Taufik
Adnan Amal:
Doktrin
Jihad Banyak Disalahartikan
01/12/2002
Dengan
demikian, tidak masuk akal kalau kita menggunakan doktrin jihad dengan
interpretasi semacam itu. Dunia ini akan porak-poranda kalau jihad dalam arti
sempit dan ofensif itu dibenarkan. Jika ada negara muslim yang melegitimasi
doktrin jihad secara sporadis, saya kira, dunia akan kiamat. Dengan dasar bahwa
non-muslim halal darahnya, lantas kita menembakkan senjata pemusnah massal ke
arah mereka. Itu bisa berabe, celaka. Jadi, perluasan atau ekstensifikasi makna
jihad semacam itu sangat berbahaya.
Menggali
Akar Fundamentalisme Islam:
Banyak
orang terhenyak ketika Imam Samudra alias Abdul Aziz, tersangka utama bom Bali,
mengeluarkan pernyataan mencengangkan di hadapan wartawan. “Ini adalah
perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Insya Allah, Allahu akbar!”
Tentu saja, pernyataan Imam Samudra tersebut menyisakan banyak pertanyaan dalam
pikiran kita tentang konsep jihad dalam Islam; Relevankah konsep jihad itu
dipakai dan dijewantahkan di era modern ini? Apa sih jihad itu? Sebenarnya,
bagaimana Alquran berbicara tentang Jihad?
Tak
bisa dipungkiri, pernyataan Imam Samudera tentang jihad menyemburkan aroma tak
sedap bahwa Islam memuat doktrin-doktrin suci untuk menghalalkan segala cara
dalam mencapai tujuan, termasuk pemboman yang mengakibatkan korban meninggal
ratusan jiwa yang tak berdosa. Betulkah Islam seperti itu?
Untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, Ulil Abshar-Abdalla dari Komunitas
Islam Utan Kayu (KIUK) mewawancarai Taufik Adnan Amal, ahli tafsir dari IAIN
Alauddin, Makasar yang telah menulis buku Rekonstruksi Sejarah Alquran (2001)
pada Kamis, 28 November 2002. Berikut petikannya:
Bung
Taufik, Imam Samudra alias Abdul Azis, tersangka utama peledakan bom Bali, mengklaim
perbuatannya sebagai perjuangan suci (jihad), bukan perjuangan hina. Bagaimana
menurut Anda, apakah jihad dalam Alquran ditafsirkan seperti itu?
Agama
atau doktrin-doktrin tertentu, pada hakikatnya bisa ditafsirkan ke mana-mana.
Kitab suci agama memberikan kebebasan kepada pemeluknya untuk menafsirkan.
Fenomena yang terjadi di Indonesia, yakni melegitimasi kekerasan atas nama
Tuhan, adalah hal yang biasa terjadi dalam kasus-kasus radikalisme agama.
Pertanyaannya, kalau kita melihat hakikat Islam, apakah mungkin melegitimasi
kekerasan semacam itu atas nama Islam?
Imam
Samudra juga mengaku siap dihukum mati, bahkan ia merasa bahagia karena akan
mati “syahid”. Bukankah itu menunjukkan adanya mitos tentang martyrdoom (mati
syahid)?
Ya,
betul. Memang ada mitos kesyahidan. Jadi, mereka yang berjuang di jalan Tuhan,
apabila mati akan disebut mati syahid. Begitulah doktrin yang diajarkan dalam
agama-agama, bukan Islam saja. Permasalahannya, agak susah melegitimasi
tindakan kekerasan semacam itu dengan melandaskannya pada ajaran Islam. Sebab,
pada hakikatnya, Islam itu --dari sisi etimologis saja-- berarti damai, aman,
tentram dan lain-lain.
Saya
kira, kita tidak usah menggunakan ukuran agama dalam melihat kasus kekerasan
atas nama Tuhan. Dari perspektif humanisme saja, kita sudah bisa menyalahkan
perbuatan itu. Terlebih lagi dari sudut pandang agama, terutama Islam, yang
mendeklarasikan kedamaian sebagai inti ajarannya.
Bisakah
Anda bercerita perihal evolusi pengertian jihad dalam konteks Alquran yang Anda
geluti?
