Filsafat Ekonomi Aristoteles : Integrasi Urusan Ekonomi dan Etika
Oleh: Mh.
Nurul Huda
Masalah
ekonomi hadir seiring dengan keberadaan manusia untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Kebutuhan akan makanan dan minuman, berpakaian, bertempat tinggal dan
hidup dengan layak mendorong manusia melakukan tindakan ekonomi. Bercocok
tanam, bertani, berburu, menebang pohon, kerajinan tangan, berdagang, dan
seterusnya. Dengan kegiatan ekonomi juga manusia sebenarnya mengekspresikan
sosialitasnya; dan melalui tindakan ekonomi, melalui pertukaran kata
Aristoteles dalam Nechomacean Ethics, manusia berinteraksi dan membentuk suatu
komunitas.
Seiring dengan perkembangan peradaban, kebutuhan manusia semakin meningkat
demikian juga cara dan sarana pemenuhan kebutuhan itu makin beragam.
Industrialisasi, perdagangan antar negara, dan kegiatan bisnis lainnya kini
semakin merebak dan bahkan mengancam keberadaan komunitas. Tindakan ekonomi
tidak lagi menunjukkan karakter sosialitas manusia dan tanggung jawabnya terhadap
“yang sosial” itu, tapi malahan sebaliknya mengancam, melemahkan dan
menghancurkannya. Inilah keprihatinan utama kehidupan ekonomi sekarang ini. Tapi jangan lupa 2500 tahun yang lalu seorang filsuf Yunani telah merefleksikan masalah ekonomi semacam itu. Aristoteles mengecam sistem dan tindakan ekonomi yang tidak wajar, tidak adil dan tidak sah, karena merugikan dan merusak kehidupan bersama masyarakat negara kota (polis). Dalam pandangan Aristoteles, kegiatan perekonomian terikat dengan sebuah etika, yakni “etika polis”.
Dalam refleksi ini, penulis akan membahas pemikiran ekonomi sang filsuf Yunani ini. Pertama-tama akan dipaparkan terlebih dulu hakikat negara sebagai komunitas etis dalam pandangan Aristoteles (1). Kemudian akan dibahas bagaimana aktifitas ekonomi sebagai bagian dari kegiatan dalam negara polis (2), serta pandangan dan teori-teori ekonomi menurut Aristoteles (3). Dan di akhir tulisan ini, penulis akan mengemukakan sejumlah penilaian kritis.
1. Negara dan Etika Politik
Dalam pemikiran politiknya, Aristoteles menempatkan “polis” atau negara kota sebagai institusi sosial yang sangat sentral. “Polis” adalah komunitas etis yang ditata dan diorganisasikan secara politis dengan sejumlah regulasi dan perundang-undangan yang diperuntukkan untuk suatu tujuan kehidupan bersama yang baik, Summum bonum, dan berkeadilan. Dalam komunitas inilah manusia bisa merealisasikan hidupnya sebagai makhluk yang hidup berkelompok, bios politicos, sekaligus juga agar bisa mewujudkan kehidupan yang baik. Memang ada bentuk komunitas yang lain, seperti rumah tangga dan asosiasi desa, namun demikian hanya dalam negaralah sebagai komunitas final dan tertinggi, menurut Aristoteles, bisa dicapai kehidupan yang paling baik itu. Aristoteles menulis, “every state is community of some kind… the state or political community, which is the highest of all, and which embrace all the rest, aims at good in a greater degree than any other, and at the highest good”. (setiap negara adalah komunitas dari beberapa kelompok… negara atau komunitas politik yang merupakan bentuk komunitas tertinggi dan mencakup seluruh komunitas lainnnya, bertujuan untuk mencapai kebaikan yang paling puncak dan tertinggi).
Dengan demikian terbentuknya negara bukan hanya untuk menjamin keamanan warga atau membuat perjanjian komersial, melainkan mengatur kehidupan publik agar bisa berpartisipasi mewujudkan kebaikan bersama. Negara ada bukan untuk tujuan pada dirinya sendiri atau untuk sebagian orang atau kelompok dinasti tertentu, melainkan untuk semua warganegara agar menjalani kehidupan dalam kebajikan dan mutu yang paling baik. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan warganegara pun harus tunduk dan diarahkan semata-mata untuk kebaikan semua, yakni kebaikan “polis”. Aristoteles menegaskan, “The state is by nature clearly prior to the family and to the individual, since the whole is of necessity prior to the part” (Pada dasarnya negara secara alamiah lebih utama daripada keluarga dan individu, karena yang keseluruhan itu juga lebih utama dari bagian-bagiannya).
