Oleh Abd A'la
02/04/2004
Dari hasil survei yang dilakukan The Asia Foundation pada 2003 lalu
menemukan bahwa tingkat kesadaran atau dan pengetahuan masyarakat kita dalam
hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik masih sangat rendah. Dalam
perspektif Islam, hak-hak politik sejatinya merupakan bagian intrinsik dari
hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Dalam posisi semacam itu, agama
diharapkan benar-benar dapat membumikan misi pencerahan atas umat manusia.
SAMPAI saat ini tingkat kesadaran atau dan pengetahuan masyarakat kita
dalam hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak politik masih sangat rendah. Survei
yang dilakukan The Asia Foundation pada tahun 2003 lalu menemukan bahwa 55%
dari 1.056 random representative sample di 32 provinsi Indonesia menyatakan
tidak mengetahui arti negara demokrasi yang sebenarnya. Mereka kurang memahami
signifikansi negara demokrasi bagi pemenuhan hak-hak politik, sebagaimana pula
mereka tidak mengetahui cara mengartikulasikannya dalam kehidupan politik yang
demokratis.
Terkait dengan itu, kenyataannya menjadi tidak aneh jika mereka memilih
partai politik bukan karena porgram partai yang jelas, atau sebab hal itu akan
membuat segala sesuatu akan lebih baik. Namun, mereka memilihnya sekadar karena
partai itu adalah partainya (19%), faktor pemimpinnya --bukan kepemimpinannya--
(14%), atau sekadar partai Islam (10%), di mana sebagian besar mereka ini (55%)
tidak memahami apa yang mereka harapkan untuk dilakukan oleh partai Islam
tersebut. Yang lebih ironis lagi, sebanyak 14% dari mereka tidak tahu alasan
memilih partai, dan 14% sisanya sudah lupa.
Data penelitian itu serta didukung fenomena yang berkembang saat ini
menorehkan secara jelas tentang minimnya pengetahuan mereka mengenai hak-hak
politik. Pilihan dan dukungan mereka terhadap partai politik bukan didasarkan
pada alasan-alasan rasional untuk penggunaan hak-hak politik, tapi lebih
merujuk kepada alasan yang sangat kental dengan watak sektarianisme dan sejenisnya.
Dalam kondisi yang cukup memprihatinkan ini, negara dan pemerintah yang
benar-benar berpihak kepada kepentingan rakyat tentunya sulit diharapkan dapat
diwujudkan dalam kehidupan konkret. Alih-alih, dominasi koersif negara dengan
segala perangkatnya--termasuk partai politik--akan terus menggurita di
mana-mana (sebagaimana terjadi pada masa-masa yang lalu). Dengan demikian,
masyarakat akan menjadi korban kesekian kali bagi kepentingan segelintir elite
atau kelompok tertentu yang menjadikan politik sekadar untuk meraih atau
mempertahankan kekuasaan. Pada saat yang sama, perubahan signifikan dalam
berbagai dimensinya untuk menuju kehidupan yang lebih baik hanya akan menjadi
semacam utopia yang nyaris mustahil untuk diraih dalam realitas kehidupan.
***
Dalam perspektif Islam, hak-hak politik sejatinya merupakan bagian
intrinsik dari hak-hak dasar yang dimiliki setiap individu. Pelacakan intens
terhadap monoteisme Islam sebagai ajaran dasar akan menjelaskan secara sempurna
hal tersebut. Sebagai prinsip dasar, monoteisme merupakan pembebasan yang
membawa konsekuensi pada keberadaan seluruh umat manusia dalam kedudukan yang
sederajat. Setiap manusia memiliki hak yang sama sesuai dengan kapasitas dan
kapabilitas masing-masing untuk mengaktualisasikan hak-hak dasariahnya, serta
mengartikulasikan aspirasinya yang objektif. Demikian pula, hak-hak mereka yang
bersifat prinsip harus mendapat perlindungan yang sama. Tidak ada satu manusia
atau kekuatan mana pun di dunia yang dapat memasung dan mereduksi hak-hak dasar
yang melekat pada setiap manusia, termasuk hak-hak politik, kecuali karena
alasan-alasan yang dapat dipertanggungjawabkan yang mengacu secara jelas kepada
nilai-nilai etika-moral kemanusiaan dan ajaran substansial agama.
Kesederajatan yang berpijak kukuh pada ajaran teologis itu pada gilirannya
mengantarkan setiap manusia kepada kedudukan sebagai khalifah Tuhan di muka
bumi. Setiap orang memiliki hak yang tidak dapat dirampas oleh siapa pun untuk
terlibat aktif dalam mengolah kehidupan dan mengembangkannya sehingga dapat
merepresentasikan kehidupan sesuai dengan nilai dan risalah Islam sebagai
rahmatan lil `alamin.
Pencapaian kehidupan yang mencerminkan nilai rahmatan lil `alamin
meniscayakan hak-hak yang berkaitan dengan persoalan publik, semisal urusan politik
harus selalu diletakkan dalam bingkai al-maslahah al-`am. Dengan kata lain,
kepentingan umum harus menjadi rujukan dalam mengaktualisasikan hak-hak politik
setiap individu. Dalam kerangka kepentingan umum ini, kepentingan yang lebih
kecil tidak perlu dilawankan dengan kepentingan yang lebih besar, dan demikian
pula sebaliknya. Justru hal yang perlu dikedepankan adalah meletakkan berbagai
kepentingan secara serasi dan seimbang.
