Memanusiakan Alquran; Marhaban Abu Zayd!

Oleh Ahmad Fawaid Sjadzili
30/08/2004

Proses pemanusiawian Alquran ini sebenarnya sudah berlangsung sejak Nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk Bahasa Arab; bahasa orang-orang di Jazirah Arab. Tanpa berpretensi mendesakralisasi teks Alquran secara mutlak, Abu Zayd sebenarnya hendak meneguhkan ke-imanensi-an Alquran, sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transendensialnya.

Tidak ada yang membantah bahwa Alquran adalah hasil proses metamorfosa dari teks oral (al-nashshus syafahy) menjadi teks tertulis (al-nashshul maktûb). Proses metamorfosis ini menunjukkan bahwa Alquran adalah teks bahasa (nash lughawiy), yang menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Teks apapun merupakan fenomena sejarah dan memiliki konteks spesifik, tak terkecuali Alquran. Sebagai firman yang memanusiawi (ta’ansan), Alquran tidak lahir dalam ruang hampa budaya, tapi lahir dalam ruang-waktu yang sarat budaya. Atas dasar ini, teks Alquran, seperti teks-teks linguistik lain, adalah teks historis (nash târikhiy).

Historisitas teks Alquran tampak dari proses “penurunannya” yang menjuntai tidak kurang dari dua puluh tiga tahun, dicandra Nabi, untuk kemudian disampaikan pada umatnya. Dalam proses penyampaiannya secara verbal itu, Alquran termaterialkan secara grafis dalam goresan tertulis, lalu terkodifikasi menjadi “korpus resmi tertutup”, seperti dikatakan Arkoun. Dalam konteks inilah, Alquran telah beralih eksistensi, dari teks ilahi (nashsh ilâhi) menjadi pemahaman atau teks manusiawi (fahm/nash insâniy).

Adalah Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir eksil asal Mesir yang akan berkunjung di Indonesia pada penghujung bulan ini yang menyimpulkan demikian. Melalui sejumlah karyanya dia menegaskan, meskipun Alquran bersumber dari Tuhan (dengan begitu dia sakral), namun sakralitasnya baru mendapat makna sesungguhnya tatkala diposisikan secara manusiawi (tamawdha’a fîhâ basyariyan).

Proses pemanusiawian Alquran ini sebenarnya sudah berlangsung sejak Nabi Muhammad menuturkan firman-firman “verbal” Tuhan itu dalam bentuk Bahasa Arab; bahasa orang-orang di Jazirah Arab. Tanpa berpretensi mendesakralisasi teks Alquran secara mutlak, Abu Zayd sebenarnya hendak meneguhkan ke-imanensi-an Alquran, sehingga bisa dicandra oleh pemahaman manusia tanpa harus menampik asal-usul transendensialnya. Dalam konteks ini, Abu Zayd hendak mengulang ‘manifesto’ guru in absentia-nya, Amin Al-Khuli, yang mengatakan bahwa Alquran adalah “kitab agung berbahasa Arab” (Kitâb al-‘arabiyyah al-akbar). Perkataan “kitab berbahasa Arab” mengindikasikan sisi imanensi Alquran, dan “kitab agung” mengindikasikan aspek transendennya. Dengan meyakini bahwa Alquran adalah teks berbahasa Arab yang menyejarah, Abu Zayd lalu mendudukkan Alquran sebagai teks yang mungkin dianalisis melalui perangkat kajian linguistik.


Tekstualitas dan Historisitas Alquran

Imanensi dan transendensi Alquran ditunjukkan Abu Zayd melalui penjelasaannya tentang tekstualitas dan historisitas Alquran. Menurut Abu Zayd, tekstualitas Alquran dapat dijelaskan melalui tiga hal. Pertama, Alquran adalah pesan yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad melalui kode komunikasi bahasa Arab via Jibril. Sebagai pesan, Alquran meniscayakan dirinya untuk dikaji sebagai sebuah teks. Kedua, urutan-urutan Alquran yang ada di tangan kita sekarang tidak sama dengan kronologi pewahyuan (tartîb al-nuzûl). Urutan kronologis pewahyuan menunjukkan sifat realistik teks, sementara struktur kronologi pembacaan (tartib al-tilawah) yang ada sekarang menunjukkan tekstualitasnya. Ketiga, adanya kenyataan bahwa Alquran terdiri dari ayat-ayat muhkamât yang menjadi ‘inti’ teks, dan ayat mutasyâbihât yang harus dipahami berdasar ayat-ayat muhkamât itu.

