Ketidakpercayaan Terhadap Metanarasi Kondisi Postmodern Pengetahuan menurut J.F. Lyotard



Oleh: H. Dwi Kristanto *

Abstrak

Sains dalam masa modern mengklaim diri sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid dan melegitimasi dirinya dengan merujuk pada dua narasi besar: emansipasi manusia dan dialektika Roh.Narasi besar ini menjadi meta-narasi yang berfungsi menjamin adanya satu kebenaran tunggal yang berlaku universal. Dalam kondisi postmodern metanarasi semacam itu tak dapat dipercaya lagi. Sains dengan bahasa denotatifnya hanyalah sebuah permainan bahasa di tengah aneka permainan bahasa; satu jenis pengetahuan di antara pelbagai jenis pengetahuan. Tak ada determinisme universal; yang ada adalah determinisme lokal. Oleh karena itu sistem pemikiran yang belaku—dan dapat menciptakan keadilan—bukan homologi, melainkan paralogi.

Kata-kata kunci:  pengetahuan, legitimasi, metanarasi, permainan bahasa, pengetahuan naratif, performativitas, kekuasaan, konsensus, keadilan, paralogi.

Pendahuluan

Memasuki wacana filosofis postmodernisme, sebuah nama yang tak bisa tidak harus disebut adalah Jean-François Lyotard. Filsuf Prancis kontemporer (1924-1998) inilah yang dianggap untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat. Sebelumnya istilah “postmodern” lebih banyak digunakan dalam bidang seni dan arsitektur. Lyotard membawa masuk istilah tersebut ke dalam filsafat lewat bukunya, La Condition postmoderne: rapport sur savoir (1979). Karyanya ini disusul dengan Le Différend (1983) [1], sebuah buku yang menunjukkan upaya Lyotard untuk memberi pendasaran filosofis atas La Condition postmoderne yang sering dianggaplebih bersifat sosiologis. [2] Berkat kedua buku ini nama J.F. Lyotard makin berkibar sebagai seorang postmodernis.

Postmodernisme, dalam ranah pengetahuan (knowledge), dimengerti oleh Lyotard sebagai ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau narasi besar (grand narrative). Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau sains, sebagai salah satu wacana (discourse), mengklaim dirinya sebagai satu-satunya jenis pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi klaimnya tersebut oleh karena ternyata aturan main sains bersifat inheren serta ditentukan oleh konsensus para ahli (ilmuwan) dalam lingkungan sains itu sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan merujuk pada suatu meta-wacana (meta-discourse); secara konkrit sains melegitimasi dirinya dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika Roh, hermeneutika makna, emansipasi subyek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat manusia.[3]

Di era postmodern modus legitimasi semacam itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Bagi Lyotard sains terbukti hanyalah salah satu permainan bahasa (language game) di antara banyak permainan bahasa lainnya; sains hanyalah satu jenis pengetahuan di antara aneka jenis pengetahuan lainnya. Oleh karena itu modus legitimasi pengetahuan dengan narasi besar di bawah satu ide untuk menciptakan satu kebenaran tunggal (totalisasi sistem pemikiran atau homology) harus diganti dengan paralogy, yaitu pengakuan akan aneka macam narasi kecil (little narrative) dan sistem pemikiran plural.[4]

Apa yang akan saya sampaikan dalam artikel ini merupakan penelusuran lebih lanjut atas tesis pokok J.F. Lyotard mengenai kondisi postmodern pengetahuan sebagaimana telah saya sampaikan di atas. Di sini akan dibeberkan obyek studi, metode analisis, bentuk ikatan sosial di mana pengetahuan itu berada, penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru mengenai legitimasi pengetahuan yang diusulkan oleh Lyotard. Sebagian besar uraian ini didasarkan pada buku The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.

Obyek Studi: Kondisi Pengetahuan dalam Masyarakat Terkomputerisasi


Yang menjadi obyek studi Lyotard adalah kondisi pengetahuan dalam masyarakat yang terkomputerisasi, khususnya pengetahuan ilmiah atau sains. Perkembangan teknologi informasi membawa dampak yang serius bagi pengetahuan. Sekarang ini pengembangan sains (melalui riset) dan transmisinya mengandaikan bahwa pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa komputer menjadi sejumlah informasi (quantities of information). Akibatnya, pengetahuan sudah tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan sekarang menjadi komoditas untuk diperdagangkan. Cara lama untuk memperoleh pengetahuan, yakni dengan melatih pikiran (Bildung), juga telah menjadi usang. Relasi antara penyuplai dan pengguna pengetahuan terhadap pengetahuan itu sendiri cenderung menjadi mirip seperti relasi antara produsen dan konsumen terhadap komoditas.[5]

Dalam beberapa dekade terakhir pengetahuan juga menjadi faktor penting yang menentukan kemampuan produksi (productive power) sebuah negara.[6] Dengan demikian, pengetahuan dalam rupa sejumlah komoditas informasi kemudian juga menjadi barang rebutan antar negara. Sebuah negara akan mati-matian berjuang untuk mengontrol informasi, sebagaimana negara tersebut juga mati-matian mengontrol territorinya.[7] Namun sayang, dalam dunia yang makin diwarnai oleh ideologi transparansi dalam bidang komunikasi dan perdagangan bebas (liberalisme), kehadiran negara dianggap sebagai pengganggu. Kedaulatan negara sekarang ini telah digerogoti oleh kekuatan perusahaan-perusahaan multinasional (multi-national corporations). Sirkulasi modal (kemampuan investasi)perusahaan-perusahaan semacam itu melampaui batas-batas (kontrol) negara-bangsa. Dengan demikian, dalam masyarakat semacam ini, negara-bangsa hanya merupakan salah satu kekuatan pasar saja di antara kekuatan-kekuatan pasar lainnya. Sirkulasi pengetahuan pun kemudian menjadi seperti sirkulasi uang. Distingsi yang relevan bukan lagi antara “pengetahuan” dan “ketidaktahuan” melainkan—seperti halnya uang—antara “payment knowledge” dan “investment knowledge”.[8]

Melihat fenomena di atas, Lyotard berhipotesis bahwa status pengetahuan dalam masyarakat informatika telah berubah.[9] Perubahan inimenimbulkan problem serius, yakni masalah legitimasi ilmu pengetahuan ilmiah atau sains. Dalam konteks hukum sipil legitimasi adalah proses di mana legislator yang memiliki otoritas menetapkan hukum-hukum tertentu sebagai norma. Dalam konteks pengetahuan ilmiah, agar sebuah pernyataan (tesis atau teori) diterima sebagai sebuah pengetahuan yang “ilmiah” pernyataan tersebut harus memenuhi sejumlah persyaratan tertentu. Dalam hal ini legislator menentukan sejumlah persyaratan (biasanya konsistensi internal/kelogisan serta verifikasi atas suatu pernyataan) dan yang bertindak sebagai legislator adalah komunitas ilmiah.[10] Dengan demikian menjadi terang bahwa persoalan legitimasi ini selalu terkait erat dengan persoalan kekuasaan (power).