Kata
“jihad” baru memiliki konteks yang jelas ketika Nabi Saw hijrah ke Madinah.
Dalam hal ini, harus dimengerti bahwa Madinah adalah semacam “negara muslim”
yang harus mempertahankan eksistensinya melawan orang-orang Arab dari klan
Quraisy ketika itu. Dari sinilah ajaran Islam tentang jihad itu berkembang.
Sebenarnya tafsiran paling mutakhir tentang jihad selalu bersifat defensif.
Dengan demikian, pada periode modern, pengertian jihad sama sekali tak bermakna
ofensif.
Kita
melihat, konteks jihad pada saat itu adalah pada fase Madinah ketika Nabi Saw
harus mempertahankan eksistensi komunitas muslim yang dirongrong oleh suku
Quraisy yang berdomisili di Mekkah, beberapa suku Yahudi di Madinah, dan
beberapa suku Badui. Jadi, saat itu memang ada doktrin Islam yang mengajarkan
Nabi Saw bagaimana mempertahankan diri dari serangan musuh. Namun demikian,
doktrin tersebut juga bermakna agak ofensif. Misalnya, kasus penyerangan atau
penaklukan kota Mekkah (fath al-Makkah). Tanpa menyerang Mekkah ketika itu,
hampir mustahil Nabi Saw bisa menguasai jazirah Arab secara keseluruhan.
Dalam
konteks itu, apakah jihad bersifat ofensif?
Bisa
juga bersifat defensif. Demi mempertahankan eksistensi diri. Kalau peperangan
tidak dilakukan, komunitas muslim yang masih berupa embrio itu tentu akan
punah. Saya kira, dalam konteks semacam itulah ajaran-ajaran tentang jihad
diturunkan: jihad secara fisik. Tentu jihad memiliki pengertian yang banyak.
Yang paling menonjol saat itu adalah jihad dalam artian fisik tadi.
Pada
saat kekuasaan Islam menyebar di luar jazirah Arab, apakah perang yang
dilakukan para penguasa Islam saat itu juga bermakna jihad?
Pada
saat itu (dinasti-dinasti Islam, Red), mereka menundukkan tujuan-tujuan politik
atas nama jihad. Jihad digunakan untuk melegitimasi tujuan-tujuan politik demi
perluasan wilayah. Memang dalam sejarah Islam, jihad sudah banyak
disalahartikan sekadar untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik oleh
rezim-rezim penguasa.
Sekarang
ini jihad di tangan Usamah bin Ladin diartikan secara sempit sebagai perang
melawan Amerika, Yahudi dan Barat secara umum. Usamah mengeluarkan fatwa khusus
mengenai pengertian lain dari kata jihad. Bagaimana pandangan Anda?
Saya
kira, semua yang difatwakan Usamah ada kaitannya dengan politik. Dalam artian,
untuk menjustifikasi tujuan-tujuan politik jaringan al-Qaeda. Bagi saya,
doktrin jihad yang sangat ofensif seperti yang difatwakan Usamah bin Ladin saat
ini sangat tidak masuk akal. Ini terutama bila diletakkan dalam konteks sebuah
negara modern yang memiliki perlengkapan senjata pembunuh massal yang dahsyat
itu.
Dengan
demikian, tidak masuk akal kalau kita menggunakan doktrin jihad dengan
interpretasi semacam itu. Dunia ini akan porak-poranda kalau jihad dalam arti
sempit dan ofensif itu dibenarkan. Jika ada negara muslim yang melegitimasi
doktrin jihad secara sporadis, saya kira, dunia akan kiamat. Dengan dasar bahwa
non-muslim halal darahnya, lantas kita menembakkan senjata pemusnah massal ke
arah mereka. Itu bisa berabe, celaka. Jadi, perluasan atau ekstensifikasi makna
jihad semacam itu sangat berbahaya.
Radikalisme
Islam acapkali dikaitkan dengan politik luar negeri Amerika Serikat dan Israel
yang dinilai juga mengusung semangat perang yang tinggi. Nah, ada yang
berpendapat bahwa adanya radikalisme Islam ini merupakan reaksi dari standar
ganda yang dilakukan Amerika dan sekutunya. Bagaimana komentar Anda?
