Oleh:
H. Dwi Kristanto *
Abstrak
Sains dalam masa modern mengklaim diri sebagai satu-satunya jenis pengetahuan
yang valid dan melegitimasi dirinya dengan merujuk pada dua narasi besar:
emansipasi manusia dan dialektika Roh.Narasi besar ini menjadi meta-narasi yang
berfungsi menjamin adanya satu kebenaran tunggal yang berlaku universal. Dalam
kondisi postmodern metanarasi semacam itu tak dapat dipercaya lagi. Sains
dengan bahasa denotatifnya hanyalah sebuah permainan bahasa di tengah aneka
permainan bahasa; satu jenis pengetahuan di antara pelbagai jenis pengetahuan.
Tak ada determinisme universal; yang ada adalah determinisme lokal. Oleh karena
itu sistem pemikiran yang belaku—dan dapat menciptakan keadilan—bukan homologi,
melainkan paralogi.
Kata-kata kunci: pengetahuan, legitimasi, metanarasi, permainan
bahasa, pengetahuan naratif, performativitas, kekuasaan, konsensus, keadilan,
paralogi.
Pendahuluan
Memasuki wacana
filosofis postmodernisme, sebuah nama yang tak bisa tidak harus disebut adalah Jean-François Lyotard. Filsuf Prancis kontemporer (1924-1998) inilah yang
dianggap untuk pertama kalinya memperkenalkan istilah “postmodern” ke dalam dunia filsafat. Sebelumnya istilah “postmodern” lebih banyak
digunakan dalam bidang seni dan arsitektur. Lyotard membawa masuk istilah
tersebut ke dalam filsafat lewat bukunya, La Condition postmoderne: rapport
sur savoir (1979). Karyanya ini disusul dengan Le Différend (1983) [1],
sebuah buku yang menunjukkan upaya Lyotard untuk memberi pendasaran filosofis
atas La Condition postmoderne yang sering dianggaplebih bersifat
sosiologis. [2]
Berkat kedua buku ini nama J.F. Lyotard makin berkibar sebagai seorang
postmodernis.
Postmodernisme,
dalam ranah pengetahuan (knowledge), dimengerti oleh Lyotard sebagai
ketidakpercayaan terhadap metanarasi (metanarrative) atau narasi besar (grand
narrative). Selama ini (dalam abad modern) ilmu pengetahuan ilmiah atau
sains, sebagai salah satu wacana (discourse), mengklaim dirinya sebagai
satu-satunya jenis pengetahuan yang valid. Namun sains tak dapat melegitimasi
klaimnya tersebut oleh karena ternyata aturan main sains bersifat inheren serta
ditentukan oleh konsensus para ahli (ilmuwan) dalam lingkungan sains itu
sendiri. Sains kemudian melegitimasi dirinya dengan merujuk pada suatu
meta-wacana (meta-discourse); secara konkrit sains melegitimasi dirinya
dengan bantuan beberapa narasi besar seperti dialektika Roh, hermeneutika
makna, emansipasi subyek yang rasional, dan penciptaan kesejahteraan umat
manusia.[3]
Di era postmodern
modus legitimasi semacam itu sudah tidak dapat dipertahankan lagi. Bagi Lyotard
sains terbukti hanyalah salah satu permainan bahasa (language game) di antara banyak permainan bahasa lainnya; sains
hanyalah satu jenis pengetahuan di antara aneka jenis pengetahuan lainnya. Oleh
karena itu modus legitimasi pengetahuan dengan narasi besar di bawah satu ide
untuk menciptakan satu kebenaran tunggal (totalisasi sistem pemikiran atau homology)
harus diganti dengan paralogy, yaitu pengakuan akan aneka macam narasi
kecil (little narrative) dan sistem pemikiran plural.[4]
Apa yang akan saya sampaikan dalam artikel ini merupakan
penelusuran lebih lanjut atas tesis pokok J.F. Lyotard mengenai kondisi
postmodern pengetahuan sebagaimana telah saya sampaikan di atas. Di sini akan
dibeberkan obyek studi, metode analisis, bentuk ikatan sosial di mana
pengetahuan itu berada, penemuan-penemuan dan pandangan-pandangan baru mengenai
legitimasi pengetahuan yang diusulkan oleh Lyotard. Sebagian besar uraian ini
didasarkan pada buku The Postmodern Condition: A Report on Knowledge.
Obyek Studi: Kondisi Pengetahuan dalam Masyarakat Terkomputerisasi
Yang menjadi obyek studi Lyotard adalah kondisi
pengetahuan dalam masyarakat yang terkomputerisasi, khususnya pengetahuan
ilmiah atau sains. Perkembangan teknologi informasi membawa dampak yang serius
bagi pengetahuan. Sekarang ini pengembangan sains (melalui riset) dan
transmisinya mengandaikan bahwa pengetahuan dapat diterjemahkan ke dalam bahasa
komputer menjadi sejumlah informasi (quantities of information).
Akibatnya, pengetahuan sudah tidak lagi menjadi tujuan pada dirinya sendiri dan
sekarang menjadi komoditas
untuk diperdagangkan. Cara lama untuk memperoleh pengetahuan, yakni dengan
melatih pikiran (Bildung), juga telah menjadi usang. Relasi antara
penyuplai dan pengguna pengetahuan terhadap pengetahuan itu sendiri cenderung
menjadi mirip seperti relasi antara produsen dan konsumen terhadap komoditas.[5]
Dalam beberapa dekade terakhir pengetahuan juga menjadi
faktor penting yang menentukan kemampuan produksi (productive power)
sebuah negara.[6] Dengan demikian, pengetahuan dalam rupa
sejumlah komoditas informasi kemudian juga menjadi barang rebutan antar negara.
Sebuah negara akan mati-matian berjuang untuk mengontrol informasi, sebagaimana
negara tersebut juga mati-matian mengontrol territorinya.[7] Namun sayang, dalam dunia yang makin
diwarnai oleh ideologi transparansi dalam bidang komunikasi dan perdagangan
bebas (liberalisme), kehadiran negara dianggap sebagai pengganggu. Kedaulatan
negara sekarang ini telah digerogoti oleh kekuatan perusahaan-perusahaan
multinasional (multi-national corporations). Sirkulasi modal (kemampuan
investasi)perusahaan-perusahaan semacam itu melampaui batas-batas (kontrol)
negara-bangsa. Dengan demikian, dalam masyarakat semacam ini, negara-bangsa
hanya merupakan salah satu
kekuatan pasar saja di antara kekuatan-kekuatan pasar lainnya.
Sirkulasi pengetahuan pun kemudian menjadi seperti sirkulasi uang. Distingsi
yang relevan bukan lagi antara “pengetahuan” dan “ketidaktahuan”
melainkan—seperti halnya uang—antara “payment knowledge” dan “investment
knowledge”.[8]
Melihat fenomena di atas, Lyotard berhipotesis bahwa
status pengetahuan dalam masyarakat informatika telah berubah.[9] Perubahan inimenimbulkan problem serius,
yakni masalah legitimasi ilmu pengetahuan ilmiah atau sains. Dalam konteks
hukum sipil legitimasi adalah proses di mana legislator yang memiliki otoritas
menetapkan hukum-hukum tertentu sebagai norma. Dalam konteks pengetahuan
ilmiah, agar sebuah pernyataan (tesis atau teori) diterima sebagai sebuah
pengetahuan yang “ilmiah” pernyataan tersebut harus memenuhi sejumlah
persyaratan tertentu. Dalam hal ini legislator menentukan sejumlah persyaratan
(biasanya konsistensi internal/kelogisan serta verifikasi atas suatu pernyataan)
dan yang bertindak sebagai legislator adalah komunitas ilmiah.[10] Dengan demikian menjadi terang bahwa
persoalan legitimasi ini selalu terkait erat dengan persoalan kekuasaan (power).