Untuk menjaga keseimbangan itu, Islam sangat menekankan kepada umatnya untuk
mengembangkan konsep syura dalam mengangkat dan menyelesaikan berbagai
persoalan yang bersentuhan dengan persoalan publik, terutama masalah politik
yang dalam realitasnya memiliki sisi-sisi yang sangat rentan konflik. Namun,
satu hal yang perlu diperhatikan, sementara ini ada kecenderungan sebagian
orang atau kelompok yang memahami syura secara reduktif dan biased melalui
penyikapan konsep ini sekadar sebagai sarana konsultasi yang keputusan akhirnya
menjadi wewenang satu orang tertentu saja. Padahal, syura --menurut Fazlur
Rahman dalam Islamic Studies vol VI, no 2, 1967-- senyatanya merupakan suatu
proses di mana setiap orang harus saling berkonsultasi dan mendiskusikan
persoalan secara konstruktif dan kritis untuk mencapai tujuan bersama. Semua
itu diletakkan dalam kerangka nilai keadilan, kesederajatan, dan
pertanggungjawaban sehingga tujuan yang ingin dicapai benar-benar bersifat
objektif dan independen.
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, setiap individu --tentunya yang
memenuhi kriteria tertentu sesuai dengan kesepakatan bersama, nilai agama dan
etika kemanusiaan universal-- tidak dapat dipasung atau direduksi hak-hak
politiknya, semisal sekadar menjadi hak untuk mendukung partai tertentu.
Hak-hak politik masyarakat harus dikembalikan kepada nilai dan prinsipnya yang
asasi sebagai keterlibatan untuk mengungkap aspirasi, serta mengkritisi, bahkan
ikut memutuskan segala kebijakan yang menyangkut kepentingan bersama.
***
Pemaknaan hak-hak politik sesuai dengan nilai dan prinsip tersebut menuntut
adanya upaya serius dari segenap komponen bangsa untuk melakukan pemberdayaan
politik rakyat. Partai politik yang saat ini terkesan hanya sibuk dengan urusan
memperoleh atau memperebutkan kursi kekuasaan berkewajiban --secara moral dan
agama-- untuk lebih mengedepankan agenda yang lebih berpijak kuat pada upaya
transformasi nilai-nilai politik yang dapat mencerahkan masyarakat dan
kehidupan. Partai politik dituntut untuk tidak melakukan lagi semacam
pemasungan hak-hak politik masyarakat dalam segala bentuknya, baik yang
bersifat vulgar seperti pemaksaan untuk hanya memilih partai tertentu, maupun
yang bersifat subtle melalui pengeluaran semacam fatwa yang menggiring
masyarakat untuk hanya menjadi pendukung setia suatu partai.
Pada saat yang sama, pengembangan civil society menjadi mutlak untuk
dikembangkan serta dilabuhkan secara konkret di bumi pertiwi. Masyarakat sipil
(madani) dalam pengertian substansial yang berwujud serta mencakup segala
organisasi swasta yang tidak bersinggungan dengan kepentingan politik pragmatis
sangat memungkinkan untuk mengembangkan kesadaran hak-hak politik transformatif
masyarakat. Melalui pengembangan civil society yang kukuh ini, masyarakat
diharapkan memiliki pengetahuan dan kesadaran politik yang cukup tinggi yang
dihadirkan dalam keterlibatan aktif mereka dalam setiap proses kebijakan dan
keputusan politik yang berkaitan dengan kepentingan mereka melalui sikap dan
cara yang kritis serta tetap mengedepankan keadaban.
Di atas semua itu, agama mutlak harus disterilkan dari tarikan-tarikan
politik pragmatis dan praktis. Kaum agamawan bersama-sama para elite partai
memiliki kewajiban untuk mengembalikan agama ke ranahnya yang asal dan genuine
sebagai sumber nilai dan etika-moral universal. Dalam posisi semacam itu, agama
diharapkan benar-benar dapat membumikan misi pencerahan atas umat manusia.
Salah satu pencerahan yang sangat krusial dalam konteks ini adalah terjadinya
kesadaran manusia tentang eksistensinya sebagai khalifah Tuhan yang bertanggung
jawab secara sosio-kultural dan politik untuk mengembangkan dan memakmurkan
kehidupan bagi seluruh umat manusia serta semua makhluk Tuhan yang lain.
Keberhasilan dalam melakukan semua proses tersebut akan mengantarkan bangsa
kepada cita-cita yang didambakan, bersemainya, lalu berkembangnya kehidupan
yang penuh kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan. Namun, kita harus
menyadari, tugas yang diemban ini bukanlah sesuatu yang ringan. Hal ini
menuntut kita untuk melepaskan diri dari kerangkeng politik pragmatis yang
hanya berorientasi kekuasaan, serta kesiapan kita untuk tidak melakukan
politicization of the sacred.
Abd A`la, Kontributor Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR).
Tulisan ini merupakan kerja sama dengan Sindikasi Media Islam dan Hak-hak
Politik.