Kompas, Rabu, 02 Maret 2005
"Sapere
Aude!"
Luthfi
Assyaukanie
SEJARAH
pemikiran dan filsafat Barat kerap menganggap Immanuel Kant (wafat:1804)
sebagai puncak era Pencerahan yang terjadi di Eropa pada abad ke-18. Era
Pencerahan sendiri merupakan puncak gelombang perubahan besar Revolusi (dalam
bidang sains), Renaisans (seni dan filsafat), dan Reformasi (agama) yang
terjadi pada abad ke-15 dan ke-16. Pada gilirannya, gelombang perubahan besar
ini merupakan dampak langsung dari berbagai pengaruh dan interaksi budaya dan
ilmu pengetahuan yang terjadi sepanjang abad ke-13 dan ke-14. Salah satu sumber
yang memberikan pengaruh sangat besar bagi perubahan di Eropa adalah ilmu
pengetahuan dan pemikiran filsafat yang datang dari dunia Islam.
TULISAN
ini ingin menyoroti salah satu tokoh penting filsuf Muslim yang memberi
kontribusi sangat besar bagi gerakan Renaisans dan Pencerahan di Eropa. Ibn
Rushd atau Averroes (wafat: 1198) adalah inspirasi bagi gerakan Renaisans awal
di Eropa. Ia memainkan peranan penting dalam mempromosikan independensi
akal-pikiran, doktrin yang oleh Immanuel Kant kemudian dianggap sebagai inti
dari Aufklärung "pencerahan".
Apa itu
pencerahan?
Era
Pencerahan dianggap sebagai sebuah masa ketika manusia Eropa-para intelektual
dan filsuf-berusaha mewujudkan sebuah sistem pengetahuan, etika, dan estetika
yang sepenuhnya dibangun berdasarkan rasionalitas yang tercerahkan. Upaya ini
merupakan sebuah respons yang benih-benihnya telah disemai oleh para tokoh Renaisans
dan Reformasi abad ke-15 dan ke-16. Kaum ensiklopedis seperti Diderot dan
Voltaire meyakini bahwa ilmu pengetahuan dan pendidikan adalah cara terbaik
mengatasi keyakinan-keyakinan akan mitos, takhayul, dan kebodohan. Para aktivis
Pencerahan kerap memandang diri mereka sebagai intelektual bebas yang mendorong
dunia ke arah kemajuan dan perubahan yang lebih baik.
Dalam
artikelnya berjudul Was ist Aufklärung? (Apakah Itu Pencerahan?), Immanuel
Kant, tokoh penting Pencerahan itu, memberi definisi sangat jelas. Pada
hematnya, pencerahan adalah: keluarnya manusia dari ketidakmatangan yang
diciptakannya sendiri. Sedangkan ketidakmatangan adalah ketidakmampuan
seseorang menggunakan akal-pikirannya tanpa bantuan orang lain. Ketidakmatangan
semacam ini terjadi bukan karena kurangnya daya pikir, tetapi karena kurangnya
determinasi dan keberanian menggunakan pemahaman sendiri. Moto pencerahan,
dengan demikian, adalah Sapere aude! Beranilah menggunakan pemahaman sendiri!
(Kant, What is Enlightenment?, 1990).
Dari
definisi ini kita melihat bahwa Kant menganggap pencerahan bukan semata-mata
kondisi intelektual di mana seseorang merasa terbebaskan berpikir dan
bertindak, tetapi yang terpenting adalah bahwa pencerahan itu berarti
kematangan berpikir dan sanggup melakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
Yang dimaksud "bantuan orang lain" di sini adalah penggunaan otoritas
luar secara berlebihan sehingga menghalangi seseorang berpikir independen. Inti
pencerahan bukanlah pemikiran itu sendiri, tetapi bagaimana seseorang berani
menggunakan akal-pikirannya (sapere aude!).
Seperti
bisa dilihat, selain menekankan pada kata keluarnya (ausgang), Kant juga
memberi penekanan pada ketidakmatangan (unmündigkeit) serta determinasi dan
keberanian (entschließung und mut) yang merefleksikan dua karakter berbeda dari
sifat manusia. Penggunaan akal bebas ditekankan sebesar-besarnya yang oleh Kant
kemudian diberikan prasyarat tambahan: keberanian.
