Penulis: Kristin Susana
Koran Tempo, tanggal 2003-10-26 00:00:00.0
Koran Tempo, tanggal 2003-10-26 00:00:00.0
Sebuah
pemikiran tidak lahir dari ruang kosong, tapi merupakan respon terhadap situasi
dan perkembangan yang mengitarinya.
Sebuah pemikiran, dengan demikian menyadarkan diri pada dan
merefleksikan situasi aktual zamannya.
Untuk memahami sebuah pemikiran, orang tidak bisa mempreteli begitu saja
konteks sosio-historis yang melatarinya.
Begitu pula ketika kita berusaha memahami Fazlur Rahman, pelbagai
konteks sosio-historis yang mewadahi aktivitas intelektualnya harus pula
dipertimbangkan. Fazlur Rahman adalah
pribadi yang memiliki banyak keunggulan dan kekurangan. Setiap orang memiliki kesannya
sendiri-sendiri terhadap sosok pemikir besar Islam ini.
Sejauh
menyangkut dasar-dasar psikologis-metafisis, pemikiran para filsuf muslim
tentang wahyu kenabian dibangun atas dasar teori-teori Yunani tentang sifat dan
kekuatan kognitif jiwa manusia. Sumber
utama pemikiran mereka adalah pemikiran Aristoteles dalam bukunya, De Anima,
tentang kemampuan intelektual jiwa, dan penjelasan dari para komentator karya
Aristoteles, khususnya Alexander Aphrodisias.
Al-Farabi
mengatakan bahwa kemampuan awal akal, disebut akal potensial. Sebagai bagian atau fakultas jiwa, akal sehat
sejak awal keberadaannya berkecenderungan (hai'ah) untuk
memikirkan alam materi. Jadi
menurut Al-Farabi, pikiran manusia dapat mencapai kesempurnaan ketika ia
menjadi 'aql mustafad. Meskipun derajatnya lebih
rendah dari Akal Aktif, 'aql mustafad merupakan
aktivitas murni yang tidak lagi membutuhkan fakultas-fakultas jiwa rendah untuk
aktivitasnya.
Sedangkan Ibnu
Sina berpandangan bahwa akal potensial adalah substansi nonmaterial yang kekal
dan bersifat personal yang dilahirkan dalam eksistensi seorang individu. Aktualisasinya dimulai ketika manusia
menangkap kebenaran-kebenaran umum primer yang merupakan basis semua
demonstrasi. Berbeda dengan Al-Farabi,
menurut Ibnu Sina, bentuk-bentuk yang bisa dipahami dan diterima oleh akal
manisia tidaklah dihasilkan dengan cara abstraksi dari materi, tetapi memancar
langsung dari Akal Aktif yang melakukan pertimbangan dan perbandingan bentuk-bentuk
imajinatif. Jadi menurut Ibnu Sina, nabi
adalah seorang yang dianugerahi bakat intelektual luar biasa sehingga dengan
bakat tersebut, ia mampu mengetahui sendiri semua hal tanpa bantuan pengajaran
oleh sumber-sumber eksternal.
Meskipun
Al-Farabi dan Ubnu Sina sepakat dalam hal ini, tampaknya Al-Farabi mengaggap
perlu adanya pemikiran filosofis yang biasa sebelum datangnya wahyu
kenabian. Pada tingkat wacana, persoalan
kenabian menjadi titik persinggungan krusial antara kelompok yang
berkecenderungan normatif (ortodoks) dan kelompok yang berkecenderungan
rasional (filsuf).
Aliran pertama
yang merupakan aliran terbesar, secara mengagumkan diwakili oleh
Al-Syahrastani. Sedangkan yang kedua
diwakili oleh Ibnu Hazm. Kedua aliran
ini memang mengakui
pentingnya akal, tetapi mereka menolak para filsuf sama sekali. Bahkan meskipun mengukuhkan nilai-nilai
spiritual di dalam kerangka Islam, mereka menolak sufisme.
Ibnu Hazm
dikenal sebagai seorang "literalis" (Al-Zhahiri). Konsepsinya tentang kenabian---baik dari segi
kognisi supernatural maupun mukjizat---berhubungan langsung dengan konsepsinya
mengenai Tuhan sebagai zat yang mutlak dan berada di luar kategori pemahaman
manusia. Oleh karena itu, kenabian
adalah hal yang mungkin. Ibnu Hazm
mendasarkan buktinya pada perkembangan budaya dan ilmu umat manusia yang tidak
mungkin terjadi, kecuali melalui komunikasi pengetahuan oleh Tuhan secara
mukjizat kepada para nabi.
Buku ini
ditulis oleh seorang pemikir muslim besar abad ini, menyajikan pembahasan yang
jernih mengenai persoalan kenabian dalam Islam---persoalan yang justru
cenderung diabaikan oleh para pemikir muslim modern. Buku ini sangat penting, bukan saja bagi para
peminat kajian Islam, melainkan juga bagi siapa saja yang menginginkan
penjelasan rasional atas salah satu unsur pembentuk bangunan keimanan.