Islam, Demokrasi dan Budaya Unggul

Dewasa ini serangan terhadap umat Islam dan kepercayaan Islam di barat telah berubah menjadi satu perkara biasa dan meluas. Berbagai partai, tokoh fanatik dan ekstrim Eropa dan Amerika, dengan berbagai alasan, termasuk membasmi terorisme, menekan para penganut agama Islam. Dengan terbunuhnya Theo Van Gogh, sutradara Belanda, berbagai media massa barat khususnya Eropa telah membangkitkan gelombang baru sentimen anti Islam. Para pelaku serangan propaganda yang begitu luas, terlebih di Belanda dan Jerman, dengan alasan tersebut, meminta umat Islam untuk meninggalkan agama mereka dan menerima nilai-nilai Barat sebagai sebuah budaya, atau meninggalkan Eropa. Dalam masalah-masalah yang berkaitan dengan hal tersebut, kekerasan terhadap umat Islam di Barat semakin meningkat.
Suratkabar Jerman “Sueddeutsche Zeitung”, yang memanfaatkan sentimen rakyat yang sudah teragitasi, dengan terang-terangan menulis: Umat Islam harus belajar dan menerima bahwa Al-Quran sama seperti Injil, boleh di kritik dan dijadikan bahan ejekan.”

Tampaknya, Heribert Prantel, penulis makalah tersebut, tidak memahami Islam dengan baik, karena dengan melihat kepada Ayat Al-Quran dan hadits-hadits Islam, akan jelas bahwa Islam merupakan agama pemikiran, kritis dan mengajak para pengikutnya untuk menentukan pemilihan dengan penuh kesedaran. Allah swt meminta kepada manusia untuk menerima dan meyakini ajaran agama berdasarkan penelitian, dalil dan logika. Dalam Islam, kesadaran, pengetahuan dan pemahaman yang luas, memiliki tempat yang khusus. Puluhan Ayat dan hadis menggalakkan umat Islam untuk mempelajari berbagaimacam ilmu pengetahuan. Tentu saja setiap orang mesti melakukan penelitian dalam rangka mencari ilmu dan pengetahuan yang lebih luas.

Untuk itulah Islam merupakan agama yang terbuka dan menerima kritik serta pertanyaan-pertanyaan dari siapa pun yang masih memiliki keraguan, dengan syarat bahwa semua itu dilakukan dalam rangka mencari hakikat. Dalam Surat Az-Zumar Ayat 17 dan 18, Allah swt berfirman yang artinya sebagai berikut:…….”bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu kepada hamba-hambaKu, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang terbaik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.”

Dengan demikian jelas sekali bahwa ajaran Islam yang kaya dan luas ini tidak saja takut kritikan, sebaliknya menyeru semua manusia untuk melakukan penelitian sehngga ia akan dapat menentukan pemilihan dengan penuh kesadaran, dimana hanya dengan cara itulah seseorang akan memiliki keyakinan yang kuat dan kokoh terhadap pilihannya.

Tetapi Islam sama sekali tidak dapat menerima penghinaan dan sikap merendahkan yang datang dari siapa pun. Para pemimpin agama yang besar ini mengajar para pengikutnya untuk menghormati pendapat dan keyakinan orang lain dan bersikap logis dan argumentatif terhadap mereka, bukannya dengan merendahkan atau melemparkan tuduhan-tuduhan tanpa dasar. Demikian halnya perilaku Rasulullah terhadap para penyembah berhala dan musyrikin.

Agama Islam tidak membolehkan para pengikutnya untuk berbantah-bantahan dengan para pemilik kepercayaan sesat dengan cara yang tidak logis. Tidak diragukan lagi Islam melarang merendah-rendahkan agama-agama samawi lain seperti Kristen dan Yahudi. Karena Islam sebagai agama yang paling lengkap dan terakhir menghormati agama-agama Ilahi lain yang dtaang sebelumnya. Al-Quran menekankan tidak adanya perbedaan antara para Nabi dan dalam Surat Al-Baqarah Ayat 285, yang artinya sebagai berikut, “Rasul telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya dan Rasul-Rasul-Nya. Mereka mengatakan: Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun dengan yang lain dari para Rasul-Nya dan mereka mengatakan: Kami dengar dan kami taat.”