Menurut
saya, prasyarat tambahan ini lebih penting dari kualitas akal-pikiran sendiri.
Tanpa keberanian, akal-pikiran menjadi kurang berguna karena ia akan menjadi
agen pelestari dari otoritas pemikiran mapan. Dalam pencerahan, yang lebih
penting adalah bagaimana manusia mampu memelihara independensi akal-pikirannya
dan mampu mengontrol dirinya dari pengaruh pemikiran yang datang dari luar
nalarnya. Pengaruh pemikiran luar tak hanya sebatas pandangan atau ide
partikular saja, tetapi juga-dan ini saya kira yang lebih penting-sistem
pemikiran yang melembaga dalam institusi publik seperti agama dan negara.
Ibn
Rushd dan pencerahan
Ibn
Rushd adalah model bagi independensi akal-pikiran sekaligus model bagi
keberanian berpikir, khususnya dalam melawan pemikiran yang terlembaga dalam
institusi agama. Keberaniannya mengkritik kemapanan otoritas agama
menginspirasi orang-orang Eropa abad ke-13 dan ke-14 melakukan hal yang sama
kepada kuasa gereja yang saat itu mendominasi hampir seluruh aspek kehidupan
mereka.
Ibn
Rushd adalah pemikir yang berusaha menghidupkan tradisi pemikiran bebas dalam
pengertian yang kemudian dikembangkan para filsuf pencerahan di Eropa. Ia
dilahirkan dan dibesarkan di Cordova, sebuah dinasti Islam di Spanyol. Ia hidup
di penghujung "era keemasan Islam", sekitar satu abad sebelum Baghdad
jatuh (1258) atau empat abad sebelum Granada, benteng terakhir umat Islam di
Spanyol, runtuh (1492).
Ibn
Rushd hidup di tengah kecenderungan kaum Muslim yang semakin antipati terhadap
pemikiran rasional. Pada masa ini, di belahan Timur dunia Islam (masyrik),
filsafat Islam mengalami gempuran sangat keras dari ulama konservatif yang
merasa terancam dengan dominasi "ilmu-ilmu klasik" (’ulum al-awail)
yang datang dari Yunani. Para teolog yang didominasi kaum Ash’ariyah menyerang
kecenderungan teologi rasional, khususnya yang dimotori kaum Mu’tazilah.
Hidup
di belahan barat (magrib) yang cukup jauh terpisah dari kemurungan peradaban
Islam, Ibn Rushd melihat ada ketidakberesan dari perilaku kaum Muslim di Timur.
Pada mulanya ia turut berempati kepada para ulama dan teolog yang berusaha
"menghidupkan ilmu-ilmu agama" (ihya ’ulum al-din) sebagai respons
dari gelombang Helenisme yang dimotori para filsuf Muslim dan kaum Mu’tazilah.
Simpatinya
kepada Abu Hamid al-Ghazali (wafat: 1111) disalurkannya dengan membuat sebuah
talkhis (ringkasan) al-Mustashfa, salah satu karya penting al-Ghazali dalam
bidang ushul fiqh. Namun, belakangan ia menyadari ada yang tidak beres dari
al-Ghazali dan para teolog yang membabi-buta mengecam para filsuf Yunani dan
filsuf Muslim lainnya.
Sebuah
peristiwa penting mengubah hidupnya. Dalam sebuah kesempatan, ia diperkenalkan
Ibn Tufayl, filsuf Andalusia, kepada Khalifah Abu Yusuf Ya’qub, penguasa
Marrakesh yang dikenal menggandrungi filsafat. Sang Khalifah bertanya kepada
Ibn Rushd tentang pandangan para filsuf Yunani mengenai penciptaan alam. Ibn
Rushd begitu malu dan gundah karena ia tak mampu menjawab pertanyaan itu.
Karena peristiwa inilah kemudian ia bertekad mempelajari filsafat Yunani secara
lebih serius (Renan, Averroès et L’averroïsme, 1986: 16).