Lyotard mengatakan bahwa hak untuk menentukan apa yang
“benar” tidak terlepas dari hak untuk menentukan apa yang “adil”. Ada kaitan
erat antara bahasa sains dengan bahasa etika dan politik, sebagaimana perubahan
pengetahuan itu juga berimbas pada kekuasaan publik (publik power) dan
institusi-intitusi sipil. Pengetahuan dan kekuasaan adalah dua sisi dari sebuah
pertanyaan yang sama: who decides what knowledge is, and who knows what
needs to be decided? Dalam abad komputer ini pertanyaan mengenai
pengetahuan, lebih daripada sebelumnya, merupakan pertanyaan mengenai
pemerintahan (kekuasaan).[11]
Metode : Permainan Bahasa
Dalam menganalisa legitimasi ilmu pengetahuan dalam
masyarakat post-industri, yakni masyarakat informasi, Lyotard menggunakan
metode permainan bahasa—konsep yang diperkenalkan oleh Wittgenstein. Permainan
bahasa dalam ilmu pengetahuan ilmiah adalah pernyataan-pernyataan denotatif.
Selain pernyataan denotatif sebenarnya juga ada pernyataan performatif,
preskriptif, evaluatif, dll. Yang dimaksud Wittgenstein dengan permainan bahasa adalah
bahwa setiap jenis pernyataan di atas memiliki wilayah dan aturan tersendiri
dalam pemakaiannya (pragmatic)[12] — bagaikan pemainan catur di mana ada
seperangkat aturan yang menentukan wilayah/kemampuan gerak atau “move” dari
tiap-tiap bidak. Aturan dalam permainan yang satu tidak sama dengan aturan
dalam permainan yang lain. Oleh karena itu menurut Wittgenstein tidak ada
gunanya mencari persamaan dalam semua permainan. Tidak ada gunanya dan tidak
mungkin juga untuk menunjukkan suatu permainan sebagai model atau ideal bagi
semua permainan lain.[13]
Ada tiga karakteristik dalam setiap permainan bahasa. Pertama,
setiap aturan dalam permainan itu tidak mendapatkan legitimasi dari dirinya
sendiri melainkan merupakan hasil kontrak di antara pemainnya (eksplisit maupun
tidak). Kedua, jika tak ada aturan maka tak ada permainan; suatu
modifikasi kecil sekali-pun terhadap sebuah peraturan akan mengubah permainan
itu. Ketiga, setiap pernyataan harus dianggap sebagai suatu “move” dalam
permainan. Karakteristik ketiga ini dipakai oleh Lyotard sebagai prinsip
pertama yang mendasari keseluruhan metodenya: mengeluarkan suatu pernyataan (move)
adalah bertarung—dalam konteks suatu permainan—dan tindakan mengeluarkan
pernyataan semacam itu berada dalam domain “general agonistics” (pertarungan
pernyataan/argumentasi). Prinsip “pertarungan pernyataan” ini membawa Lyotard
pada prinsip kedua, yakni bahwa ikatan sosial dalam masyarakat terdiri dari
“move-move” bahasa (language “moves”).
Kondisi Ikatan Sosial : Alternatif Modern dan Postmodern
Untuk dapat memahami kondisi pengetahuan dalam masyarakat
yang sangat maju sekarang ini, Lyotard merasa perlu melihat model macam apakah
yang dapat diterapkan terhadap masyarakat seperti itu. Model masyarakat sebagai
satu keseluruhan organik (Durkheim),
satu sistem fungsional (Parsons)
dan suatu kesatuan yang tersusun dari dua kekuatan yag saling bertentangan (Marx) menurut Lyotard sudah
tidak memadai lagi. Teori yang memandang masyarakat sebagai suatu totalitas
fungsional menganggap seolah-olah masyarakat adalah sebuah mesin besar yang
bekerja berdasarkan prinsip efisiensi. Kerinduan untuk membangun masyarakat
teknokratis semacam ini merupakan akibat dari proyek modernitas yang ingin
mencari kesatuan dan mentotalisasi kebenaran. Kerinduan semacam ini dianggap
oleh Horkheimer
sebagai “paranoid”. Namun Marxisme sebagai alternatif lain juga telah
menghantarkan banyak negara pada totalitarianisme. Sedangkan Sekolah Frankfurt dengan
teori kritis-nya juga telah kehilangan radikalitas prinsip perjuangan kelas dan
telah tereduksi menjadi “utopia” atau “hope”.[14]
Cara memandang bentuk ikatan sosial atau model masyarakat
ini mempengaruhi cara melihat status pengetahuan dalam masyarakat yang bersangkutan.
Ketika masyarakat dimengerti sebagai sebuah mesin raksasa yang bekerja
berdasarkan prinsip efisiensi demi performativitasnya (fungsionalisme),
pengetahuan dilihat sebagai suatu elemen tak terpisahkan dari masyarakat yang
berperan fungsional. Ilmu positif mendapatkan penghargaan di sini sebab ilmu
jenis ini berkaitan langsung dengan teknologi yang menentukan kekuatan produksi
sebuah sistem. Sementara itu, ketika masyarakat dilihat sebagai dialektika dua
kekuatan yang beroposisi, ilmu menempati fungsi kritis. Dalam hal ini yang
mendapat tempat adalah jenis ilmu yang kritis, reflektif atau hermeneutika.
Namun demikian, cara memandang masyarakat seperti di atas
menurut Lyotard sudah tidak dapat diterima lagi. Masyarakat sekarang adalah
masyarakat post-industrial atau masyarakat konsumen. Fungsi negara telah
berubah. Kelas yang berkuasa memang tetap kelas pengambil keputusan (decision
makers). Namun, sekarang ini pengambil keputusan bukan melulu terdiri dari
kelas-kelas politis seperti dalam pemahaman tradisional. Pengambil keputusan
terdiri dari para pemimpin perusahaan, administrator tingkat tinggi,
pemimpin-pemimpin organisasi kaum profesional, buruh, politik, dan keagamaan.
Mereka inilah yang memiliki akses informasi. Seorang individu dalam masyarakat maju
semacam ini berada di dalam suatu jaringan relasional yang makin kompleks dan mobile.
Setiap orang menempati suatu titik dalam sebuah sirkuit informasi atau berdiri
dalam sebuah pos di mana berbagai macam pesan (message) berlalu-lalang.
Pesan-pesan yang lalu lalang itu memiliki beraneka macam
bentuk (denotatif, preskriptif, evaluatif, performatif, dsb.). Proses lalu
lalang itu berlangsung dalam masyarakat yang—dalam istilahnya Lyotard—dicirikan
oleh “pertarungan antar
pernyataan” (agonistic). Sebuah pernyataan (move)
selalu memiliki efek pada setiap pemain dalam permainan bahasa ini, baik dia
dalam posisi addressee, referent, maupun sender. Setiap orang
menurut Lyotard memang sudah selalu berada di tengah-tengah jaringan relasional
semacam ini; baginya model yang tepat untuk menggambarkan bentuk ikatan sosial
masyarakat kontemporer adalah model permainan bahasa ini.[15] Dalam situasi seperti ini sikap yang
reaksional (sekedar merespon suatu move) bukanlah suatu move yang
baik—tak ada keseimbangan kekuasaan. Yang baik adalah setiap pemain selalu
berusaha membuat suatu move yang tak terduga-duga. Pertarungan
pernyataan semacam ini bukannya tanpa peraturan, namun peraturan yang ada
seharusnya memungkinkan pernyataan-pernyataan itu mengalir bebas. Sebuah
institusi, termasuk institusi pengetahuan, tak bisa memberi batasan mati
terhadap move-move yang ada, sebab pembatasan itu sendiri hanya sebuah move
dalam permainan.