Menurut Aristoteles,
kebaikan bersama dapat dicapai dalam sebuah negara bila dipimpin oleh seorang
negarawan yang bebas dan memiliki waktu luang untuk mengurus negara. Seorang
negarawan bukanlah orang yang disibukkan dengan aktifitas kerja rumah tangga,
seperti bekerja, berdagang, bercocok tanam atau berbisnis lain, karena
aktifitas-aktifitas semacam itu pasti mengganggu urusan-urusan kenegaraan.
Bukan hanya itu, menurut Aristoteles, pekerjaan kasar semacam itu tidak akan
memungkinkan seseorang menjadi negarawan yang baik. Agar sang pemimpin bisa
berkonsentrasi penuh mengatur kehidupan negara, maka sebaiknya urusan
perekonomian tersebut diserahkan kepada para pembantu dan budak saja.
2. Aktifitas Ekonomi sebagai Masalah Etika
Dalam karya-karyanya,
sebenarnya Aristoteles tidak membahas persoalan-persoalan ekonomi secara luas
dan mendetail. Pemikiran ekonomi Aristoteles ini paling-paling hanya bisa
ditemukan dalam Politics terutama pada buku 1, dan pada buku 5 dari
karyanya yang berjudul Nicomachean Ethics. Lagi pula gagasan-gagasan
ekonominya lebih merupakan bagian dari pembahasan komprehensifnya mengenai
teori politik (negara), ketimbang sebagai pemikiran filosofis yang mandiri atau
bidang refleksi yang tersendiri. Tegasnya, ia lebih pantas disebut sebagai uraian
mengenai pemikiran sosiologi politik daripada pembahasan panjang mengenai
sosiologi ekonomi atau ilmu ekonomi yang bersifat teknis Sebagai bagian
dari filsafat kenegaraan, masalah-masalah ekonomi terkait dengan kehidupan
warga dalam masyarakat polis, yakni bagaimana mewujudkan kehidupan yang baik
dan bermutu.
Bagi
Aristiteles, negara ideal itu bisa dicapai, jika negara polis memiliki sarana,
syarat-syarat, aturan atau konstitusi yang memungkinkan suatu “polis” dapat
dikelola secara baik dan mendatangkan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Syarat
penting bagi eksistensi negara kota tersebut adalah tersedianya harta benda
untuk memenuhi semua kebutuhan hidup warga. Namun demikian, bukan berarti
pemenuhan kebutuhan ekonomi warga ini ditangani langsung oleh negara atau
aparatur negara, tidak juga oleh warganegara yang bebas. Sebaliknya, urusan
ekonomi ini ditangani dalam lingkup tanggung jawab rumah tangga, sedangkan
pengelolaannya diserahkan kepada para pembantu dan budak. Aristoteles menulis: “Property
is a part of the household, and the art of acquiring property is a part of the
art of managing the household; for no man can live well, or indeed live at all,
unless he be provided with necessary”. (Harta benda adalah bagian dari rumah
tangga, dan cara memperolehnya juga adalah bagian dari cara mengelola rumah
tangga; karena orang tidak bisa hidup dengan baik, bahkan orang tidak bisa
sekadar hidup saja, kecuali ada harta benda).
Aristoteles
mencermati dengan jelas bahwa rumah tangga memenuhi kebutuhan hidupnya melalui
pertanian, berburu, memancing dan membuat kerajinan seperti menenun dan
memintal. Rumah tangga juga harus menghasilkan surplus yang cukup untuk
memperoleh kebutuhan sehari-hari mereka. Tapi menurut Aristoteles tidak mungkin
warganegara yang bebas melakukan pekerjaan-pekerjaan itu karena niscaya mereka
tidak akan memiliki waktu luang untuk mengelola polis dan memikirkan kebaikan
semua warga kota. Oleh karena itu, Aristoteles mengusulkan agar warganegara
harus memiliki instrumen untuk mengelola rumah tangganya. Ada dua instrumen
yang disebut Aristoteles.
Pertama, instrumen produktif, yakni mekanisme untuk memproduksi hasil atau
tujuan-tujuan di luar pekerjaan (saya kira ini terkait dengan seni pemerolehan
kekayaan); dan kedua, instrumen tindakan yakni pelayan dan budak yang
keberadaan memungkinkan hidup yang baik dengan melayani tuannya. Keduanya
dibutuhkan dalam pengelolaan rumah tangga.