Ibn
Rushd menulis banyak buku. Ia meninggalkan tak kurang dari 50 judul buku dari
berbagai disiplin ilmu: filsafat, kedokteran, politik, fikih, dan
masalah-masalah agama. Namun, sejauh menyangkut peran Ibn Rushd sebagai model
pencerahan, tiga bukunya-Fashl al-Maqal, al-Kashf ’an Manahij al-Adillah dan
Tahafut al-Tahafut (ditulis berturut-turut pada 1178, 1179, 1180)-merupakan
karya terpenting. Ketiga buku ini memuat pandangan kontroversial Ibn Rushd yang
pernah menggemparkan dunia Eropa pertengahan abad ke-13.
Peran
Averoisme
Dampak
langsung dari gagasan pencerahan Ibn Rushd bisa ditelusuri pada mazhab
pemikiran yang dikenal dengan sebutan Averoisme. Istilah itu mulai digunakan di
Eropa sekitar tahun 1270, atau 72 tahun setelah Ibn Rushd meninggal dunia. Kata
yang digunakan adalah averroistae yang sesungguhnya lebih merupakan bentuk
sinisme untuk merujuk para pengikut dan pengagum Ibn Rushd. Pada tahun-tahun
ini, Universitas Paris adalah pusat ilmu pengetahuan yang memiliki gravitasi
luar biasa bagi sarjana Eropa. Roger Bacon, filsuf Inggris, berada di
universitas ini sekitar tahun 1240-1248; Albert Agung mengajar antara tahun
1242-1248; Bonaventura dari tahun 1248-1255; dan Thomas Aquinas antara 1252 dan
1259. Sebagian besar para pengajar di universitas ini adalah pengikut paham
atau simpatisan Averoisme (Heer, The Medieval World, 1962: 213).
Pada
Desember 1270, Uskup Stephen Tempier mengeluarkan pengumuman tentang
ajaran-ajaran heretik. Siapa saja yang mengikuti ajaran ini harus dikirim ke
pengadilan inkuisisi dan dihukum keras. Beberapa ajaran yang dituduh heretik
adalah doktrin tentang jiwa dan intelek yang diajarkan Ibn Rushd serta doktrin
Aristoteles tentang Tuhan.
Dalam
deklarasi itu, Tempier tidak merinci ajaran-ajaran yang dianggap terlarang.
Namun, pada Maret 1277, ia mengeluarkan lagi pengumuman lanjutan dengan
memberikan 219 daftar ajaran yang dianggap heretik dan pengikutnya harus
dihukum seberat-beratnya. Surat pengumuman kali ini juga mengarah kepada
beberapa nama, seperti Siger de Brabant (wafat: 1282), pengikut fanatik Ibn Rushd
dan pendiri semacam "Jaringan Averoisme Paris" dan Boëthius de Dacia
(wafat: 1290), mahasiswa filsafat yang aktif dalam jaringan itu.
Siger,
Boëthius, dan kebanyakan orang yang setuju dengan ke-219 ajaran yang didaftar
Tempier adalah pengikut Averoisme. Sedianya daftar itu untuk menjaring para
pemikir liberal yang dianggap "telah meresahkan masyarakat Paris".
Namun, Tempier agaknya terlalu banyak mendaftar "barang-barang haram"
sehingga beberapa petinggi gereja yang diam-diam mengagumi Ibn Rushd juga terkena
imbasnya, termasuk Thomas Aquinas, pemimpin Ordo Dominikan dan filsuf terbesar
Abad Pertengahan.
Averoisme
memang tidak melulu terkait dengan "intelektual liberal". Dalam
sejarah filsafat Barat, Averoisme juga dikaitkan dengan pemikiran filsafat
keagamaan yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan "Averoisme
Yahudi" dan "Averoisme Kristen". Averoisme Yahudi berkembang
pesat di Andalusia. Para pengikut Averoisme Yahudi umumnya memandang Ibn Rushd
sejajar dengan filsuf besar mereka: Musa ben Maymun atau Maimonides (wafat:
1204) dan Abraham ben Ezra (wafat: 1167) yang kebetulan keduanya hidup di
Andalusia sezaman dengan Ibn Rushd. Tokoh-tokoh penting Averoisme Yahudi adalah
Isaac Albalag (akhir abad ke-13) yang menerjemahkkan Maqasid al-Falasifah,
karya Imam al-Ghazali, ke dalam bahasa Ibrani; Joseph ibn Caspi (lahir: 1279),
Moses Narboni (wafat: 1362), dan Elijah Delmedi (wafat: 1493), pengikut
Averoisme Yahudi terakhir.