Pengetahuan Naratif dan Fungsi Narasi dalam Legitimasi Pengetahuan Ilmiah
Selama ini terdapat pembedaan yang tegas antara
pengetahuan ilmiah dan narasi.
Dalam pandangan modern yang dapat disebut pengetahuan hanyalah yang
ilmiah (sains). Narasi dianggap sebagai sesuatu yang primitif, tradisional,
terbelakang, penuh prasangka, dsb. Pembedaan semacam ini sebenarnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan. Ilmu pengetahuan ilmiah adalah sebuah permainan bahasa
yang memiliki aturannya sendiri sehingga tidak dapat memvonis narasi sebagai dongeng,
legenda, atau mitos yang “bukan pengetahuan”. Narasi adalah sebuah permainan
bahasa lain yang memiliki aturan mainnya sendiri. Ilmu pengetahuan ilmiah tidak
dapat menilai negatif narasi yang berada di luar kompetensinya.[16]
Pengetahuan (knowledge, savoir)
tidak bisa direduksi hanya menjadi sains (ilmu pengetahuan ilmiah), atau bahkan
menjadilearning (conaissance) sekalipun. Learning adalah
seperangkat pernyataan denotatif yang—berbeda dengan pernyataan-pernyataan
lainnya—menunjukkan atau mendeskripsikan obyek serta dapat dinilai sebagai
benar atau salah. Sementara itu sains hanya salah satu subset dari learning.
Di lain pihak, istilah pengetahuan itu pengertiannya jauh lebih luas dan tidak
hanya terdiri dari pernyataan-pernyataan denotatif saja. Pengetahuan (knowledge)
mengandung pengertian “know how”, “know how to live”, “how to listen”, “how to
speak” (savoir-faire, savoire-vivre, savoir-écouter, savoir-dire).
Dengan demikian kompetensi pengetahuan bukan hanya sekedar menentukan
kualifikasi benar-salah (kebenaran), tetapi juga menentukan kriteria efisiensi (kualifikasi teknis), keadilan dan atau kebahagiaan
(kebijaksanaan etis), dsb. Knowledge bukan hanya berkaitan dengan
kemampuan orang membuat penyataan denotatif yang baik, tetapi juga preskriptif,
performatif, evaluatif, dsb.[17]
Narasi adalah sebuah bentuk pengetahuan adat yang
mengisahkan kesuksesan maupun kegagalan seorang hero. Narasi semacam ini
membantu melegitimasi institusi sosial dan memasukkan model-model integrasi
yang positif maupun negatif ke dalam institusi-institusi yang ada. Narasi
tersusun dari pelbagai jenis pernyataan dan membiarkan dirinya berada di antara
beraneka macam permainan bahasa (performatif, preskriptif, evaluatif,
denotatif, interogatif, dsb). Seorang pencerita mengklaim kompetensinya untuk
menceritakan atas dasar fakta bahwa dia telah mendengar cerita itu sebelumnya.
Dengan demikian orang yang sekarang mendengarkan ceritanya (addressee)
juga memiliki akses ke otoritas yang sama untuk menceritakannya (sender)
kepada orang lain. Oleh karena itu narasi tidak mempersoalkan legitimasi.
Kisah-kisah itu mendapatkan legitimasinya dengan menjalankan fungsinya begitu
saja dalam masyarakat.[18]
Berbeda dengan narasi, pengetahuan ilmiah sangat
berkepentingan dengan masalah legitimasi. Seorang sender yang
mengeluarkan penyataan harus dapat menyodorkan bukti (proof) bahwa
pernyataannya itu benar serta harus bisa menentang pernyataan lain yang
menyanggah pernyataannya. Addressee yang memiliki otoritas untuk
menyetujui atau menolak sebuah penyataan ilmiah haruslah orang yang memiliki kapabilitas dalam bidang
ilmiah. Kebenaran sebuah pernyataan dan kompetensi seorang sender
ditentukan oleh komunitas ilmiah, yaitu orang-orang yang memiliki kemampuan
ilmiah setara.
Dalam hal transmisi pengetahuan ilmiah, seorang addressee
(siswa) tidak mengetahui apa yang diketahui oleh sender (guru). Siswa
mempelajari apa yang telah diketahui oleh gurunya dan diharapkan menjadi setara
dengannya. Dalam proses transmisi ini diandaikan bahwa pengetahuan (seperangkat
pernyataan denotatif) yang disampaikan kepada para siswa sudah teruji, walaupun
mungkin masih dalam perdebatan para ilmuwan.
Berdasarkan kenyataan di atas dapat disimpulkan bahwa
sains dan narasi itu tak dapat diperbandingkan dengan menggunakan satu ukuran
yang sama (incommensurable). Kedua-duanya terdiri dari sejumlah
pernyataan. Setiap pernyataan adalah move yang dibuat oleh seorang
pemain dalam kerangka aturan main yang berlaku. Aturan main dalam masing-masing
permainan berbeda (berlaku lokal). Sebuah move yang dinilai baik dalam
permainan yang satu tidak sama dengan sebuah move yang dinilai baik
dalam permainan yang lain.[19]
Yang terjadi dalam abad modern adalah bahwa sains hendak
melegitimasi kebenaran pernyataan-pernyataannya namun tidak memiliki
sumber-sumber legitimasi pada dirinya sendiri sehingga mereka justru meminta
bantuan narasi untuk melegitimasi dirinya.[20] Digunakannya permainan narasi dalam
legitimasi pengetahuan sebenarnya sudah dimulai sejak jaman Plato. Plato, misalnya saja,
melegitimasi pengetahuan yang sempurna (episteme) dengan narasi tentang Gua. Kemudian
Aristoteles
mencari legitimasi sains dalam wacana
mengenai Ada (metafisika).
Saran Aristoteles yang lebih “modern” adalah bahwa pengetahuan yang ilmiah,
termasuk pretensinya untuk mengungkapkan “ada” dari referent, terdiri
dari argumentasi dan bukti—suatu dialektika.
Pergulatan sains modern dengan masalah legitimasi ini
memunculkan dua kisah. Yang pertama, sains berusaha meninggalkan
pencarian metafisis untuk mendapatkan bukti pertama (first proof) atau
otoritas transendental (transendental authority) ketika ia dihadapkan
pada pertanyaan: “Bagaimana kamu (=sains) membuktikan buktimu?” atau “Siapa
yang memutuskan syarat-syarat kebenaran?”. Rupanya telah disadari bahwa
syarat-syarat kebenaran itu—yaitu aturan main dalam sains—imanen di dalam
permainan sains sendiri. Maksudnya, aturan-aturan main itu ditetapkan dalam
suatu debat (diskursus) ilmiah para ilmuwan dan tidak ada bukti lain bahwa
aturan-aturan itu memang baik kecuali konsensus atau kesepakatan para ilmuwan
sendiri.
Yang kedua, mengiringi
kecenderungan modern untuk menentukan aturan main suatu wacana (discourse)
dengan dan di dalam suatu diskursus, makin menguatlah kultur naratif. Menurut
Lyotard, fenomena ini terlihat dalam Humanisme Renaissance, Abad Pencerahan,
Idealisme Jerman, dan sekolah sejarah di Prancis. Ia mengatakan: narration
is no longer an involuntary lapse in the legitimation process.[21] Dengan lebih tegas dapat dikatakan bahwa
sains secara eksplisit meminta bantuan narasi dalam proses legitimasinya.