Lyotard mengatakan bahwa hak untuk menentukan apa yang “benar” tidak terlepas dari hak untuk menentukan apa yang “adil”. Ada kaitan erat antara bahasa sains dengan bahasa etika dan politik, sebagaimana perubahan pengetahuan itu juga berimbas pada kekuasaan publik (publik power) dan institusi-intitusi sipil. Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi dari sebuah pertanyaan yang sama: who decides what knowledge is, and who knows what needs to be decided? Dalam abad komputer ini pertanyaan mengenai pengetahuan, lebih daripada sebelumnya, merupakan pertanyaan mengenai pemerintahan (kekuasaan).[11]  

Metode : Permainan Bahasa


Dalam menganalisa legitimasi ilmu pengetahuan dalam masyarakat post-industri, yakni masyarakat informasi, Lyotard menggunakan metode permainan bahasa—konsep yang diperkenalkan oleh Wittgenstein. Permainan bahasa dalam ilmu pengetahuan ilmiah adalah pernyataan-pernyataan denotatif. Selain pernyataan denotatif sebenarnya juga ada pernyataan performatif, preskriptif, evaluatif, dll. Yang dimaksud Wittgenstein dengan permainan bahasa adalah bahwa setiap jenis pernyataan di atas memiliki wilayah dan aturan tersendiri dalam pemakaiannya (pragmatic)[12] — bagaikan pemainan catur di mana ada seperangkat aturan yang menentukan wilayah/kemampuan gerak atau “move” dari tiap-tiap bidak. Aturan dalam permainan yang satu tidak sama dengan aturan dalam permainan yang lain. Oleh karena itu menurut Wittgenstein tidak ada gunanya mencari persamaan dalam semua permainan. Tidak ada gunanya dan tidak mungkin juga untuk menunjukkan suatu permainan sebagai model atau ideal bagi semua permainan lain.[13]

Ada tiga karakteristik dalam setiap permainan bahasa. Pertama, setiap aturan dalam permainan itu tidak mendapatkan legitimasi dari dirinya sendiri melainkan merupakan hasil kontrak di antara pemainnya (eksplisit maupun tidak). Kedua, jika tak ada aturan maka tak ada permainan; suatu modifikasi kecil sekali-pun terhadap sebuah peraturan akan mengubah permainan itu. Ketiga, setiap pernyataan harus dianggap sebagai suatu “move” dalam permainan. Karakteristik ketiga ini dipakai oleh Lyotard sebagai prinsip pertama yang mendasari keseluruhan metodenya: mengeluarkan suatu pernyataan (move) adalah bertarung—dalam konteks suatu permainan—dan tindakan mengeluarkan pernyataan semacam itu berada dalam domain “general agonistics” (pertarungan pernyataan/argumentasi). Prinsip “pertarungan pernyataan” ini membawa Lyotard pada prinsip kedua, yakni bahwa ikatan sosial dalam masyarakat terdiri dari “move-move” bahasa (language “moves”).

Kondisi Ikatan Sosial : Alternatif Modern dan Postmodern


Untuk dapat memahami kondisi pengetahuan dalam masyarakat yang sangat maju sekarang ini, Lyotard merasa perlu melihat model macam apakah yang dapat diterapkan terhadap masyarakat seperti itu. Model masyarakat sebagai satu keseluruhan organik (Durkheim), satu sistem fungsional (Parsons) dan suatu kesatuan yang tersusun dari dua kekuatan yag saling bertentangan (Marx) menurut Lyotard sudah tidak memadai lagi. Teori yang memandang masyarakat sebagai suatu totalitas fungsional menganggap seolah-olah masyarakat adalah sebuah mesin besar yang bekerja berdasarkan prinsip efisiensi. Kerinduan untuk membangun masyarakat teknokratis semacam ini merupakan akibat dari proyek modernitas yang ingin mencari kesatuan dan mentotalisasi kebenaran. Kerinduan semacam ini dianggap oleh Horkheimer sebagai “paranoid”. Namun Marxisme sebagai alternatif lain juga telah menghantarkan banyak negara pada totalitarianisme. Sedangkan Sekolah Frankfurt dengan teori kritis-nya juga telah kehilangan radikalitas prinsip perjuangan kelas dan telah tereduksi menjadi “utopia” atau “hope”.[14]

Cara memandang bentuk ikatan sosial atau model masyarakat ini mempengaruhi cara melihat status pengetahuan dalam masyarakat yang bersangkutan. Ketika masyarakat dimengerti sebagai sebuah mesin raksasa yang bekerja berdasarkan prinsip efisiensi demi performativitasnya (fungsionalisme), pengetahuan dilihat sebagai suatu elemen tak terpisahkan dari masyarakat yang berperan fungsional. Ilmu positif mendapatkan penghargaan di sini sebab ilmu jenis ini berkaitan langsung dengan teknologi yang menentukan kekuatan produksi sebuah sistem. Sementara itu, ketika masyarakat dilihat sebagai dialektika dua kekuatan yang beroposisi, ilmu menempati fungsi kritis. Dalam hal ini yang mendapat tempat adalah jenis ilmu yang kritis, reflektif atau hermeneutika.

Namun demikian, cara memandang masyarakat seperti di atas menurut Lyotard sudah tidak dapat diterima lagi. Masyarakat sekarang adalah masyarakat post-industrial atau masyarakat konsumen. Fungsi negara telah berubah. Kelas yang berkuasa memang tetap kelas pengambil keputusan (decision makers). Namun, sekarang ini pengambil keputusan bukan melulu terdiri dari kelas-kelas politis seperti dalam pemahaman tradisional. Pengambil keputusan terdiri dari para pemimpin perusahaan, administrator tingkat tinggi, pemimpin-pemimpin organisasi kaum profesional, buruh, politik, dan keagamaan. Mereka inilah yang memiliki akses informasi. Seorang individu dalam masyarakat maju semacam ini berada di dalam suatu jaringan relasional yang makin kompleks dan mobile. Setiap orang menempati suatu titik dalam sebuah sirkuit informasi atau berdiri dalam sebuah pos di mana berbagai macam pesan (message) berlalu-lalang.

