COUNTER legal draft Kompilasi Hukum Islam (CLD KHI) belum
selesai diperbincangkan. Ini karena sebagian pihak memandang sejumlah pasal di
dalam CLD KHI menyimpang dari ketentuan ajaran Islam.
SEBAGIAN ulama telah menghitung, tidak kurang dari 39
kesalahan dalam CLD KHI. Sebagian yang lain mengalkulasi terdapat 19 kesalahan.
Karena itu harus segera dicabut dari peredaran agar tidak membingungkan dan
semakin meresahkan masyarakat. Bahkan tim CLD KHI dituduh menciptakan syariat
Islam baru, sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan manusia karena hak dan wewenang
menciptakan syariat sepenuhnya di tangan Allah SWT. Dengan alasan ini, Menteri
Agama RI turun tangan membatalkan CLD KHI.
Pertanyaannya, benarkah CLD KHI melanggar ajaran Islam,
yakni Al Quran dan Al Hadis? Landasan berpikir dan acuan apa yang dipakai tim
penyusun CLD KHI sehingga dapat melahirkan pasal yang kontroversial itu?
Saya sebagai orang yang terlibat semenjak awal dan ikut
merekam debat demi debat di dalam tim, merasa perlu meringkas dan
menyistematisasi seluruh perbincangan itu sehingga publik dapat mengetahui
persis perihal paradigma yang mendasari materi hukum CLD KHI itu.
Sebuah keniscayaan
KHI yang merupakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1
Tahun 1991 telah berumur hampir 14 tahun, usia yang menuntut peninjauan ulang
atasnya. KHI yang lahir dari pabrik intelektual manusia yang relatif tentu
bersifat relatif pula, sehingga terbuka ditinjau kembali.
KHI tidak bisa disetarakan dengan ayat-ayat universal Al
Quran yang kebenarannya melintasi ruang dan waktu. Sebagai tafsir terhadap
agama, KHI bersifat tentatif sehingga revisi terhadapnya boleh dilakukan bahkan
bisa menjadi wajib sekiranya memuat pasal diskriminatif.
Setelah dipelajari saksama, revisi terhadap KHI merupakan
agenda yang mendesak diselenggarakan. Alasan pertama, KHI memiliki kelemahan
pokok justru pada rumusan visi dan misinya. Beberapa pasal di dalamnya,
misalnya riil berpunggungan dengan prinsip-prinsip dasar Islam seperti yang
banyak diungkap secara literal oleh Al Quran, yaitu prinsip persamaan
(al-musâwah), persaudaraan (al-ikhâ`), keadilan (al-`adl), kemaslahatan,
penegakan HAM, pluralisme (al-ta’addudiyah), dan kesetaraan jender. Ditemukan
sejumlah pasal di dalam KHI yang bias jender. Pasal-pasal ini harus dihapus
agar marjinalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan tidak terlembagakan
secara formal dalam regulasi perundangan.
Kedua, KHI tidak paralel dengan produk
perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah
diratifikasi. Dalam konteks Indonesia, KHI sebagai Inpres No 1/1991 telah
berseberangan dengan produk hukum nasional seperti Undang-Undang (UU) No 7/1984
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan, UU No
39/1999 tentang HAM yang isinya sangat menekankan upaya perlindungan dan
penguatan terhadap perempuan. Dalam konteks internasional, juga bertentangan
dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan
perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional
tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966), dan lain-lain.
Ketiga, dengan membaca pasal demi pasal di dalam KHI,
tampak konstruksi hukum KHI belum dikerangkakan sepenuhnya dari sudut pandang
masyarakat Islam Indonesia, tetapi lebih mencerminkan penyesuaian fikih Timur
Tengah dan dunia Arab lain. KHI tidak betul-betul merepresentasikan kebutuhan
dan keperluan umat Islam Indonesia, akibat tidak digali saksama dari kearifan
lokal masyarakat Indonesia.
Bangunan metodologi
Sejumlah pemikir Islam menilai beberapa sisi
ketidakrelevanan fikih klasik itu karena ia disusun dalam era, kultur, dan
imajinasi sosial berbeda. Fikih klasik tersebut bukan saja tidak relevan dari
sudut materialnya, melainkan juga bermasalah dari pangkal paradigmanya.
Misalnya, per definisi fikih selalu dipahami sebagai
"mengetahui hukum syara’ yang bersifat praktis yang diperoleh dari dalil
Al Quran dan Al Sunnah. Mengacu pada definisi tersebut, kebenaran fikih menjadi
sangat normatif. Kebenaran fikih bukan dimatriks dari seberapa jauh ia
memantulkan kemaslahatan bagi manusia, melainkan pada seberapa jauh ia benar
dari aspek perujukannya pada aksara Al Quran dan Al Sunnah.
Epistemologi semacam inilah yang menjadi utang model
penghampiran literalistik. Untuk menghindari itu, CLD KHI bergerak dalam
kerangka metodologi berikut.
Pertama, mengungkap dan merevitalisasi kaidah ushul
marjinal yang tidak terliput secara memadai dalam sejumlah kitab ushul fikih.
