Oleh Mu’adz D’Fahmi
21/03/2002
Belakangan ini,
banyak sekali peristiwa yang dikaitkan dengan aktifitas gerakan kelompok
fundamentalis. Berbagai media dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang mencerminkan
hal tersebut. Pembunuhan perdana menteri Yitzak Rabin, tragedi 11 September di
Amerika, bom bunuh diri yang mewarnai konflik Israel-Palestina adalah contoh
dari sekian banyak reaksi berbahaya kelompok fundamentalis terhadap dunia
modern. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka
memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan
yang berlebihan dalam beragama.
Judul : Berperang
Demi Tuhan; Fundamentalisme dalam Islam, Kristen, dan Yahudi Judul Asli : The
Battle for God Penulis : Karen Armstrong Penerbit : Serambi dan Mizan Cetakan :
I, Agustus 2001 Tebal : xx + 641 halaman
Karen Armstrong
merupakan salah seorang pengkaji agama terkemuka asal Inggris. Setelah mengabdi
selama tujuh tahun sebagai biarawati Katolik Roma yang pada akhirnya gagal
menemukan "Tuhan" dalam kesalehan sistem Papal, Armstrong
meninggalkan gereja tahun 1969 dan meneruskan studi di universitas Oxford.
Beberapa karyanya tercatat sebagai best seller versi New York Times. Di antaranya:
The Gospel According to Woman (1987), Holy War (1991), Muhammad; A Biography of
the Prophet (1992), dan A History of God (1993).
The Battle for God
(Berperang Demi Tuhan) adalah kelanjutan dari karya Armstrong sebelumnya: A
History of God (Sejarah Tuhan). Kedua karya ini saling memiliki keterkaitan.
Dalam Sejarah Tuhan, Armstrong mencoba mendeskripsikan usaha pencarian Tuhan
oleh para pemeluk agama sawami selama lebih dari 4.000 tahun. Sedangkan
Berperang Demi Tuhan memaparkan fenomena fundamentalisme dalam tiga agama
monoteistik: Kristen, Yahudi, dan Islam. Penelusuran Armstrong terhadap sejarah
ketiga agama besar ini sepanjang perubahan yang dimulai dari masa pencerahan
Eropa (renaissance, Aufklنrung) menunjukkan bagaimana fundamentalisme pada akhirnya muncul sebagai
reaksi logis yang melawan ide-ide modernisme.
Belakangan ini,
banyak sekali peristiwa yang dikaitkan dengan aktifitas gerakan kelompok
fundamentalis. Berbagai media dipenuhi oleh kejadian-kejadian yang mencerminkan
hal tersebut. Pembunuhan perdana menteri Yitzak Rabin, tragedi 11 September di
Amerika, bom bunuh diri yang mewarnai konflik Israel-Palestina adalah contoh
dari sekian banyak reaksi berbahaya kelompok fundamentalis terhadap dunia
modern. Meskipun para pelakunya datang dari beragam kepercayaan, mereka
memiliki satu karakteristik umum: over fanatism in religious faith. Ketaatan
yang berlebihan dalam beragama.
Fundamentalisme
merupakan salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak dibicarakan.
Fundamentalisme selalu muncul di dalam setiap agama besar dunia. Tidak hanya
Kristen dan Islam, fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha,
Yahudi, Konfusianisme.
Belum ada definisi
yang jelas mengenai istilah "fundamentalisme". Pada mulanya, istilah
ini dipakai oleh kaum protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan
diri dari kaum protestan yang lebih liberal. Sajak saat itu, istilah
"fundamentalisme" dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan
purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi di berbagai agama dunia. Kendati
demikian, semua gerakan fundamentalisme memiliki pola-pola tertentu.
Fundamentalisme merupakan mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang muncul
sebagai reaksi atas krisis yang mengancam (Martin E. Marty dan R. Scott
Appleby, 1991)
***
Karakter utama buku
ini adalah klasifikasi Armstrong atas dunia ke dalam dua dikotomi: mitos-logos
dan konservatif-modern.