Pesan-pesan yang lalu lalang itu memiliki beraneka macam bentuk (denotatif, preskriptif, evaluatif, performatif, dsb.). Proses lalu lalang itu berlangsung dalam masyarakat yang—dalam istilahnya Lyotard—dicirikan oleh “pertarungan antar pernyataan(agonistic). Sebuah pernyataan (move) selalu memiliki efek pada setiap pemain dalam permainan bahasa ini, baik dia dalam posisi addressee, referent, maupun sender. Setiap orang menurut Lyotard memang sudah selalu berada di tengah-tengah jaringan relasional semacam ini; baginya model yang tepat untuk menggambarkan bentuk ikatan sosial masyarakat kontemporer adalah model permainan bahasa ini.[15] Dalam situasi seperti ini sikap yang reaksional (sekedar merespon suatu move) bukanlah suatu move yang baik—tak ada keseimbangan kekuasaan. Yang baik adalah setiap pemain selalu berusaha membuat suatu move yang tak terduga-duga. Pertarungan pernyataan semacam ini bukannya tanpa peraturan, namun peraturan yang ada seharusnya memungkinkan pernyataan-pernyataan itu mengalir bebas. Sebuah institusi, termasuk institusi pengetahuan, tak bisa memberi batasan mati terhadap move-move yang ada, sebab pembatasan itu sendiri hanya sebuah move dalam permainan.

Pengetahuan Naratif dan Fungsi Narasi dalam Legitimasi Pengetahuan Ilmiah


Selama ini terdapat pembedaan yang tegas antara pengetahuan ilmiah dan narasi. Dalam pandangan modern yang dapat disebut pengetahuan hanyalah yang ilmiah (sains). Narasi dianggap sebagai sesuatu yang primitif, tradisional, terbelakang, penuh prasangka, dsb. Pembedaan semacam ini sebenarnya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu pengetahuan ilmiah adalah sebuah permainan bahasa yang memiliki aturannya sendiri sehingga tidak dapat memvonis narasi sebagai dongeng, legenda, atau mitos yang “bukan pengetahuan”. Narasi adalah sebuah permainan bahasa lain yang memiliki aturan mainnya sendiri. Ilmu pengetahuan ilmiah tidak dapat menilai negatif narasi yang berada di luar kompetensinya.[16]

Pengetahuan (knowledge, savoir) tidak bisa direduksi hanya menjadi sains (ilmu pengetahuan ilmiah), atau bahkan menjadilearning (conaissance) sekalipun. Learning adalah seperangkat pernyataan denotatif yang—berbeda dengan pernyataan-pernyataan lainnya—menunjukkan atau mendeskripsikan obyek serta dapat dinilai sebagai benar atau salah. Sementara itu sains hanya salah satu subset dari learning. Di lain pihak, istilah pengetahuan itu pengertiannya jauh lebih luas dan tidak hanya terdiri dari pernyataan-pernyataan denotatif saja. Pengetahuan (knowledge) mengandung pengertian “know how”, “know how to live”, “how to listen”, “how to speak” (savoir-faire, savoire-vivre, savoir-écouter, savoir-dire). Dengan demikian kompetensi pengetahuan bukan hanya sekedar menentukan kualifikasi benar-salah (kebenaran), tetapi juga menentukan kriteria efisiensi (kualifikasi teknis), keadilan dan atau kebahagiaan (kebijaksanaan etis), dsb. Knowledge bukan hanya berkaitan dengan kemampuan orang membuat penyataan denotatif yang baik, tetapi juga preskriptif, performatif, evaluatif, dsb.[17]

Narasi adalah sebuah bentuk pengetahuan adat yang mengisahkan kesuksesan maupun kegagalan seorang hero. Narasi semacam ini membantu melegitimasi institusi sosial dan memasukkan model-model integrasi yang positif maupun negatif ke dalam institusi-institusi yang ada. Narasi tersusun dari pelbagai jenis pernyataan dan membiarkan dirinya berada di antara beraneka macam permainan bahasa (performatif, preskriptif, evaluatif, denotatif, interogatif, dsb). Seorang pencerita mengklaim kompetensinya untuk menceritakan atas dasar fakta bahwa dia telah mendengar cerita itu sebelumnya. Dengan demikian orang yang sekarang mendengarkan ceritanya (addressee) juga memiliki akses ke otoritas yang sama untuk menceritakannya (sender) kepada orang lain. Oleh karena itu narasi tidak mempersoalkan legitimasi. Kisah-kisah itu mendapatkan legitimasinya dengan menjalankan fungsinya begitu saja dalam masyarakat.[18]

Berbeda dengan narasi, pengetahuan ilmiah sangat berkepentingan dengan masalah legitimasi. Seorang sender yang mengeluarkan penyataan harus dapat menyodorkan bukti (proof) bahwa pernyataannya itu benar serta harus bisa menentang pernyataan lain yang menyanggah pernyataannya. Addressee yang memiliki otoritas untuk menyetujui atau menolak sebuah penyataan ilmiah haruslah orang yang memiliki kapabilitas dalam bidang ilmiah. Kebenaran sebuah pernyataan dan kompetensi seorang sender ditentukan oleh komunitas ilmiah, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan ilmiah setara.

Dalam hal transmisi pengetahuan ilmiah, seorang addressee (siswa) tidak mengetahui apa yang diketahui oleh sender (guru). Siswa mempelajari apa yang telah diketahui oleh gurunya dan diharapkan menjadi setara dengannya. Dalam proses transmisi ini diandaikan bahwa pengetahuan (seperangkat pernyataan denotatif) yang disampaikan kepada para siswa sudah teruji, walaupun mungkin masih dalam perdebatan para ilmuwan.

Berdasarkan kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa sains dan narasi itu tak dapat diperbandingkan dengan menggunakan satu ukuran yang sama (incommensurable). Kedua-duanya terdiri dari sejumlah pernyataan. Setiap pernyataan adalah move yang dibuat oleh seorang pemain dalam kerangka aturan main yang berlaku. Aturan main dalam masing-masing permainan berbeda (berlaku lokal). Sebuah move yang dinilai baik dalam permainan yang satu tidak sama dengan sebuah move yang dinilai baik dalam permainan yang lain.[19]

Yang terjadi dalam abad modern adalah bahwa sains hendak melegitimasi kebenaran pernyataan-pernyataannya namun tidak memiliki sumber-sumber legitimasi pada dirinya sendiri sehingga mereka justru meminta bantuan narasi untuk melegitimasi dirinya.[20] Digunakannya permainan narasi dalam legitimasi pengetahuan sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Plato. Plato, misalnya saja, melegitimasi pengetahuan yang sempurna (episteme) dengan narasi tentang Gua. Kemudian Aristoteles mencari legitimasi sains dalam wacana mengenai Ada (metafisika). Saran Aristoteles yang lebih “modern” adalah bahwa pengetahuan yang ilmiah, termasuk pretensinya untuk mengungkapkan “ada” dari referent, terdiri dari argumentasi dan bukti—suatu dialektika.

