Oleh
Adnin Armas *
08/09/2004
NASR Hamid Abu
Zayd, seorang intelektual asal Mesir, berpendapat bahwa Alquran adalah ’produk
budaya’ (muntaj thaqafi). Artinya, teks Alquran, kata dia, terbentuk dalam
realitas dan budaya, selama lebih dari 20 tahun. Namun, Alquran juga mengubah
budaya, karena ia juga produsen budaya (muntij li al-thaqafah). Alquran menjadi
teks yang hegemonik dan menjadi rujukan bagi teks yang lain. (Mafhum al-Nash:
Dirasah fi ’Ulum al-Qur’an, Beirut: al-Markaz al-Thaqafi al-Arabi, 1994, edisi
II).
Bagi Nasr Hamid,
realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa. Oleh sebab itu, Alquran
juga merupakan teks bahasa (nash lughawi). Keterkaitan realitas, budaya, dan
bahasa, menjadikan Alquran sebagai teks historis sekaligus teks manusiawi.
Sekalipun Alquran bersumber dari Ilahi, namun hakikatnya Alquran
termanusiawikan karena berada di dalam ruang dan waktu tertentu.
Kemanusiawiannya, bahkan sudah dimulai saat Rasulullah saw menyampaikan wahyu
itu ke para sahabat. Nasr Hamid mengatakan: "Teks sejak awal diturunkan
-ketika teks diwahyukan dan dibaca oleh Nabi-, ia berubah dari sebuah teks
Ilahi (nash ilahi) menjadi sebuah konsep atau teks manusiawi (nash insani),
karena ia berubah dari tanzil menjadi takwil. Pemahaman Muhammad atas teks
mempresentasikan tahap paling awal dalam interaksi teks dengan akal
manusia". (Naqd al-Khitab al-Dini, Kairo: Sina li al-Nashr, 1992, edisi
I).
Pendapat Nasr Hamid
problematis. Kapan Alquran menjadi produk budaya dan kapan ia menjadi produsen
budaya? Jika Alquran menjadi produk budaya ketika wahyu selesai, maka dalam
rentang waktu wahyu pertama turun hingga wahyu selesai, Alquran berada dalam
keadaan pasif karena ia produk budaya Arab Jahiliyah. Namun, ini pendapat salah,
karena ketika diturunkan secara gradual, Alquran ditentang dan menentang budaya
Arab Jahiliyah saat itu. Jadi, Alquran bukanlah produk budaya, karena Alquran
bukanlah hasil kesinambungan dari budaya yang ada. Alquran justru membawa
budaya baru dengan mengubah budaya yang ada. Ia produsen budaya.
Jika dikatakan
bahwa Alquran menjadi produk budaya sekaligus produsen budaya sejak awal wahyu
diturunkan, maka hal itu membingungkan karena menggabungkan sebab (produsen)
dan akibat (produk) pada suatu situasi tertentu.
Selain itu, Nasr
Hamid mengabaikan kompleksitas yang terjadi di dalam kebudayaan itu sendiri.
Kebudayaan adalah istilah abstrak yang tidak seharusnya menjadi pembentuk.
Manusia pun bisa membentuk kebudayaan. Rasulullah saw tidak dibentuk oleh budaya
Arab Jahiliyah. Justru beliau yang membentuk budaya. Jadi, Alquran bukanlah
produk budaya Arab Jahiliyah. Namun justru kebudayaan Arab pada zaman
Rasulullah saw adalah produk dari Alquran.
Alquran juga bukan
teks bahasa Arab biasa, sebagaimana teks-teks sastra Arab lainnya. Menurut
Prof. Naquib al-Attas, bahasa Arab Alquran adalah bahasa Arab bentuk baru.
Sejumlah kosa-kata pada saat itu, telah di-Islam-kan maknanya. Alquran
mengislamkan dan membentuk makna-makna baru dalam kosa kata bahasa Arab. Kata-kata
penghormatan (muruwwah), kemuliaan (karamah), dan persaudaraan (ikhwah),
misalnya, sudah ada sebelum Islam.