Karena pengelolan rumah
tangga menjadi bagian dari upaya menciptakan kebaikan publik, maka Aristoteles
lalu mencoba membuat pemilahan mengenai praktek-praktek ekonomi macam apa yang
mendukung bagi kebaikan negara kota (polis) sehingga dipandang sebagai
kegiatan yang absah dan natural, dan mana yang tidak mendukung kebaikan.
Jenis
kegiatan ekonomi yang absah adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk sekadar
memenuhi nafkah hidup sehari-hari dengan syarat kecukupan alamiah, yakni dalam
rangka menjamin adanya persediaan barang-barang yang dapat disimpan dan yang
diperlukan untuk kehidupan dan bermanfaat bagi polis atau rumah tangga.
Bertani, berburu, memancing, menenun, memintal, dan sebagainya adalah cara
pemerolehan yang sah karena harta benda atau kekayaan yang dihasilkan dari
pekerjaan itu diperoleh secara alamiah, disediakan alam untuk kebutuhan
sehari-hari manusia. Ia tetap absah, menurut Aristoteles, sepanjang dilakukan
tidak untuk mengejar keuntungan semata-mata atau untuk mengejar harta secara
tak terbatas.
Hal
ini juga berlaku dalam mekanisme pertukaran yang dilakukan antar asosiasi
(rumah tangga). Dalam pertukaran (disini Aristoteles telah membuat distingsi
penting tentang nilai guna dan nilai tukar barang), orang-orang yang memiliki
sejumlah barang yang berbeda-beda saling melakukan pertukaran untuk memenuhi
kebutuhan yang muncul melalui barter. Misalnya gandum ditukar dengan sepatu,
sejumlah polpen ditukar dengan buku, bangunan rumah ditukar dengan sebidang
tanah, dan seterusnya. Pertukaran semacam ini perbolehkan karena memenuhi
syarat-syarat kecukupan alamiah itu dan “not contrary to nature”.
Dalam
kaitan ini pula, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menekankan suatu
pertukaran yang seimbang dan adil. Yakni pertukaran yang proporsional antar
barang-barang dimana ia dapat diperbandingkan antar satu sama lain. Ada
ekuivalesi antara apa yang diterima dan yang diberikan. Untuk kebutuhan
pertukaran inilah Aristoteles memperkenalkan munculnya “mata uang” yang secara
natural dipakai sebagai perbandingan. “Money, then acting as a measure”,
tulis Aristoteles. Yakni untuk mengukur keseimbangan maupun kekurangan dan
kelebihannya satu sama lain, dan sekaligus juga menyeimbangkan antar
barang-barang itu.
Pada
tahap ini, Aristoteles tidak mempersoalkan mata uang sebagai alat pertukaran
yang bersifat alamiah. Namun samar-samar ia mulai khawatir juga ketika uang
sudah mulai dilembagakan. Dalam sistem pertukaran tersebut ada tendensi yang
berkembang yang menurut Aristoteles menjadi tidak alamiah lagi. Yakni
kecenderungan transaksi yang semata-mata untuk mengejar uang belaka. Tendensi
ini terus berkembang sehingga pertukaran dan perdagangan menjadi bisnis yang
ditujukan untuk mengakumulasi uang. Uang ditukarkan dengan barang-barang, lalu
barang-barang ini ditukar lagi untuk memperoleh uang yang lebih banyak.
“Seolah-olah uang adalah tujuan orang dan segala yang lain harus mendukung tujuan
itu”.
Kecenderungan
itulah yang mendorong Aristoteles mengecam cara-cara “riba” (usury) sebagai
cara pemerolehan penghasilan yang tidak adil. Yakni sebuah transaksi pertukaran
yang dimaksudkan untuk memperbesar modal/uang malalui sistem bunga. Demikian
juga menopoli perdagangan yang dilakukan untuk meraih keuntungan pribadi
sebesar-sebesarnya.
Riba
dan monopoli adalah cara pemerolehan yang tidak sah dan tidak alamiah (unnatural),
karena ditujukan untuk suatu jumlah kekayaan yang tidak terbatas dan diperoleh
dengan cara mengorbankan orang lain. Padahal, bagi Aristoteles, ada batas-batas
kepemilikan harta benda yang diperlukan bagi rumah tangga masyarakat kota agar
bisa mencapai “happiness”, “good life” dan kesejahteraan bersama.