Dalam pandangan umat Islam, betapapun agama samawi lain seperti Kristen dan Yahudi yang ada saat ini telah mengalami penyimpangan yang sangat luas dan mendasar, tetapi secara keseluruhan agama-agama tersebut tetap dihormati. Kini sebagian penulis dan pemerintah Barat, atas nama demokrasi, menghina agama-agama. Sedangkan sikap menghina, merendahkan dan mencela agama-agama Ilahi dan para Nabi, dilakukan karena para penghina tesebut tidak memiliki logika dan argumentasi untuk membantah ajaran-ajaran agama.

Penulis makalah Sueddeutsche Zeitung tersebut di atas menambahkan, “Syarat untuk perluasan toleransi dan sikap lapang dada di dunia ialah bahwa kitab-kitab suci termasukAl-Quran dan Injil, tidak boleh diletakkan di atas atau sejajar dengan kebudayaan yang kokoh ini.”

Penulis tersebut mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kebudayaan yang kokoh itu ialah demokrasi Barat. Tampaknya, orang-orang seperti penulis dari Barat ini telah keliru ketika menyamakan Islam dengan Kristen abad pertengahan. Mereka mempropagandakan Islam sebagai agama yang keras dan tidak logis. Padahal kehadiran Islam yang sedemikan terang di sepanjang lebih dari 1400 tahun, membuktikan bahwa agama ini memiliki ajaran yang sangat kaya dan logis, dan mampu memberikan jawaban kepada segala macam kritikan dengan penuh kesabaran dan dalam iklim yang sehat.

Sedangkan, apakah demokrasi mampu menjadi budaya yang kokoh ataupun budaya yang ebrlaku secara unggul? Hal ini merupakan topik penting yang di Barat, terutama Jerman, banyak mendorong para pakar dan peneliti melakukan pembahasan dalam masalah ini. Seorang profesor Jerman, Werner Schiffauer, dosen universitas Frankfurt, mengatakan, “Budaya unggul ialah budaya yang disepakati oleh semua manusia yang hidup dalam sebuah komunitas. Kesepakatan ini hartus meliputi nilai-nilai dan pandangan-pandangan yang ada, dan masyarakat memerlukan kesepakatan seperti ini demi melanjutkan kehidupannya.”

Kemudian, professor Schiffauer dan beberapa penulis lain menjelaskan poin berikut, ”Budaya unggul adalah sebuah hipotesa yang dia itu sendiri menimbulkan banyak kesulitan. Karena timbul pertanyaan, apakah masyarakat yang beranekaragam dan memiliki berbagai macam budaya, adat dan tradisi memerlukan sebuah budaya unggul?

Pemaparan masalah budaya unggul oleh Schiffauer dan para penulis lain yang sepemikiran dengannya, sebenarnya adalah pemaksaan nilai-nilai liberal demokrasi terhadap orang lain yang meyakini idiologi-idiologi lain termasuk Islam.

Doctor Irmgard Pinn seorang sosiolog Jerman dan dosen universitas berkata, “Pemberlakuan budaya unggul ini bertujuan melepaskan umat Islam dari agama mereka. Jika sudah demikian, maka mereka akan dapat dilebur dengan baik ke dalam masyarakat Barat.”

Doctor Pinn menambahkan, “Umat Islam yang mempertahankan budaya dan adat tradisi mereka, pergi ke masjid-masjid dan melaksanakan ajaran-ajaran agama mereka. orang-orang semacam ini tidak akan terlebur ke dalam masyarakat, dan mereka tidak akan menyesuaikan diri dengan budaya yang berlaku di Barat. Untuk itu keberadaan mereka tidak diperlukan.”

Maksud kata-kata tersebut ialah bahwa umat Islam, dikarenakan kepercayaan dan keteguhan mereka berpegang kepada ajaran agama, harus meninggalkan negara Barat. Dengan demikian, liberalisme, yang mengklaim netralitas terhadap keyakinan dan agama-agama, kini di balik kedok penerapan budaya unggul, memaksa diri mereka kepada penganut idiologi-idilogi lain dan meminta mereka untuk meninggalkan keyakinan-keyakinan mereka.

Kardinal Joseph Ratzinegger, ketua dewan Paus, ketika membela keyakinan dan ajaran Vatikan, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Itali La Republika, berkata, “Eropa telah berpindah dari sebuah budaya Kristen ke budaya penyembahan dunia yang kejam dan keras. Filsafat sekulerisme, sudah bukan lagi sekedar penetralisir yang hanya menciptakan iklim kebebasan, tapi telah berubah dewasa ini menjadi idiologi yang memaksakan diri melalui kekuatan politik.”