Sementara
itu, Averoisme Kristen sebetulnya merupakan istilah yang agak paradoks karena
dunia gereja, khususnya pada abad ke-13 dan ke-14, didominasi oleh
kecenderungan memusuhi ajaran-ajaran Ibn Rushd dan Aristoteles. Namun, beberapa
tokoh Kristen pada masa-masa akhir Abad Pertengahan, seperti Thomas Aquinas,
menggandrungi ajaran Aristoteles. Dan, tak ada pengantar paling baik ke
filsafat Aristotles kecuali karya-karya Ibn Rushd.
Baik
Averoisme Yahudi maupun Averoisme Kristen menganggap Ibn Rushd telah berjasa
menyelesaikan persoalan pelik yang selama berabad-abad menjadi momok bagi kaum
agamawan, yakni bagaimana mendamaikan wahyu dengan akal, filsafat dengan agama,
para nabi dengan Aristoteles. Dalam karyanya, Fasl al-Maqal, yang sudah
diterjemahkan ke berbagai bahasa penting Eropa, Ibn Rushd menjawab semua
persoalan ini dengan lugas.
Pertama-tama,
kunci dari persoalan itu terletak pada persoalan genting lainnya yang lebih
mendasar: apakah benar bahwa mempelajari filsafat itu haram? Untuk menjawab
ini, Ibn Rushd memberikan hipotesis. Menurutnya, secara legal-fikih (syari’i)
belajar filsafat itu punya beberapa kemungkinan: bisa dibolehkan (mubah),
dilarang (mahdzur), dianjurkan (nadb), atau diharuskan (wajib)? Menurut Ibn
Rushd, belajar filsafat hukumnya: wajib atau sunah (Fasl al-Maqal, 1968: 27).
Bagi
yang mengikuti perkembangan filsafat Islam, jawaban Ibn Rushd itu jelas-jelas
merupakan tonjokan keras bagi para fuqaha dan ahli hadis yang memberikan fatwa
haram atau minimal makruh mempelajari filsafat. Bagi Ibn Rushd, belajar
filsafat adalah wajib, atau paling kurang sunah. Argumen filsuf Cordova itu
adalah ayat-ayat Al Quran. Pertama, surah al-Hasyr (59) ayat 2 yang menegaskan
wajibnya manusia menggunakan qiyas ’aqli (silogisme) dalam melihat berbagai
persoalan; kedua dan seterusnya adalah surah al-A’raf (7) ayat 184, surah
al-An’am (6) ayat 75, dan surah Ali ’Imran (3) ayat 191 yang semuanya
menganjurkan manusia agar mempelajari alam raya (mawjudat).
Berdasarkan
ayat-ayat Al Quran itu dan berdasarkan karakter filsafat sebagai ilmu yang
dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih sempurna"
(atamm al-ma’rifah), Ibn Rushd memberikan kesimpulan bahwa "filsafat
adalah saudara sekandung dan sesusuan agama" (Fasl al-Maqal, 1968: 58).
Dengan kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan
agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang
sama.
Runtuhnya
Averoisme
Jika
pandangan keagamaan Ibn Rushd banyak memberi inspirasi bagi para pemeluk Yahudi
dan Kristen, pandangan filsafatnya banyak mendorong kalangan akademisi di Eropa
melawan kemapanan pemahaman-pemahaman filsafat yang datang dari gereja. Pada
Abad Pertengahan sumber kebenaran hanya datang dari satu penjuru: kuasa gereja.