Pergulatan sains modern dengan masalah legitimasi ini memunculkan dua kisah. Yang pertama, sains berusaha meninggalkan pencarian metafisis untuk mendapatkan bukti pertama (first proof) atau otoritas transendental (transendental authority) ketika ia dihadapkan pada pertanyaan: “Bagaimana kamu (=sains) membuktikan buktimu?” atau “Siapa yang memutuskan syarat-syarat kebenaran?”. Rupanya telah disadari bahwa syarat-syarat kebenaran itu—yaitu aturan main dalam sains—imanen di dalam permainan sains sendiri. Maksudnya, aturan-aturan main itu ditetapkan dalam suatu debat (diskursus) ilmiah para ilmuwan dan tidak ada bukti lain bahwa aturan-aturan itu memang baik kecuali konsensus atau kesepakatan para ilmuwan sendiri.

Yang kedua, mengiringi kecenderungan modern untuk menentukan aturan main suatu wacana (discourse) dengan dan di dalam suatu diskursus, makin menguatlah kultur naratif. Menurut Lyotard, fenomena ini terlihat dalam Humanisme Renaissance, Abad Pencerahan, Idealisme Jerman, dan sekolah sejarah di Prancis. Ia mengatakan: narration is no longer an involuntary lapse in the legitimation process.[21] Dengan lebih tegas dapat dikatakan bahwa sains secara eksplisit meminta bantuan narasi dalam proses legitimasinya.

Permintaan eksplisit sains terhadap narasi ini terjadi berbarengan dengan pembebasan kelas borjuis dari kekuasaan tradisional (dimulai dengan Revolusi Prancis). Pengetahuan naratif bangkit kembali di Barat sebagai jalan bagi penguasa baru untuk mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya. Sebagaimana dalam narasi, muncullah hero, yaitu rakyat sendiri. Siapa yang memiliki hak untuk menentukan masyarakat? Siapakah subyek yang kata-katanya merupakan norma-norma yang harus ditaati bersama? Jawabnya adalah rakyat. Hero-nya adalah rakyat, tanda legitimasi adalah konsensus/kesepakatan rakyat, dan metode untuk membuat norma-norma adalah deliberasi. Paham kemajuan (progress) yang mencirikan modernisme—selain subyektivitas dan kritik—menurut Lyotard muncul dari sini. Rakyat berdebat sendiri untuk menentukan mana yang adil sebagaimana komunitas ilmiah berdebat untuk menentukan mana yang benar. Ada kesamaan modus antara legitimasi sosio-politis dan legitimasi pengetahuan. Pertanyaan dari negara kemudian terkait erat dengan pertanyaan dari pengetahuan ilmiah.

Modus legitimasi yang sedang kita bicarakan ini—hal mana meng-introdusir narasi sebagai penjamin validitas pengetahuan—kemudian muncul dalam dua jalan (routes). Masing-masing tergantung pada subyek narasi yang diwakili. Jika yang diwakili adalah subyek narasi yang cognitif, maka dia (rakyat atau dalam bentuknya yang abstrak adalah bangsa atau kemanusiaan) menjadi hero dari pengetahuan. Sedangkan jika yang diwakili adalah subyek yang practical, maka dia menjadi hero dari kebebasan.[22]

Narasi Legitimasi Pengetahuan Ilmiah


Ada dua versi narasi besar (grand narrative/grand récit) yang dipakai untuk melegitimasi sains. Yang pertama lebih bersifat politis, yaitu narasi mengenai emansipasi (pembebasan) manusia dan yang kedua lebih bersifat filosofis, yaitu narasi mengenai dialektika Roh (sifatnya spekulatif). Keduanya sangat mempengaruhi sejarah modern, terutama sejarah pengetahuan dan institusi-institusinya.   Dalam versi yang pertama (narasi emansipasi) subyeknya adalah kemanusiaan sebagai hero dari kebebasan. Dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mempelajari sains atau pengetahuan (pada masa sebelumnya hal ini dilarang oleh hierarki Gereja dan atau oleh tirani politik). Pengetahuan itu dapat membebaskan manusia dari kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan; pengetahuan dapat mengemansipasi masyarakat dari irrasionalitas ke rasionalitas (proyek Aufklärung). Oleh karenanya dalam narasi ini institusi pendidikan yang ditekankan oleh negara adalah institusi pendidikan dasar. Andaikata pendidikan tinggi ada, ini hanya dimaksudkan untuk membentuk birokrat dan kaum profesional yang akan membimbing seluruh bangsa memperoleh kebebasannya, yaitu kemajuan (progress). Narasi emansipasi ini juga tampak dalam perjuangan sosialisme serta pemajuan manusia lewat perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalis.[23]

Sementara itu, dalam narasi spekulatif (memuncak dalam idealisme Hegel), hubungan sains, bangsa, dan negara berkembang secara berbeda. Dalam hal ini sains melegitimasi dirinya dengan menyatakan bahwa pengetahuan hanya absah sebagai pengetahuan (ilmiah) apabila dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri (objektivitas). Sains berpretensi seolah-olah pernyataan-pernyataan yang sah dalam sains otomatis benar secara universal (totalisasi kebenaran). Modus legitimasi ini muncul berbarengan dengan pendirian Universitas Berlin oleh Wilhelm von Humboldt (Perdana Menteri Prussia). Akan tetapi, selain “sains untuk sains’, alasan pendirian universitas adalah juga agar sains diarahkan pada “pembentukan moral dan spiritual bangsa” (= pembentukan aksi dan karakter bangsa). Hal ini kemudian memunculkan wacana mengenai Roh (Spirit) atau yang oleh Fichte disebut Kehidupan (Life).


Pemunculan Roh ini dimaksudkan untuk mempersatukan permainan bahasa dalam universitas, bahasa sains yang denotatif (sains untuk sains) dan bahasa etis-politis yang preskriptif (sains untuk pembentukan moralitas bangsa). Ada tiga aspirasi di sini—lebih tepatnya three in one—, yaitu : mengasalkan segala sesuatu pada satu prinsip asali (ini berkaitan dengan kegiatan ilmiah), menghubungkan segala sesuatu dengan suatu ideal (praksis sosial dan etis) dan menyatukan prinsip asali dan ideal itu dengan satu Ide tunggal(menjamin bahwa pencarian sains akan penyebab yang benar selalu berjalan seiring dengan upaya mencapai keadilan dalam praktik kehidupan moral dan politik).