3. Beberapa Teori Ekonomi Aristoteles
Sebagaimana
disinggung dalam bagian 2 di atas, sesungguhnya perhatian utama Aristoteles
tercurah pada pembahasan tentang ekonomi “natural” dan “berkeadilan” yang
menjadi kegiatan ideal kehidupan yang baik dan berkeutamaan dari warganegara. Oleh
karena itu analisis ekonominya lebih memusatkan diri pada
kecenderungan-kecenderungan subyektif sang pelaku ekonomi sendiri, yakni
kebutuhan dan pemuasan atas kebutuhan itu.
Menurut
Aristoteles, kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi
keinginannya (man’s desire) yang relatif tak terbatas. Kegiatan produksi
yang semata-mata untuk memenuhi hasrat manusia yang tanpa batas dikecamnya
sebagai tidak adil (unnatural).oeconomia dan chrematistike. Yang
pertama adalah kegiatan mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan yang
kedua adalah usaha untuk memperoleh keuntungan sifatnya, misalnya perdagangan
yang didorong oleh morif keuntungan sebesar-besanya. Aristoteles mencela yang
kedua dan memuji yang pertama. Demikian juga ia membedakan antara “use”
(kegunaan) dan “gain” (keuntungan) serta antara
Dari analisis ekonomi ini setidaknya
ada beberapa gagasan utama Aristoteles yang pada dasarnya menjadi semacam
embrio dari pemikiran ekonomi dewasa ini. Adam Smith, misalnya, mengambil
banyak insight dari pemikiran-pemikiran ini.
Pertama, teori tentang nilai. Aristoteles telah membuat pembedaan antara nilai
guna dan nilai tukar barang. Bahwa nilai tukar barang dihasilkan dari nilai
gunanya. Sayangnya, Aristoteles tidak sampai membuat perumusan mengenai “nilai
harga” yang baru dikembangkan oleh pengikutnya kemudian, karena ia dihadapkan
oleh problem keadilan dalam penetapan harga itu, yakni keadilan komutatifnya.
Dalam hal ini Aristoteles mengecam monopoli pasar oleh satu orang karena
merupakan cara bertransaksi yang tidak adil. Namun demikian secara bersamaan
sesungguhnya Aristoteles telah berusaha mencari hukum keadilan dalam penetapan
harga.
Keadilan
itu terletak pada tercapainya prinsip “keseimbangan” (equivalence) antara
apa yang diberikan dan apa yang diterima. Dan dengan adanya uang sebagai medium
pertukaran, keseimbangan dalam penetapan harga maupun dalam pertukatan
sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagi hukum keadilan.
Secara
logis bila praktek monopoli yang dalam definisi Aristoteles sebagai dominasi
penjual/pembeli tunggal (a single seller) dalam pasar dianggap tercela
dan tidak adil, maka sebaliknya Aristoteles akan bisa menerima praktek
transaksi pertukaran yang dilakukan dalam pasar kompetitif, di mana
individu-individu bisa terlibat dalam mekanisme tersebut, tanpa ada seorangpun
yang bisa dengan semaunya merubah harga.
Kedua,
teori tentang uang. Bagi Aristoteles, uang adalah medium pertukaran (a
medium of exchange) sekaligus juga bisa dipakai untuk mengukur nilai barang
(a measure of value). Keberadaan uang sebenarnya digunakan untuk
menggantikan sistem barter (pertukaran barang dengan barang), bila barter tidak
dimungkinkan karena barang yang kita harapkan tidak ada dan karenanya kita
memerlukan barang lain untuk kita pertukarkan dalam proses barter selanjutnya (indirect
barter). Dan biasanya “uang” yang dijadikan alat pertukaran memiliki nilai
yang relatif stabil dan mudah dibawa.
Ketiga,
tentang bunga. Aristoteles mengutuk “bunga” yang ada dalam sistem riba. Ia
menolak sistem riba atau transaksi pertukaran yang bermaksud semata-mata
memperanakpinakkan uang untuk memperbesar modal/uang.