Dunia akademi hanyalah sebuah perluasan dari imperium pengetahuan yang dibangun
para teolog dan tokoh agama. Sebagian penghuni akademi itu bahkan adalah para
tokoh gereja. Dengan aroma gereja yang begitu kuat, sangat sukar bagi para
akademisi berpikir independen karena, sekali saja ketahuan, "mata-mata
Tuhan" akan mengirimkan mereka sebuah undangan ke kamar inkuisisi.
Kuasa
Gereja adalah "orang lain" dalam definisi Kant tentang pencerahan. Ia
adalah otoritas bagi "orang-orang yang tak matang" atau bagi
"orang-orang yang tak punya keberanian." Namun, bagi orang-orang yang
tercerahkan, seperti Siger de Brabant dan Boëthius de Dacia, otoritas itu
bukanlah segala-galanya. Ada otoritas lain di luar Gereja, yakni akal manusia
yang berpikir secara independen. Peran Ibn Rushd adalah menyadarkan para
pemilik "akal-akal independen" bahwa kedudukan akal mereka sama
tinggi dan sama mulianya dengan wahyu (gereja).
Jika
kebenaran bisa diperoleh lewat agen wahyu (gereja), ia juga bisa diperoleh
lewat agen-agen pemikiran yang independen (akademi). Inilah gagasan Ibn Rushd
yang memberi inspirasi orang Eropa agar dunia akademi harus independen dari
kuasa gereja. Gagasan yang sama juga telah menginspirasi orang-orang modern di
Eropa akan pentingnya pemisahan wilayah agama dan wilayah ilmu atau dalam dunia
politik antara agama dan negara. Dengan kata lain, gagasan pemisahan
agama-negara atau yang dikenal dengan sekularisasi sebetulnya datang dari Ibn
Rushd.
Gagasan
Ibn Rushd tentang dua jalur kebenaran ini menjadi tren di Paris dan kota-kota
besar Eropa abad ke-13. Para pengikut Averoisme Latin adalah orang yang paling
aktif menyebarkan gagasan ini. Mereka menyebutnya dengan "kebenaran
ganda". Istilah ini, seperti dijelaskan oleh Sten Ebbesen (Averroism,
1998), menyumbangkan salah paham yang berlarut-larut terhadap Ibn Rushd karena
sebenarnya Ibn Rushd bukan mempromosikan tentang kebenaran ganda, tetapi
tentang jalur-jalur kebenaran yang berbilang; adapun kebenaran itu sendiri
tetaplah satu.
Gagasan
"kebenaran ganda" memang persoalan rumit. Ia bisa membuat orang
curiga dan menganggap pemeluknya sewenang-wenang dan tak bertanggung jawab.
Setidaknya inilah kesan para penguasa agama pada Abad Pertengahan. Mereka
mengecam sikap "mendua" seperti itu karena bagi mereka kebenaran itu
hanya satu: kebenaran yang datang dari gereja. Implikasi sikap ini cukup besar
bagi perkembangan Averoisme di Eropa. Siapa saja yang mengadopsi gagasan
"kebenaran ganda" dicap sebagai pengikut Averoisme. Nama Averoisme
kemudian menjadi cemar. Dan, orang mulai berhati-hati jika namanya dikaitkan
dengan Averoisme. Inilah gejala awal surutnya pengaruh Ibn Rushd di Eropa.
Namun,
miskonsepsi gagasan kebenaran ganda itu bukan satu-satunya sebab menurunnya
pamor Ibn Rushd di Eropa. Dalam artikelnya yang sangat menarik, Why Europeans
Stopped Reading Averroes?, Harold Stone menjelaskan beberapa faktor lain.
Pertama, ditemukannya akses langsung ke buku-buku Yunani. Selama ini, orang
Eropa yang ingin mempelajari Aristoteles atau filsuf Yunani lainnya harus
melewati karya para penulis Muslim yang sebagian besar telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Latin. Namun, seiring dengan semakin terbukanya akses pengetahuan
akibat tak ada lagi kontrol ketat dari gereja, para sarjana dan ilmuwan Eropa
mulai bersentuhan langsung dengan karya-karya Yunani. Fakta bahwa Ibn Rushd
tidak menggunakan sumber asli dalam mengkaji karya para filsuf Yunani menghancurkan
kegunaan buku-bukunya (Stone 1996: 78). Para sarjana Eropa yang semakin kritis
tentu akan memilih akses langsung ke bahasa asli ketimbang bertumpu pada
sumber-sumber sekunder.