Tapi, kata-kata itu
diislamkan dan diberi makna baru, yang berbeda dengan makna zaman jahiliyah.
Kata ’karamah’, misalnya, yang sebelumnya bermakna ’memiliki banyak anak,
harta, dan karakter tertentu yang merefleksikan kelelakian’, diubah Alquran
dengan memperkenalkan unsur ketakwaan (taqwa). Contoh lain, juga pada ’ikhwah’,
yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan. Ini diubah maknanya oleh
Alquran, dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar
keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah (lihat Wan Mohd Nor Wan
Daud, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib al-Attas:
An Exposition of the Original Concept of Islamization - Kuala Lumpur: ISTAC,
1998).
Jika Alquran produk
teks bahasa biasa, maka teks tersebut akan dengan mudah dipahami oleh orang
Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak semua
orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam Alquran dapat dipahami
sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun, Abu Bakr dan Umar
soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah di dalam Alquran tidak
sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu.
Jika Alquran teks
bahasa biasa, maka logikanya, Rasulullah saw ahli di bidang tulisan dan bacaan,
yang karena keahliaannya itu bisa membawa perubahan sangat mendasar pada
masyarakat Arab waktu itu. Padahal, Rasulullah saw itu ummi. Jadi, sekalipun
Alquran disampaikan oleh Rasulullah saw kepada ummatnya pada abad ke-7 Masehi,
namun ini tak serta merta mengindikasikan bahwa Alquran terbentuk dalam situasi
dan budaya yang ada pada abad ke-7 Masehi. Alquran melampaui historisitasnya sendiri
karena Alquran dan ajarannya itu adalah trans-historis. Kebenarannya adalah
sepanjang zaman.
Alquran bukan teks
manusiawi, sebagaimana klaim Nasr Hamid, karena ia bukan kata-kata Muhammad.
Allah berfirman yang artinya: "Seandainya dia (Muhammad) mengadakan
sebagian perkataan atas (nama) Kami, niscaya Kami pegang dia pada tangan
kanannya, kemudia benar-benar Kami potong urat tali jantungnya" (QS
al-Haqqah 44-46). "Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Alquran) menurut
kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan
(kepadanya) (QS al-Najm 3-4).
Sebenarnya teori
Alquran Nasr Hamid tidaklah baru sama sekali. Para orientalis sudah lama
berusaha menolak otentisitas Alquran sebagai "The Words of God"
(verbum dei). Jika dulu mereka menyatakan bahwa Alquran karangan Muhammad, maka
beberapa orientalis kontemporer, seperti Montgomery Watt dan W. C. Smith
berpendapat Alquran adalah kalam Tuhan dan sekaligus kata-kata Muhammad (lihat,
Montgomery Watt, Muhammad at Mecca, Oxford: Oxford University Press, 1953 dan
W. C. Smith, On Understanding Islam, The Hague: Mouton Publishers, 1981).
Ringkasnya, kajian
Nasr Hamid terhadap Alquran adalah untuk kepentingan metodologi studi sastra
dan studi kritis (al-dirasat al-adabiyyah wa al-naqdiyyah), dan bukan untuk
sebaliknya, mengkaji metodologi tersebut untuk kepentingan Alquran. Sebagai
manusia yang meyakini kebenaran metode Ferdinand de Saussure dalam analisis
teks, teori Nasr Hamid tentang Alquran produk dari budaya hermeneutika Barat.
Ia menuduh Ahlu Sunnah sebagai sumber kemunduran dan Imam Syafii sebagai
ideolog Arab -- sebuah tuduhan yang sulit dibuktikan secara ilmiah.
Adnin Armas,
kandidat doktor dalam bidang Pemikiran Islam, di ISTAC-IIUM, Kuala Lumpur