Oleh: I. Bambang Sugiharto *
"Posmodernisme" itu macam hantu.
Orang bisa ngotot menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang bisa
juga bersikukuh menganggapnya kenyataan paling real hari ini. Orang bisa bilang
bahwa itu mode intelektual yang sudah mati, atau malah keguguran sebelum lahir.
Akan tetapi, bisa juga sebaliknya: paradigma yang baru saja lahir dan sedang
berkembang kini. Istilah itu menyandang demikian banyak nuansa yang campur
aduk, sehingga argumentasi apa pun sepertinya bisa saja diterima. Maka
mendudukkan Foucault dalam konsep yang tidak jelas itu dengan sendirinya
menjadi tidak bisa definitif pula.
Klarifikasi
Istilah "Posmodernisme" bisa menunjuk pada
berbagai arti yang berbeda, bisa berarti : aliran pemikiran filsafati;
pembabakan sejarah (erat terkait pada pergeseran paradigma); ataupun sikap
dasar/ etos tertentu. Masing-masing membawa konsekuensi logis yang berbeda,
meskipun bisa saling berkaitan juga. Apabila yang kita maksudkan adalah aliran
fllsafat, maka ia menunjuk terutama pada gagasan-gagasan J.F. Lyotard, yang paling eksplisit menggunakan istilah itu. Namun bila yang kita
maksud adalah babakan sejarah baru yang meninggalkan kerangka berpikir modern
("Pos" modern), maka mereka yang paling sibuk memetakannya adalah Charles
Jeneks, Andreas Huysen, David Harvey dll. Di sini orang bisa
berdebat dengan sangat nyinyir kapan persisnya terjadi pergeseran paradigma
besar-besaran dan apa persis yang bergeser itu sehingga bisa menyebut zaman ini
"post"-modern. Jangan-jangan segala pergeseran itu justru
radikalisasi dan segala kecenderungan modern sendiri, sehingga alih-alih
"post", semua gelagat itu mesti disebut "most" : most-modern. Pada titik inilah kita mesti mendudukan berbagai wacana dan orang-orang
macam Habermas, Anthony Giddens, Ernest Geliner dsb. Akan
tetapi, bila Posmodernisme kita artikan dalam arti luas, yakni sebagai segala
bentuk "sikap dasar" (etos) yang mencoba kritis terhadap pola pikir
dan prinsip-prinsip modernisme, maka tiba-tiba "Posmodernisme"
mencakup wilayah isi, aliran filsafat dan tokoh yang amat luas. Ia menjadi
istilah-payung yang memayungi demikian beragam gelagat di berbagai bidang,
bahkan yang saling bertentangan sekalipun. Celakanya, karena bisa berisi apa
pun orang lantas juga menganggap istilah itu kosong tanpa isi. Dan istilah
"posmo" menjadi bahan olok-olok untuk apa pun yang tidak lazim,
ganjil, bahkan tidak senonoh. Ia menjadi karikatur. Maka tak usah heran bila
tiba-tiba "Posmo" menjadi nama sebuah tabloid kienik. Dan bisa saja
ada warung bakso atau situs porno yang bernama "Posmo" juga.
Tulisan ini cenderung berbicara tentang arti yang ketiga
itu, yakni posmodernisme sebagai segala bentuk sikap kritis terhadap pola pikir
dan prinsip-prinsip modernisme. Saya kira sulitlah disangkal bahwa hari-hari
ini memang bermunculan demikian banyak kecenderungan kritis baru, yang pada
titik-titik tertentu toh memaksa kita memahami kemodernan secara berbeda. Dan
ini tidak hanya mencakup satu dua aliran pemikiran. Ia mencakup demikian banyak
gejala yang sangat kompleks di segala bidang. Menganggap segala istilah
"the end" yang heboh bermunculan dalam begitu banyak bidang hari-hari
ini (The end of philosophy,
of ideology,of science, of histoiy, of art, of nation-state, etc.etc.) sekadar sebagai kelatahan modis belaka rasanya terlalu
simplistik dan menunjukkan kekurangpekaan yang serius.
Sebagai istilah-payung memang posmodernisme dalam arti
luas ini bisa terasa kosong, bisa diisi apapun juga. Akan tetapi barangkali ia
mesti dilihat ibarat keranjang besar, kosong, meskipun keranjangnya ada. Dan
itu sebetulnya sama saja dengan istilah "modern" sendiri, yang juga
bisa diisi apapun juga.