Manusia
mengembangkan dua cara berpikir dan memperoleh pengetahuan. Dalam buku Devotional
Language, Johannes Sloek menyebutnya dengan mitos dan logos. Mitos adalah
pengetahuan yang bersifat mistis, memiliki obyek abstrak-supralogis, tidak
berdasarkan fakta, dan ukuran kebenarannya ditentukan oleh rasa. Mitos tidak
bisa ditunjukkan dengan bukti-bukti rasional. Sedangkan logos sebaliknya. Ia
adalah pemikiran rasional, pragmatis, dan ilmiah. Logos terkait dengan
fakta-fakta dan realitas eksternal sehingga dapat dibuktikan secara empirik.
Menurut Armstrong,
dahulu agama menggunakan kedua elemen, baik mitos maupun logos untuk
menciptakan struktur sosial kehidupan masyarakat yang lengkap. Mitos dan logos
sama-sama penting. Tidak ada yang lebih dominan dari dua hal yang saling
melengkapi ini. Logos ada dalam hukum dan kepemerintahan, sementara mitos
memenuhi tiap sudut relung jiwa manusia. Kendati demikian, mitos dianggap lebih
utama karena berkaitan dengan sesuatu yang abadi.
Tapi, semenjak
renaissance, logos mulai mendominasi mitos. Pencapaian luarbiasa dalam bidang
sains dan teknologi merubah pikiran orang-orang Eropa. Euforia kesuksesan sains
menyingkirkan mitos dan menjadikannya hanya sebagai takhayul belaka. Pada
akhirnya rasionalitas menjadi satu-satunya sarana mencapai kebenaran.
Dengan kematian
mitos, agama menjadi tak bermakna. Dan para agamawan tenggelam dalam kehampaan
spiritualitas. Ruang kosong yang ditinggalkan mitos melahirkan fundamentalisme
yang notabene adalah pemberontakan "hantu" mitos terhadap agresivitas
tanpa kenal batas yang dilakukan logos.
Dikotomi kedua,
konservatif versus modern. Kesimpulan menarik diungkapkan oleh Issa J.
Boullata. Menurutnya, kekuatan tradisi, atau "semangat konservatisme"
dalam bahasa Karen Armstrong, berorientasi ke arah masa lampau dengan mengacu
kepada model internal. Kejayaan bagi kaum konservatif dapat diraih jika
mengambil uswatun hasanah (preseden baik) dari pengalaman terdahulu karena masa
lalu memberikan jaminan kesuksesan yang telah terbukti.
Di lain pihak,
kekuatan modernitas yang berorientasi ke arah masa depan, menggunakan model
eksternal sebagai rujukannya. Kemajuan diraih melalui upaya kreativitas dan
progresivitas yang dilandaskan pada nilai-nilai rasional.
***
Kim Allen mencatat,
kesalahan paling fatal dari dikotomi Armstrong terletak pada logika yang ia
gunakan. Armstrong menyimpulkan sains sebagai murni logos, murni modern. Ia
memuji orientasi ke depan sains dan penerimaannya akan ide-ide baru. Pada tahap
ini, Armstrong benar. Tapi, hanya seorang peneliti yang naiflah yang
mengabaikan kenyataan bahwa sains memiliki komponen konservatif yang kuat,
yaitu pandangan adanya kebenaran mutlak yang abadi, tak berubah, dan telah
sempurna semenjak awal penciptaan (Kim Allen, 2000). Sains bersandar kepada
aturan-aturan matematis yang kaku dan tidak dapat diinterpretasikan kembali
seiring perjalanan waktu.