Faktor
kedua yang turut memberi sumbangan bagi menurunnya popularitas Ibn Rushd adalah
citra Ibn Rushd yang "ateis". Ini terkait dengan kenyataan bahwa kaum
Humanis liberal yang antigereja menganggap Ibn Rushd sebagai tokoh besar.
Antonio Rocco (wafat: 1653), seorang humanis liberal, adalah pengagum berat Ibn
Rushd. Dia menulis buku tentang konsep jiwa menurut Ibn Rushd. Rocco dituduh
"ateis" karena, salah satunya, menulis Alcibiades’ School Days,
sebuah novel pornografis. Spinoza, filsuf yang kerap dianggap ateis, adalah
tokoh lain pengagum Ibn Rushd. Dia mengaku telah membaca semua karya Ibn Rushd,
pengakuan yang oleh para petinggi gereja dikaitkan langsung dengan sikap
ateisnya (Stone 1996: 80).
Faktor
lain yang mempercepat turunnya pamor Ibn Rushd di Eropa adalah gelombang
revolusi sains yang terus-menerus menggugat paradigma Aristotelian, terutama
menyangkut pandangan-pandangan kosmologinya. Sebagai komentator setianya, Ibn
Rushd terkena imbas. Di dunia sains, nasib Ibn Rushd sangat bergantung pada
Aristoteles. Faktor terakhir yang membuat nama Ibn Rushd tenggelam di Eropa adalah
munculnya banyak tokoh filsuf baru yang memiliki gagasan-gagasan yang lebih
fresh dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Membawa
pulang Averoisme
Ibn
Rushd adalah orang Islam yang lahir di Barat (magrib). Ia hidup di Barat.
Menuliskan pemikiran-pemikirannya di Barat dan meninggal dunia di Barat.
Setelah dia wafat, pemikirannya dihidupkan oleh orang-orang Barat. Ia tidak
dipedulikan oleh orang-orang Islam di Timur (masyrik). Sejak Ibn Rushd
meninggal, tradisi rasionalisme dalam filsafat Islam mati. Ia kerap disebut
sebagai filsuf besar terakhir yang dimiliki umat Islam.
Benar,
ada beberapa tokoh filsuf yang muncul setelah Ibn Rushd, seperti Mir Damad
(wafat: 1631), Mulla Sadra (wafat: 1640), dan Mulla Hadi Sabzawari (wafat:
1910) yang kebetulan semuanya orang Iran. Namun, kerangka besar filsafat mereka
adalah ’irfani yang lebih dekat dengan tradisi gnostik ketimbang agnostik
(gnostik harus dibaca sebagai tradisi nonrasional-bukan irasional-yang lebih
mengandalkan refleksi intuitif ketimbang nalar burhani sebagaimana yang
digunakan Ibn Rushd, sementara agnostik harus dipahami sebagai tradisi rasional
dan bukan ateis sebagaimana selama ini disalahpahami. Secara harfiah agnostik
berarti "ragu-ragu" atau "tidak yakin". Filsafat dibangun
berdasarkan keragu-raguan dan ketidakyakinan.
Di luar
Iran dan secara umum di dunia Suni, tak ada lagi filsuf tercerahkan yang lahir
setelah Ibn Rushd. Sebagian orang mengandaikan Ibn Taymiyyah (wafat: 1328)
sebagai calon, sedangkan yang lainnya menunjuk Fakhruddin al-Razi (wafat: 1209),
Nasiruddin al-Tusi (wafat: 1274), bahkan Ibn Arabi (wafat: 1240). Saya
cenderung berpendapat, sampai awal abad ke-20, tak pernah ada kaum Muslim yang
serius mencontoh dan meneruskan ajaran dan semangat Averoisme.