Orang bisa
menyebut teknologi modern, pola pikir modern, pesantren modern, bahkan gaya
cukuran modern atau gudeg modern,dst. Dan orang bahkan bisa menyebut berbagai
aliran filsafat yang satu sama lain saling bertentangan macam rasionalisme,
empirisme, materialisme dan idealisme, semua sebagai filsafat
"modern", alias berada dalam satu keranjang yang sama. Artinya,
keranjangnya toh ada. Ada kecenderungan-kecenderungan dasar yang sama.
Beberapa kecenderungan dasar umum
posmodernisme yang bisa dianggap sebagai kerangka keranjang, misalnya:
(1) kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" ( diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis;
(2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
(3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem (pluralisme);
(4) paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan "jaringan", "relasionalitas" ataupun "proses" yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;
(5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah "postmodernisme" sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya dengan "modernisme", alih-alih melihatnya sebagai oposisi);
(6) melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb.; serta
(7) menghargai segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).
(1) kecenderungan menganggap segala klaim tentang "realitas" ( diri subyek, sejarah, budaya, Tuhan, dsb.) sebagai konstruksi semiotis, artifisial dan ideologis;
(2) skeptis terhadap segala bentuk keyakinan tentang "substansi" objektif (meski tidak selalu menentang konsep tentang universalitas);
(3) realitas bisa ditangkap dan dikelola dengan banyak cara dan sistem (pluralisme);
(4) paham tentang "sistem" sendiri dengan konotasi otonom dan tertutupnya cenderung dianggap kurang relevan, diganti dengan "jaringan", "relasionalitas" ataupun "proses" yang senantiasa saling-silang dan bergerak dinamis;
(5) dengan begitu cara pandang yang melihat segala sesuatu dan sudut oposisi biner pun (either-or) dianggap tak lagi memuaskan; segala unsur ikut saling menentukan dalam interaksi jaringan dan proses (maka istilah "postmodernisme" sendiri pun mesti dimengerti dalam interrelasinya dengan "modernisme", alih-alih melihatnya sebagai oposisi);
(6) melihat secara holistik berbagai kemampuan (faculties) lain selain rasionalitas, misalnya: emosi, imajinasi, intuisi, spiritualitas, dsb.; serta
(7) menghargai segala hal "lain" (otherness),yang lebih luas, yang selama ini tidak dibahas atau bahkan dipinggirkan oleh wacana modern (mis. kaum perempuan, tradisi-tradisi lokal, paranormal, agama, sehingga segala hal dan pengalaman yang selalu mengelak dan pola rumusan kita).
Akan tetapi, keluasan memang berarti juga
kekaburan. lnilah memang masalahnya: kekaburan istilah "posmodern"
sebagian besar adalah karena kekaburan istilah "modern" itu sendiri.
"modern" dalam arti mana yang dikritik "posmodernisme" itu.
Berbagai kekisruhan dalam menempatkan tokoh mana dijalur mana berakar pada
persoalan itu. Artinya, kendati posmodernisme bisa dicanangkan prinsip-prinsip
dasarnya yang sama, - yang membuatnya bisa mencakup demikian banyak aliran -
toh selalu bisa juga dilihat perbedaan-perbedaannya pada tingkat
rincian-rincian. Dan sudut ini, Foucault
bisa dilihat baik sebagai salah satu tokoh posmodern sekaligus juga tokoh
modern, tergantung dari perspektif mana kita melihatnya.
Foucault Posmodern
Tentu saja anggapan bahwa Foucault itu tokoh
posmodern pertama-tama berawal dari identifikasi antara Posmodernisme dan
Pos-strukturalisme, wilayah berkubangnya Foucault. Dan ini sebagiannya karena
kecenderungan wacana estetik-kultural di AS sejak tahun 60'an. Kecenderungan
revitalisasi Avantgardisme-Eropa di Amerika saat itu membawa tendensi-tendensi
yang melahirkan arus estetik baru yang kemudian disebut "Posmodern".
Arus estetik ini misalnya bagaimana pun mengubah anggapan-anggapan ideologis
modern tentang "style","bentuk" ,
"kreativitas" dan terutama tentang "tugas" dan
"hakikat" kesenian dalam kehidupan dan masyarakat. Leslie Fiedler,
misalnya, mengacu pada ekspressi seksual dalam seni, mengangkat
"Pencerahan kelamin" (genital
enlightenment) dan membela literatur pop. Ihab Hasan
mengajukan "Estetika bisu" (Aesthetus
of silence).