Permintaan eksplisit sains terhadap narasi ini terjadi berbarengan dengan pembebasan kelas borjuis
dari kekuasaan tradisional (dimulai dengan Revolusi Prancis). Pengetahuan
naratif bangkit kembali di Barat sebagai jalan bagi penguasa baru untuk
mendapatkan legitimasi atas kekuasaannya. Sebagaimana dalam narasi, muncullah hero,
yaitu rakyat sendiri. Siapa yang memiliki hak untuk menentukan masyarakat?
Siapakah subyek yang kata-katanya merupakan norma-norma yang harus
ditaati bersama? Jawabnya adalah rakyat. Hero-nya adalah rakyat,
tanda legitimasi adalah konsensus/kesepakatan rakyat, dan metode untuk membuat
norma-norma adalah deliberasi. Paham kemajuan (progress) yang mencirikan
modernisme—selain subyektivitas dan kritik—menurut Lyotard muncul dari sini.
Rakyat berdebat sendiri untuk menentukan mana yang adil sebagaimana komunitas
ilmiah berdebat untuk menentukan mana yang benar. Ada kesamaan modus antara
legitimasi sosio-politis dan legitimasi pengetahuan. Pertanyaan dari negara
kemudian terkait erat dengan pertanyaan dari pengetahuan ilmiah.
Modus legitimasi yang sedang kita bicarakan ini—hal mana
meng-introdusir narasi sebagai penjamin validitas
pengetahuan—kemudian muncul dalam dua jalan (routes).
Masing-masing tergantung pada subyek narasi yang diwakili. Jika yang diwakili
adalah subyek narasi yang cognitif, maka dia (rakyat atau dalam
bentuknya yang abstrak adalah bangsa atau kemanusiaan) menjadi hero dari
pengetahuan. Sedangkan jika yang diwakili adalah subyek yang practical,
maka dia menjadi hero dari kebebasan.[22]
Narasi Legitimasi Pengetahuan Ilmiah
Ada dua versi narasi besar (grand narrative/grand
récit) yang dipakai untuk melegitimasi sains. Yang pertama lebih bersifat
politis, yaitu narasi mengenai emansipasi (pembebasan) manusia dan yang kedua lebih
bersifat filosofis, yaitu narasi mengenai dialektika Roh (sifatnya spekulatif). Keduanya sangat
mempengaruhi sejarah modern, terutama sejarah pengetahuan dan
institusi-institusinya. Dalam versi yang pertama (narasi
emansipasi) subyeknya adalah kemanusiaan sebagai hero dari kebebasan.
Dikatakan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mempelajari sains atau
pengetahuan (pada masa sebelumnya hal ini dilarang oleh hierarki Gereja dan
atau oleh tirani politik). Pengetahuan itu dapat membebaskan manusia dari
kebodohan, kemiskinan, dan perbudakan; pengetahuan dapat mengemansipasi
masyarakat dari irrasionalitas ke rasionalitas (proyek Aufklärung). Oleh
karenanya dalam narasi ini institusi pendidikan yang ditekankan oleh negara
adalah institusi pendidikan dasar. Andaikata pendidikan tinggi ada, ini hanya
dimaksudkan untuk membentuk birokrat dan kaum profesional yang akan membimbing
seluruh bangsa memperoleh kebebasannya, yaitu kemajuan (progress).
Narasi emansipasi ini juga tampak dalam perjuangan sosialisme serta pemajuan
manusia lewat perkembangan tekno-ilmiah yang kapitalis.[23]
Sementara itu, dalam narasi spekulatif (memuncak dalam idealisme Hegel), hubungan sains, bangsa, dan negara berkembang secara berbeda. Dalam hal ini sains melegitimasi dirinya dengan menyatakan bahwa pengetahuan hanya absah sebagai pengetahuan (ilmiah) apabila dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri (objektivitas). Sains berpretensi seolah-olah pernyataan-pernyataan yang sah dalam sains otomatis benar secara universal (totalisasi kebenaran). Modus legitimasi ini muncul berbarengan dengan pendirian Universitas Berlin oleh Wilhelm von Humboldt (Perdana Menteri Prussia). Akan tetapi, selain “sains untuk sains’, alasan pendirian universitas adalah juga agar sains diarahkan pada “pembentukan moral dan spiritual bangsa” (= pembentukan aksi dan karakter bangsa). Hal ini kemudian memunculkan wacana mengenai Roh (Spirit) atau yang oleh Fichte disebut Kehidupan (Life).
Pemunculan Roh ini dimaksudkan untuk mempersatukan
permainan bahasa dalam universitas, bahasa sains yang denotatif (sains untuk
sains) dan bahasa etis-politis yang preskriptif (sains untuk pembentukan
moralitas bangsa). Ada tiga aspirasi di sini—lebih tepatnya three in one—,
yaitu : mengasalkan segala sesuatu pada satu prinsip asali (ini
berkaitan dengan kegiatan ilmiah), menghubungkan segala sesuatu dengan suatu
ideal (praksis sosial dan etis) dan menyatukan prinsip asali dan ideal
itu dengan satu Ide tunggal(menjamin bahwa pencarian sains akan penyebab
yang benar selalu berjalan seiring dengan upaya mencapai keadilan dalam praktik
kehidupan moral dan politik).
Akibat pemunculan Roh ini, subyek dari pengetahuan bukan
rakyat lagi melainkan roh spekulatif, yang terejawantahkan bukan dalam negara
tetapi dalam sebuah Sistem. Permainan bahasa legitimasi sudah bukan lagi
politis-kenegaraan tetapi filosofis.
Filsafat harus mempersatukan pengetahuan (dalam arti learning) yang
telah tercerai berai dalam pelbagai disiplin sains dan pendidikan
pra-universitas. Hal ini hanya mungkin tercapai dalam sebuah permainan bahasa
yang menghubungkan pelbagai disiplin sains sebagai sebuah momen perwujudan diri
roh. Dengan kata lain, harus ada permainan bahasa yang menghubungkan mereka satu
sama lain dalam sebuah narasi yang rasional. Inilah proyek totalisasi Hegel
yang sudah ada dalam pemikiran Schelling
dan Fichte
dalam bentuk idea Sistem.
Di sinilah legitimasi sains kembali pada narasi. Ada
narasi mengenai Roh yang mewujudkan diri; atau lebih tepat dikatakan sebagai
metanarasi sebab yang menjadi naratornya bukan lagi seseorang yang telah
terkungkung oleh salah satu ilmu positif, juga bukan seorang ilmuwan yang telah
terasing oleh karena spesialisasinya. Ilmu positif, negara dan rakyat hanyalah
versi perwujudan diri sebuah Subyek yang disebut “divine Life” oleh Fichte atau
“Life of spirit” oleh Hegel. Sains sebagai ilmu positif mendapatkan
legitimasinya bukan karena mengabdi pada kepentingan negara (prinsip kegunaan);
sains mendapatkan legitimasinya ketika ia berhenti menjadi pengetahuan positif
atas referent (alam, masyarakat, negara, dsb), dan kemudian menjadi
“pengetahuan atas pengetahuan terhadap referent”, yakni dengan menjadi
spekulatif.[24] Selanjutnya, Lyotard mengatakan :True
knowledge, in this perspective, is always indirect knowledge; it is composed of
reported statements that are incorporated into the metanarative of a subject
that guarantee their legitimacy.[25]
Deligitimasi Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Dalam masyarakat post-industri narasi-narasi besar yang
berkekuatan mempersatukan dan melegitimasi itu sudah tidak dapat dipercaya
lagi. Memang benar memudarnya kepercayaan terhadap metanarasi ini diakibatkan
oleh perkembangan teknologi dan ekspansi kapitalisme—sebagaimana akan kita
lihat kemudian. Akan tetapi, menurut Lyotard benih-benih deligitimasi dan nihilisme sesungguhnya
inheren dalam grand narratives abad ke-19 itu sendiri. Proses
deligitimasi ini justru dipicu oleh problem legitimasi yang justru selalu
dipermasalahkan oleh sains.