Akibat pemunculan Roh ini, subyek dari pengetahuan bukan rakyat lagi melainkan roh spekulatif, yang terejawantahkan bukan dalam negara tetapi dalam sebuah Sistem. Permainan bahasa legitimasi sudah bukan lagi politis-kenegaraan tetapi filosofis. Filsafat harus mempersatukan pengetahuan (dalam arti learning) yang telah tercerai berai dalam pelbagai disiplin sains dan pendidikan pra-universitas. Hal ini hanya mungkin tercapai dalam sebuah permainan bahasa yang menghubungkan pelbagai disiplin sains sebagai sebuah momen perwujudan diri roh. Dengan kata lain, harus ada permainan bahasa yang menghubungkan mereka satu sama lain dalam sebuah narasi yang rasional. Inilah proyek totalisasi Hegel yang sudah ada dalam pemikiran Schelling dan Fichte dalam bentuk idea Sistem.

Di sinilah legitimasi sains kembali pada narasi. Ada narasi mengenai Roh yang mewujudkan diri; atau lebih tepat dikatakan sebagai metanarasi sebab yang menjadi naratornya bukan lagi seseorang yang telah terkungkung oleh salah satu ilmu positif, juga bukan seorang ilmuwan yang telah terasing oleh karena spesialisasinya. Ilmu positif, negara dan rakyat hanyalah versi perwujudan diri sebuah Subyek yang disebut “divine Life” oleh Fichte atau “Life of spirit” oleh Hegel. Sains sebagai ilmu positif mendapatkan legitimasinya bukan karena mengabdi pada kepentingan negara (prinsip kegunaan); sains mendapatkan legitimasinya ketika ia berhenti menjadi pengetahuan positif atas referent (alam, masyarakat, negara, dsb), dan kemudian menjadi “pengetahuan atas pengetahuan terhadap referent”, yakni dengan menjadi spekulatif.[24] Selanjutnya, Lyotard mengatakan :True knowledge, in this perspective, is always indirect knowledge; it is composed of reported statements that are incorporated into the metanarative of a subject that guarantee their legitimacy.[25]

Deligitimasi Ilmu Pengetahuan Ilmiah


Dalam masyarakat post-industri narasi-narasi besar yang berkekuatan mempersatukan dan melegitimasi itu sudah tidak dapat dipercaya lagi. Memang benar memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi ini diakibatkan oleh perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme—sebagaimana akan kita lihat kemudian. Akan tetapi, menurut Lyotard benih-benih deligitimasi dan nihilisme sesungguhnya inheren dalam grand narratives abad ke-19 itu sendiri. Proses deligitimasi ini justru dipicu oleh problem legitimasi yang justru selalu dipermasalahkan oleh sains.

Modus spekulasi menimbulkan problem dengan pernyataannya sendiri yang dianggapnya sah sebagai pengetahuan. Modus ini bersikap skeptif terhadap ilmu positif. Ilmu positif yang langsung menyatakan sesuatu (denotatif) tentang suatu referent belum dianggap sebagai pengetahuan sebelum ia melegitimasi pengetahuannya itu. Pengetahuan hanya pantas disebut pengetahuan jika ia mereduplikasi dirinya dengan mengutip pernyataannya sendiri pada wacana level kedua yang berfungsi melegitimasi (wacana spekulatif).

Sebagai contoh, sebuah pernyataan spekulatif: “Sebuah pernyataan ilmiah adalah suatu pengetahuan hanya jika ia menempatkan dirinya dalam suatu proses engendering (penyebaban) yang universal.” Pertanyaannya adalah apakah pernyataan ini sendiri sebuah pengetahuan? Dalam hal ini harus ada suatu pengandaian (presupposition), yaitu bahwa proses penyebaban (the Life of spirit) itu memang ada.

Pengandaian semacam ini merupakan bagian tak terpisahkan dari permaian bahasa spekulatif; tanpa hal itu bahasa legitimasi tidak akan sah. Dengan demikian pengandaian ini menetapkan seperangkat aturan yang harus diterima agar seseorang dapat bermain dalam permaian spekulatif. Walaupun demikian, penilaian kita ini hanya berlaku jika kita mengandaikan (lagi-lagi presupposition!) bahwa 1) ilmu positif mewakili semua jenis pengetahuan, 2) kita mengerti bahasa (spekulatif) ini agar dapat membuat suatu pengandaian formal dan aksiomatik yang harus dinyatakan secara eksplisit. Inilah nihilisme itu; nihilisme yang muncul akibat tuntutan sains akan legitimasi itu ditujukan kepada dirinya sendiri. Ada erosi internaldalam prinsip legitimasi sains.

Modus legitimasi sains dengan narasi emansipasi juga mengalami erosi internal. Modus ini mendasarkan legitimasi sains dan kebenaran pada otonomi orang-orang yang terlibat dalam praksis etis, sosial, dan politis. Menurut versi ini sains mendapatkan validitasnya bukan dalam dirinya sendiri, tapi dalam subyek praktis. Titik persoalannya ada pada perbedaan kompetensi antara pernyataan denotatif dan pernyataan preskriptif. Tidak ada bukti bahwa jika suatu pernyataan denotatif (dengan nilai kognitif) dapat mendeskripsikan suatu kenyataan secara benar, kemudian pernyataan preskriptif (bernilai praktis) yang didasarkan padanya juga adil. Permainan bahasa sains yang denotatif tidak memiliki kopetensi untuk menilai atau melegitimasi permainan bahasa praksis yang preskriptif. Namun sayangnya sains juga tidak dapat melegitimasi dirinya sendiri sebagaimana diandaikan oleh narasi spekulatif. Tidak ada suatu meta-bahasa yang dapat mempersatukan semua jenis permainan bahasa; pun pula filsafat spekulatif.