Susan Sontag mengusulkan cara pandang erotik (lawan hermeneutik)
terhadap seni, menekankan pengalaman sensual dalam apresiasi, alih-alih
interpretasi kognitif-intelektual. Di situ yang ditolak bukanlah modernisme en bloc, melainkan modernisme
yang telah menjadi bagian dan konsensus liberalkonservatif, yang telah menjadi affirmatif, impoten dan
kehilangan kekuatan kritisnya.
Kalau di situ terlihat Avantgardisme disusul
oleh Posmodernisme estetik, maka saat itu serentak juga kritik seni ala Teori
Kritis Frankfurt -yang cenderung mengutamakan kedalaman isi dan substansi
rasional seni- disusul dan dilibas oleh kecenderungan baru: Pos-strukturalisme,
yang lebih mengutamakan permainan semiotik di permukaan karya. Cara pandang
terhadap karya seni yang tadinya menekankan kejeniusan sang senimannya (writerly text) diganti menjadi
kebermainan si penikmatnya dalam mengotak-atik sesuka sendiri bentuk karya itu
(readerly text) dengan
kebahagiaan yang mereka sebut: jouissance
( Barthes). Konkruensi antara Posmodernisme dan Pos-strukturalisme
inilah agaknya yang membuat orang cepat menghubungkan keduanya seolah satu
kubu. Lagipula pos-strukturalisme yang memperkarakan teks apa pun itu memang
juga cenderung mencampurbaurkan teks sastra dengan teks-teks kritis-filosofis,
atas nama intertekstualitas.
Akan tetapi juga dari sudut isi gagasannya
pos-strukturalisme memang merupakan sumber yang subur bagi argumen-argumen
pos-modernisme. Kecenderungan Pos-strukturalisme untuk mengkritik konsep
tentang manusia sebagai subjek rasional, konsep metafisis tentang pengetahuan,
kebenaran, identitas, dan sejarah adalah salah satu landasan paling meyakinkan
yang digunakan oleh Posmodernisme.
Bila dalam paradigma modern, kesadaran dan
objektivitas adalah dua unsur yang membentuk subjek rasional-otonom, bagi
Foucault konsep diri manusia sebenarnya hanyalah produk bentukan diskursus,
praktik-praktik, institusi, hukum ataupun sistem-sistem administrasi belaka,
yang anonim dan impersonal namun sangat kuat mengontrol (Madness and Civilization; The Order of
Things dan The
Archeology of Knowledge). Bahkan, Iebih dalam lagi, Foucault
seperti ingin membongkar keterkaitan yang biasanya dianggap niscaya antara
kesadaran, refleksi-diri dan kebebasan. Skeptisisme epistemologis yang ekstrim
telah membuat Foucault menyejajarkan pengetahuan, subjektivitas dengan
kekuasaan, dan karenanya menganggap segala bentuk kemajuan/ pencerahan entah di
bidang psikiatri, perilaku seksual atau pun pembaharuan hukum - selalu saja
sebagai tanda-tanda kian meningkatnya bentuk kontrol atas kesadaran dan
perilaku individu. Bukan oleh agen atau rezim tertentu, melainkan oleh jaringan
relasi-relasi semiotis, diskursif dan administratif, yang sebetulnya
anonim-impersonal tadi.
Salah satu hal yang paling inspiratif bagi
Posmodernisme adalah memang sikapnya dalam memahami fenomena modern yang
bernama "pengetahuan" itu, terutama Pengetahuan Sosial. Ia
memperkarakan tentang "Apa itu pengetahuan" secara genealogis dan
arkeologis; artinya, dengan melacak bagaimana pengetahuan itu telah beroperasi
dan mengembangkan diri selama ini Kategori-kategon konseptual macam
"kegilaan", "seksualitas", "manusia", dan
sebagainya yang biasanya dianggap "natural" itu sebetulnya adalah
situs-situs produksi pengetahuan, yang membawa mekanisme-mekanisme dan aparatus
kekuasaan; kekuasaan untuk "mendefinisikan" siapa kita. Ilmu-ilmu
sosial dan ilmu kemanusiaan adalah agen-agen kekuasaan itu. Dan kendati
kekuasaan itu tidak selalu negatif-repressif melainkan juga positif-produktif
(menciptakan kemampuan dan peluang baru), toh secara umum ia memaksa kita
memahami kemodernan bukan lagi sebagai pembebasan, melainkan sebagai proses
kian intensif dan ekstensifnya pengawasan (surveillance),
lewat "penormalan", regulasi dan disiplin (I, Pierre Riviere...; Discipline and Punish;
Power/ Knowledge).