Modus spekulasi menimbulkan problem dengan pernyataannya
sendiri yang dianggapnya sah sebagai pengetahuan. Modus ini bersikap skeptif
terhadap ilmu positif. Ilmu positif yang langsung menyatakan sesuatu
(denotatif) tentang suatu referent belum dianggap sebagai pengetahuan
sebelum ia melegitimasi pengetahuannya itu. Pengetahuan hanya pantas disebut
pengetahuan jika ia mereduplikasi dirinya dengan mengutip pernyataannya sendiri
pada wacana level kedua yang berfungsi melegitimasi (wacana spekulatif).
Sebagai contoh, sebuah pernyataan spekulatif: “Sebuah
pernyataan ilmiah adalah suatu pengetahuan hanya jika ia menempatkan dirinya
dalam suatu proses engendering (penyebaban) yang universal.”
Pertanyaannya adalah apakah pernyataan ini sendiri sebuah pengetahuan? Dalam
hal ini harus ada suatu pengandaian (presupposition), yaitu bahwa proses
penyebaban (the Life of spirit) itu memang ada.
Pengandaian semacam ini merupakan bagian tak terpisahkan dari permaian
bahasa spekulatif; tanpa hal itu bahasa legitimasi tidak akan sah. Dengan
demikian pengandaian ini menetapkan seperangkat aturan yang harus diterima agar
seseorang dapat bermain dalam permaian spekulatif. Walaupun demikian, penilaian
kita ini hanya berlaku jika kita mengandaikan (lagi-lagi presupposition!)
bahwa 1) ilmu positif mewakili semua jenis pengetahuan, 2) kita mengerti bahasa
(spekulatif) ini agar dapat membuat suatu pengandaian formal dan aksiomatik
yang harus dinyatakan secara eksplisit. Inilah nihilisme itu; nihilisme yang
muncul akibat tuntutan sains akan legitimasi itu ditujukan kepada dirinya
sendiri. Ada erosi
internaldalam prinsip legitimasi sains.
Modus legitimasi
sains dengan narasi emansipasi juga mengalami erosi internal. Modus ini
mendasarkan legitimasi sains dan kebenaran pada otonomi orang-orang yang
terlibat dalam praksis etis, sosial, dan politis. Menurut versi ini sains
mendapatkan validitasnya bukan dalam dirinya sendiri, tapi dalam subyek praktis. Titik persoalannya ada pada perbedaan kompetensi antara pernyataan
denotatif dan pernyataan preskriptif. Tidak ada bukti bahwa jika suatu
pernyataan denotatif (dengan nilai kognitif) dapat mendeskripsikan suatu
kenyataan secara benar, kemudian pernyataan preskriptif (bernilai praktis) yang
didasarkan padanya juga adil. Permainan bahasa sains yang denotatif tidak
memiliki kopetensi untuk menilai atau melegitimasi permainan bahasa praksis
yang preskriptif. Namun sayangnya sains juga tidak dapat melegitimasi dirinya
sendiri sebagaimana diandaikan oleh narasi spekulatif. Tidak ada suatu
meta-bahasa yang dapat mempersatukan semua jenis permainan bahasa; pun pula
filsafat spekulatif.
Kecuali erosi
internal, fenomena delegitimasi narasi-narasi besar itu juga dapat dilihat
dalam realitas eksternal (peristiwa historis). Salah satu peristiwa yang turut
mendelegitimasi narasi besar spekulasi adalah peristiwa “Auschwitz”. Menurut
Lyotard, “Auschwitz” adalah peristiwa yang menggagalkan proyek modernitas.
Peristiwa pembantaian enam juta orang Yahudi itu seolah-olah melampaui
pengertian kita dan menghancurkan rasionalitas. Menurut Hegel, segala sesuatu
yang real adalah rasional dan segala sesuatu yang rasional adalah real. Artinya
tak ada satupun yang tidak dapat dimengerti. Segala sesuatu mengejawantahkan
suatu Ide, suatu unsur rasional. Akan tetapi “Auschwitz” adalah sesuatu yang
tidak rasional. Peristiwa ini memusnahkan proyek totalisasi gaya Hegel.[26]
Selain itu Ide
bahwa pengetahuan harus dihasilkan demi pengetahuan itu sendiri dalam masa capitalist
technoscience ini sudah tidak berlaku lagi. Yang terjadi adalah pengetahuan
sains dihasilkan tidak demi pengetahuan melainkan demi profit, di mana
kriterium yang berlaku bukan lagi benar-salah melainkan kriterium perfomatif: maximum output with a minimum input.[27]
Narasi modernitas
mengenai emansipasi juga kandas. Beberapa peristiwa yang membuktikannya adalah
tumbangnya sosialisme komunistis, ekonomi liberal yang ternyata juga pailit
sebagaimana ditunjukkan oleh krisis ekonomi tahun 1911 dan 1929. Penyesuaiannya
yang post-keynesian juga telah terbukti gagal dengan peristiwa krisis tahun
1974-1979. Pendek kata semua kisah besar modern telah kehilangan
kredibilitasnya dan sekarang kita berada dalam “kondisi postmodern”.
Setelah dua narasi
besar itu menjadi out-of-date, dua praksis dasar pengetahuan ilmiah,
riset dan transmisinya (pendidikan) ternyata melegitimasi dirinya dengan
kriteria performativitas. Pengetahuan ilmiah yang menuntut bukti atas kebenaran
suatu teori atau pernyataan baru (move), terikat pada teknologi. Agar
suatu teori baru diterima oleh kalangan ilmuwan, teori tersebut harus dapat
diuji. Pegujian semacam ini biasanya membutuhkan teknologi yang canggih (=beaya
tinggi). Akibatnya praksis riset dan pembuktian ulangnya pun mengikuti prinsip
teknologi. Ilmu pengetahuan ilmiah mau tak mau mengikuti sebuah permainan
bahasa yang lain, y.i. teknologi, di mana yang tujuannya bukan lagi kebenaran
(obyektif) melainkan performativitas
Argumentasi untuk mempertahankan suatu pembuktian
membutuhkan suatu meta-bahasa supaya bahasa-bahasa yang menentukan suatu
aksioma dapat diterima oleh semua addressee. Meta-bahasa ini adalah
logika. Agar suatu pernyataan denotatif diterima sebagai benar, pernyataan
tersebut harus sesuai dengan sistem aksiomatik yang telah disepakati oleh interlocutor.
Ini berarti proses argumentasi harus mengikuti seperangkat aturan yang telah
disepakati bersama. Namun, hal ini juga dapat diartikan bahwa perkembangan
sains meliputi dua jalan: (1) penemuan (invention) atau argumentasi baru
(new move) yang berada dalam koridor aturan permainan yang telah
ditetapkan dan (2) penemuan aturan baru yang dapat menciptakan permainan yang
baru pula. Ini berarti prinsip meta-bahasa yang berlaku universal (homologi)
mestinya diganti dengan prinsip pluralitas bentuk dan sistem aksiomatik (paralogisme).