Terus terang, banyak kaidah ushul fikih yang belum difungsikan secara optimal.
Kedua, sekiranya usaha pertama tidak lagi memadai untuk
menyelesaikan problem kemanusiaan, upaya selanjutnya adalah membongkar bangunan
paradigma ushul fikih lama; [1] mengubah paradigma dari teosentrisme ke
antroposentrisme, dari elitis ke populis; [2] bergerak dari eisegese ke
exegese. Dengan exegese, para penafsir berusaha semaksimal mungkin untuk
menempatkan teks agama sebagai "obyek" dan dirinya sebagai
"subyek" dalam suatu dialektika yang seimbang. [3] Memfikihkan
syariat atau merelatifkan syariat. Syariat harus diposisikan sebagai jalan
(wasîlah) yang berguna bagi tercapainya prinsip-prinsip Islam (ghâyat) berupa
keadilan, persamaan, kemaslahatan, penegakan HAM. [4] Kemaslahatan sebagai
rujukan dari seluruh kerja penafsiran. [5] Mengubah gaya berpikir deduktif ke
induktif (istiqrâ`iy).
Dari fondasi paradigmatis ini kita dapat merencanakan
beberapa kaidah ushul fikih alternatif. Pertama, kaidah al-ibrah bi al-maqashid
la bi al alfadz. Kaidah ini berarti yang mesti menjadi perhatian seorang
mujtahid dalam meng-istinbat-kan hukum dari Al Quran dan Al Sunnah bukan huruf
dan aksara Al Quran dan Al Hadis melainkan maqashid (tujuan hukum) yang
dikandung. Yang menjadi poros adalah cita-cita etik-moral sebuah ayat dan bukan
legislasi spesifik atau formulasi literalnya.
Untuk mengetahui tujuan hukum ini, seseorang dituntut
memahami konteks. Yang dimaksud bukan hanya konteks personal yang
juz`iy-partikular melainkan juga konteks impersonal yang kulli-universal.
Pemahaman tentang konteks yang lebih dari sekadar ilmu sabab al-nuzul dalam
pengertian klasik itu merupakan prasyarat utama menemukan maqashid al-syari’ah
(tujuan syariat).
Kedua, kaidah jawaz naskh al-nushush bi al maslahah.
Bahwa menganulir ketentuan ajaran dengan menggunakan logika kemaslahatan adalah
diperbolehkan. Kaidah ini sengaja ditetapkan karena syariat (hukum) Islam
memang bertujuan mewujudkan kemaslahatan kemanusiaan universal (jalb
al-mashalih), dan menolak segala bentuk ke-mafsadat-an (dar`u al-mafasid). Ibnu
al-Qayyim al-Jawziyah, tokoh Islam bermazhab Hanbali, menyimpulkan, syariat
Islam dibangun untuk kepentingan manusia dan tujuan kemanusiaan universal yang
lain yaitu kemaslahatan, keadilan, kerahmatan, dan kebijaksanaan (al-hikmah).
Prinsip ini harus menjadi dasar dan substansi seluruh persoalan hukum. Ia harus
senantiasa ada dalam pikiran para ahli fikih ketika memutuskan suatu kasus
hukum. Penyimpangan terhadap prinsip ini berarti menyalahi cita-cita hukum
Islam.
Ketiga, kaidah yajuzu tanqih al nuhush bi al-'aql
al-mujtama'. Kaidah ini hendak menyatakan akal publik memiliki kewenangan
menyulih bahkan mengamandemen sejumlah ketentuan legal-spesifik yang relatif
dan tentatif sehingga ketika terjadi pertentangan antara akal publik dengan
bunyi harfiah teks ajaran, akal publik berotoritas mengedit, menyempurnakan,
dan memodifikasinya.
Modifikasi ini terasa sangat dibutuhkan ketika berhadapan
dengan ayat-ayat partikular, seperti ayat poligami, nikah beda agama, iddah,
waris beda agama, dan sebagainya. Ayat-ayat tersebut dalam konteks sekarang,
alih-alih bisa menyelesaikan masalah kemanusiaan, yang terjadi bisa-bisa
merupakan bagian dari masalah yang harus dipecahkan melalui prosedur tanqih
ini.
Dengan demikian, jelaslah CLD KHI tetap bertumpu pada
ayat universal Al Quran berupa keadilan, kemaslahatan, pluralisme, HAM, dan
kesetaraan jender. Akhirnya, semoga CLD KHI secara perlahan menjadi perangkat
ketentuan hukum Islam yang senantiasa menjadi rujukan dasar bagi terciptanya
masyarakat berkeadilan, yang menjunjung nilai kemanusiaan, menghargai hak kaum
perempuan, meratanya nuansa kerahmatan dan kebijaksanaan, serta terwujudnya
kemaslahatan bagi seluruh umat manusia.
Abd Moqsith Ghazali
( Abd
Moqsith Ghazali Anggota Tim Penyusun Counter Legal Draft KHI )
08/03/2005