Keempat,
Aristoteles membuat pembedaan tiga jenis keadilan: keadilan distributive,
keadilan korektif dan keadilan komutatif. Keadilan distributife menyangkut
distribusi barang, termasuk kekuasaan politik dan hak milik diantara anggota
masyarakat sesuai dengan prinsip sumbangan atau jasa setiap orang. Keadilan
korektif adalah bentuk keadilan yang berfungsi untuk melindungi individu dari
kemungkian kerugian yang tidak semestinya baik dalam transaksi yang dikehendaki
maupun yang tidak dikehendaki. Keadilan jenis ini biasanya terwujud dalam
undang-undang yang memberi kompensasi atau ganti rugi bagi pihak yang dirugikan
dalam transaksi dan hukuman bagi yang merugikan. Prinsip yang mau ditegakkan
adalah kesamaan kedudukan setiap orang dan masing-masing orang tidak boleh
merugikan yang lain. Sementara keadilan komutatif adalah keadilan bagi
masing-masing pihak untuk menerima sesuatu yang baik dan menguntungkan secara
timbal balik.
Dalam karyanya Nicomachean
Ethics, Aristoteles memandang keadilan sebagai keutamaan. Kehidupan yang baik
akan tercapai bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan. Namun demikian,
keadilan bagi Aristoteles tidak selalu merupakan kesamaan, karena ada juga
ketidaksamaan yang justeru mencerminkan rasa keadilan.<!--[if
!supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
4. Penilaian Kritis
Setelah diuraikan panjang lebar
mengenai aspek-aspek pemikiran ekonomi Aristoteles di atas, penulis ingin
memberikan sejumlah penilaian kritis terhadap gagasan Aristoteles. Ada
kelebihan dan kekurangan dalam gagasan Aristoteles ini yang akan segera
diuraikan.
Pertama, tampak
sekali bahwa Aristoteles sesungguhnya meletakkan persoalan ekonomi sebagai
bagian dari refleksinya terhadap persoalan-persoalan kenegaraan. Negara polis
yang dibayangkan Aristoteles adalah komunitas etis yang keberadaannya
semata-mata untuk merealisasikan kebaikan bersama. Dan dengan demikian pula
pengelolaan ekonomi (sebagai bagian dari persoalan kenegaraan) juga harus
tunduk pada tujuan-tujuan masyarakat dalam negara kota yakni untuk mewujudkan
kebaikan bersama itu. Kebaikan bersama atau “happiness” ini dalam permikiran
ekonomi Aristoteles dicapai bila tiap orang memenuhi kebutuhan dasar hidup
secukupnya dan melakukan transaksi ekonomi secara wajar dan adil. Artinya
secara moral kegiatan ekonomi ini tidak boleh menyebabkan penderitaan dan kerugian
bagi orang lain. Kita juga harus memperlakukan orang lain secara fair dan
menghargai hak-haknya, juga menghormati hokum negara sebagai institusi yang
menjamin kebaikan bersama bagi seluruh masyarakat.
Gagasan besar inilah yang kini
sangat relevan dengan pemikiran baru dewasa ini, sebagaimana yang diserukan
Leon Walras, mengenai perlunya sistem ekonomi sosial menggantikan sistem
liberalisme pasar yang telah mengingkari tanggung jawab individu terhadap
keutamaan kebaikan bersama
Kedua, pandangan
antropologis Aristoteles yang menekankan karakter sosialitas manusia pada
dasarnya ikut memberikan pertimbangan mengenai “social dimension” dalam
pemikiran dan analisis ekonomi. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah keutamaan
keseluruhan atau komunitas berada di atas keutamaan individu. Individu bermakna
sejauh sejauh mendukung kepentingan komunitas. Analisis ekonomi yang
memperhatikan aspek sosialitas manusia dan relasi harmoni dalam kehidupan
bersama menjadi aspek penting dari sistem ekonomi sosial di atas.
Ketiga, penulis melihat ada kecenderungan Aristoteles untuk tidak menganggap serius
dan penting persoalan ekonomi karena ternyata menejemen pengelolaannya harus
diserahkan kepada pelayan dan para budak. Mungkin niat Aristoteles baik yakni
agar para penguasa dan warganegara tidak begitu disibukkan oleh urusan teknis
menejemen sehingga bisa berkonsentrasi penuh mewujudkan kebaikan negara. Tetapi
samar-samar bisa dicurigai bahwa sebenarnya Aristoteles menganggap pekerjaan
kasar dan kerajinan yang merupakan urusan menejemen rumah tangga itu adalah
sesuatu yang hina, tidak berkualitas, dan tidak bermartabat bila dibandingkan
dengan aktifitas dalam polis.