Kecuali erosi internal, fenomena delegitimasi narasi-narasi besar itu juga dapat dilihat dalam realitas eksternal (peristiwa historis). Salah satu peristiwa yang turut mendelegitimasi narasi besar spekulasi adalah peristiwa “Auschwitz”. Menurut Lyotard, “Auschwitz” adalah peristiwa yang menggagalkan proyek modernitas. Peristiwa pembantaian enam juta orang Yahudi itu seolah-olah melampaui pengertian kita dan menghancurkan rasionalitas. Menurut Hegel, segala sesuatu yang real adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah real. Artinya tak ada satupun yang tidak dapat dimengerti. Segala sesuatu mengejawantahkan suatu Ide, suatu unsur rasional. Akan tetapi “Auschwitz” adalah sesuatu yang tidak rasional. Peristiwa ini memusnahkan proyek totalisasi gaya Hegel.[26]

Selain itu Ide bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri dalam masa capitalist technoscience ini sudah tidak berlaku lagi. Yang terjadi adalah pengetahuan sains dihasilkan tidak demi pengetahuan melainkan demi profit, di mana kriterium yang berlaku bukan lagi benar-salah melainkan kriterium perfomatif: maximum output with a minimum input.[27]

Narasi modernitas mengenai emansipasi juga kandas. Beberapa peristiwa yang membuktikannya adalah tumbangnya sosialisme komunistis, ekonomi liberal yang ternyata juga pailit sebagaimana ditunjukkan oleh krisis ekonomi tahun 1911 dan 1929. Penyesuaiannya yang post-keynesian juga telah terbukti gagal dengan peristiwa krisis tahun 1974-1979. Pendek kata semua kisah besar modern telah kehilangan kredibilitasnya dan sekarang kita berada dalam “kondisi postmodern”.

Setelah dua narasi besar itu menjadi out-of-date, dua praksis dasar pengetahuan ilmiah, riset dan transmisinya (pendidikan) ternyata melegitimasi dirinya dengan kriteria performativitas. Pengetahuan ilmiah yang menuntut bukti atas kebenaran suatu teori atau pernyataan baru (move), terikat pada teknologi. Agar suatu teori baru diterima oleh kalangan ilmuwan, teori tersebut harus dapat diuji. Pegujian semacam ini biasanya membutuhkan teknologi yang canggih (=beaya tinggi). Akibatnya praksis riset dan pembuktian ulangnya pun mengikuti prinsip teknologi. Ilmu pengetahuan ilmiah mau tak mau mengikuti sebuah permainan bahasa yang lain, y.i. teknologi, di mana yang tujuannya bukan lagi kebenaran (obyektif) melainkan performativitas

Argumentasi untuk mempertahankan suatu pembuktian membutuhkan suatu meta-bahasa supaya bahasa-bahasa yang menentukan suatu aksioma dapat diterima oleh semua addressee. Meta-bahasa ini adalah logika. Agar suatu pernyataan denotatif diterima sebagai benar, pernyataan tersebut harus sesuai dengan sistem aksiomatik yang telah disepakati oleh interlocutor. Ini berarti proses argumentasi harus mengikuti seperangkat aturan yang telah disepakati bersama. Namun, hal ini juga dapat diartikan bahwa perkembangan sains meliputi dua jalan: (1) penemuan (invention) atau argumentasi baru (new move) yang berada dalam koridor aturan permainan yang telah ditetapkan dan (2) penemuan aturan baru yang dapat menciptakan permainan yang baru pula. Ini berarti prinsip meta-bahasa yang berlaku universal (homologi) mestinya diganti dengan prinsip pluralitas bentuk dan sistem aksiomatik (paralogisme).

Lembaga pendidikan sekarang ini merupakan salah satu sub sistem dari sistem sosial. Tujuan pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan performativitas sistem sosial secara keseluruhan. Lyotard mengatakan: transimisi pengetahuan sudah tidak lagi bertujuan untuk melatih sekelompok elite yang nantinya akan mampu mendampingi suatu bangsa dalam proses emansipasi, akan tetapi bertujuan untuk menyediakan orang-orang yang memiliki kapabilitas untuk mengisi pos-pos yang dibutuhkan oleh institusi dari sistem yang bersangkutan.[28]

Ketika pengetahuan telah dapat diterjemahkan ke dalam bahasa komputer, peran tradisional guru telah digantikan dengan bank memori; proses pengajaran dapat diserahkan pada komputer yang menghubungkan bank-bank memori dengan siswa. Namun perlu dicatat bahwa tujuan proses pengajaran bukan sekedar mentransfer informasi melainkan juga menumbuhkan kemampuan mengaktualisasikan data yang relevan untuk memecahkan persoalan hic et nunc, serta kemampuan mengorganisasi data untuk menciptakan strategi yang lebih efisien; ini berarti kemampuan menciptakan move yang baru. A professor is no more competent than memory bank networks in transmitting established knowledge, no more competent than interdisiplinary teams in imagining new moves or new games.[29]

Menurut Lyotard tunduknya riset dan proses transmisi pengetahuan pada kriteria performativitas sistem sosial telah membuat riset dan institusi pendidikan berorientasi pada kekuasaan (power). Yang dapat menyokong riset beaya tinggi adalah yang memiliki kekuasaan (modal). Ilmuwan, teknisi, dan instrumen riset diperdagangkan bukan untuk menemukan kebenaran melainkan untuk memperbesar kekuasaan. Barangsiapa dapat memproduksi bukti-bukti (proofs) ia menguasai “realitas”, dan orang yang menguasai “realitas” lah yang memiliki kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan mana yang adil. Inilah yang dilakukan teknologi dengan prinsip efisiensinya (perfomativitas).[30]Demikian pula institusi pendidikan juga tunduk pada kekuasaan. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh negara, lembaga pendidikan dan siswa bukan lagi “Apakah ini benar?” melainkan “Apakah ini berguna?”, “Apakah ini laku di pasaran (saleable)?” dan dalam konteks meningkatkan kekuasaan: “Apakah ini efisien?”.

VIII. Legitimasi dengan Paralogi


Tunduknya ilmu pengetahuan ilmiah pada kriteria performativitas sebenarnya mengandaikan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah berada dalam suatu sistem yang stabil. Dalam sistem semacam itu dapat diprediksikan input dan output yang akan dihasilkan. Lyotard menyebut situasi seperti itu dengan “the positivist ‘philosophy’ of eficiency”; sains dipandang sebagai positifistik. Pandangan ini mengasumsikan alam semesta seolah-olah mengikuti pola-pola dan hukum-hukum alam yang stabil (determinisme). Akan tetapi, teori kuantum menujukkan bahwa ketidakpastian justru bertambah ketika pengetahuan kita tentangnya bertambah (bdk. prinsip ketidakpastian Heisenberg). Yang ada “adalah pulau-pulau determinisme” (determinisme lokal).[31] Sekarang ini muncul paradigma baru postmodern, paradigma yang menekankan ketidakdapatramalan, ketidakpastian, catastrophe (seperti karya René Thom, seorang matematikus), khaos, dan terutama disensus atau paralogi.[32] Sains postmodern meneorikan evolusinya sendiri sebagai discontinous, catastrophic, nonrectifiable, and paradoxical.[33] Model legitimasi pengetahuan tidak lagi berkaitan dengan maksimalisasi perfomativitas (kinerja) melainkan dengan paralogi.