Ibn
Rushd dan semangat Averoisme baru mendapat perhatian umat Islam awal abad
ke-20. Berterimakasihlah kepada gerakan nahdah yang bibit-bibitnya disemai oleh
tokoh-tokoh semacam Rif’at al-Tahtawi (wafat: 1873), Muhammad Abduh (wafat:
1905), dan Qassim Amin (wafat: 1908) di Mesir; kepada Sayyid Ahmad Khan (wafat:
1898) dan Chiragh `Ali (wafat: 1895) di India; juga kepada penulis Kristen Arab
yang begitu fasih berbicara tentang kemajuan dan pencerahan, seperti Shibli
Shumayyil (wafat: 1917), Farah Antun (wafat: 1922), Georgie Zaidan (wafat: 1914),
Nicola Haddad (wafat: 1954), dan Salama Musa (wafat: 1958). Setelah lebih dari
700 tahun, Ibn Rushd diabaikan, gerakan "Averoisme Arab" abad ke-20
membuktikan bahwa ada akhir untuk sebuah penantian yang panjang. Ibn Rushd bisa
diterima oleh bangsanya sendiri. Averoisme bisa dibawa pulang.
Averoisme
abad ke-20 bisa disebut sebagai "Averoisme Arab" atau "Averoisme
Islam". Sepintas istilah ini tampak redundant karena Ibn Rushd adalah
orang Arab dan seorang Muslim. Namun, penyebutan ini penting untuk membedakannya
dari ketiga jenis Averoisme yang pernah ada: Latin, Yahudi, dan Kristen. Selain
itu, sepanjang sejarah tak pernah kita menemukan seorang Muslim atau Arab
menjadi pengikut setia Ibn Rushd. Jadi, kata Islam atau Arab itu penting untuk
menunjukkan bahwa Ibn Rushd akhirnya memiliki pengikut dari bangsanya sendiri.
Sebenarnya,
yang terpenting bukanlah penggunaan istilah itu secara formal (baik
"Averoisme Arab" maupun "Averoisme Islam"), tetapi
bagaimana semangat rasionalisme Ibn Rushd diadopsi dan dikembangkan. Bagi saya,
siapa saja yang mendukung gagasan "Islam rasional" dan meyakini
nilai-nilai liberal dalam Islam layak dianggap sebagai seorang Averois. Dari
sini saya ingin mengatakan bahwa para pembaru Muslim liberal, sejak nahdah
hingga sekarang, yang mendukung kebebasan berpikir dan menjunjung tinggi
independensi akal manusia adalah para pengikut Averoisme sejati.
Tentu
saja, tanpa harus dikatakan, Averoisme modern tidaklah persis sama dengan
Averoisme Latin atau Averoisme Yahudi. Zaman sudah berubah dan isu-isu
filsafat-keagamaan yang menjadi concern manusia tak lagi sama. Jika dulu para
pengikut Averoisme berurusan dengan "kebenaran ganda" karena memiliki
persoalan dengan kuasa gereja, para pengikut Averoisme modern berurusan dengan
isu semacam "kebebasan berpikir", "pluralisme", dan
"demokrasi" karena mereka memiliki persolan serius dengan
lembaga-lembaga keagamaan (MUI, Dewan Dakwah, al-Azhar, Dar al-Ifta) yang
memiliki semangat sama dengan para penguasa gereja abad ke-13 dan ke-14.
Averoisme
modern adalah replikasi dari semangat Averoisme Latin yang menjadi cikal-bakal
gerakan Renaisans dan Pencerahan di Eropa. Para Averois modern, baik Islam
maupun Arab, adalah orang-orang yang menginginkan pencerahan dalam masyarakat
mereka, sebuah "pencerahan yang mencerahkan" persis seperti Immanuel
Kant, tokoh terbesar Era Pencerahan, mendefinisikan kata itu.
Luthfi
Assyaukanie Pengajar pada Departemen Agama dan
Filsafat, Universitas Paramadina, Jakarta Tulisan Ini Bagian Makalah yang
Disampaikan pada Perayaan Hari Jadi Ke-4 Jaringan Islam Liberal (JIL) di
Jakarta, 3 Maret 2005