Dengan
gradasi antara keutamaan politik dan keutamaan ekonomi, dimana masalah ekonomi
adalah subordinatif terhadap masalah politik, meski tampak sekali seruan
Aristoteles bahwa persoalan ekonomi mesti tunduk pada keutamaan politik,
Aristoteles tidak melihat bahaya ketika ekonomi justeru lepas dari tanggung
jawab politik dan tirani ekonomi justeru lebih mematikan daripada tirani
politik. []
DAFTAR KEPUSTAKAAN:
Aristoteles, Nicomachean
Ethics, (terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London: William
Heinemann LTD, 1968
Aristoteles, Politics,
(terjemahan versi Inggris oleh Benjamin Jowett), New York: The Modern Library,
1943.
Deliarnov, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press.
Keraf, A. Sonny,
“Ketidaksamaan yang Adil, Etika Politik Aristoteles” dalam majalah Atma nan
Jaya, edisi April, 1993.
Schumpeter, Joseph, A
History of Economic Analysis, Oxford: University Press, 1954
Lutz, Mark A, Economics
for the Common Good. Two Centuries of Social Economic Thought in the Humanistic
Tradition, London & New York: Routledge, 1999
<!--[endif]-->
Lihat, Politics, Buku
I bagian 1 (terjemahan versi Inggris oleh Benjamin Jowett), New York: The
Modern Library, 1943..
Lihat, Politics, buku
I bagian 1. Lihat juga, Nicomachean Ethics, buku I bagian 1 dan 2,
(terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London: William Heinemann LTD,
1968. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan segala sesuatu adalah kebaikan. Dan
tujuan dalam politik adalah demi kebaikan manusia (Good of man). Good
is the same for the individual and for the state, nevertheless the good of the
state is manifestly a greater dan more perfect good, both to attain and to
preserve. (bagian 2).
Lihat komentar Joseph
Schumpeter, A History of Economic Analysis, Oxford: University Press,
1954, hal. 58.
Lihat, Politics, Buku
I bagian 4.
Di sinilah saya kira salah
satu alasan mengapa Aristoteles mendukung kepemilikan pribadi, yakni untuk
memenuhi keperluan nafkah hidup sehari-hari agar bisa menjalankan tugasnya
mengatur polis dan juga warganegara dapat bertindak demi kebaikan kota. Dalam
Buku II bagian 5, Aristoteles setidaknya membedakan tiga cara yang mungkin untuk
mengatur pemilikan pertanian dan penggunaan hasilnya. Pertama, tanah dimiliki
secara terpisah tapi penggunaan produksinya untuk konsumsi bersama. Kedua,
tanah dimiliki dan pengolahanya dilakukan secara bersama tapi produksinya
dibagikan kepada individu-individu secara probadi, dan ketiga, tanah dan
penggunaanya dipakai secara bersama-sama. Namun pada akhirnya ia menegaskan: “It
is clearly better that property should be private, but the use of it common,
and the special business of the legislator is to create in men this benevolent
disposition”.
Lihat, Politics, Buku
I Bagian 4.
“Of the art of acquisition then there is one
kind which by nature is part of the management of house hold, in so far as the
art of household management must either find ready to hand, or it self provide,
such things necessary to life, and useful for the community of the family or
state, as can be stored.”. Lihat, Politics, buku I bagian 8.
Lihat, Nicomachean Ethics,
buku I bagian V, (terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London:
William Heinemann LTD, 1968.
Lihat, Politics, buku
I bagian 9.
Lihat, Politics, buku
I bagian 10.
Lihat, Politics, buku
I bagian 11.
Lihat, Josep Schumpeter, Op.cit,,
60.
Lihat, Deliarnov, Perkembangan
Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 2003, hal. 15.
Lihat, Joseph Schumpeter, Op.cit.
hal. 60-65
Lihat, Politics, buku
I bagian 11.
Lihat Politics, Buku
I bagian 10.
Lihat Nicomachean Ethics,
buku V bagian 1-4.
Penjelasan sangat ekstensif
mengenai ketidaksamaan yang adil menurut Aristoteles ini, Lihat, A. Sonny
Keraf, “Ketidaksamaan yang Adil, Etika Politik Aristoteles” dalam majalah Atma
nan Jaya, edisi April, 1993. hal. 31-49.
Lihat, Mark A Lutz, Economics
for the Common Good. Two Centuries of Social Economic Thought in the Humanistic
Tradition, London & New York: Routledge, 1999. .(Sumber
:http://www.blogger.com)