Lembaga pendidikan sekarang ini merupakan salah satu sub
sistem dari sistem sosial. Tujuan pendidikan dimaksudkan untuk meningkatkan
performativitas sistem sosial secara keseluruhan. Lyotard mengatakan:
transimisi pengetahuan sudah tidak lagi bertujuan untuk melatih sekelompok
elite yang nantinya akan mampu mendampingi suatu bangsa dalam proses
emansipasi, akan tetapi bertujuan untuk menyediakan orang-orang yang memiliki
kapabilitas untuk mengisi pos-pos yang dibutuhkan oleh institusi dari sistem yang
bersangkutan.[28]
Ketika pengetahuan telah dapat diterjemahkan ke dalam
bahasa komputer, peran tradisional guru telah digantikan dengan bank memori;
proses pengajaran dapat diserahkan pada komputer yang menghubungkan bank-bank
memori dengan siswa. Namun perlu dicatat bahwa tujuan proses pengajaran bukan
sekedar mentransfer informasi melainkan juga menumbuhkan kemampuan
mengaktualisasikan data yang relevan untuk memecahkan persoalan hic et nunc,
serta kemampuan mengorganisasi data untuk menciptakan strategi yang lebih
efisien; ini berarti kemampuan menciptakan move yang baru. A
professor is no more competent than memory bank networks in transmitting
established knowledge, no more competent than interdisiplinary teams in
imagining new moves or new games.[29]
Menurut Lyotard tunduknya riset dan proses transmisi
pengetahuan pada kriteria performativitas sistem sosial telah membuat riset dan
institusi pendidikan berorientasi pada kekuasaan (power). Yang dapat
menyokong riset beaya tinggi adalah yang memiliki kekuasaan (modal). Ilmuwan,
teknisi, dan instrumen riset diperdagangkan bukan untuk menemukan kebenaran
melainkan untuk memperbesar kekuasaan. Barangsiapa dapat memproduksi
bukti-bukti (proofs) ia menguasai “realitas”, dan orang yang menguasai
“realitas” lah yang memiliki kekuasaan untuk menentukan mana yang benar dan
mana yang adil. Inilah yang dilakukan teknologi dengan prinsip efisiensinya (perfomativitas).[30]Demikian pula institusi pendidikan juga
tunduk pada kekuasaan. Oleh karena itu, pertanyaan yang diajukan oleh negara,
lembaga pendidikan dan siswa bukan lagi “Apakah ini benar?” melainkan “Apakah
ini berguna?”, “Apakah ini laku di pasaran (saleable)?” dan dalam
konteks meningkatkan kekuasaan: “Apakah ini efisien?”.
VIII. Legitimasi dengan Paralogi
Tunduknya ilmu pengetahuan ilmiah pada kriteria performativitas
sebenarnya mengandaikan bahwa ilmu pengetahuan ilmiah berada dalam suatu sistem
yang stabil. Dalam sistem semacam itu dapat diprediksikan input dan output
yang akan dihasilkan. Lyotard menyebut situasi seperti itu dengan “the
positivist ‘philosophy’ of eficiency”; sains dipandang sebagai
positifistik. Pandangan ini mengasumsikan alam semesta seolah-olah mengikuti
pola-pola dan hukum-hukum alam yang stabil (determinisme). Akan tetapi, teori
kuantum menujukkan bahwa ketidakpastian justru bertambah ketika pengetahuan
kita tentangnya bertambah (bdk. prinsip
ketidakpastian Heisenberg). Yang ada “adalah pulau-pulau
determinisme” (determinisme lokal).[31] Sekarang ini muncul paradigma baru
postmodern, paradigma yang menekankan ketidakdapatramalan, ketidakpastian, catastrophe
(seperti karya René Thom,
seorang matematikus), khaos, dan terutama disensus atau paralogi.[32] Sains postmodern meneorikan evolusinya
sendiri sebagai discontinous, catastrophic, nonrectifiable, and paradoxical.[33] Model legitimasi pengetahuan tidak lagi
berkaitan dengan maksimalisasi perfomativitas (kinerja) melainkan dengan
paralogi.
Lyotard menegaskan bahwa kita tidak dapat merujuk ke
narasi besar tentang dialektika Roh atau emansipasi manusia untuk mendapatkan
legitimasi atas wacana ilmiah postmodern. Juga prinsip konsensus lewat diskursus (Diskurs)
sebagaimana diusulkan oleh Habermas tidak mencukupi untuk melegitimasi sains
karena usulan Habermas itu masih merujuk pada narasi emansipasi umat manusia;
selain itu konsensus sebenarnya merupakan komponen dari suatu sistem, yaitu komponen
untuk memanipulasi sistem agar sistem dapat mempertahankan atau meningkatkan performance
atau kinerjanya. Konsesus semacam ini menimbulkan kekerasan terhadap
heterogenitas permainan bahasa (teror).[34] Sains dalam era postmodern in
mendapatkan legitimasi dengan paralogi.
Paralogi adalah pengakuan akan pluralitas logika. Yang
sekarang harus ditekankan bukan konsensus (homology) melainkandisensus (paralogy).
Konsensus adalah suatu horison yang tak pernah akan dicapai. Oleh karena itu
berbagai macam “move” yang sifatnya lokal dan beraneka ragam harus dihargai.
Teori sistem yang mengabdi pada perfomativitas sistem sosial bagi Lyotard
cenderung membungkam berbagai “move” baru yang dibuat oleh para ilmuwan dan
yang berpotensi mengubah aturan main, sebab sebuah sistem membutuhkan
stabilitas demi kinerjanya. Padahal pragmatik riset ilmiah dalam proses
argumentasinya sekarang ini menekankan penemuan move-move yang baru dan
bahkan aturan main yang baru. Upaya untuk memperkuat bukti-bukti suatu penemuan
dilakukan dengan pencarian contoh-contoh yang berkebalikan (counterexamples),
atau dengan kata lain mencari the unintelligible. Mendukung suatu
argumen berarti mencari yang “paradoks” dan melegitimasinya dengan
aturan-aturan baru dalam the games of reasoning.[35]
Paralogi berbeda dengan invention. Invention
adalah penemuan yang dilakukan atas perintah sistem untuk meningkatkan
efisiensinya. Sedang, paralogi adalah menciptakan move-move baru yang
dimainkan dalam pragmatik pengetahuan. Dalam hal ini sains menjadi model sebuah
“sistem terbuka”, di mana sebuah penyataan menjadi relevan jika pernyataan
tersebut “melahirkan ide-ide”; artinya jika pernyataan itu melahirkan
pernyataan-pernyataan (moves)yang lain dan aturan-aturan main yang lain
lagi. Oleh karena itu sains menurut Lyotard tidak memiliki suatu meta-bahasa
umum yang dapat dipakai untuk menerjemahkan atau mengevaluasi jenis-jenis
bahasa yang lain. Sains hanyalah salah satu permainan bahasa di antara
permainan bahasa yang lain. Pengakuan keberagaman permainan bahasa ini pada
akhirnya menurut Lyotard adalah langkah pertama untuk mewujudkan keadilan dalam
masyarakat.[36]
Penutup
Berdasarkan pandangan bahwa legitimasi sains tidak dapat
dicapai dengan suatu homologi yang hendak mencari satu ide pokok yang terarah
pada kemajuan (progress) melainkan dengan paralogi, kita dapat melihat
bahwa postmodernisme bagi Lyotard rupa-rupanya bukan sekedar sebuah periode
setelah modernisme melainkan suatu cara yang sebagai kemungkinan sudah terdapat
dalam modernisme, yaitu modernisme pada saat kelahirannya.[37] Postmodernisme adalah intensifikasi
dinamisme, upaya tak henti-hentinya untuk mencari kebaruan, eksperimentasi dan
revolusi kehidupan terus-menerus. [38]Postmodernisme adalah suatu tugas yang
harus kita kerjakan sekarang. Lyotard mengatakan: Let us wage a war on
totality; let us be witness tho the unpresentable; let us activate the
differences and save the honor of the name.[39] Pengetahuan postmodern bukan hanya
sekedar alat di tangan penguasa; pengetahuan postmodern meghaluskan kepekaan
kita terhadap perbedaan dan memperkuat kemampuan toleransi kita terhadap yang
tak terukur (the incommensurable).[40]
Akhirnya kita dapat mengajukan pertanyaan
kritis pada Lyotard. Pertama, bukankah dengan mengatakan bahwa grand
narrative sebagai pelegitimasi pengetahuan harus diganti dengan aneka little
narrative, Lyotard justru telah membangun suatu grand narrative yang
baru, yaitu grand narrative pluralitas sistem pemikiran (paralogi)?