Dengan kata lain, Barat sudah tidak lagi bersedia menerima keberadaan idiologi dan keyakinan-keyakinan lain, tetapi mengajak pihak lain untuk berlapang dada dan toleransi. Padahal, umat Islam, dengan sejarahnya yang gemilang, telah membuktikan bahwa merekalah yang mampu hidup damai berdampingan dengan kelompok-kelompok minoritas lain di negara-negara mereka.Pada saat ini pun, dinegara-negara Islam,kelompok minoritas Kristen dan Yahudi, pada unggulnya hidup dalam penuh ketenangan dan kehormatan di samping saudara-saudara sebangsanya, umat muslimin.

Pengalaman menunjukkan bahwa pemaksaan satu nilai atau kepercayaan lewat berbagai tekanan politik, budaya dan sosial tidak akan membuahkan hasil. Dan jika sebuah budaya unggul harus ditegakkan di tengah suatu masyarakat, maka ia harus ditegakkan berdasarkan nilai-nilai dan kesepahaman bersama. Yang jelas, untuk tampil sebagai budaya unggul, demokrasi liberal memiliki berbagai kekurangan dan cacat. (irib)

Islam, Demokrasi dan Budaya Unggul (Bagian Terakhir)

Tahukah kita bahwa media massa barat menggunakan tajuk ini sebagai liputan baru untuk memaksakan nilai-nilainya kepada rakyat dunia. Landasan budaya, sebenarnya merupakan nilai-nilai bersama yang diterima oleh sebuah masyarakat. Sedangkan demokrasi tidak memiliki ciri-ciri ini. Sejak zaman renaissance sampai saat ini, atau sejak demokrasi ditonjolkan sebagai sebuah ideology, pemikiran ini sudah banyak mengalami perubahan, sehingga kini tidak jelas, apa sebenarnya yang dimaksudkan dengan prinsip demokrasi ini.

Sebenarnya masalah yang penting ialah berbagai maksud dari demokrasi itu sendiri. Kini negara yang mengklaim dirinya sebagai pengamal liberal demokrasi, memiliki metode yang saling berbeda dalam menjalankan pemerintahan. Para cendekiawan barat sejak dari masa lampau hingga hari ini mengajukan berbagai analisa dan penafsiran mengenai demokrasi, yang terkadang saling kontradiktif. Negara-negara komunis seperti Rusia juga mengklaim diri sebagai negara demokratik. Kini banyak sekali rezim despotik dan diktator yang menamakan sistem negaranya sebagai demokratik. Rezim zionis yang oleh Barat disebut sebagai satu-satunya negara demokrasi di timur tengah, terbentuk dengan menduduki Palestina dan membunuh rakyat tak berdosa di Palestina. setiap hari rezim ini menghancurkan rumah-rumah serta ladang-ladang rakyat Palestina.

Contoh lain dari pemerintah liberal demokrasi adalah Amerika. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, rezim agresor, arogan dan ekpansionis ini telah menyerang puluhan negara dan membantai manusia-manusia tak berdosa demi kepentingan ilegal mereka. Amerika yang disebut sebagai negara paling demokratis di dunia, selepas menduduki Irak, menyibukkan diri dengan membunuh dan menumpas rakyat negara ini serta merampok minyak dan kekayaan nasional Irak.

Di negara-negara barat sendiri, penafsiran rakyat dan bahkan para pejabat di sana mengenai demokrasi tidaklah sama. Sebagian menyebutkan bahwa sistem liberal demokrasi sama dengan penolakan terhadap agama dan pemisahan maalah spiritual dari seluruh manifestasi kehidupan, sementara sebagian yang lain menerima keberadaan sejumlah agama dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, kita menyaksikan perlakuan berbeda negara-negara Eropa terhadap agama Islam. Dinegara-negara seperti Perancis, seorang muslimah tidak berhak memakai jilbab, tetapi di sebagian negara Eropa yang lain, masalah ini ditanggapi dengan cara yang berlainan.

Kini, timbul pertanyaan, demokrasi yang memiliki penafsiran berbeda yang terkadang saling bertolak belakang, bagaimana bisa menjadi landasan pemerintahan seluruh negara di dunia?