Saya
sepakat bahwa Amerika Serikat memiliki standar ganda dalam kebijakan politik
luar negeri. Kita harus mengutuk setiap langkah Amerika yang membiarkan
penindasan Israel terhadap rakyat Palestina. Saya ingat, Jaringan Islam Liberal
juga pernah melakukan protes dan demonstrasi kepada Kedubes Amerika dalam
kaitan dengan rencana serangan terhadap Irak. Saya kira, setiap aksi kekerasan
harus kita kutuk. Setiap agama, tidak hanya Islam, seharusnya mengutuk
bentuk-bentuk kekerasan, baik yang dilakukan oleh orang Barat ataupun orang
Timur. Kita tidak boleh dikskriminatif dalam hal ini.
Soal
politik yang memakai kendaraan agama yang sekarang sedang ramai dibicarakan.
Apakah Alquran atau Islam punya konsep khusus mengenai konsep Islam dan politik
ini?
Tentang
masalah Islam dan politik, saya kira, Islam tidak memiliki konsep yang jelas
tentang politik. Tapi dalam hal etika politik, Islam punya kerangka bagaimana
kita berperilaku sebagai politikus yang baik, maslahat dan lain-lain. Adapun
masalah konsep negara dan sejenisnya tentu bisa diperdebatkan. Misalnya,
Alquran merujuk kerajaan-kerajaan yang ada pada masa Nabi Sulaiman. Tentu saja,
rujukan pada kerajaan masa Sulaiman bukan berarti sistem kerajaanlah yang
menjadi sistem pemerintahan yang dianjurkan dan dijustifikasi oleh Alquran.
Demikian
pula misalnya Alquran menjustifikasi dan mengungkap perihal federasi kesukuan
yang dibangun pada masa Nabi Saw di Madinah. Itu bukan berarti Alquran
menjustifikasi negara federal atau federasi kesukuan ala Nabi Saw. Sebenarnya
yang diberikan Alquran adalah moral, patokan-patokan dasar dalam perilaku
berpolitik, bukan politik itu sendiri!
Bagaimana
Anda melihat ayat-ayat jihad dan perang (al-qital)? Adakah yang secara spesifik
membedakannya?
Sebenarnya
ada polemik di kalangan ulama tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan perang
dan damai. Misalnya, di abad kedua dan ketiga Hijriah, tafsiran ayat-ayat
tentang jihad ini telah menghapuskan (nasakh) ayat-ayat yang menyeru perdamaian
dan berbuat baik di lingkungan umat Islam. Pengembangan doktrin semacam ini
sangat tidak masuk akal, karena pada masa-masa belakangan, jumlah ayat-ayat
yang me-nasakh ayat-ayat perdamaian semakin hari semakin kecil. Mana ada ayat
yang me-nasakh (nasikh) jauh lebih sedikit dengan ayat yang di-nasakh
(mansukh).
Akhirnya,
ulama-ulama modern meyakini nasikh (ayat yang menghapus, Red) dan mansukh (ayat
yang dihapus, Red) tidak ada lagi dalam Alquran. Jadi, bagian-bagian Alquran
tentang jihad dan damai itu harus dipahami berdasar konteks zaman pada masa
itu. Masalahnya, bagaimana kita menafsirkan ayat-ayat tadi berdasarkan konteks
kita belakangan ini.
Mengapa
umat Islam merasa keberatan untuk menolak kecenderungan menggunakan doktrin
jihad sebagai legitimasi tindak kekerasan. Mereka suka mengatakan: “Ya, Amerika
juga menggunakan kekerasan terhadap orang Islam di Timur Tengah!” Mengapa kedua
hal itu tidak ditolak saja karena sama-sama perbuatan kriminal. Sekarang ini
seolah-olah bila kekerasan dilakukan orang Islam dengan dalil agama, tindak itu
menjadi sah. Mengapa demikian?
