fought Protestan, Catholic, and Orthodox Christians, Hindus, Jews, Buddhists, and Han Chinese). Ia tidak menjelaskan, apakah dalam kasus-kasus itu kaum Muslim diperangi dan dizalimi, atau Muslim yang memerangi. Dalam menyinggung kasus Bosnia, misalnya, dia tidak memaparkan bagaimana kaum Muslim menjadi korban kebiadaban yang tiada tara di Bosnia. Dan ketika itu, AS dan sekutunya menjadi penonton yang baik pembasmian umat Muslim.
Samantha Power, dalam bukunya A Problem from Hell: America and The Age of Genocide (London: Flamingo, 2003), membongkar habis-habisan sikap tidak peduli AS terhadap praktik pembasmian umat manusia di berbagai tempat, termasuk di Bosnia. Buku ini memenangkan hadiah Pulitzer tahun 2003. Dalam kasus Bosnia, tulis Samantha, AS bukan hanya tidak berusaha menghentikan pembasmian etnis Muslim, tetapi malah memberi jalan kepada Serbia untuk melaksanakan kebiadaban mereka. (Along with its European allies, it maintained an arms embargo against the Bosnian Muslims from defending themselves). Untuk Bosnia, Samanta yang menjadi saksi berbagai kebiadaban Serbia di Bosnia, menulis judul Bosnia: No More than Witnesses at a Funeral.
Sebagaimana ilmuwan ''neo-orientalis'' lainnya, seperti Bernard Lewis, Huntington juga tidak mau melakukan kritik internal terhadap kebijakan AS yang imperialistik sebagaimana banyak dikritik oleh ilmuwan-ilmuwan seperti Noam Chomsky, Paul Findley, dan Edward Said. Ia tidak mengakui bahwa kebijakan AS yang membabi buta mendukung kekejaman dan penjajahan Israel adalah keliru dan menjadi satu sebab penting tumbuhnya ketidakpuasan dan kemarahan kaum Muslim dan umat manusia. Ia hanya mau menunjukkan bahwa Islam adalah potensi musuh besar dan bahaya bagi Barat dan AS khususnya. Ia menampilkan polling di sejumlah negeri Islam yang menunjukkan, sebagian besar kaum Muslim sangat tidak menyukai kebijakan AS. Misal, sebuah polling di sembilan negara Islam, antara Desember 2001-Januari 2002, menampilkan realitas opini di kalangan Muslim, bahwa AS adalah ''kejam, agresif, sombong, arogan, mudah terprovokasi dan bias dalam politik luar negerinya.''
Tetapi, Huntington tidak mau menampilkan fakta bahwa kebencian masyarakat Barat (Eropa dan rakyat AS sendiri) terhadap kebijakan-kebijakan politik AS juga sangat besar. Bahkan, jauh lebih besar dari apa yang terjadi di kalangan Muslim. Di dunia Islam, tidak ada demonstrasi besar-besaran diikuti ratusan ribu sampai jutaan orang dalam menentang AS seperti yang terjadi di berbagai negara Eropa dan di dalam AS sendiri. Banyak ilmuwan dan tokoh AS, seperti Chomsky, William Blum, yang tanpa ragu-ragu memberi julukan AS sebagai a leading terrorist state, atau a rogue state. Karena itu, sangatlah naif, bahwa ilmuwan seperti Huntington ini justru mencoba menampilkan fakta yang tidak fair dan sengaja membingkai Islam sebagai musuh baru AS. Bahkan ia menyatakan, The rhetoric of America's ideological war with militant communism has been transferred to its religious and cultural war with militant Islam.
Huntington, Bernard Lewis, dan kawan-kawannya terus berkampanye agar negara-negara Barat lain juga mengikuti jejak AS dalam memperlakukan Islam sebagai alternatif musuh utama Barat, setelah komunis. John Vinocur, dalam artikelnya berjudul Trying to Put Islam on Europe's Agenda, (International Herald Tribune, 21 September 2004), mencatat, But Huntington insists Europe's situation vis-a-vis Islam is more acute. Skenario inilah yang dirancang kelompok ''neo-konservatif'' di AS, yang beranggotakan Yahudi-Zionis, Kristen fundamentalis, dan ilmuwan konfrontasionis. (Lihat buku The High Priests of War (Washington DC: American Free Press, 2004), karya Michel Colin Piper).
Tanpa pendefinisian yang jelas terhadap ''Islam militan'', maka itu akan menyeret kaum Muslim lainnya. Itu, misalnya, menimpa Thariq Ramadhan dan Yusuf Islam, yang dilarang memasuki AS. Begitu juga ribuan warga Muslim yang menerima perlakuan tidak manusiawi. Dalam sub-bab berjudul The Search for an Enemy, Huntington mencatat, bahwa pasca Perang Dingin, AS memang melakukan pencarian musuh baru, yang kemudian menemukan musuh baru bernama ''Islam militan'', setelah peristiwa WTC. Huntington menulis: Some Americans came to see Islamic fundamentalist groups, or more broadly political Islam, as the enemy, epitomized in Iraq, Iran, Sudan, Libya, Afghanistan under Taliban, and to lesser degree other Muslim states, as well as in Islamic terrorist groups such as Hamas, Hezbollah, Islamic Jihad, and the al-Qaeda networkThe cultural gap between Islam and America's Christianity and Anglo-Protestanism reinforces Islam's enemy qualifications. And on September 11, 2001, Osama bin Laden ended America's search. The attacks on New York and Washington followed by the wars with Afghanistan and Iraq and more diffuse war on terrorism make militant Islam America's first enemy of the twenty-first century.
Di sini, tampak, bahwa sangatlah sulit dunia Islam menerima standar AS dalam soal Islam militan. Dunia Islam, misalnya, tetap menolak memasukkan Hamas atau Jihad Islam di Palestina, sebagai kelompok teroris, sebab mereka melakukan perjuangan membebaskan negeri mereka dari penjajahan Israel. Buku Who Are We? memang masih merupakan kelanjutan garis berpikir Huntington dalam soal Islam dari buku The Clash of Civilizations. Sebagaimana Lewis, Huntington sudah jauh-jauh hari mengingatkan Barat agar mereka waspada terhadap perkembangan Islam. Sebab, Islam adalah satu-satunya peradaban yang pernah menggoyahkan dan mengancam peradaban Barat. (Islam is the only civilization which has put the survival of the West in doubt, and it has done at least twice).
Karena itulah, Huntington memperingatkan, pertumbuhan penduduk Muslim merupakan satu faktor destabilitas terhadap masyarakat Muslim dan lingkungannya. Jumlah besar kaum muda Muslim dengan pendidikan menengah akan terus memperkuat kebangkitan Islam dan militansi Islam, militerisme, dan imigrasi. Hasilnya, pada awal-awal abad ke-21, Barat akan menyaksikan kebangkitan kekuatan dan kebudayaan non-Barat dan sekaligus benturan antar-masyarakat non-Barat atau dengan Barat.
Sebagaimana buku The Clash of Civilizations, buku Who Are We? perlu dicermati dalam konteks skenario politik global terhadap Islam, yang sebenarnya merupakan satu upaya ''viktimisasi Islam'' untuk menutupi berbagai kesalahan kebijakan AS. Apakah John Kerry jika menang Pemilu Presiden AS mampu keluar dari ''skenario Huntington''? Biasanya sulit. Tapi, siapa tahu? (RioL)
* (Mahasiswa ISTAC-IIUM Kuala Lumpur)