Oleh: Rumadi*
BERBAGAI peristiwa keagamaan yang belakangan terjadi, seperti penutupan
secara paksa atas sejumlah gereja di Jawa Barat oleh kelompok agama tertentu,
merupakan penanda yang sangat eksplisit, betapa kehidupan keberagamaan sedang
dirundung masalah.
Kondisi bangsa ini,
terutama menyangkut hubungan antar agama, benar-benar dalam kondisi sakit.
Dalam situasi demikian, pendewasaan kehidupan beragama dengan mengedepankan
kejujuran dan semangat saling menghargai merupakan kata kunci. Dengan semangat
kejujuran itu, problem perjumpaan dan dialog menjadi hal yang sangat penting.
Seorang kawan aktifis
dialog antar-agama pernah menceritakan pengalamannya. Suatu ketika dia
mengundang tokoh-tokoh agama lokal di Jawa Barat. Dalam forum tersebut
tokoh-tokoh agama akan diajak berdiskusi tentang berbagai hal menyangkut
kehidupan umat beragama di wilayah tersebut.
Di tengah-tengah
istirahat, tiba-tiba seorang ustadz mendekat dan berbisik kepada kawan tadi.
Dengan jujur, dia mengatakan, "Mas, seumur-umur baru sekarang saya duduk
satu meja dengan orang Kristen".
Cerita ini menunjukkan,
perjumpaan antar-tokoh-tokoh agama di daerah merupakan problem serius.
Jarangnya perjumpaan di antara mereka karena berbagai alasan, tidak jarang
problem kehidupan di antara mereka hanya menjadi bisikan dan prasangka. Adanya
forum-forum lintas agama tingkat lokal yang diprakarsai oleh simpul-simpul
masyarakat sipil sangat bermakna untuk mencairkan kebekuan dan kecanggungan di
antara tokoh-tokoh agama.
Menurut saya, problem
dialog agama sebenarnya lebih terletak pada "lapisan menengah",
daripada elite atau masyarakat lapisan bawah. Lapisan menengah yang saya maksud
adalah lapisan agamawan yang senantiasa mengomunikasikan pesan-pesan keagamaan
secara langsung kepada masyarakat, seperti khatib dan da'i dalam lingkungan
Islam.
Kelompok inilah
sebenarnya yang menentukan karakter keagamaan masyarakat. Kabar kebencian agama
biasanya dimunculkan oleh lapisan ini. Sedangkan lapisan elite biasanya sudah
lebih cair hubungan-hubungan diantara mereka.
Menurut Hans Kung (1983),
seorang teolog Katolik yang dipecat secara yuridis setelah missio canonica (hak
resmi dari Vatikan) untuk mengajar doktrin Gereja Katolik dicabut karena apa
yang diajarkan dinilai tidak sesuai lagi dengan semangat ajaran Katolik, dialog
agama akan mempunyai makna jika di dalamnya terkandung tiga aspek.
Pertama, hanya jika kita memahami kepercayaan, nilai-nilai, ritus, dan simbol-simbol
orang lain atau sesama kita, maka kita dapat memahami orang lain secara
sungguh-sungguh.
Kedua, hanya jika kita memahami kepercayaan orang lain, kita dapat memahami iman
kita sendiri secara sungguh-sungguh: kekuatan dan kelemahan, segi-segi yang
konstan dan yang berubah.
Ketiga, hanya jika kita berusaha memahami kepercayaan orang lain, maka kita dapat
menemukan dasar yang sama -meskipun ada perbedaannya-untuk menjadi landasan
untuk hidup bersama di dunia ini secara damai.
Dengan memperhatikan
proposisi Hans Kung tersebut, dialog tidak hanya berhenti pada ko-eksistensi,
tapi juga pro-eksistensi; tidak hanya membiarkan orang lain ada yang terkenal
dengan istilah toleransi, tetapi juga ikut mengadakannya secara aktif serta
menumbuhkan sikap empati dan simpatik kepada "orang lain".
Dialog ini memang
memerlukan sikap terbuka daripada defensif, semangat mau belajar satu atas yang
lain daripada merasa dirinya sudah cukup (self sufficient), perasaan
rendah hati daripada perasaan merasa dirinya selalu benar, dan seterusnya.
Perbedaan
Ada satu adagium yang sering kita dengar dalam forum-forum dialog antar-agama, bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan daripada perbedaan-perbedaan.
Ada satu adagium yang sering kita dengar dalam forum-forum dialog antar-agama, bahwa yang perlu dicari dalam dialog adalah persamaan-persamaan daripada perbedaan-perbedaan.
Dengan ditemukannya titik
temu persamaan, orang yang berbeda agama akan bisa bekerja sama tanpa
disibukkan dengan perbedaan-perbedaan.
Pernyataan demikian
seolah masuk akal dan menarik. Namun jika ditelusuri agak lebih dalam,
pernyataan demikian sebenarnya menyimpan problem yang justru menjadi ganjalan
kerja sama.