Di negara-negara barat, dalam kerangka demokrasi, kita akan melihat pelanggaran kebebasan yang terkadang tidak pernah pernah di negara dunia ketiga. Sebagai contoh, di negara-negara ini seseorang itu tidak diperbolehkan meragukan jumlah orang Yahudi yang tewas di kamp-kamp konsentrasi yang dibangun oleh Nazi Jerman pada perang dunia kedua. Sebab keraguan seperti ini dianggap sebagai sebiah dosa yang sangat besar. Professor Roger Garaudy yang meragukan klaim orang-orang yahudi dalam hal ini adalah korban yang nyata. Dia harus membayar keraguannya itu dengan tampil di kursi pesakitan di pengadilan.

Fakta yang sesungguhnya adalah bahwa demokrasi merupakan satu ide perjanjian antara manusia, karena itu wajar bias mengalami perubahan dan memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Dengan alasan inilah, negara-negara arogan menyulut perang di sejumlah negara dan atau membunuhi rakyat tidak berdosa secara massal, dengan kedok demokrasi.

Akan tetapi menurut pandangan Islam, landasan budaya haruslah berasaskan pada satu hal yang dimiliki oleh semua anak Adam, atau yang dikenal dengan istilah fitrah. Urusan fitrah seperti kecintaan dan kasih sayang kepada anak, terdapat dalam diri para ibu di seluruh dunia. Rasa cinta ini tidak akan pernah pudar kapanpun juga. Fitrah bukanlah sesuatu yang bisa dirubah atau diguncang. Fitrah selalu membawa manusia ke arah kebaikan seperti sikap jujur, perikemanusiaan, penghormatan kepada orang tua, kecenderungan kepada keadilan dan kebencian kepada kezaliman, penolakan terhadap penipuan, permusuhan, pengkhianatan, dan diskriminasi. Nilai-nilai luhur ini dipuji dan dihormati dalam semua masyarakat manusia dan di semua zaman. Oleh karena itu adalah perlu para cendikiawan melakukan penelitian terhadap landasan budaya dan persamaan bangsa berdasarkan kepada dasar-dasar fitrah.

Poin lain ialah fitrah manusia dan nilai-nilai luhur yang bersumber darinya, mendapat perhatian agama-agama ilahi khususnya agama Islam. Pada realitanya fitrah dan agama, keduanya bersumber dari satu mata air iaitu dari Allah swt dan yang menunjukkan kepada manusia jalan kebahagiaan yang sebenarnya. Agama Islam sebagai agama terakhir menyodorkan program yang lengkap untuk kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat. Ajaran ini telah ditetapkan oleh Tuhan dan mencakup semua manusia. Allah tidak memiliki kepentingan apapun dengan kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.

Dalam kondisi ini, sebaiknya orang-orang barat mempelajari ajaran Islam dan menghentikan olok-olok atas agama ilahi ini. Islam adalah agama yang selaras dengan fitrah manusia dan senantiasa menyeru kepada kedamaian, persahabatan, keadilan dan spiritual. Sayangnya sebagian besar media massa barat berusaha untuk menutup-nutupi wajah Islam yang sebenarnya dan mengesankan bahwa umat Islam adalah orang-orang fanatik yang akrab dengan kekerasan. Kardinal Joseph Ratzinger, ketua dewan pelindung keimanan Vatikan dalam hal ini menjelaskan: Umat Islam mempunyai iman yang kuat kepada Tuhan, sama seperti kepercayaan mereka kepada hari kiamat. Karenanya mereka meyakini ajaran-ajaran lain dari agama mereka, sementara kita kehilangan ajaran-ajaran itu.”

Dengan demikian, untuk mewujudkan sebuah budaya bersama seluruh umat manusia, harus dicarikan dasar-dasar yang tidak menyertakan kepentingan pribadi dan kelompok tertentu. Dasar-dasar itu harus mengutamakan kepentingan seluruh umat manusia. Untuk mewujudkan pekerjaan ini diperlukan penelahaan yang mendalam terhadap seluruh pemikiran, dagam dan ideologi. Tak syak, dengan demikian, akan terbukti bahwa agama ilahi khususnya agama Islam memiliki landasan yang kuat untuk menjadi dasar budaya seluruh umat manusia. (Irib)

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design