Hal menarik yang membuat Foucault sering
dimanfaatkan oleh para jurubicara "posmo" adalah pengertiannya yang
spesifik tentang "kekuasaan" itu. Baginya kekuasaan bukanlah soal
intensi individu, rezim ataupun kelas sosial tertentu, bukan pula soal relasi
produksi dan eksploitasi, melainkan jaringan relasi yang anonim dan terbuka.
Sebenamya Foucault nyaris tidak mencanangkan sebuah teori ontologis tentang
kekuasaan, sebab ia lebih berfokus pada partikularitas relasi-relasi (penjara,
rumah sakit, rumah sakit jiwa, sekolah dan sebagainya.).
Kekuasaan adalah
soal praktik-praktik konkrit yang lantas menciptakan realitas dan pola-pola
perilaku, memproduksi wilayah objek-objek pengetahuan dan ritual-ritual
kebenaran yang khas. Praktik-praktik itu menciptakan norma-norma yang lalu
direproduksi dan dilegitimasi melalui para guru, pekerja sosial, dokter, hakim,
polisi dan administrator, misalnya. Kekuasaan mewujudkan diri dalam
pengetahuan, tetapi pengetahuan pun lantas melahirkan kekuasaan.
Dengan begitu terlihat pula bahwa bagi
Foucault perjalanan sejarah pun kehilangan unsur teleologis. Sejarah adalah permainan
dominasi dan resistensi yang bergeser-geser, grouping
dan regrouping. Dalam
sejarah itu misalnya, manusia memang sempat terbebas dan rantai kontrol
eksteral-fisik, tetapi hanya untuk dibelenggu oleh rantai kontrol
internal-mental oleh diri sendiri ( Madness
and Civilization). Maka istilah-istilah macam kesederajatan,
kebebasan, keadilan, dan sebagainya hanyalah alat-alat bagi permainan relasi
kekuasaan macam itu saja. Ini tentu berjajaran dengan pola pikir Nietzschean,
yang misalnya melihat tuntutan orang tertindas terhadap keadilan semata-mata
sebagai dalih mereka untuk mendapatkan kekuasaan. Dalam kerangka macam ini
sejarah sebagai proses sinambung ke arah emansipasi bagi Foucault adalah
semacam fantasi saja.
Demikian seperti halnya Derrida, yang juga tidak
melihat arah akhir sejarah sebagai satu dan pasti, Foucault menguatkan
kecenderungan pluralisme pemaknaan sejarah di kalangan postmodernis. Bagi kaum
Pos-strukturalis "makna" memang bukan sesuatu yang mengandung
keniscayaan. Korespondensi antara sistem semiotik/ diskursif dengan realitas
bukanlah satu banding satu. Ia selalu membawa banyak kemungkinan dan mudah
berubah.
Akhirnya perlu disebut jasa lain dari
Foucault bagi Posmodernisme adalah: ia menampilkan Otherness secara lebih konkrit dan grafis, dengan
analisis-analisisnya atas pihak-pihak yang dalam modernitas biasanya dianggap
tidak normal dan tidak lazim, yakni kaum homoseksual, orang gila, tubuh, rumah
sakit, dan sebagainya. Dan dengan begitu membukakan wilayah-wilayah wacana
baru.
Foucault Modern
Sebenarnya karya-karya Foucault, seperti
halnya karya beberapa posstrukturalis lain, bisa juga dilihat sebagai pembacaan
atas kemodernan. Artinya, alih-alih dikaitkan dengan Posmodernisme, bisa lebih
tepat dilihat sebagai semacam "Arkeologi atas Modernisme", alias
pembacaan retrospektif atas batas-batas modernisme dan kegagalan ambisi-ambisi
filosofis-politisnya yang ternyata tetap saja borjuistik.