Dengan menegaskan tekstualitas Alquran, Abu Zayd hendak mengaitkan kembali kajian ilmu Alquran dengan konteks studi kritik sastra. Artinya, layaknya teks-teks lain, Alquran mungkin didekati dengan pelbagai perangkat kajian tekstual modern. Sebagaimana dikatakan Abu Zayd, Alquran adalah teks bahasa (nashs lughawiy) yang bisa digambarkan sebagai teks sentral (nashs mihwariy) dalam peradaban Arab. Jika demikian, mendudukkannya sebagai teks historis tidak berarti mereduksi keilahiannya. Justru historisitas tekslah yang menjadikan Alquran sebagai subjek pemahaman dan takwil. Dengan demikian, analisis sosiohistoris diperlukan dalam proses pemahaman Alquran, dan pemanfaatan metodologi linguistik modern menjadi sesuatu yang niscaya dalam praktik takwil. Di sinilah arti penting tekstualitas dan historisitas Alquran. Mengabaikan tekstualitas Alquran hanya akan mengarahkan pada pembekuan makna pesan. Ketika makna pesan (di)beku(kan), maka ia akan sangat gampang dilacurkan pada arah dan kepentingan ideologis sang pembaca.

Di sisi lain, mengabaikan historitas Alquran akan berdampak pada tercerabutnya makna Alquran dari konteks yang melingkupinya. Inilah yang kerap dilakukan kalangan konservatif dalam pembacaan Alquran. Mereka, mengutip Asma Barlas (2003), intelektual eksil asal Pakistan, gemar melakukan “decontextualize the Qur’an teaching by dehistoricizing the Qur’an itself because of a particular view of time.”


Againts Authoritarian Hermeneutics

Lepasnya pesan-pesan Alquran dari konteks yang mengitari, konteks historis pembacanya, ditambah abainya sang pembaca terhadap “maksud tekstual” sebuah teks, bisa berdampak pada kesewenangan dalam mamahami teks. “Maksud tekstual” di sini adalah visualisasi yang tergelar dalam struktur linguistik bahasa tersebut. Dengan menampik maksud tekstual dan struktur ekstratekstual sebuah teks, pembaca atau interpreter akan terjatuh pada apa yang disebut Abu Zayd sebagai pembacaan ideologis-tendensius (qira’ah talwiniyah mughridlah) atas teks. Pembacaan yang ideologis dan tendensius ini pada akhirnya melahirkan apa yang disebut Khaled Abou el-Fadl sebagai “hermeneutika otoriter” (authoritarian hermeneutic). Bagi Abou el-Fadl, hermeneutika otoriter terjadi ketika mekanisme pencarian makna teks terampas dan ditundukkan dari teks ke dalam pembacaan yang subjektif dan selektif. Subjektifitas dan selektifitas yang dipaksakan dengan mengabaikan maksud tekstual dan realitas ekstratekstual teks inilah yang menjadikan teks diombang-ambing sesuai selera pembaca. Model pembacaan semacam ini patut ditolak. Dan Abu Zayd adalah salah satu pemikir yang paling lantang meneriakkan penolakannya.

Karena itu, di samping memperhatikan jalinan intertekstualitas teks Alquran dalam pelbagai dimensinya, yang tak kalah penting adalah mengamati faktor ekstratekstualitas teks, termasuk di dalamnya ragam konteks yang mengitarinya, tidak saja konteks seputar penurunan wahyu, termasuk konteks pada saat teks itu menyejarah dan dibaca masyarakat di sepanjang waktu dan segala ruang. Meminjam tiga langkah hermeneutik Barlas, setidaknya ada tiga langkah yang patut dilakukan ketika membaca Alquran: 1) membaca Alquran sebagai teks (to read the Qur’an as text), yaitu membaca dalam kerangka menangkap dan mengungkap maksud Tuhan; 2) membaca apa yang ada di balik teks (to read behind text), yaitu merekonstruksi konteks historis di mana teks itu lahir; dan 3) membaca apa yang ada di hadapan teks (to read in front of text), yaitu rekontekstualisasi pesan-pesan teks dalam konteks kebutuhan saat ini.

Dengan upaya semacam ini, penundukan teks demi kepentingan pembaca dapat dihindari. Dan Abu Zayd, sebenarnya hendak mewartakan model pembacaan yang produktif atas teks, sebagai lawan pembacaan ideologis-tendensius. Akhir kalam: marhaban yâ Abu Zayd! []


(Ahmad Fawaid Sjadzili, Peniliti Lakpesdam-NU dan Mahasiswa Program Pasca Sarjana UIN Jakarta)

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design