Lyotard menegaskan bahwa kita tidak dapat merujuk ke narasi besar tentang dialektika Roh atau emansipasi manusia untuk mendapatkan legitimasi atas wacana ilmiah postmodern. Juga prinsip konsensus lewat diskursus (Diskurs) sebagaimana diusulkan oleh Habermas tidak mencukupi untuk melegitimasi sains karena usulan Habermas itu masih merujuk pada narasi emansipasi umat manusia; selain itu konsensus sebenarnya merupakan komponen dari suatu sistem, yaitu komponen untuk memanipulasi sistem agar sistem dapat mempertahankan atau meningkatkan performance atau kinerjanya. Konsesus semacam ini menimbulkan kekerasan terhadap heterogenitas permainan bahasa (teror).[34] Sains dalam era postmodern in mendapatkan legitimasi dengan paralogi.

Paralogi adalah pengakuan akan pluralitas logika. Yang sekarang harus ditekankan bukan konsensus (homology) melainkandisensus (paralogy). Konsensus adalah suatu horison yang tak pernah akan dicapai. Oleh karena itu berbagai macam “move” yang sifatnya lokal dan beraneka ragam harus dihargai. Teori sistem yang mengabdi pada perfomativitas sistem sosial bagi Lyotard cenderung membungkam berbagai “move” baru yang dibuat oleh para ilmuwan dan yang berpotensi mengubah aturan main, sebab sebuah sistem membutuhkan stabilitas demi kinerjanya. Padahal pragmatik riset ilmiah dalam proses argumentasinya sekarang ini menekankan penemuan move-move yang baru dan bahkan aturan main yang baru. Upaya untuk memperkuat bukti-bukti suatu penemuan dilakukan dengan pencarian contoh-contoh yang berkebalikan (counterexamples), atau dengan kata lain mencari the unintelligible. Mendukung suatu argumen berarti mencari yang “paradoks” dan melegitimasinya dengan aturan-aturan baru dalam the games of reasoning.[35]

Paralogi berbeda dengan invention. Invention adalah penemuan yang dilakukan atas perintah sistem untuk meningkatkan efisiensinya. Sedang, paralogi adalah menciptakan move-move baru yang dimainkan dalam pragmatik pengetahuan. Dalam hal ini sains menjadi model sebuah “sistem terbuka”, di mana sebuah penyataan menjadi relevan jika pernyataan tersebut “melahirkan ide-ide”; artinya jika pernyataan itu melahirkan pernyataan-pernyataan (moves)yang lain dan aturan-aturan main yang lain lagi. Oleh karena itu sains menurut Lyotard tidak memiliki suatu meta-bahasa umum yang dapat dipakai untuk menerjemahkan atau mengevaluasi jenis-jenis bahasa yang lain. Sains hanyalah salah satu permainan bahasa di antara permainan bahasa yang lain. Pengakuan keberagaman permainan bahasa ini pada akhirnya menurut Lyotard adalah langkah pertama untuk mewujudkan keadilan dalam masyarakat.[36]

Penutup


Berdasarkan pandangan bahwa legitimasi sains tidak dapat dicapai dengan suatu homologi yang hendak mencari satu ide pokok yang terarah pada kemajuan (progress) melainkan dengan paralogi, kita dapat melihat bahwa postmodernisme bagi Lyotard rupa-rupanya bukan sekedar sebuah periode setelah modernisme melainkan suatu cara yang sebagai kemungkinan sudah terdapat dalam modernisme, yaitu modernisme pada saat kelahirannya.[37] Postmodernisme adalah intensifikasi dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan revolusi kehidupan terus-menerus. [38]Postmodernisme adalah suatu tugas yang harus kita kerjakan sekarang. Lyotard mengatakan: Let us wage a war on totality; let us be witness tho the unpresentable; let us activate the differences and save the honor of the name.[39] Pengetahuan postmodern bukan hanya sekedar alat di tangan penguasa; pengetahuan postmodern meghaluskan kepekaan kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap yang tak terukur (the incommensurable).[40]

Akhirnya kita dapat mengajukan pertanyaan kritis pada Lyotard. Pertama, bukankah dengan mengatakan bahwa grand narrative sebagai pelegitimasi pengetahuan harus diganti dengan aneka little narrative, Lyotard justru telah membangun suatu grand narrative yang baru, yaitu grand narrative pluralitas sistem pemikiran (paralogi)? Kedua, apabila kita tidak boleh memberikan penilaian terhadap narasi-narasi kecil yang sifatnya lokal, bukankah dengan dengan demikian kita justru memberi kesempatan luas pada pelbagai penindasan dan ketidakadilan lokal untuk merajalela?

Kalau kita mengikuti Lyotard secara konsisten, maka kita juga harus mengakui relativisme moral dan kita tidak boleh menilai sistem moralitas suatu daerah tertentu. Akan tetapi bukankah kita belakangan ini ramai berbicara mengenai hak-hak asasi manusia dan nilai-nilai keadilan global? Kalau tidak ada tolok ukur moral dan kemanusiaan yang berlaku global maka kita tidak boleh mengutuk pembantaian 6 juta orang Yahudi oleh Nazi, atau pun mencela aksi terorisme yang meruntuhkan World Trade Center di New York akhir-akir ini! Pada kenyataannya tetap ada nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang berlaku universal. Ironisnya Lyotard sendiri meski menganggap konsensus sebagai nilai yang kolot dan perlu dicurigai namun mengatakan, ”Tetapi keadilan sebagai nilai tidak kolot dan juga tidak perlu dicurigai”.[41] Bukankah dengan ini Lyotard justru mengakui bahwa keadilan sebagai nilai tetap berlaku universal?[42] Lagi pula, bagaimana kita bisa mencapai keadilan bagi semua jikalau tak ada “adil” yang diterima semua? Pintu perdebatan masih terbuka.