Ada beberapa asumsi di
balik pernyataan tersebut. Pertama, ada asumsi bahwa perbedaan merupakan
ancaman yang harus dijauhi. Perbedaan hanya akan memunculkan laknat daripada
rahmat, sehingga harus disingkirkan, setidaknya "pura-pura" tidak
tahu.
Kedua, orang yang berbeda dan tahu akan perbedaannya itu dianggap tidak bisa kerja
sama, sehingga perbedaan harus dilipat dan disimpan. Sedangkan yang perlu
diangkat ke permukaan adalah persamaan, karena inilah yang bisa dijadikan basis
untuk kerja sama.
Ideologi dialog agama
seperti ini, menurut saya, sangat berbahaya karena menyimpan api dalam sekam.
Dialog demikian seolah-olah memang ingin menyelesaikan masalah meskipun
sebenarnya bukan memecahkan masalah, tapi sekadar lari dari masalah.
Padahal titik akhir dari
dialog, menurut saya, bukan selalu mencari persamaan tapi adanya kesadaran
posisi orang lain dan diri sendiri. Setiap orang, secara naluriah, pasti akan
lebih siap hidup dalam persamaan daripada dalam perbedaan.
Oleh karena itu, yang
perlu didialogkan adalah perbedaan, bukan persamaan. Mengapa? Karena yang
menjadi masalah dalam kehidupan beragama adalah karena "perbedaan"
bukan "persamaan". Oleh karena itu, kalau persamaan yang selalu
didialogkan maka akan tahshîl al-hâshil (menghasilkan sesuatu yang
sebenarnya sudah berhasil).
Namun, harus ditegaskan
bahwa perbedaan didialogkan bukan sekedar mencari persamaan, namun yang lebih
penting dari itu adalah menyadari dan memahami perbedaan sebagaimana apa adanya
seraya memahami posisi masing-masing.
Menyadari posisi
masing-masing bukan berarti sekadar "pembiaran" adanya "yang
lain", tapi juga "pengakuan" dan "penghargaan". Sampai
di sini sebenarnya saya sudah memasuki inti dari tulisan ini, yaitu bagaimana
menjadikan dialog sebagai medium untuk mengasah kritisisme dalam beragama.
Pengakuan dan penghargaan sebenarnya menuntut orang untuk kritis, bukan saja
terhadap "orang lain", tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Secara Berimbang
Kritis terhadap orang lain dan diri sendiri ini harus dilakukan secara berimbang. Orang yang terlalu berat pada kritis terhadap orang lain tanpa diimbangi kritis pada diri sendiri akan cenderung menjadikan orang bersikap ofensif dan menutup diri.
Sedangkan sikap
sebaliknya, terlalu berat kritis pada diri sendiri dan tidak kritis terhadap
yang lain akan menjadikan kita terjatuh pada sikap naif karena menjadikan kita
tidak yakin pada identitasnya sendiri.
Dengan melakukan
perimbangan antara kritis kepada (agama) orang lain dan diri sendiri, akan
memunculkan sikap bahwa tidak ada yang perlu dibela mati-matian, dan tidak ada
yang perlu dibenci habis-habisan.
Hal ini memang bukan
perkara mudah, karena kritis kepada diri sendiri mengandaikan sikap terbuka
dalam melihat sejarah dan doktrin agamanya.
Sedangkan kritis terhadap
orang lain mengandaikan sikap proporsional dalam melihat "orang lain"
yang diikuti dengan ketulusan dan kejujuran.
Oleh karena itu,
menempatkan dialog sebagai fungsi kritis tidak terlepas dari sikap untuk
mencari kebenaran secara terus menerus. Kebenaran bukanlah sesuatu yang, dalam
istilah Hans Kung, "ready made". Kebenaran bukanlah
barang-barang yang dijejer di super market yang bisa dipilih dan diambil
di saat kita membutuhkannya.
Kebenaran menampakkan
dirinya dalam hidup, sejarah, dan relasi dengan orang lain, dalam pergulatan
hidup yang dinamis dengan segala ambiguitasnya. Kebenaran tidak identik dengan
doktrin dan tradisi (St Sunardi, dalam Dialog Kritik dan Identitas Agama, Yogyakarta:
Dian Interfedei, 1993).
Dalam kerangka itulah,
kritik wacana agama seperti ditawarkan Nasr Hamid Abu Zaid menjadi penting
untuk dipertimbangkan. Dialog tanpa disertai kesediaan untuk melakukan kritik
diri tidak akan ada gunanya. Dalam kaitan ini, kritik wacana agama menyediakan
perangkat untuk melakukan kritisisme tersebut.
*Penulis adalah Pjs.
Direktur Eksekutif The Wahid Institute Jakarta, Dosen Fak Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta
(Suara
Pembaruan 9/9/2005)