Langgam dasar dari karya-karya Foucault dari
sudut tertentu sebetulnya juga mirip dengan berbagai kritik atas modernisme
seperti yang dilayangkan oleh Weber dan bergema pada sekolah Frankfurt (Adorno,
Horkheimer). Misalnya, bahwa modernitas itu menekankan rasionalitas
instrumental, berfokus hanya pada cara/ sarana (means) dan bukan pada tujuan (end); bahwa rationalitas ini
mewujud dalam rasionalitas ilmiah, dsb. Bagi Foucault pun ilmu, yang lewat
kecenderungan reifikasinya mengakibatkan keterlepasan dari misteri tujuan dan
nilai hidup ( disenchantment)
, adalah mitos baru. ilmu bicara banyak tentang siasat-siasat teknis, tetapi
tak mengerti apa-apa tentang nilai dan tujuan hidup. Hal lain lagi adalah bahwa
baginya sosok kekuasaan modernisme yang dominatif itu tidak lagi individual
ataupun berupa kelas-kelas sosial, melainkan berupa mesin administratif "netral"
dan impersonal bagai sosok Panopticon, dan bekerja berdasarkan aturan-aturan
abstrak ( Discipline and Punish).
Dan ini sebetulnya nyaris berjajaran juga dengan analisis Weber atas birokrasi
atau proses kerja dalam pola organisasi kapitalisme, yang melihat pergeseran
pola dominasi dari pola "tradisional" ke "legal-rasional".
Akan tetapi cara dan sasaran pembacaan ala
Pos-strukturalisme pada umumnya atas modernisme memang berbeda juga dari kritik
modernisme ala Sekolah Frankfurt. Barangkali akar perbedaannya terutama
terletak pada perbedaan pengertian tentang konsep "modernisme" itu
sendiri. Bagi Habermas, misalnya, seperti halnya bagi tokoh Frankfurt
Iainnya, "modern" itu berarti tradisi Pencerahan dan supremasi
rasionalitas, yang hendak mereka selamatkan.
Sedang yang
dimaksud dengan "modern" oleh para filsuf Pos-strukturalis agaknya
adalah: tradisi kritis dekonstruktif Nietzschean, yakni energi
"estetik" yang cenderung membongkar segala bentuk representasi. Ini
memang membawa konsekuensi logis yang sangat berbeda. Dari perspektif
Pos-strukturalis ini misalnya, rasionalitas Pencerahan adalah justru sosok
teror dan pengekangan totaliter-struktural, yang melahirkan narasi-besar Hegel
ataupun Marx, tetapi juga berbuntut pada totaliterisme Auschwitz ataupun
kesewenangan ideologis Gulag. Dan sudut ini perspektif Pos-strukturalis
persis berbeda secara diametrikal dengan perspektif Frankfurt.
Itu pula sebabnya kata kunci dalam kritik
modernisme versi Pos-strukturalisme misalnya bukanlah "anxiety",
"alienasi" ataupun "negativitas", melainkan
"transgressi", "tekstualitas", "presensi",
"jouissance", dan sebagainya. Kalau teori kritis beraroma melankolis,
murung dan muram, maka pos-strukturalisme lebih diwarnai kebermainan gembira
yang liar bagai merayakan anarkisme dan nihilisme. Istilah "gay
science" dari Nietzsche bagus bila dikenakan pada perilaku kaum
Pos-strukturalis.
Dalam kerangka itu sangatlah menarik artikel
pendek Foucault yang berjudul What
is Enlightenment. Secara eksplisit di sana ia menolak mengambil
sikap pro ataupun kontra terhadap Pencerahan, sebab pemosisian terhadap
altematif macam itu baginya totaliter dan simplistik, terasa bagai tindakan
"pemerasan" (blackmail).
Ia juga menganggap tidak penting istilah
"pra-modern","modern" ataupun "posmodern" yang
menunjukkan babakan-babakan sejarah. Sikap "dialektis" ataupun
melihat segalanya dalam kerangka both-and
( "ini" sekaligus "itu") baginya juga bukan jalan keluar.
Yang dicanangkannya adalah sikap realistis yang melihat kenyataan bahwa dari
sudut tertentu kita memang telah dibentuk oleh Pencerahan itu, namun ini tidak
berarti kita mesti mempertahankannya dengan mencari dasar kesahihan baru bagi
prinsip-prinsip universal Pencerahan yang telah ditancapkan oleh Kant.