Daftar Pustaka:

   Bambang Sugiharto, I., Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
   Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
   Drucker, Peter F., Post-Capitalist Society, New York: HarperBussiness, 1993.
   Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001.
   Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius,          2001.
   Lyotard, Jean-François, The Postmodern Conditon: A Report on Knowledge, transl. from French La   Condition Postmoderne: rapport sur savoir (Minuit, 1979) by Geoff    Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press, 1991.
   Matthews, Eric, Twentieth-Century French Philosophy, Oxford & New York: Oxford Unversity Press, 1996.
   Mudhafir, Ali, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
   Sim, Stuart (ed,), The Icon Critical Dictionary of Postmodern Thought, Cambridge: Icon Books, 1998.

Catatan Kaki

* Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara.

[1] Buku La Condition Postmoderne: rapport sur savoir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge
(1984). Sedangkan Le Différend diterjemahkan menjadi The Differend: Phrases in Dispute (1988). Keduanya diterbitkan oleh Manchester University Press. [2] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 375.
[3] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,…hlm.xxiii.
[4] Ibid. hlm. xxv. Cf. Ali Mudhahir, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 329.
[5] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.4.
[6] Peter F. Drucker secara lebih ekstem bahkan mengatakan: “The basic economic resource—‘the means of production’, to use the economist’s term—is no longer capital, nor natural resources (the economist’s “land”), nor ‘labor’. It is and will be knowledge....The economic challenge of the post-capitalist society will therefore be the productivity of knowledge work and the knowledge worker”, (Peter F. Drucker, Post-Capitalist Society, New York: HarperBusiness, 1993, hlm. 8)
[7] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.5.
[8] Dengan kata lain relasinya menjadi relasi antara unit-unit pengetahuan yang dipertukarkan untuk mendapatkan kerja (payment knowledge) dengan ‘dana’ pengetahuan yang diinvestasikan untuk mengoptimalisasikan kinerja (performance) sebuah proyek (investment knowledge).
[9] Our working hypothesis is that the status of knowledge is altered as societies enter what is known as the postindustrial society and cultures enter what is known as the postmodern age. Ibid., hlm.3.
[10] Ibid. hlm. 8.
[11] Ibid. hlm. 8-9.

[12] Contoh pragmatic beragam permainan bahasa tersebut adalah sbb. Misalnya, sebuah penyataan denotatif : “Universitas ini tidak bermutu”. Pernyataan ini menempatkan sender (yang mengeluarkan pernyataan) sebagai pihak yang memiliki pengetahuan; referent sebagai hal yang harus diidentifikasi dan diekspresikan secara benar; dan addressee (penerima/pendengar pernyataan) sebagai pihak yang harus memberi persetujuan atau penolakan terhadap kebenaran penyataan tersebut. Sementara itu, dalam sebuah pernyataan performatif—misalnya pernyataan “Universitas dibuka” oleh seorang rektor dalam suatu kuliah pembukaan—sender berposisi sebagai pihak yang memiliki otoritas sedangkan addressee tidak berada dalam posisi harus menyetujui atau menolak (mem-verifikasi) pernyataan tersebut, akan tetapi berada dalam konteks baru yang diciptakan oleh pernyataan itu. Yang penting bagi referent bukanlah benar salahnya pernyataan yang merujuk padanya melainkan perubahan situasi pada momen pengungkapan pernyataan tersebut, yakni universitas telah dibuka karena memang telah dinyatakan dibuka oleh rektor (sender yang memiliki otoritas) dalam kesempatan kuliah pembukaan. Dalam pernyataan preskriptif, misalnya “Bayarkan uang pada universitas”, sender jelas dalam posisi yang memiliki otoritas; sedangkan addressee berada dalam posisi harus melakukan apa yang di-refer oleh sender. Lih. J.F. Lyotard, The Postmodern Condition...., hlm. 9-10.

[13] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm.50.
[14] J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 13.
[15] I am not claiming that the entirety of social relations is of this kind (language games)... but... language games are the minimum relation required for society to exist..... Ibid., hlm. 15.
[16] “It is therefore impossible to judge the existence or validity of narrative knowledge on the basis of scientific knowledge and vice versa: the relevant criteria are different. All we can do is gaze in wonderment at the diversity of discursive species, just as we do at the diversity of plant or animal species.”, ibid. hlm.26.
[17] Ibid.hlm.18.
[18] ...they (popular narratives) are legitimated by the simple fact that they do what they do. Ibid. hlm. 23.
[19] Ibid. hlm. 26.
[20] Scientific knowledge cannot know and make known that it is the true knowledge without resorting to the other, narrative, kind of knowledge which from its own point of view is not knowledge at all. Ibid. hlm. 29.
[21] Ibid. hlm.30.
[22] Ibid. hlm.31.
[23] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 348.
[24] “Speculation” here is the name given the discourse on the legitimation of scientific discourse. Schools are functional; the university is speculative, that is to say, philosophical. J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 33.
[25] Ibid., hlm. 35.
[26] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 349.
[27] Lih. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hlm.111.
[28] J.F. Lyotard, op.cit, hlm. 48.
[29] Ibid., hlm. 53.
[30] By reinforcing technology, one “reinforces” reality, and one’s chances of being just and right increase accordingly. Ibid., hlm. 47.
[31] All that exist are “islands of determinism.”, Ibid., hlm. 59.
[32] John Lechte, op.cit., hlm. 375.
[33] Lih. J.F. Lyotard, op.cit., hlm.60.
[34] Konsensus bahkan dapat dipaksakan pada seorang pemain dalam sebuah permainan bahasa....By terror I mean the efficiency gained by eliminating, or threatening to eliminate, a player from the language game one shares with him....It says ,”Adapt your aspirations to our ends or else?”., ibid., hlm. 63-64.
[35] Working on a proof means searching for an “inventing” counterexamples, in other words, the unintelligible; supporting an argument means looking for a “paradox” and legitimating it with new rules in the game of reasoning., ibid. hlm. 54.
[36] A recognition of the heteromorphous nature of language games is a first step in that direction (justice), ibid., hlm. 66.
[37] Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state, and this state is constant, Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 79.
[38] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.hlm. 27.
[39] J.F. Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 82.
[40] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition, …hlm, xxv.
[41] Consensus has become an outmoded and suspect value. But justice as value is neither outmoded nor supect. Ibid., hlm. 66.
[42] Menarik untuk menyimak komentar David Harvey: We similarly find Lyotard arguing that ‘consensus has become an outmoded and suspect value’ but then adding, rather surprisingly, that since ‘justice as a value is neither outmoded nor suspect’ (how it could remain such a universal, untouched by the diversity of language games, he does not tell us), we ‘must arrive at an idea and practice of justice that is not linked to that consensus’, dalam David Hurvey, The Condition of Postmodernity, Massachusetts & Oxford: Blackwell, 1990, hlm. 52.(Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)




Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design