Kedua, apabila kita tidak boleh memberikan penilaian terhadap narasi-narasi
kecil yang sifatnya lokal, bukankah dengan dengan demikian kita justru memberi
kesempatan luas pada pelbagai penindasan dan ketidakadilan lokal untuk
merajalela?
Kalau kita
mengikuti Lyotard secara konsisten, maka kita juga harus mengakui relativisme
moral dan kita tidak boleh menilai sistem moralitas suatu daerah tertentu. Akan
tetapi bukankah kita belakangan ini ramai berbicara mengenai hak-hak asasi
manusia dan nilai-nilai keadilan global? Kalau tidak ada tolok ukur moral dan
kemanusiaan yang berlaku global maka kita tidak boleh mengutuk pembantaian 6
juta orang Yahudi oleh Nazi, atau pun mencela aksi terorisme yang meruntuhkan
World Trade Center di New York akhir-akir ini! Pada kenyataannya tetap ada
nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas yang berlaku universal. Ironisnya Lyotard
sendiri meski menganggap konsensus sebagai nilai yang kolot dan perlu dicurigai
namun mengatakan, ”Tetapi keadilan sebagai nilai tidak kolot dan juga tidak
perlu dicurigai”.[41]
Bukankah dengan ini Lyotard justru mengakui bahwa keadilan sebagai nilai tetap
berlaku universal?[42]
Lagi pula, bagaimana kita bisa mencapai keadilan bagi semua jikalau tak ada
“adil” yang diterima semua? Pintu perdebatan masih terbuka.
Daftar Pustaka:
Bambang Sugiharto, I., Postmodernisme,
Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 1996.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Drucker, Peter F., Post-Capitalist Society, New York: HarperBussiness, 1993.
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001.
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Lyotard, Jean-François, The Postmodern Conditon: A Report on Knowledge, transl. from French La Condition Postmoderne: rapport sur savoir (Minuit, 1979) by Geoff Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press, 1991.
Matthews, Eric, Twentieth-Century French Philosophy, Oxford & New York: Oxford Unversity Press, 1996.
Mudhafir, Ali, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sim, Stuart (ed,), The Icon Critical Dictionary of Postmodern Thought, Cambridge: Icon Books, 1998.
Bertens, K., Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2001.
Drucker, Peter F., Post-Capitalist Society, New York: HarperBussiness, 1993.
Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001.
Lechte, John, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 2001.
Lyotard, Jean-François, The Postmodern Conditon: A Report on Knowledge, transl. from French La Condition Postmoderne: rapport sur savoir (Minuit, 1979) by Geoff Bennington and Brian Massumi, Manchester: Manchester University Press, 1991.
Matthews, Eric, Twentieth-Century French Philosophy, Oxford & New York: Oxford Unversity Press, 1996.
Mudhafir, Ali, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001.
Sim, Stuart (ed,), The Icon Critical Dictionary of Postmodern Thought, Cambridge: Icon Books, 1998.
Catatan Kaki
* Penulis adalah mahasiswa STF Driyarkara.
[1] Buku La Condition Postmoderne: rapport sur savoir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984). Sedangkan Le Différend diterjemahkan menjadi The Differend: Phrases in Dispute (1988). Keduanya diterbitkan oleh Manchester University Press. [2] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 375.
[3] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,…hlm.xxiii.
[4] Ibid. hlm. xxv. Cf. Ali Mudhahir, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 329.
[5] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.4.
[6] Peter F. Drucker secara lebih ekstem bahkan mengatakan: “The basic economic resource—‘the means of production’, to use the economist’s term—is no longer capital, nor natural resources (the economist’s “land”), nor ‘labor’. It is and will be knowledge....The economic challenge of the post-capitalist society will therefore be the productivity of knowledge work and the knowledge worker”, (Peter F. Drucker, Post-Capitalist Society, New York: HarperBusiness, 1993, hlm. 8)
[7] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.5.
[8] Dengan kata lain relasinya menjadi relasi antara unit-unit pengetahuan yang dipertukarkan untuk mendapatkan kerja (payment knowledge) dengan ‘dana’ pengetahuan yang diinvestasikan untuk mengoptimalisasikan kinerja (performance) sebuah proyek (investment knowledge).
[9] Our working hypothesis is that the status of knowledge is altered as societies enter what is known as the postindustrial society and cultures enter what is known as the postmodern age. Ibid., hlm.3.
[10] Ibid. hlm. 8.
[11] Ibid. hlm. 8-9.
[1] Buku La Condition Postmoderne: rapport sur savoir ini diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi The Postmodern Condition: A
Report on Knowledge (1984). Sedangkan Le Différend diterjemahkan menjadi The Differend: Phrases in Dispute (1988). Keduanya diterbitkan oleh Manchester University Press. [2] John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Yogyakarta: Kanisius, 375.
[3] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition: A Report on Knowledge,…hlm.xxiii.
[4] Ibid. hlm. xxv. Cf. Ali Mudhahir, Kamus Filsuf Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 329.
[5] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.4.
[6] Peter F. Drucker secara lebih ekstem bahkan mengatakan: “The basic economic resource—‘the means of production’, to use the economist’s term—is no longer capital, nor natural resources (the economist’s “land”), nor ‘labor’. It is and will be knowledge....The economic challenge of the post-capitalist society will therefore be the productivity of knowledge work and the knowledge worker”, (Peter F. Drucker, Post-Capitalist Society, New York: HarperBusiness, 1993, hlm. 8)
[7] J.F. Lyotard, op.cit., hlm.5.
[8] Dengan kata lain relasinya menjadi relasi antara unit-unit pengetahuan yang dipertukarkan untuk mendapatkan kerja (payment knowledge) dengan ‘dana’ pengetahuan yang diinvestasikan untuk mengoptimalisasikan kinerja (performance) sebuah proyek (investment knowledge).
[9] Our working hypothesis is that the status of knowledge is altered as societies enter what is known as the postindustrial society and cultures enter what is known as the postmodern age. Ibid., hlm.3.
[10] Ibid. hlm. 8.
[11] Ibid. hlm. 8-9.