Armstrong memaksa
sains memainkan peran stereotipikal yang secara diametris bersifat oposan
terhadap agama. Sebelumnya, agama dan sains merupakan dua komponen utama yang
tak terpisahkan dalam kepercayaan masyarakat. Baru beberapa abad kemudian,
orang-orang mulai mengklaim bahwa sains dan agama bertentangan—yang menurut
sebagian orang, pernyataan seperti itu adalah salah kaprah.
Dikotomi Armstrong
sendiri menempatkannya pada posisi dilematis. Armstrong menjelaskan bahwa
pencerahan Eropa melatarbelakangi perpindahan paradigma dari konservatif ke
modern sekaligus menghapus mitos dari sistem sosial masyarakat Barat. Dengan
membagi dunia ke dalam dua dikotomi, Armstrong menghabiskan berlembar-lembar
halaman bukunya hanya untuk "mengeksploitasi" sejarah agar sesuai
dengan asumsinya semula. Maka tidak mengherankan jika penjabaran Armstrong
terkesan "terlalu dipaksakan". Menyingkirkan sebagian besar fakta
sejarah dengan tujuan untuk mendukung pendapatnya tentang dikotomi mitos-logos
dan konservatif-modern.
Usaha Armstrong ini
justru menunjukkan bahwa dirinya sendiri adalah seorang fundamentalis. Tidak
ada seorang fundamentalis yang tidak tertarik kepada dikotomi seperti ini.
Problemnya bukan pada dunia, melainkan terletak pada kategorisasi Armstrong.
Agama dan sains adalah dua hal yang sangat kompleks. Meskipun dalam beberapa
aspek terdapat perbedaan, keduanya sama-sama merupakan sesuatu yang terlalu
sederhana jika dibandingkan antara satu dengan yang lainnya.
***
Dalam komentarnya,
An Ex-Nun in Search of God; but Biblically Non The Wisher, profesor Arthur
Noble mengkritik sikap tidak fair Armstrong. Pemikiran Armstrong cenderung bias
meskipun telah melepaskan statusnya sebagai seorang biarawati. Kontribusi
terakhirnya dalam perdebatan keagamaan ini, Berperang Demi Tuhan, justru
mendukung image tentang infalibilitas (ke-ma’shum-an, kondisi tidak bisa
bersalah) Gereja Katolik Roma. Keberhati-hatiannya ketika menjelaskan bagaimana
fundamentalisme berakar dan berkembang pesat dalam banyak agama besar dunia
tidak disertai dengan usaha mengkritik infalibilitas kelompok fundamentalis
Katolik Roma.
Armstrong memang
mengutuk kaum fundamentalisme Kristen di Amerika yang melontarkan makian sangat
tajam terhadap Gereja Katolik Roma. Secara khusus, Ia menyorot gerakan
fundamentalisme "televangelis", kelompok puritan, dan calvinisme,
tetapi mengapa ia justru mengabaikan sejarah kelam gerejanya sendiri dan bahkan
melukiskan image tentang almamater-nya itu (Gereja Katolik Roma) dengan
gambaran yang positif sepanjang buku ini.
***
Terlepas dari
kekurangan yang terdapat didalamnya, Berperang Demi Tuhan layak untuk kita
apresiasi. Tema besar fundamentalisme yang diusungnya memakai semangat dan
sudut pandang baru. Secara cermat dan brilian, Karen Armstrong menunjukkan
kepada kita bagaimana dan mengapa kelompok-kelompok fundamentalis muncul dalam
berbagai agama dunia, serta apa sesungguhnya tujuan mereka.
Dengan begitu kita
bisa mencoba bersikap lebih obyektif terhadap kaum fundamentalis. Tidak sekedar
melihat mereka sebagai gerakan ortodoksi, puritan, atau revivalis an sich,
melainkan memberi penilaian sebagaimana Armstrong lakukan. “Fundamentalisme
ternyata merupakan gerakan yang kompleks, inovatif, dan modern.”
Jakarta, 21 Maret
2002
Mu'adz D'Fahmi. Mahasiswa
IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Presidium Fascho Learning Center, IMM Cabang
Ciputat