Alih-alih mencari kembali batas-batas pengetahuan dalam rupa struktur formal
yang niscaya dan universal ala Kant, katanya, justru perlulah kita keluar dari
batasan-batasan macam itu; mencoba kemungkinan-kemungkinan baru yang mendobrak
anggapan tentang keniscayaan-keniscayaan macam itu. Yang diperlukan adalah:
transgressi. Kalau Kant terobsesi oleh prinsip-prinsip universal, maka kita
perlu bertanya mengapa tidak ada tempat yang cukup berarti bagi yang partikular
dan kontingen, misalnya.
Dengan itu Foucault bukannya hendak menolak
modernisme, melainkan memahami modernisme secara berbeda dari Kant. Bila bagi
Kant hal yang inti dari modernisme Pencerahan adalah cita-cita menjadikan
manusia matang, dewasa dan otonom, maka Foucault meragukan hasilnya. Nyatanya,
katanya, hingga hari ini manusia tidak lebih matang dan dewasa ataupun otonom.
Foucault Iebih suka melihat Pencerahan atau kemodernan dari paham penyair Baudelaire.
Dalam kerangka Baudelairean modernitas adalah etos, sikap dasar, yang selalu
memperhadapkan kenyataan real hari ini dengan potensi kebebasan yang mampu
mengatasi realitas itu. Manusia modern di sini bukanlah manusia yang makin
menemukan rahasia-rahasia atau kebenaran terdalamnya, bukan pula yang makin
mampu membebaskan diri menuju diri sejatinya, melainkan yang terus-menerus
mampu menciptakan kembali dirinya, mampu mengatasi batasan-batasan yang telah
dicangkokkan atasnya. Dalam rangka itulah perlu kini kritik-kritik genealogis
dan arkeologis, dan bukan kritik transendental Kantian. Artinya, yang
diperlukan adalah melacak kembali jaringan-jaringan peristiwa konkrit dalam
sejarah yang bisa memperlihatkan bagaimana pemahaman diri kita itu telah
dibentuk, mengapa batasan-batasan tertentu dianggap niscaya dan universal
padahal tidak mesti begitu, dan sebagainya. Ontologi kritis atas diri, katanya,
mestinya berupa etos yang selalu berani melakukan analisis historis atas segala
jenis batas yang dikenakan pada kita sekaligus bereksperimen untuk keluar dari
batasan-batasan itu.
Segala kritik Foucault atas "diri
subjek" modern agaknya mesti diletakkan dalam kerangka "Ontologi
kritis atas diri" itu. Pada titik ini terlihat makin jelas ambiguitas
sikap Foucault terhadap kemodernan. Di balik segala omongannya yang sangat
berbau "antihumanistik" atau "anti-Subjek", sebetulnya ia
toh tidak naif, ia masih melihat manusia sebagai subjek tertentu. Hanya saja
cara memandangnya memang khas. Maka Foucault sebetulnya masih membela
modernisme dan modernitas, namun dengan perspektif dan caranya sendiri.
Bahkan ada yang menganggap omongan-omongan Foucault adalah nyanyian angsa (Swansong) dari kemodernan itu sendiri. Akan tetapi kita tahu juga memang, nyanyian
angsa paling indah adalah nyanyian terakhir sebelum ia mati. Omongan-ornongan
kaum pos-strukturalis memang memukau dan mengasyikkan bagai binar-binar kembang
api. Namun, kembang api terasa memukau hanya di malam ri ketika modernisme
sudah malam, gelap dan frustrasi.
* Penulis adalah
dosen filsafat pada Universitas Parahyangan, Bandung
Daftar Pustaka
Foucault, M., Madness and Civilization, London: Tavistock, 1967
---, The Order of Things, London: Tavistock, 1970
---, The Archeology of Knowledge, London: Tavistock, 1972
--- , Power/Knowledge, selected interviews and other writings 1972-1977, ed. C. Gordon, Brighton: Harvester Press, 1980
--- , Discipline and Punish, London: Penguin, 1977
---, "What is Enlightenment" dalam Knowledge and Postmodernism in historical perspective, ed. Joyce Appleby et al., New York : Routledge, 1996
---, The Order of Things, London: Tavistock, 1970
---, The Archeology of Knowledge, London: Tavistock, 1972
--- , Power/Knowledge, selected interviews and other writings 1972-1977, ed. C. Gordon, Brighton: Harvester Press, 1980
--- , Discipline and Punish, London: Penguin, 1977
---, "What is Enlightenment" dalam Knowledge and Postmodernism in historical perspective, ed. Joyce Appleby et al., New York : Routledge, 1996