Masalahnya
memang doktrin jihad itu yang paling gampang dieksploitasi dan dipergunakan
untuk memobilisasi massa. Mengapa banyak orang diam saja saat jihad
dieksploitasi sedemikian rupa? Mungkin orang melihat bahwa Amerika juga
semena-mena dalam memperlakukan isu Palestina, misalnya. Mestinya kita kutuk
kedua-duanya karena itu merupakan ketidakadilan yang nyata. Kalau kita mendiamkan
“jihad” ala Imam Samudra, berarti kita melakukan bentuk lain dari standar
ganda. Di satu sisi mengutuk Amerika, tapi diam seribu bahasa bila yang
melakukannya adalah umat Islam
Seringkali
ayat-ayat Alquran dipakai sebagai alat penyebar kabar-kabar kebencian.
Bagaimana cara mendudukkan Alquran supaya kita tidak terperosok dalam lobang
yang berbahaya itu?
Barangkali
kita harus berbicara masalah metodologi tafsir. Alquran itu memiliki konteks.
Alquran turun dalam konteks yang jelas. Dengan demikian, untuk memahami bagian
Alquran yang satu dengan lainnya, kita harus memahami berdasar konteks itu
tadi.
Artinya,
Alquran tidak begitu saja bisa dipahami secara harfiah. Alquran, sebagai kitab
suci, mengaku sebagai hudan li al-nâs wa bayyinât min al-hudâ wa al-furqân
(petunjuk dan penjelasan atas petunjuk tersebut, Red). Hal ini berarti bagian
ayat Alquran yang satu terkait dengan bagian-bagian lainnya. Intinya, kita
harus memahami Alquran dalam konteks kesejarahannya, konteks sastranya, dan
bagaimana bagian-bagian Alquran itu berkelindan antara satu dengan lainnya.
Setelah memahami konteks Alquran, kita baru bisa menafsirkannya berdasar
konteks kita sekarang.
Pendek
kata, ada empat konteks yang harus kita gunakan untuk memahami Alquran.
Pertama, konteks kesejarahannya. Kedua, konteks kronologisnya. Kenapa ini
perlu? Karena Alquran itu berkembang. Periode Mekkah, Alquran masih mengatakan
bahwa khamar (minuman keras, Red) itu masih bermanfaat meskipun kecil. Tapi di
ujung periode Madinah, khamar dikatakan sebagai perbuatan setan (rijsun min
amal al-syaithan). Di situ ada kronologi ayat-ayat. Itulah yang dinamakan
konteks kronologis Alquran.
Ketiga,
kita harus memahami Alquran dalam konteks keseluruhannya. Ini karena kitab suci
Alquran menjelaskan bahwa dia bisa berbicara tentang dirinya sendiri. Ada
adagium menarik: “Biarlah Alquran berbicara tentang dirinya.” Dan keempat,
adalah konteks saat ini atau kekinian. Ketika kita hendak membumikan ajaran
Alquran, kita hendaknya memahami realitas yang ada di zaman sekarang. Itu
penting agar proses pembumian itu tidak salah kaprah.
Artinya
menurut Anda, doktrin jihad sebenarnya bisa diartikan secara luas, tidak
bertendensi fisik semata?
Ya,
betul. Saya sepakat makna jihad jangan hanya ditafsirkan secara fisik. Kalaupun
dimaknai secara fisik, hendaklah dia mengandung pengertian yang defensif, bukan
ofensif. Nah, makna jihad yang lain juga harus lebih ditekankan sekarang.
Misalnya, amar makruf nahi munkar dan ijtihad. Kata ijtihad dan mujahadah
sebenarnya juga satu akar kata dengan jihad. Itu harus dikembangkan juga.
Sayangnya sekarang ini yang dominan memang jihad dalam artian fisik yang
ofensif itu.
Bagaimana
agar doktrin jihad tidak ditafsirkan secara semena-mena?
Kita
harus kembali memahami Alquran. Misalnya, memahami bahwa damai adalah ajaran
esensial Alquran. Kita juga harus memahami bahwa pluralisme adalah sunnatullah.
Itu jelas sekali terkandung dalam Alquran. Alquran secara jelas memberikan hak
hidup bagi agama-agama lain. Bahkan, keberadaan pemeluk agama lain itu, dalam
Alquran, dianggap sebagai bagian dari kompetisi manusia untuk memberikan
kontribusi yang bermanfaat untuk kemanusiaan itu sendiri.