[12] Contoh pragmatic beragam permainan bahasa tersebut
adalah sbb. Misalnya, sebuah penyataan denotatif : “Universitas ini
tidak bermutu”. Pernyataan ini menempatkan sender (yang mengeluarkan
pernyataan) sebagai pihak yang memiliki pengetahuan; referent sebagai
hal yang harus diidentifikasi dan diekspresikan secara benar; dan addressee
(penerima/pendengar pernyataan) sebagai pihak yang harus memberi persetujuan
atau penolakan terhadap kebenaran penyataan tersebut. Sementara itu, dalam
sebuah pernyataan performatif—misalnya pernyataan “Universitas dibuka”
oleh seorang rektor dalam suatu kuliah pembukaan—sender berposisi
sebagai pihak yang memiliki otoritas sedangkan addressee tidak berada
dalam posisi harus menyetujui atau menolak (mem-verifikasi) pernyataan
tersebut, akan tetapi berada dalam konteks baru yang diciptakan oleh pernyataan
itu. Yang penting bagi referent bukanlah benar salahnya pernyataan yang
merujuk padanya melainkan perubahan situasi pada momen pengungkapan pernyataan
tersebut, yakni universitas telah dibuka karena memang telah dinyatakan dibuka
oleh rektor (sender yang memiliki otoritas) dalam kesempatan kuliah
pembukaan. Dalam pernyataan preskriptif, misalnya “Bayarkan uang
pada universitas”, sender jelas dalam posisi yang memiliki otoritas;
sedangkan addressee berada dalam posisi harus melakukan apa yang di-refer
oleh sender. Lih. J.F. Lyotard, The Postmodern Condition....,
hlm. 9-10.
[13] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm.50.
[14] J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 13.
[15] I am not claiming that the entirety of social relations is of this kind (language games)... but... language games are the minimum relation required for society to exist..... Ibid., hlm. 15.
[16] “It is therefore impossible to judge the existence or validity of narrative knowledge on the basis of scientific knowledge and vice versa: the relevant criteria are different. All we can do is gaze in wonderment at the diversity of discursive species, just as we do at the diversity of plant or animal species.”, ibid. hlm.26.
[17] Ibid.hlm.18.
[18] ...they (popular narratives) are legitimated by the simple fact that they do what they do. Ibid. hlm. 23.
[19] Ibid. hlm. 26.
[20] Scientific knowledge cannot know and make known that it is the true knowledge without resorting to the other, narrative, kind of knowledge which from its own point of view is not knowledge at all. Ibid. hlm. 29.
[21] Ibid. hlm.30.
[22] Ibid. hlm.31.
[23] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 348.
[24] “Speculation” here is the name given the discourse on the legitimation of scientific discourse. Schools are functional; the university is speculative, that is to say, philosophical. J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 33.
[25] Ibid., hlm. 35.
[26] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 349.
[27] Lih. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hlm.111.
[28] J.F. Lyotard, op.cit, hlm. 48.
[29] Ibid., hlm. 53.
[30] By reinforcing technology, one “reinforces” reality, and one’s chances of being just and right increase accordingly. Ibid., hlm. 47.
[31] All that exist are “islands of determinism.”, Ibid., hlm. 59.
[32] John Lechte, op.cit., hlm. 375.
[33] Lih. J.F. Lyotard, op.cit., hlm.60.
[34] Konsensus bahkan dapat dipaksakan pada seorang pemain dalam sebuah permainan bahasa....By terror I mean the efficiency gained by eliminating, or threatening to eliminate, a player from the language game one shares with him....It says ,”Adapt your aspirations to our ends or else?”., ibid., hlm. 63-64.
[35] Working on a proof means searching for an “inventing” counterexamples, in other words, the unintelligible; supporting an argument means looking for a “paradox” and legitimating it with new rules in the game of reasoning., ibid. hlm. 54.
[36] A recognition of the heteromorphous nature of language games is a first step in that direction (justice), ibid., hlm. 66.
[37] Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state, and this state is constant, Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 79.
[38] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.hlm. 27.
[39] J.F. Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 82.
[40] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition, …hlm, xxv.
[41] Consensus has become an outmoded and suspect value. But justice as value is neither outmoded nor supect. Ibid., hlm. 66.
[42] Menarik untuk menyimak komentar David Harvey: We similarly find Lyotard arguing that ‘consensus has become an outmoded and suspect value’ but then adding, rather surprisingly, that since ‘justice as a value is neither outmoded nor suspect’ (how it could remain such a universal, untouched by the diversity of language games, he does not tell us), we ‘must arrive at an idea and practice of justice that is not linked to that consensus’, dalam David Hurvey, The Condition of Postmodernity, Massachusetts & Oxford: Blackwell, 1990, hlm. 52.(Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)
[13] K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia, 1983, hlm.50.
[14] J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 13.
[15] I am not claiming that the entirety of social relations is of this kind (language games)... but... language games are the minimum relation required for society to exist..... Ibid., hlm. 15.
[16] “It is therefore impossible to judge the existence or validity of narrative knowledge on the basis of scientific knowledge and vice versa: the relevant criteria are different. All we can do is gaze in wonderment at the diversity of discursive species, just as we do at the diversity of plant or animal species.”, ibid. hlm.26.
[17] Ibid.hlm.18.
[18] ...they (popular narratives) are legitimated by the simple fact that they do what they do. Ibid. hlm. 23.
[19] Ibid. hlm. 26.
[20] Scientific knowledge cannot know and make known that it is the true knowledge without resorting to the other, narrative, kind of knowledge which from its own point of view is not knowledge at all. Ibid. hlm. 29.
[21] Ibid. hlm.30.
[22] Ibid. hlm.31.
[23] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 348.
[24] “Speculation” here is the name given the discourse on the legitimation of scientific discourse. Schools are functional; the university is speculative, that is to say, philosophical. J.F. Lyotard, op.cit., hlm. 33.
[25] Ibid., hlm. 35.
[26] Lih. K.Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia, hlm. 349.
[27] Lih. Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer, Yogyakarta: Jalasutra, 2001, hlm.111.
[28] J.F. Lyotard, op.cit, hlm. 48.
[29] Ibid., hlm. 53.
[30] By reinforcing technology, one “reinforces” reality, and one’s chances of being just and right increase accordingly. Ibid., hlm. 47.
[31] All that exist are “islands of determinism.”, Ibid., hlm. 59.
[32] John Lechte, op.cit., hlm. 375.
[33] Lih. J.F. Lyotard, op.cit., hlm.60.
[34] Konsensus bahkan dapat dipaksakan pada seorang pemain dalam sebuah permainan bahasa....By terror I mean the efficiency gained by eliminating, or threatening to eliminate, a player from the language game one shares with him....It says ,”Adapt your aspirations to our ends or else?”., ibid., hlm. 63-64.
[35] Working on a proof means searching for an “inventing” counterexamples, in other words, the unintelligible; supporting an argument means looking for a “paradox” and legitimating it with new rules in the game of reasoning., ibid. hlm. 54.
[36] A recognition of the heteromorphous nature of language games is a first step in that direction (justice), ibid., hlm. 66.
[37] Postmodernism thus understood is not modernism at its end but in the nascent state, and this state is constant, Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 79.
[38] I. Bambang Sugiharto, Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Yogyakarta: Kanisius.hlm. 27.
[39] J.F. Lyotard, “Answering the Question : What is Postmodernism?”, transl. By Régis Durand dalam The Postmodern Condition, ... hlm. 82.
[40] J.F. Lyotard, The Postmodern Condition, …hlm, xxv.
[41] Consensus has become an outmoded and suspect value. But justice as value is neither outmoded nor supect. Ibid., hlm. 66.
[42] Menarik untuk menyimak komentar David Harvey: We similarly find Lyotard arguing that ‘consensus has become an outmoded and suspect value’ but then adding, rather surprisingly, that since ‘justice as a value is neither outmoded nor suspect’ (how it could remain such a universal, untouched by the diversity of language games, he does not tell us), we ‘must arrive at an idea and practice of justice that is not linked to that consensus’, dalam David Hurvey, The Condition of Postmodernity, Massachusetts & Oxford: Blackwell, 1990, hlm. 52.(Sumber : http://www.filsafatkita.f2g.net)